Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 22 - I'll never make you cry

Danar datang lebih pagi hari itu dan berharap ada suatu keajaiban yang membuat Tiyas juga datang lebih pagi. Sudah satu hari Tiyas tidak masuk, dan Danar sangat tersiksa dengan rasa bersalahnya sendiri. Luka-luka Danar karena Raka sudah membaik, tapi Danar tahu Tiyas sangat terluka dan tidak akan memaafkannya. Danar pikir akan jauh lebih baik jika Raka membunuhnya kemarin. 

Satu hal yang baru saja Danar sadari bahwa dia sudah jatuh cinta dengan teman sekelasnya sejak kelas dua. Apa, kenapa, bagaimana, Danar tidak tahu jawabannya. Danar hanya tahu dia membenci Raka dan Wisnu karena bisa dengan mudah dekat dengan Tiyas dan mengambil hatinya. Danar juga sangat tidak tahu bagaimana cara mengatasi perasaannya. Sudah pasti dia tidak mau Tiyas tahu tentang perasaannya sebelum kejadian terkutuk itu. Tapi jika sudah begini semua orang sudah tahu jika Danar memang jatuh cinta dengan Tiyas. Danar seperti mengumumkan perasaannya sendiri ketika kejadian terkutuk itu terjadi.

Jadi, jika ia beruntung dia akan bertemu Tiyas lebih pagi dan langsung meminta maaf pada Tiyas. Itupun jika Danar cukup berani menatap wajah Tiyas. Namun hingga 6.30 Tiyas belum datang dan kelas mulai ramai. Tiyas baru saja tiba 5 menit kemudian. Tiyas sengaja bertukar tempat duduk dengan kawannya yang lain. Menjauh dari Danar. Danar menghampiri Tiyas ragu-ragu karena paham situasi bisa berubah menjadi buruk jika Tiyas memutuskan melanjutkan makiannya tempo hari.

"Ti, boleh bicara sebentar?"

"Bicara bagaimana maksudnya?" Tiyas sadar beberapa kawannya sudah mulai berbisik-bisik.

"Anindi Tiyas, gue minta maaf. Gue salah."

"Salah? Cuma salah?" Sudah tidak ada emosi di nada bicara Tiyas. Hanya tidak perduli.

"Gue..."

Belum sempat Danar melanjutkan sudah ada Wisnu dihadapannya.

"Sayang, sarapan yuk. Dan lo Danar...." Wisnu menarik nafas menahan emosi. "Sudah cukup apa yang lo lakuin ke Tiyas. Sudah cukup." Wisnu menarik tangan Tiyas pergi meninggalkan Danar.

***

Raka mondar mandir di dalam kamarnya malam itu. Wajahnya yang gusar tidak bisa ia tutupi. Sebagian karena Raka tahu Wisnu sudah kembali dari pertandingan percobaan minggu lalu sebagian lagi karena Raka merasa dikejar waktu. Harusnya Tiyas tahu perasaannya. Raka memang tidak pernah mengungkapkan perasaaannya dengan gamblang, tapi harusnya Tiyas bisa mengerti. Apa kasus rumah sakit atau kasusnya dengan Danar kemarin kurang jelas? Tapi kenapa Tiyas bilang ia ingin berhenti jadi guru bahasa inggris Raka? Apa Tiyas masih cinta Wisnu? Ketukan lembut di pintu membuyarkan semua lamunannya.

"Ka, Mama masuk ya?" Ibunya membuka pintu perlahan.

"Ada apa Ma?"

"Tadi Papa telpon mau kasih tahu kamu. Soal beasiswa temen kamu yang satu bulan lalu kamu ajuin. Siapa namanya?"

"Tiyas. Anindi Tiyas Ma." Suara Raka mendadak bersemangat.

"Iya itu. Kata Papa dia lolos ke tahap test dan interview. Minggu depan testnya." Mama Raka memberikan surat dengan amplop putih panjang bersegel perusahaan papa Raka.

Reflek Raka memeluk mamanya. Ini kabar gembira. Ada harapan ia bisa membawa Tiyas pergi bersamanya. Jadi Tiyas bisa memulai yang baru dengan Raka dan melupakan Wisnu. Tuhan memang Maha Baik. Raka bergegas pergi ke rumah Tiyas.

***

Hanya dalam waktu 15 menit Raka sudah tiba di rumah Tiyas malam itu. Tiyas membukakan pintu tetapi di belakang tubuh Tiyas ada Wisnu. Mata Raka langsung menyiratkan kemarahan. 

"Ada apa Ka?" Wisnu menarik Tiyas ke belakang tubuhnya dan berdiri dihadapan Raka.

"Gue ke rumah Tiyas, mau ketemu Tiyas, bukan elo." Sahut Raka sinis.

Tiyas menarik Wisnu menjauh dari Raka. Meminta pengertiannya agar tidak memulai keributan di rumahnya. Dengan rasa dongkol dan berat hati Wisnu masuk ke dalam rumah sambil masih berdiri mengawasi dari dalam.

"Ada apa Ka?" Tiyas menemui Raka di teras.

"Lo ga apa-apa kan? Dari kejadian Danar kemarin gue baru bisa kesini hari ini."

"Gue ga apa-apa. Makasih ya Raka. Tapi nextnya ga perlu sampai pukul-pukulan gitu Ka. Sekalipun Danar salah, gue tetap ga bisa lihatnya." Tiyas tersenyum berharap Raka mengerti.

"Bagus gue ga bunuh dia Ti." Raka duduk di bangku teras. Tiyas hanya diam tidak menyahut karena setengah dari dirinya percaya Raka bisa melakukan itu.

"Gue bawa kabar bagus Ti. Lo lulus screening awal untuk beasiswa ke luar negeri di kantor papa." Raka memberikan surat dalam amplop berwarna putih itu. "Selamat ya, test nya minggu depan. Semua yang perlu disiapkan ada di surat itu." Raka tersenyum.

Tiyas tidak bisa menutupi binar di matanya karena gembira."Serius Ka? Jadi lo serius daftarin gue?"

"Iya, pilihannya Singapore, Malaysia, Australia, Inggris. Jurusan bisa disesuaikan."

"Lo pilih apa?"

"Gue pilih apa yang lo pilih Ti. Gue mau bareng elo."

Tiyas terhenyak, sadar bahwa mungkin ini bukan ide yang baik lagi. "Tapi Ka, ibu gue." Tiyas mencoba beralasan.

"Baiknya lo ikut aja test dan interview nya dulu. Kalau sudah lulus baru kita pikirin."

"Gue pikirin ini dulu ya Ka, nanti gue kabarin lo. Terimakasih sebelumnya ya Ka."

"Ini kesempatan bagus Tiyas, belajar, pergi ke luar negeri, tambah wawasan. Sayang dilewatkan. Dan ini full scholarship. Jadi bukan cuma biaya pendidikan, biaya hidup juga ditanggung full plus uang saku. Intinya, lo ga usah pikirin apa-apa lagi, cukup belajar dan lulus."

"Ada pertimbangan-pertimbangan lain Ka."

"Wisnu?" Raka menebak.

"Salah satunya." Tiyas tidak suka mengatakan ini karena ia tahu ini menyakitkan untuk Raka.

"I see, lo udah baikan sama dia." Raka diam sesaat berusaha mengontrol rasa cemburunya.. "Gue ga ngerti sama lo Ti, Wisnu udah bolak-balik bikin lo nangis, tapi lo masih mau aja sama dia. Gue bingung beneran." Nada suara Raka mulai naik.

"Raka, please." Tiyas memelankan suaranya. Ia tidak mau Wisnu mendengar perkataan Raka.

Wisnu mendekat ke pintu ruang tamu, sengaja menampakkan dirinya.

"Oke, gue balik. Gue yakin lo smart enough buat tahu apa yang baik buat lo Ti. Gue tunggu jawaban lo." Raka berdiri menghadap Tiyas. "Goodnight." Raka mengacak rambut Tiyas.

Wisnu sudah berada di teras "Jangan...sentuh Tiyas." Nada suara Wisnu dalam dan emosi.

"Bilang sana sama Danar, dia yang bikin Tiyas nangis. Bukan gue. Oh harusnya lo ngaca juga, siapa sebenarnya yang suka bikin Tiyas nangis." Raka tersenyum sinis dan berlalu.

Tiyas menarik lengan Wisnu. Menahan Wisnu yang sudah sangat ingin memukul Raka.

Di dalam rumah.

"Apa itu tadi Ti?" Wisnu benar-benar gusar. "Jawaban apa? Apa yang kamu ga ceritain ke aku?"

"Wisnu sabar dulu dong. Duduk dulu sini Nu, aku jelasin semuanya. Jangan berdiri mondar mandir begitu."

Wisnu berusaha meredam amarahnya. Sudah berbulan-bulan ia melihat kedekatan Raka dan Tiyas. Saat itu ia tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi kali ini dia tidak akan membiarkan Raka mendekati gadisnya terang-terangan lagi. Sudah cukup.

"Wisnu liat aku." Tiyas duduk berhadapan dengan Wisnu di ruang tamu."Aku jelasin ke kamu tapi tolong kamu denger dengan kepala dingin. Oke?" Tiyas menggenggam tangan Wisnu.

"Beberapa bulan yang lalu Raka minta aku ngajarin dia bahasa Inggris karena dia punya rencana kuliah di luar negeri."

Wisnu tersenyum sinis. "Akal busuknya luar biasa. Bahasa Inggris Raka sama baiknya seperti bahasa Indonesia-nya."

"Wisnu, dengerin aku dulu." Tiyas memberi jeda."Dia bilang dia mau daftarin aku beasiswa keluar negeri lewat kantor papa nya dan aku sudah bilang nggak. Baru tadi aku tahu Raka beneran daftarin aku dan aku...lulus tahap pertama." Ada binar bahagia di mata Tiyas sekalipun ia berusaha menyangkalnya.

"Kamu tahu itu juga salah satu cara Raka buat ambil kamu dari aku Ti." Wisnu menunduk dan mencium tangan Tiyas yang sedari tadi megenggamnya.

"Aku ga akan pergi Nu. Kalau kamu ga setuju, aku ga pergi. Oke?"

"Aku udah bilang kan Ti. Aku ga bisa ga lihat kamu, ga bisa." Wisnu tidak bisa berpura-pura lagi dihadapan Tiyas. Tiyas harus tahu ini adalah ketakutan terbesarnya yang sudah menghantuinya berbulan-bulan. Wisnu tidak pernah berani membandingkan dirinya dengan Raka. Sobatnya itu punya segalanya.

Tiyas mencium kening Wisnu dan memeluknya. "Aku ga kemana-mana." 

***

"Brengsek." Raka sudah di kamarnya lagi. Ia masih emosi dengan apa yang terjadi di rumah Tiyas barusan. Ponselnya berdering. Della.

"Raka, kamu dimana? Mamaku nanyain tu."

"Del, udah deh gue ga bisa kesana malam ini."

"Tapi Mama Papaku udah nungguin kamu disini."

"Nanti aku yang bilang sendiri ke Mama Papa kamu. Salam buat keluarga disana." Raka mematikan ponsel. Della adalah sepupu jauhnya yang sedari kecil sudah dijodohkan dengan Raka. Della adik kelasnya di SMA 1, adalah bagian dari rencana sebelumnya. Mungkin dia harus meminta hal yang sama pada Della seperti waktu itu, terakhir kali saja.

***

Suatu hari di minggu yang baru.

Pukul 00.05 tengah malam. Ponsel Tiyas berbunyi. Tiyas yang sudah tidur terbangun dan melihat ponselnya. Wisnu.

"Halo Nu." Suara Tiyas masih mengantuk.

"Happy Birthday Dear."

"Oh, ya. Makasih sayang." Tiyas tersenyum dan mencoba mengumpulkan kesadarannya. Masih sambil berbaring berusaha mengingat tanggal di hari ini.

"Maaf aku ga bisa kesana, ga enak malem-malem nanti ditangkep satpam lagi."

Tiyas tertawa geli. "Ya ga perlu kesini Nu, ga perlu juga telpon malem-malem begini sebenernya. Nanti juga ketemu di sekolah."

"Sebagai pacar pertama kamu, aku harus melakukan semuanya dengan benar."

"Benar menurut siapa? Gini ya Wisnu, kan aku udah bilang pacaran kita yang efisien dan efektif aja. Jadi yang kayak begini ini ga perlu."

"Kalau harus efisien dan efektif namanya ga pacaran Sayang." Wisnu terkekeh diseberang sana. "Ya udah tidur lagi sana. Besok pagi ketemu langsung di sekolah aja ya. Pulangnya baru kita jalan. Kamu pikirin deh mau kemana."

"Enak aja udahan, ga bisa. Aku udah bangun nih." Tiyas berguling ke samping.

"Lha terus mau ngapain?"

"Kamu kesini aja, bobo sebelah aku biar bisa aku peluk-peluk. Itung-itung kado aku hari ini."

Wisnu berdehem grogi. Hanya membayangkan Tiyas mengenakan piyama dan berada ditempat tidur bersamanya membuat perutnya bergejolak.

"Sayaaang...kok diem. Kesini ya." Suara Tiyas lebih lembut dan manja dari biasanya.

"Tiyas, udah dulu ya. Udah malem." Wisnu berdehem sekali lagi. Entah kenapa tenggorokan Wisnu terasa kering mendengar suara Tiyas yang seperti itu.

"Kesini sebentaaar aja Nu...yaaa...pleasee. Katanya mau melakukan dengan baik dan benar." Tiyas masih bermanja-manja. Sebenarnya Tiyas sedang menahan geli dan membayangkan Wisnu yang wajahnya pasti sudah merah diseberang sana. Biar saja, ini hukuman buat Wisnu karena sudah membuatnya terjaga.

"Ti, aku cowok normal Ti. Kalau suara kamu terus begitu aku beneran nekat ke rumah kamu manjat genteng masuk lewat jendela lho."

"Ya ga apa-apa. Kan aku yang suruh. Jadi...kesini yaa Sayang." Tiyas tidak menghentikan aksi manjanya.

Jantung Wisnu mulai berdebar. Bayangan-bayangan Tiyas mulai menari-menari di kepalanya. Kamar Wisnu yang sebelumnya terasa dingin mulai menghangat sampai Wisnu harus menendang selimutnya. Mungkin bukan suhu kamarnya, mungkin ini suhu tubuhnya. 'Sial' rutuk Wisnu dalam hati. Lalu diamnya Wisnu pecah dengan suara Tiyas yang tertawa diseberang sana. Tawa Tiyas berderai-derai. Sadar sudah dikerjai Wisnu mencoba mengatur intonasi suaranya lagi.

"Tiii...ga lucu deh." Wisnu mengusap wajahnya dengan satu tangan.

"Maaf ya. Aku beneran ga tahan mau usilin kamu. Aku kan hari ini ulang tahun, jadi boleh dong." Tiyas masih tertawa.

Beberapa saat setelah tawa Tiyas berhenti, mereka menyudahi pembicaraan di telpon. Tapi pikiran Wisnu sudah terkunci dengan bayangan Tiyas. Telinganya sudah merekam suara lembut dan manja Tiyas malam itu. Efek yang Tiyas berikan membuat Wisnu tetap terjaga hingga pukul 3 pagi.

Paginya di sekolah.

 Tiyas melangkahkan kakinya ke kelas. Ia melihat penduduk kelas berkerumun di meja nya. Wajah Tiyas bingung dan bertanya-tanya. Lalu ia melihat apa yang sedang diributkan. Ada sebuah boneka Teddy Bear besar sekali. Besar sekali disini berarti seukuran tubuh anak 5 tahun. Juga ada buket bunga mawar dan buku seri Harry Potter terbaru. Kartunya bertuliskan. 'Happy Birthday dear Tiyas. I will never make you cry. Raka.' Wisnu yang baru saja tiba di kelas Tiyas juga melihat semuanya. 

Refleks Wisnu pergi ke kelasnya untuk mencari Raka. Wisnu seperti melihat bayangan Raka dan Tiyas bersama lagi di kepalanya. Kurang tidurnya semalam pun sangat tidak membantu. Emosi Wisnu mulai naik. Tiyas mengejarnya dari belakang. "Wisnu!! Wisnu!!" Tiyas menarik tangan Wisnu.

"Wisnu jangan, please. Biar aku yang ngomong sama Raka. Jangan ribut dan berantem lagi, aku ga tahan lihatnya." Tiyas menatap Wisnu yang masih emosi. "Please Nu, please?"

Wisnu menghela nafas berat. " Oke-oke. Tapi ini buat kamu Tiyas, bukan buat dia." Wisnu berlalu menuju kantin untuk mendinginkan kepala.






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro