Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 21 - Hujan

Cindy berinisiatif mengalihkan semua murid yang ingin pergi ke toilet belakang untuk menggunakan toilet di area depan sekolah. Sekarang ini Tiyas dan Danar sudah berada di dalam toilet belakang.

"Brengsek! Apa salah gue sama lo Nar? Bilang sama gue apa salah gue?" Tiyas sudah tidak perduli lagi dirinya yang lepas kendali. Ia berteriak dan memaki Danar.

"Tiyas maafin gue Tiyas. Astagfirullah, gue juga ga tahu gue kenapa Ti. Maafin gue."

"Danar brengsek, kenapa lo jahat sama gue Nar? Lo temen gue kan?"

Danar hanya menunduk pasrah tidak bisa mengucapkan apapun juga.

"BIlang apa salah gue Nar, bilang. Jangan cuma diem pura-pura baik tapi lo permaluin gue didepan semuanya. Bilang mau lo apa."

Danar berusaha mendekati Tiyas. "Ti..."

Refleks Tiyas menjauh. "Manusia munafik! Masih lebih bener Dara yang jahat tapi ga pura-pura baik kayak lo Nar." Tiyas tidak perduli kalau kata-katanya akan menyakiti Danar karena memang itu maksudnya.

"Gue murka karena ini lo Nar. Ini Danar Prasetya temen gue yang nusuk gue dari belakang." Tiyas masih menangis emosi. "Lo bukan temen gue lagi Nar. Lo bukan...lo ga pantes jadi temen gue." 

Perasaan Danar hancur melihat Tiyas seperti itu. Ia sudah tidak tahu harus bagaimana lagi.

Di luar toilet sudah ada kerumunan siswa yang penasaran karena mendengar pertengkaran di dalam toilet. Kabar berita Danar dan Tiyas sudah tersebar ke seantero sekolah. Raka dan Rani yang mendengar kabar itu langsung berlari menyusul Tiyas. Cindy menghalau Raka yang ingin menerobos masuk.

"Ka, jangan Ka. Jangan memperburuk situasi." Cindy, Rani dan Ferdi menarik lengan Raka. Tapi Raka tidak perduli. Seperti kesetanan ia masuk kedalam toilet.

Pemandangan Raka pertama adalah melihat Tiyas yang berdiri sambil menangis dengan Danar dihadapannya. Ia lalu teringat ketika Tiyas pergi dan sakit hati karena Wisnu. Emosinya yang sudah tersulut api makin seperti disiram bensin. Lalu tidak pakai basa-basi Raka menghantam pipi kanan Danar. Aji, Ferdi dan beberapa teman laki-laki lain berusaha memisahkan.

"Raka, udah Ka."

Raka tidak perduli. "Lo apain Tiyas Setan!!" Raka memukul Danar lagi.

Panik, refleks Tiyas juga berusaha memisahkan mereka. Sekalipun rasa sakit hatinya belum hilang pada Danar, Tiyas tetap membenci perkelahian. "Raka stop."

Sementara Danar sama sekali tidak membalas, ia hanya diam menerima Raka yang mengamuk dihadapannya. Bukan karena Danar tidak bisa melawan, tapi Danar merasa ia pantas mendapatkannya. Darah keluar dari hidung dan mulutnya. Raka masih dengan agresif berusaha mendekati Danar, sementara kawan-kawannya masih sibuk menahan tubuh Raka yang tergolong besar. Ketika Raka bisa meraih Danar, ia mencengkram kerah bajunya. 

"Jangan...pernah lagi deketin Tiyas atau sentuh seujung rambutnya. Jangan pernah berani atau gue habisin lo." Wajah Raka merah, tubuhnya dan suaranya sedikit bergetar. 

Lalu Pak Azzam guru agama dan Pak Budi guru BP datang karena ada seseorang yang melapor tentang perkelahian itu ke ruang guru. Raka, Tiyas dan Danar dipanggil masuk ke ruang BP. 

Seumur hidupnya Tiyas belum pernah melihat adegan baku hantam secara langsung. Duduk di ruang BP bersama Raka dan Danar, tubuh Tiyas masih bergetar. Tangisnya sudah berhenti, namun otaknya tidak bisa mencerna apapun. Pak Budi yang melihat Tiyas masih syok mengambilkan Tiyas minum dan meminta Tiyas langsung pulang setelah minum. Keluar dari ruangan BP, ia mendapati Cindy dan Rani menunggu di depan. Melihat Tiyas yang seperti kebingungan, dua sahabatnya memeluknya hangat membiarkan Tiyas menangis.

***

Sore menjelang malam itu hujan, Rani dan Cindy sudah pulang dari rumah Tiyas. Tiyas berada di kamarnya, diatas tempat tidur yang sudah acak-acakan. Sebelum pulang, sahabatnya memaksa Tiyas untuk mandi agar pikirannya lebih jernih. Baju seragamnya sudah ia ganti dengan sweater rajut putih hangat yang sedikit kebesaran dan celana pendek kesayangannya.   Setengah perasaannya hampa, seperti bingung harus merasakan yang mana. Sebagian lagi ia teringat dengan Wisnu. Semua pertanyaan yang berlarian di kepalanya juga tidak membantu, membuat dadanya terasa sesak. Tangis Tiyas sudah berhenti beberapa waktu yang lalu. Namun ketika ada sekelebat Wisnu di kepalanya, air matanya langsung turun lagi bertubi-tubi. 

Tiyas membuka sms dari Wisnu kemarin malam. Wisnu pamit ke Bandung seperti yang Rani bilang, tapi Wisnu berjanji sepulangnya dia ingin bertemu dengan Tiyas. Memperjelas situasi yang Tiyas buat sendiri. Sudah saatnya, begitu kata Wisnu dan Tiyas setuju. Jika Tiyas bisa bahkan ia sudah tidak mau menunggu hingga Wisnu pulang nanti. Ia mau Wisnu ada disini, sekarang.

Ponsel Tiyas berbunyi. Raka.

"Ti? Lo ga apa-apa kan? Gue boleh ke rumah?" Suara Raka disana sangat khawatir.

"Jangan Ka, jangan dulu. Tolong, gue mau sendiri dulu Ka. Please." Setengahnya Tiyas memohon karena Raka adalah seseorang yang biasanya tidak mau mengerti.

"Oke." Raka hanya menyahut pendek dan menyudahi telponnya.

Ada ketukan lembut di pintu kamarnya. "Assalamualaikum Ti." Suara Wisnu.

Tiyas yang sedang duduk di tempat tidur sambil memeluk lututnya tersentak kaget. Apa benar itu Wisnu? Atau cuma khayalannya? Ia menghapus titik-titik air mata dari wajahnya.

"Wa'alaikum salam, siapa?" Suara Tiyas dalam dan serak, tapi ia harus memastikan ia tidak berhalusinasi.

"Aku Ti, Wisnu. Boleh keluar sebentar?"

Ragu-ragu Tiyas mendekati pintu. Apa ia siap bertemu Wisnu? Kenapa Wisnu tiba-tiba ada disini? Tiyas membuka pintu kamarnya perlahan. Tubuh Wisnu yang tinggi menjulang di hadapannya. Kaus polo shirt birunya setengah basah seperti rambutnya. Mungkin karena hujan di luar. Wajah Wisnu menyiratkan banyak kekhawatiran dan matanya sedih.

"Ya Tuhan Ti, kamu ga apa-apa?" Wisnu sudah tidak perduli lagi. Ia menarik Tiyas ke pelukannya. Wisnu sudah siap jika Tiyas akan memberontak marah, karena siang ini ia tidak ada untuk Tiyas. Untuk kesekian kalinya Wisnu absen ketika Tiyas membutuhkan.   

Mengejutkannya Tiyas justru semakin erat memeluk Wisnu. Tiyas menangis lebih keras seperti mengeluarkan bebannya berbulan-bulan ini sambil menenggelamkan wajahnya di dada Wisnu yang bidang. Wisnu melingkarkan lengannya dipundak Tiyas dan mencium ujung kepalanya. 

"Maafin aku Ti, maafin aku yang selalu ga ada buat kamu. Maafin aku sayang." Wisnu mengulang-ngulang permintaan maafnya. Mata Wisnu pun basah karena emosi dalam dadanya yang meluap-luap. Perasaan bersalah pada Tiyas, khawatir yang teramat sangat, sedih melihat kondisi Tiyas saat ini dan rasa rindunya yang berusaha ia kendalikan beberapa bulan ini.

"Wisnu, jangan pergi lagi, jangan jauhin aku lagi." Tiyas masih menangis dalam pelukan Wisnu. Rasanya hangat dan melegakan.

"Ga akan, aku ga akan kemana-mana lagi."Wisnu mengusap rambut Tiyas. Ia membiarkan gadisnya itu meluapkan tangisnya. Setelah beberapa saat, tangis Tiyas berhenti. Tapi Tiyas belum melepaskan pelukannya. Tiyas takut Wisnu akan pergi lagi. Kepala Tiyas menenggadah menatap Wisnu yang sedang menatapnya juga. Wajah Tiyas yang sendu dan bibirnya yang merah karena banyak menangis membuat kontrol diri Wisnu hilang. Lalu Wisnu mencium lembut bibir Tiyas dengan satu tangan membingkai wajah Tiyas.

Perut Tiyas seperti geli. Dadanya kembali bergemuruh setelah sekian lama seperti mati. Tiyas tidak mau berhenti namun ia tahu ia harus berhenti. Kehilangan kepercayaan dari ibunya adalah hal yang Tiyas tidak inginkan. Akhirnya dengan berat hati Tiyas menyudahi. Tiyas menatap Wisnu dalam. 

"Kamu ga tahu betapa kangennya aku Ti..sampai rasanya aku bisa gila." Wisnu mendesah perlahan sambil menempelkan dagunya pada ujung kepala Tiyas dan memeluk gadisnya lagi.

"Kalau kangen kenapa ga bilang Nu? Kenapa ga kejar aku?" Mereka masih berpelukan.

"Aku ga yakin kamu mau aku deketin waktu itu Ti. Kamu marah, bener-bener marah sampai Rani bilang bahkan denger nama aku aja kamu ga mau. Aku bukan pemaksa dan aku ga mau kamu benar-benar lari dan hilang dari aku lagi seperti waktu di Bandung. Aku ga bisa ga lihat kamu sama sekali Ti. Jadi aku lihat kamu dari jauh, selalu lihat kamu."

Wisnu membimbing Tiyas duduk di sofa depan kamar. Hujan masih mengetuk daun jendela. Tiyas duduk disebelah Wisnu bersandar pada bahunya. Tangan Wisnu melingkari bahu Tiyas setengah memeluknya.

"Gimana perasaan kamu sekarang? Udah enakan?"

"Udah enakan. Lega, soalnya kamu disini." Tiyas berkata dan merasakan Wisnu mempererat rangkulannya.

"Danar...hhhh." Wisnu menghela nafasnya sebelum melanjutkan kalimatnya. "Aku ga tau apa yang ada dipikiran Danar."

"Jangan bahas Danar. Kamu ngerusak mood aku." Tiyas melanjutkan. "Kamu tahu darimana Nu?"

"Rani langsung telpon aku. Aku baru mau mulai latihan dan langsung minta ijin ke Bang Dony untuk pulang."

"Trus, Nusantara Satunya gimana? Kamu nanti dihukum lagi."

"Masih akan ada kesempatan lain dan kalau memang kondisinya aku harus tinggalin Nusantara Satu buat kamu, aku tinggalin Ti. Tapi aku yakin Bang Dony ngerti kok."

"Kirain cuma buat Nia aja." Kalimat itu meluncur begitu saja dan Tiyas langsung menyesal. Itu membuat Tiyas merasa menjadi pencemburu kelas berat dan Tiyas tidak suka itu.

"Sayang..." Wisnu menghela nafas gemas dan menatap gadis disampingnya.

"Jangan sayang-sayang aku. Karena kamu pasti mau cari alasan dan ada maunya." Tiyas mencebik kesal.

"Anindi Tiyas, kamu itu...." Wisnu menghela nafas sebelum melanjutkan."Keras kepala, ga percayaan sama aku, tukang ngambek, suka kabur lagi. Tapi manis juga, cantik banget kalau lagi marah, manja juga ternyata." Wisnu memberi jeda lagi. "Kamu itu, bikin aku setengah gila sama kelakuan kamu. Cuma kamu yang bikin aku jungkir balik begini"

Tiyas sedikit terkejut dengan respon Wisnu, tapi ia tersenyum.

"Jadi Anindi Tiyas, pacar aku yang menyebalkan. Kalau kamu minta jauh-jauhan lagi, aku ga akan mau. Aku kejar, iket kamu biar ga kemana-mana lagi."

"Kamu ga cemburu sama Raka?" Tiyas tidak bisa menahan rasa penasarannya. Tiyas tahu pasti pertanyaannya ini akan berpengaruh pada Wisnu. Tapi Tiyas harus tahu.

"Kamu inget ga perasaan kamu waktu Della adik kelas yang manis itu kasih bingkisan ke aku?"

Wajah Tiyas seketika muram. Wisnu menyadari perubahan itu, lalu berkata "Nah kayak begitu rasanya tapi dikali 10." Wisnu berbisik di telinga Tiyas. "Jadi, aku ga mau kamu deket-deket Raka lagi."

"Tapi Raka temen kita Nu."

"Temen kamu yang suka sama kamu Tiyas."

"Aku ga suka kamu berantem sama Raka Nu. Kalian sahabatan dan gimanapun juga dia baik sama aku."

"Karena dia suka sama kamu."

"Belum tentu Nu. Buktinya dia ga pernah ngomong apa-apa sama aku selama ini."

Wisnu berusaha menahan emosinya. Tangannya sudah meninggalkan pundak Tiyas. "Jadi kamu harap dia bilang sama kamu Ti?"

"Lho maksud aku ga begitu."

"Tiyas please stop. Kamu sadar ga sekarang ini kamu lagi minta aku berdamai sama laki-laki yang terang-terangan berusaha ambil kamu dari aku? Gimana kalau kamu yang di posisi aku Ti?"

"Tapi Wisnu..."

Wisnu sudah berdiri gusar. Ini topik yang dia benci. "Tiyas sabar aku ada batasnya. Sudah cukup atau aku pulang. Wisnu berbalik ingin pergi. Sebelum sampai tangga, Tiyas mengejar dan memeluknya dari belakang.

"Maaf. Aku cuma ga suka kalian bertengkar, apalagi ini semua gara-gara aku."

"Ti udah..."Wisnu berusaha melepaskan tangan Tiyas. Tiyas keras kepala tidak mau melepaskan.

"Katanya kamu ga mau pergi lagi. Jangan pergi Nu."

"Siapa bilang aku mau pergi. Aku mau balik badan terus jitak kamu." Gerutu Wisnu gemas.

"Tiyaaass Wisnuuu. Turun dulu makan malam sudah jam 8 lewat ini." Suara Ibu Tiyas dari bawah mengejutkan keduanya. Tiyas bersyukur ibunya tanpa sangaja memecahkan suasana. Mereka melepaskan diri dan segera turun ke bawah.










Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro