Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 20 - If you have a bad day

Tiyas berbaring di dalam kamarnya malam itu. Matanya masih tidak bisa terpejam. Ini bukan malam pertama tidurnya terganggu. Sudah berbulan-bulan lamanya ia mempunyai penyakit baru, insomnia. Terkadang Tiyas melihat Wisnu lewat didepan kelasnya, entah untuk apa. Karena letak kelas Tiyas yang agak terpencil, harusnya tidak ada apa-apa yang menarik setelah kelas  Tiyas. Tiyas juga merasa Wisnu memperhatikannya ketika sedang di kantin, atau koridor sekolah, tapi Tiyas tidak bisa menemukan dimana Wisnu pada saat itu. Jadi Tiyas berasumsi ini semua hanya bayangannya saja.

Ini semua, mungkin karena Wisnu. Bukan...tapi karena dirinya sendiri. Ia sangat ingin bertemu, tapi egonya berkata lain. Harga diri Tiyas terlalu tinggi untuk menarik balik ucapannya sendiri. Menurut Rani, ini harusnya sederhana. Tiyas cukup bicara pada Wisnu untuk mengakhiri semua yang ia minta. Tetapi Tiyas sendiri yang membuat ini menjadi rumit. Tiyas bahkan tidak mau mendengar apapun yang Rani berusaha katakan jika itu perihal Wisnu.

Praduga-praduganya pada Wisnu yang membuat semua lebih tidak tertahankan. Apa Wisnu memang sudah tidak cinta? Tidak ada rasa? Atau bahkan sudah lupa? Tiyas merasa hanya dia yang menderita

***

Pagi itu Raka sudah tiba di depan rumah Tiyas.

"Ka? Kok pagi-pagi udah kerumah?" Tiyas yang baru saja bersiap berangkat terkejut dengan kehadirannya.

"Jemput guru bahasa Inggris gue." Raka nyengir.

"Yah Ka, kan gue bisa berangkat sendiri. Udah lo jalan duluan aja." 

"Ti, gue udah dirumah lo sih Ti. Udahlah sekalian aja."

Tiyas sebenarnya enggan menuruti Raka, tapi langit memang sangat mendung pagi ini. Ulangan Biologi di jam pertama sudah menunggu.

"Gue ikut kali ini tapi besok-besok gue ga mau ya. Gue bisa jalan sendiri." Tiyas menyahut galak dan disambut dengan senyuman lebar Raka.

Di dalam mobil.

"Ka, gue ga nyaman dengan mobil lo ini deh." Tiyas melihat bagian dalam mobil sport Raka sambil memicingkan mata.

"Kenapa? Kurang bagus?"

"Hhhhh...Raka ini bukan mobil anak SMA.  Kalau lo udah punya penghasilan sendiri dan emang lo beli sendiri gue ga masalah deh. Tapi lo sendiri kan belum kerja Ka. Lagian mobil ini terlalu mencolok, gue ga suka."

Raka tertawa. "Oke oke, kalau lo ga suka banget dengan mobil ini besok gue ganti."

"Hah? Minta beliin lagi gitu? Janganlah, kesian banget bokap nyokap lo ngabisin duit banyak buat gonta ganti mobil begini."

"Ti, lo kalau marah-marah pagi-pagi gini jadi tambah cantik deh." Raka meledek Tiyas yang mendongkol sambil masih mengemudi.

"Ti, sabtu besok jalan yuk, ke toko buku. Lo kan belum gue beliin buku padahal udah ngajarin gue lebih dari sebulan."

"Ga usah Ka. Gue bisa beli sendiri. Udah ga usah dipikirin." Tiyas seperti bisa mencium gelagat Raka yang mulai aneh.

"Business is business Ti. Gue jemput jam 10 ya."

"Raka..."

"Tiyas...pokoknya gue jemput jam 10."

"Satu syarat. Baikan sama Wisnu." Tiyas menantang Raka tiba-tiba.

"Ga akan, ga akan gue maafin orang yang udah bikin lo sakit hati begitu." Tanpa tedeng aling-aling Raka menyahut.

"Raka, mungkin Wisnu ga bermaksud begitu Ka. Mungkin semuanya emang ga disengaja jadi bikin salah paham." Tiyas terkejut dengan kalimatnya sendiri. Seperti alam bawah sadarnya yang berbicara.

"Kalo gitu kenapa lo ga maafin dia Ti? Kenapa lo malah menjauh dari dia? Lo sendiri kan yang bilang dia ga sengaja? Ga bermaksud? Terus kemana dia sekarang?" Raka tidak bisa menutupi emosinya.

Wajah Tiyas seperti ditampar. Perkataan Raka ada benarnya. Kenapa ia seolah terjebak dengan perkataannya sendiri? Marahnya Raka mengingatkan betapa marahnya ia dulu pada Wisnu. Sadar akan keegoisannya sendiri, Tiyas mulai menitikkan air mata dan menahan sedu tangisnya. Tiyas merasa dirinya sangat bodoh dan egois.

Wajah Raka langsung berubah menyesal. Ia menyesal sudah bertengkar dengan Tiyas dan membuatnya menangis. Lebih parah lagi membuat Tiyas mengingat Wisnu. Orang yang sudah berbulan-bulan Raka coba singkirkan dari pikiran Tiyas.  

"Ti, maafin gue ya Ti." Mereka sudah sudah berada di pelataran parkir sekolah. Raka menggenggam tangan Tiyas yang dingin. "Gue ga ada maksud buat lo nangis begini."

Tiyas hanya diam tidak menyahut, ia sudah berhenti menangis. Tangannya masih dingin. Andai saja ini terjadi dulu, saat ia dan Wisnu belum bersama. Saat belum ada banyak Wisnu di kepalanya, mungkin ia akan hanyut terbawa perasaan dengan Raka. Tapi sungguh saat ini ia hanya ingin mencari Wisnu dan menghentikan segala permintaannya yang konyol. Karena sungguh seluruh pikirannya masih berputar di sekelilling Wisnu sekalipun mereka jauh, dan tidak sekalipun berhenti untuk istirahat barang sejenak. 

"Makasih ya Ka. Maaf gue ga bisa jadi guru bahasa inggris lo lagi." Tiyas tersenyum dan meninggalkan Raka terhenyak dalam mobilnya.

***

"Ran, Wisnu mana si Ran?" Tiyas datang ke kelas Rani saat jam istirahat.

"Tumben banget lo nanyain dia."

"Serius Ran, Wisnu mana ya kok gue ga liat?"

"Wisnu itu ijin hari ini soalnya besok dia tanding percobaan katanya, bareng Nusantara Satu."

"Kok lo tau?"

"Mangkanya punya hp itu dinyalain. Lo selalu gitu si, hp abis batere ga di charge. Wisnu semalem telpon gue nanyain elo. Dia bolak balik nelpon mau ngabarin tapi hp lo ga aktif, dia kerumah lo, lo lagi les padahal kemarin malem dia harus jalan. Coba nyalain tu hp, pasti ada sms Wisnu."

"Yah Ran, kan lo tau ke sekolah ga boleh bawa hp. Ya gue tinggal dirumah." Tiyas langsung berubah murung, menyalahkan dirinya sendiri karena kecerobohannya.

"Tapi Wisnu bener nyariin gue Ran?" Tiyas duduk di bangku sebelah Rani.

"Nih ya gue kasih tahu sama lo nih. Wisnu itu selalu nyariin lo Ti, tiap istirahat atau pulang sekolah. Tapi dia selalu liat Raka nempel terus ke elo, mangkanya dia jaga jarak akhirnya. Bukan karena dia ga sayang lagi sama lo, tapi karena dia ga mau semua jadi rame dan menghindari keributan sama Raka. Nanti lo malah jadi bingung dan sedih. Gitu katanya terakhir gue ngobrol sama dia." 

Tiyas hanya diam mendengarkan dengan seksama. Rani mengambil kesempatan ini untuk terus berbicara, menjelaskan kepada sahabatnya yang mungkin pintar urusan pelajaran namun sangat bodoh jika berhadapan dengan urusan percintaan.

"Hampir tiap hari Wisnu telpon gue, nanyain kondisi lo gimana. Lo sehat ga? Happy ga? Baru kemarin akhirnya gue bisa yakinin dia buat mulai lagi sama lo. Dia sebelumnya ragu karena dia takut lo tambah pergi menjauh kalau dia maksa kejar lo lagi. Intinya, lo harus stop deh semua kegilaan ini yang bikin lo jadi mendung terus tuh kayak cuaca di luar."

"Kenapa lo baru bilang Ran? Ya Tuhan, gue bego banget si Raaan." Tiyas menutupi wajahnya yang penuh dengan penyesalan.

"Ya karena tiap kali gue mau cerita tentang Wisnu lo udah sewot duluan. Lo itu defensif banget, ga mau denger dan berhenti cerita ke gue Ti. Padahal gue tahu lo sedih banget karena jauh-jauhan gini sama Wisnu kan?" Rani memberi jeda. "Gue tahu Wisnu bikin salah Ti. Tapi dia beneran sayang sama lo, bukan sama Nia. Gue juga sempet marah banget sama Wisnu, tapi kalo lo tahu mukanya gimana tiap liat lo dan Raka, haduh Ti. Dia stress berat sebenernya." 

"Raniiii..." Tiyas mulai menangis lagi. Kali ini telinganya baru bisa mendengar dengan benar tentang apa-apa yang tidak ia tahu dan tidak ia mau tahu sebelumnya. Sungguh sangat bodoh, sebelumnya ia menyangka Wisnu bahkan sudah tidak perduli lagi dengannya. Ternyata ia hanya berputar pada egonya sendiri

Melihat sahabatnya menangis, Rani pun tidak tega. Ia memeluk Tiyas. "Gini aja, kalau sabtu Wisnu belum pulang, kita susul dia ke Bandung ya. Gue dan Raymond yang anter. Gimana?"

Tiyas mengangguk sambil mengusap air matanya.

***

Sekembalinya Tiyas ke kelas siang itu kelasnya sudah diatur sedemikian rupa . Ada lima bangku berderet di depan menghadap ke arah setengah penduduk kelasnya. Tugas makalah agama islam harus diserahkan dalam bentuk presentasi berkelompok. Sebenarnya pikiran Tiyas masih kacau dan tidak fokus. Karena itu ketika kelompoknya dipanggil maju ke depan untuk membacakan hasil makalahnya, Tiyas menyerahkan pada teman-teman sekelompoknya yang lain untuk berbicara. Tiyas bahkan menempatkan dirinya di bangku paling pinggir yang letaknya dekat dengan pintu keluar masuk kelas.

"Ada pertanyaan?" Cindy menutup penjelasan makalahnya. Kelompok mereka adalah kelompok terakhir sebelum bel pulang sekolah mulai berdering.

"Gue mau tanya." Danar memecah keheningan kelas.

"Gue mau tanya sama Tiyas. Jadi Tiyas yang harus jawab." Suara Danar sedikit bergetar. Suasana kelas mendadak berubah menjadi lebih hening.

"Iya, ada apa Nar?" Tiyas mengubah posisi duduknya jadi lebih tegak dan menghadap Danar.

"Judul makalah lo apa Ti?"

Sekalipun heran dengan pertanyaan Danar, Tiyas tetap menjawab. "Makalah kelompok 5 judulnya Ciri-Ciri orang yang Beriman Nar." Suara Tiyas tenang.

Tiba-tiba Danar berdiri dari tempat duduknya terlihat jelas emosi di wajahnya. Aji memegang satu lengan Danar seperti hendak menahan Danar. Tiyas yang tidak mengerti masih memperhatikan.

"Sekarang gue tanya, apa itu orang yang beriman kalau kerjaannya pacaran sana sini? Atau apa itu orang beriman kalau habis rebut pacar orang terus pacarin sahabat mantan pacarnya sendiri?"

"Danar cukup!!" Mata Tiyas terbelalak kaget mendengar ucapan Danar. 

Tapi Danar belum mau berhenti. Tangannya menunjuk Tiyas seperti Tiyas seorang pendosa. "Apalagi tiap pulang centil-centilan sama cowok yang antri nganterin pulang. Kasih tahu gue, apa itu orang beriman?" Tubuh Danar pun bergetar, seperti sedang meledak dan meluapkan emosinya. Aji sobatnya sudah ikut berdiri menahan Danar untuk bicara lebih banyak lagi. Tidak ada satupun penduduk kelas yang sanggup bicara. Danar seperti mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan mereka selama ini tentang Tiyas.

Tiyas adalah gadis yang sangat berpengalaman di organisasi. Jadi ia tahu persis bagaimana tehnik debat dan mengontrol emosinya di depan banyak orang. Sekalipun sekujur tubuhnya tegang karena sangat marah saat ini, ia berhasil mengontrol intonasi suaranya.

Tiyas berdiri dari tempat duduknya, ia muak dengan semua prasangka-prasangka. "Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang sangat subjektif dan tidak relevan. Tapi saya akan jelaskan fakta pada Anda. Pertama, saya tidak pernah merebut pacar orang dan kedua, saya tidak pacaran dengan sahabat dari mantan saya. Saya bahkan belum punya mantan pacar, dia masih pacar saya. Silahkan tanya sendiri pada orangnya jika tidak percaya pada saya. Terakhir, pertanyaan buat Anda Danar. Apakah anda orang yang beriman ketika sanggup mempermalukan teman anda di depan banyak orang?" Tiyas pamit pergi keluar kelas karena sudah tidak bisa membendung air matanya lagi.

Danar seperti tersadar dari sisi buasnya. Ia duduk terhenyak merasa sangat malu atas perbuatannya. Lebih parahnya ini ia lakukan pada Tiyas gadis yang ia suka dalam diam. Refleks Danar menyusul Tiyas yang pergi ke arah kamar mandi.

"Danar, Bapak tunggu kamu di ruang BP." Pak Azzam berkata pada Danar saat Danar izin keluar kelas. Bel pulang pun berbunyi.

Tiyas menuju toilet sekolah sambil menangis karena sangat marah. Danar dan Cindy berlari dibelakangnya. Ia tidak tahu apa yang Danar pikir, kenapa Danar jahat sekali seperti itu. 

"Danar brengsek!!" Di dalam toilet perempuan Tiyas melampiaskan kekesalannya dengan berteriak. Sudah lama Tiyas  tidak perduli dengan prasangka buruk kawan-kawannya. Mereka hanya bisa bergunjing dan tidak tahu kebenarannya. Tapi yang membuat Tiyas sangat marah adalah perlakuan Danar. Danar teman baiknya berorganisasi. Danar yang sederhana, pintar dan berpikiran lebih dewasa daripada rata-rata kawannya yang lain. Setidaknya dulu ia beranggapan begitu.

Danar nekat masuk ke dalam toilet perempuan yang memang masih sepi karena bel baru saja berbunyi. Ia siap menghadapi konsekuensi apapun yang Tiyas berikan. Ia bahkan rela jika Tiyas membunuh dia atas perlakuan kejinya. Lalu ia dapati Tiyas yang berdiri di tengah ruangan kecil itu dengan wajah yang sangat murka.










Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro