Part 19 - English Lesson
Beberapa minggu berlalu. Tiyas berusaha tidak menghitung waktu. Tetapi dengan pensiunnya Tiyas dari OSIS dan ketiadaan Wisnu semuanya seperti berjalan sangat lambat. Sangat sangat lambat. Ia mencoba mensibukkan diri dengan les-les pelajaran yang dia ambil untuk mempersiapkan dirinya di ujian akhir nanti, namun itu tidak banyak membantu.
Semuanya tidak semudah yang Tiyas bayangkan. Penampilannya mungkin bisa dengan mudah Tiyas rubah, tapi perasaannya terhadap Wisnu tidak hilang begitu saja. Tiyas masih mencari Wisnu dengan matanya, dengan telinganya. Semua berita tentang Wisnu ia cermati, matanya tidak bisa berhenti mencari. Di kantin, di pojok favorit mereka, tempat mereka biasa makan, bahkan toko buku favoritnya. Yang lebih gila lagi terkadang Tiyas merasa ada Wisnu di rumahnya. Di depan TV, taman kecil di belakang rumah, di teras, ruang tamu. Sinting. Tiyas merasa ia sudah setengah gila.
Wisnu memberi banyak ruang untuk Tiyas, terlalu banyak. Persis seperti yang Tiyas minta. Di sekolah Wisnu hanya menyapanya sesekali. Wisnu bahkan sudah tidak mengikuti Tiyas diam-diam sepulang sekolah. Tiyas benar-benar tidak sadar dampak akibat permintaannya. Sudah ada terlalu banyak Wisnu dalam memorinya, jadi ia butuh waktu entah berapa lama untuk meredam semuanya.
Tiyas percaya dengan penjelasan Wisnu tentang Nia, bahkan dia juga mulai percaya bahwa ini semua hanya salah paham. Bahwa Wisnu dan dirinya berada di waktu dan tempat yang salah. Karena Tiyas pun melihat dengan matanya sendiri, bahwa tidak ada yang istimewa antara Wisnu dan Nia, atau Della si adik kelas yang manis itu atau beberapa cewek lain disekolahnya yang juga mengidolakan Wisnu. Wisnu tidak mengindahkan mereka.
Terkadang Tiyas menangis sendiri di kamar. Tapi kenapa ia tidak bahagia? Bukankah ini yang dia mau? Banyak pertanyaan tanpa jawaban yang menggantungi pikiran Tiyas hingga ia sering melamun.
"Ti...Ti, kok bengong siy." Poppy kawan les Inggrisnya menyentuh bahunya. "Kelas udah selesai Ti. Yuk cabut."
Mereka berjalan keluar kelas. Tiyas membaui wangi yang ia kenal. Raka. Ia berdiri di tempat parkir menunggunya. Ini sudah kali ke 3 Raka menjemputnya, biasanya Tiyas punya waktu untuk berbalik arah dan keluar dari pintu belakang. Tapi kali ini ia tidak bisa menghindar.
"Ka. Nunggu gue?"
"Iya. Masuk yuk, gue anter balik. Apa mau makan dulu? Masih jam 7 kan?"
"Pulang aja." Tiyas yang merasa tidak memiliki pilihan dan dengan risih masuk ke sedan sport Raka.
"Udah dua minggu. Gue punya salah apa sama lo Ti?" Raka langsung ke pokok permasalahannya.
"Gue emang sobatnya Wisnu Ti, tapi jangan gara-gara lo marah sama dia terus lo marah sama gue dong. Nggak professional namanya."
"Gue nggak marah sama lo Ka." Tiyas tersenyum. "Justru karena lo sahabatnya Wisnu, semuanya jadi lebih kompleks. Kalau gue tiba-tiba deket sama lo, habis gue deket sama Wisnu rasanya salah aja."
Raka kesal karena belum apa-apa Tiyas sudah menjauh darinya hanya karena predikatnya sebagai sahabat Wisnu. Bukan, mantan sahabat bahkan.
"Membaik nggak kalo gue bilang gue bukan sahabat Wisnu lagi?"
"Memburuk malah. Gue nggak suka kalian musuhan. Apapun masalahnya."
"Musuhannya gue sama Wisnu itu urusan gue, bukan urusan lo Ti." Sumbu Raka yang pendek terpancing.
"Okey. Sorry."
"Kita makan dulu ya, gue laper." Raka tiba-tiba membelokkan mobilnya ke salah satu restoran cepat saji di kiri jalan. Tiyas hanya menghela nafas. Hal ini sangat Raka.
Mereka sudah berada di dalam restoran. "Ti, dulu inget nggak, gue pernah minta ajarin lo bahasa Inggris?"
"Inget, kenapa emang?"
"Mau ya ajarin gue...please. Sebentar lagi kan kita kuliah nih, gue kayaknya bakalan pergi Ti ke luar negeri buat kuliah. Bahasa Inggris gue pas-pasan. Ajarin ya."
"Lo mau kuliah dimana? Seru banget kuliah di luar." Tiyas mulai bersemangat.
"Belum mutusin gue. Lo mau ikut?"
"Hah? Ya mana bisa Ka. Mana ada biaya gue. Ini aja gue lagi usahain beasiswa kok."
Raka senang bisa menemukan topik yang aman selain Wisnu. "Kenapa ga bisa? Lo gue daftarin nih di program beasiswa kantor bokap gue, terus test, lulus, lo kuliah deh di luar negeri."
"Beneran bisa begitu Ka?" Mata Tiyas berpendar gembira. Namun hanya sesaat. "Yah Ka, gue nggak tega ninggalin Ibu sendirian disini."
"Kuliah di luar itu nggak lama Ti. Nggak kayak disini. Lagian Ibu bisa nyusul deh kalo kangen sama anaknya. Nanti gue yang anter."
"Nggak ah, nggak enak sama lo. Berapa banyak biaya tuh."
"Nggak enak kasih kucing sana." Raka dan Tiyas tertawa. "Gini deh satu-satu aja, lo ajarin gue Inggris dulu. Abis itu gue daftarin lo buat beasiswa di kantor bokap."
"Ka, lo bisa kan les Inggris. EF, panggil private tutor. Ngapaian mesti les sama gue. Gue aja masih les."
"Nggak mau, gue mau nya lo yang ngajarin. Belajar di kelas itu bosen Ti." Raka memberi jeda. Ia memikirkan cara lain untuk membujuk Tiyas agar setuju dengan idenya. "Gini deh, lo bantuin aja tugas Inggris gue tapi ngerjainnya bareng. Jadi belajar bersama gitu. Gimana?"
"Emang susah ya bilang nggak sama lo." Tiyas menghela nafas disambut dengan tawa Raka. Akhirnya ia akan punya waktu bersama Tiyas.
***
Raka memulai hari nya dengan bertandang ke kelas Tiyas, pagi-pagi. Ia beralasan bahwa ada tugas bahasa inggris yang harus segera dikumpulkan di hari itu. Tiyas yang melihat Raka datang sedikit terkejut. Hampir lupa bahwa ia sendiri yang menyanggupi sesi belajar bersama itu.
"Ti, tugas Inggris nih dikumpulin jam 11."
"Raka gimana siy, ini udah setengah tujuh lho. Mana bisa dadakan gini. Kerjain sendiri deh." Tiyas bersungut kesal.
"Kan perjanjiannya..."
"Iya gue tahu, tapi ga termasuk dadakan gini nih. Masa belajar bareng jam setengah tujuh pagi."
"Gini-gini deh, gue kerjain disini abis itu lo periksa ya." Raka mengeluarkan senyum termanisnya.
"Hadeeeehhh, Rakaaa. Ya udah cepetan." Tiyas gemas melihat Raka yang sangat keras kepala.
Mereka asyik berdiskusi tanpa menyadari teman-teman kelas yang lain memperhatikan diam-diam. Kapan lagi playboy sekelas Raka main ke kelas IPA-1 yang penduduknya terkenal karena ketidak terkenalannya. Mereka pun menduga-duga ada apa dengan Tiyas dan Raka, sehubungan dengan status hubungan Tiyas dan Wisnu yang tidak jelas.
Danar mendengus kesal melihat pemandangan pagi itu. Aji sobatnya hanya menggeleng tidak mengerti.
"Gue kantin dulu sarapan." Masih dengan tas dibahunya Danar melengos pergi ke kantin.
"Woi, sejak kapan lo sarapan." Aji menyusul Danar. "Kenapa si lo? Pagi-pagi udah uring-uringan?"
"Males aja ada yang centil-centilan di kelas pagi-pagi." Danar duduk di kantin.
"Tiyas maksud lo?" Danar tidak menjawab, Aji hanya menggelengkan kepalanya. "Sejak kapan siy ada yang centil-centilan lo rese gitu? Lagian mereka kayaknya belajar bareng deh bukan pacaran. Lagian kalo pacaran juga kenapa?"
"Males aja liatnya."
"Males liat karena Tiyas, kalau Vina atau yang lainnya pacaran di kelas ga apa-apa?"
"Nih ya, kita tuh udah kelas tiga Ji...kelas 3 SMA. Saatnya serius buat belajar, apalagi kita itu kelas IPA-1. Kelas unggulan. Penduduknya harusnya fokus belajar. Bukan malah pacaran."
"Heh, ga ada hubungannya. Biarin aja sih Nar si Tiyas mau sama siapa. Lo tuh berubah jadi aneh deh kalau udah ngomongin Tiyas." Aji tidak mau mulai menebak-nebak perasaan sahabatnya. Danar itu manusia unik. Saking uniknya waktu ada adik kelasnya yang menyatakan cinta, oleh Danar malah diajak ke pengajian anak rohis di sekolahnya. Konyolkan. Jadi Aji yakin kalau ini semua bukan karena Danar suka pada Tiyas atau apapun itu.
***
Seperti yang Tiyas duga kebiasaan Raka yang mampir ke kelas Tiyas frekuensinya menjadi lebih sering. Awalnya Tiyas tidak keberatan, tapi lama ke lamaan hal itu menganggu juga. Belum lagi menanggapi sikap Danar tetangga sebelahnya yang sinis luar biasa setiap Raka menghampiri. Sebenarnya Tiyas akan cuek-cuek saja jika bukan karena perasaannya yang masih sama kepada Wisnu. Tapi masalah Raka menjadi lebih pelik karena perasaan Tiyas ke Wisnu yang belum berubah.
"Aduh." Karena melamun Tiyas tidak sengaja menabrak laki-laki dihadapannya. Mereka berpapasan ketika Tiyas keluar dari toilet menuju ke kantin bersama Rani.
"Sorry Ti, aku nggak sengaja." Wisnu berujar sambil menatap Tiyas.
Tiyas pun kelabakan. Ini kali pertama mereka berhadapan setelah lebih dari 1 bulan lamanya. Jantungnya seperti terjun bebas meninggalkan tubuhnya. Wisnu tersenyum sopan, yang sangat tidak membantu kondisi Tiyas yang sudah hampir kehabisan nafas.
"Iya nggak apa-apa kok."
"Iya nih si Tiyas ngelamun mulu Nu. Mikirin lo kali." Rani menyahut tanpa tedeng aling-aling. Membuat muka Tiyas merah semerah jambu yang ada di kebun belakang sekolah.
"Naar, Danaar." Refleks Tiyas memanggil Danar yang berada di ujung koridor. "Sorry ya, ada urusan sama Danar sebentar." Tiyas berlari pergi meninggalkan Rani yang masih bersama Wisnu didepan toilet.
"Nu, lo gimana siy Nu sama Tiyas?" Rani bertanya karena sangat khawatir dengan kondisi sahabatnya.
"Gue diminta time-up sama Tiyas, kan lo udah tahu ceritanya."
"Gue udah tahu, tapi yang gue ga tahu sampai kapan lo mau biarin Tiyas begini? Lo tau juga kan Raka ngejar-ngejar Tiyas? Lo beneran rela Tiyas sama Raka?"
"Ya nggak akan rela lah Ran. Pertanyaannya mesti banget ya dijawab?" Wisnu kesal.
"Jadi kenapa lo diem aja Nu? Gue lebih suka lo yang sama Tiyas daripada Raka. Raka itu...mmm...gimana ya. Dominan banget, belum lagi urusan sama fans nya. Kemarin Dara nyamperin Tiyas lagi ngajakin ribut. Padahal yang ngejar mah Raka, Tiyas yang sengsara."
Wisnu diam mendengarkan Rani. Fakta-fakta yang sebenarnya ia sudah tahu.
"Tiyas ga baik-baik aja Nu. Tiyas itu lebih suka ngelamun sekarang, kadang-kadang mukanya kayak sedih banget. Tapi ga mau cerita sama gue. Kalau emang lo udah ga sayang Tiyas lagi, ya udah Nu. Tapi harus jelas dulu nih."
Wisnu menarik Rani ke tempat yang lebih sepi dari lalu lalang orang.
"Ran, ga mungkin gue ga sayang Tiyas lagi. Dari pertama gue ga setuju buat putus sama Tiyas, tapi gue akhirnya setuju kita istirahat dulu. Itu pun karena dia yang maksa. Jadi maksud gue sekarang gue kasih Tiyas waktu, buat bener-bener yakin kalu dia bisa mulai lagi sama gue. Lo tau sobat lo itu keras kepala kan. Kalau gue langsung kejar dia membabi buta, yang ada dia malah pergi menjauh Ran. Dan gue ga mau begitu. Gue ga mau kehilangan Tiyas lagi."
Rani mencoba mencerna perkataan Wisnu.
"Menurut lo gue ga tersiksa ya ngeliat Tiyas begitu? Atau setiap kali gue lewat kelas Tiyas pemandangannya selalu ada Raka sobat gue tercinta itu di meja nya? Tapi kalau gue dateng tiba-tiba marah dan ngajak ribut Raka, gimana perasaannya Tiyas Ran? Gue ga mau dia jadi tertekan seolah dia harus millih siapa dari siapa. Lo tahu juga kan Tiyas itu terkadang terlalu mikirin perasaan orang lain daripada perasaannya sendiri." Wisnu memberi jeda.
"Jadi gue mau Tiyas kepalanya cukup dingin untuk tahu kalau dia benar-benar bisa kasih gue kesempatan lagi. Rani lo paham kan maksud gue?" Wisnu masih menekan suaranya.
"Kalian tu beneran deh ribet banget pacaran aja. Tiyas super keras kepala masih aja jauhin lo. Lo juga gitu, ngasih jarak padahal udah tahu Tiyasnya aja udah mau pingsan menderita gara-gara lo." Rani menyahut galak.
"Gini deh, gue ngerti apa maksud lo. Tapi saran gue lo ga bisa lama-lama begini. Tiyas bisa salah ngerti Nu. Resikonya tanggung sendiri kalau udah begitu."
"Gue paham. Buat sekarang, jagain Tiyas dulu buat gue ya Ran."
"Nggak mau, jagain sendiri kalau emang sayang. Emang gue baby sitter Tiyas apa." Rani berlalu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro