Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 18 - Let's take a break

Hari pertama sekolah.

Wisnu dan Raka sudah tidak bertegur sapa. Mereka tidak berhasil menemukan Tiyas, jadi mereka sangat berharap bisa bertemu Tiyas di sekolah. Tiyas berhasil masuk ke kelas IPA-1, sementara Wisnu dan Raka entah kenapa bisa berada di kelas IPS yang sama. Sementara Dimas dan Ferdi berada di kelas IPS yang lain. Satu kelas bersama mantan sahabatnya adalah hal terakhir yang mereka harapkan.

"Tiyaas?? Ya ampun luar biasa. Abis nyalon lo yah?" Rani sudah berisik pagi-pagi karena heran dengan penampilan Tiyas yang baru. "Gila Ti, kalau bukan sobat lo gue udah ga ngenalin deh."

"Ssstt...diem ah malu gue." Tiyas risih dipandang oleh Rani dari atas sampai bawah. Tiyas sengaja berangkat pagi-pagi sekali agar tidak menarik perhatian dan saat ini ia sudah berada di bangku kelasnya yang baru.

Kemarin sepulangnya dari salon bersama Ibu ia pun terkejut dengan penampilannya yang baru. Rambutnya yang panjang membosankan dibentuk layer panjang. Tampak wangi dan berbentuk sempurna karena memang baru saja keluar dari salon. Ibunya memaksanya untuk ikut perawatan seluruh tubuh. Facial, lulur, menicure dan pedicure, bulu-bulu alisnya pun dirapihkan. Dulu Tiyas pasti akan menolak mentah-mentah jika Ibunya menawarkan hal serupa, namun kali ini ia butuh sesuatu yang baru. Sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya dari perasaannya yang masih berantakan. Ibu bahkan berhasil mengganti ransel butut kesayangannya dengan ransel yang lebih bergaya, sepatu, baju seragam baru.

Keesokan paginya ketika ia akan berangkat dan menatap dirinya sendiri di cermin ia pun terheran-heran. Ia masih Tiyas yang sama, tapi bayangan di hadapannya adalah seseorang yang berbeda. Seseorang yang lebih segar. Sekalipun mata Tiyas tidak bisa berbohong, ia masih sangat sedih dan sakit hati. Lalu Tiyas memutuskan untuk berangkat lebih awal. Menghindari tatapan kawan-kawannya yang pasti sadar dengan perubahannya.

"Jadi kemarin gimana Ti? Lo kemana aja? Gue worry tahu." Rani duduk di bangku kelas IPA-1 sebelah Tiyas.

"Udah, kan gue udah masuk juga sehat-sehat aja."

"Gue seneng deh lihat lo begini Ti. Lebih fresh dan semangat. Cantik banget malah. Gue pikir lo masih bermuram durja." Rani menggelayut manja di lengan Tiyas. "Ti, jadi gimana Wisnu?"

"Nggak gimana-gimana." Wisnu tiba-tiba duduk dihadapan Tiyas.

Satu yang pasti Tiyas mungkin siap menghadapi hari pertama di sekolah, namun ia ternyata belum siap menghadapi Wisnu. Wajahnya langsung berubah muram, jantungnya bekerja lebih cepat dari biasanya, bahasa tubuhnya mengisyaratkan ia memasang benteng pertahanan yang tinggi.

"Ti, gue balik ke kelas dulu ya." Rani mengerti dan ingin segera pergi. Namun Tiyas menahannya.

"Ga perlu Ran. Ga perlu kemana-mana. Lo yang ada duluan disini kan."

Pagi itu kelas baru Tiyas masih setengah penuh.

Wisnu duduk di bangku depan Tiyas. Ia menatap gadisnya dalam-dalam. Tiyas pun duduk sambil melipat tangannya melakukan hal yang sama, menatap Wisnu dalam-dalam. Untuk Wisnu Tiyas berbeda hari ini. Tiyas selalu cantik dimatanya, tapi hari ini Tiyas luar biasa. Rambutnya dan penampilannya berubah. Hanya matanya yang jelas sekali tampak terluka, menatap mata Wisnu dengan berani. Berbeda sekali dengan pertengkaran pertamanya. Hari ini Tiyas terlihat sedikit menakutkan, atau mungkin karena Wisnu tahu ia bersalah.

"Tiyas, aku berhak didengarkan. Kita harus bicara."

"Pulang sekolah, jam 3 di kafe dekat toko buku." Tiyas yakin Wisnu tahu tempat yang dimaksudnya.

"Ti, aku minta maaf..."

Sebelum Wisnu sempat melanjutkan, Tiyas mengulangi kalimat yang sama. "Pulang sekolah, jam 3 di kafe dekat toko buku. Nanti atau tidak sama sekali?" Wajah TIyas mengeras. Wisnu pun gentar. Ia tidak pernah melihat gadisnya semarah itu, bukan marah sepertinya murka.

Wisnu keluar dari kelas Tiyas menuju kelasnya, ia berpapasan dengan Raka. "Lo tahu, gue ga akan ngalah sama lo kali ini Ka. Ga akan pernah."

"Dan lo tahu, gue selalu dapetin apa yang gue mau. Selalu Wisnu." Raka berdiri di luar kelas Tiyas, memperhatikan Tiyas dari jauh dan berpuas diri mengagumi penampilan Tiyas yang baru.

Sepulang sekolah, Dimas menyapa Wisnu. Mereka berada di parkiran motor. Wisnu ingin pergi ke kafe tempat ia akan bertemu Tiyas.

"Kereeeen Tiyas kereeeen. Gue pikir dia bakalan sedih menangis membabi buta hari ini gara-gara lo Nu. Ternyata, sinting bisa cakep begitu dia. Cewek kalo lagi dendam kesumat emang bahaya yah." Dimas berujar tanpa memperhatikan ekspresi Wisnu.

"Rese lo, jangan ganggu-ganggu cewek gue. Ketularan Raka ya?" 

Dimas tertawa. "Ya nggak lah. Gila kali gue mau bertikai sama lo berdua. Kalah level gue. Ini udah terlanjur begini nih, udah terlanjur lo berdua berperang dan ga bisa gue cegah lagi. Sekarang gue mau jadi Switzerland aja, negara netral kalau bisa mendamaikan kedua negara yang berperang." Dimas cengengesan. "Tapi cewek lo bahaya Nu. Itu kalo laki SMA 1 tahu dia putus dari lo, gawat deh. Percaya gue saingan lo bukan cuma Raka. Masalahnya dulu Tiyas itu biasa aja tampangnya, tapi pinter. Nah sekarang, masya allah urut dada gue. Dia itu jadi cantik dan gahar banget, berkarisma gimana gitu lah pokoknya. Beda banget aja."

"Eh jadi lo doain gue putus sama Tiyas. Kunyuk dasar lo!" Wisnu berujar disambut derai tawa Dimas.

"Santai Mas Bro. Kan gue cuma ngingetin lo. Udah sana jalan. Gue doain yang terbaik deh. Gue bingung abisnya mau doain siapa. Semuanya temen gue."

***

Kafe kecil itu tempat favorit Tiyas sejak kelas satu. Bukan hanya karena letaknya berdekatan dengan toko buku kesayangannya, tapi juga karena bangunannya yang tidak terlalu besar, banyak sofa yang nyaman, waffle nya yang enak dan tidak terlalu ramai pengunjung. Bang Andra si pemilik kafe juga sudah menjadi sahabatnya sejak lama. Terkadang ia kesini dengan Wisnu, dulu.

Tiyas sampai lebih dulu diantar oleh Rani dan Raymond. Mereka duduk agak jauh menjaga privasi Tiyas dan Wisnu yang ingin menyelesaikan masalah. Tempat duduk yang Tiyas pilih dekat dengan taman kecil dengan kolam air mancur. Ia tahu tidak ada yang bisa menenangkan suasana hatinya, tapi setidaknya ia berusaha memilih tempat yang bisa membuatnya berpikir dengan jernih.

Wisnu datang dan duduk di hadapan Tiyas. Jantung Tiyas masih berdetak cepat ketika melihat Wisnu. Tubuh Wisnu lebih prima, mungkin karena latihannya di Bandung. Wajah laki-laki favoritnya itu muram seperti sedang memikirkan sesuatu yang sangat berat. Andai Wisnu tahu bahwa diantara semua amarahnya Tiyas juga sangat rindu. Sangat sangat rindu sampai malam sebelumnya ia menangis memikirkan Wisnu.

"Kita mulai dari mana?" Wisnu tidak mau membuang kesempatannya. Ia ingin segera berbaikan dan memeluk Tiyas lama-lama. Sudah dua minggu ia tidak bertemu Tiyas dan dengan aura Tiyas yang mempesona seperti hari ini, semuanya menjadi lebih tidak tertahankan.

"Silahkan bicara." Nada suara Tiyas resmi.

Wisnu mulai menjelaskan kejadian sesungguhnya. Persis seperti apa yang ia sampaikan ke Rani di rumah sakit. Ia berharap Tiyas mengerti karena sesungguhnya memang tidak ada apa-apa antara dia dan Nia.

"Jadi kamu berpikir aku marah hanya karena Nia?" Nada Tiyas dingin.

"Ti, aku paham kamu juga marah karena aku ingkar janji, aku terlalu sibuk disana. Tapi aku betul-betul latihan Tiyas. Aku datang kesana bukan untuk main-main."

"Cukup masuk akal." Tiyas tersenyum sinis dan memberi jeda sebelum melanjutkan. "Tapi Wisnu, itu tidak cukup buat aku mulai lagi dengan kamu. Sekarang, aku tahu apa skala prioritas kamu. Basket, Nia dan Aku. Basket, aku bisa paham. Prioritas nomer satu aku pun sekolah dan organisasi, bukan kamu. Tapi, nggak akan ada jaminan kapan Nia kumat lagi dan kamu bisa pergi seenaknya seperti kemarin."

"Tiyas, aku serius. Aku minta maaf, aku salah. Kamu mau aku gimana? Aku nggak akan dekat-dekat Nia lagi."

"Itu juga kamu salah. Kita masih SMA Wisnu, berapa banyak cewek baru nanti yang kamu bakalan ketemu. Aku nggak bisa larang kamu untuk nggak ketemu seluruh perempuan di dunia ini. Masalahnya kamu ingkar sama aku. Kamu nggak bilang, kamu nggak jujur, kamu nggak cerita. Jadi aku ini siapa kamu Nu?"

Tiyas melanjutkan. Berusaha menekan suaranya dalam-dalam. "Dari awal aku sudah bilang, aku ga butuh antar jemput atau dimanja-manja. Aku bukan cewek seperti itu. Apa yang kamu nggak tahu dari aku Nu? Semuanya kamu tahu karena aku selalu cerita. Aku mau kamu jadi orang pertama yang tahu. Sedangkan kamu jarang sekali cerita dengan dalih kamu nggak mau bikin aku khawatir. Tapi apa? Kamu cerita ke cewek lain."

Wisnu hanya diam. Apa yang Tiyas jabarkan benar adanya. Saat ini ia tidak punya dalih apapun untuk membenarkan sikapnya. Otaknya mulai merancang strategi baru, untuk memenangkan hati gadis dihadapannya ini.

"Wisnu, aku pikir kamu beda. Aku pikir kamu paham maksud aku." Tiyas menghela nafas. Ia benci harus mengatakan ini. "Jadi, aku mau kita berhenti. Sampai disini."

"Nggak, aku nggak bisa berhenti. Kamu ga adil karena nggak kasih aku kesempatan untuk betulin semuanya." Wisnu tahu jika ia mulai memohon Tiyas malah akan lari darinya. Jadi ia menegaskan nada bicaranya.

"Aku capek Nu, dengan semuanya. Semuanya terlalu cepat buat aku. Kamu datang dengan Nia, semua gosip-gosip itu, lalu aku yang mau mencoba, lalu perubahan-perubahan emosi aku, kamu yang menjauh dan sekarang....kita begini." Tiyas mencoba merunut semuanya. Suaranya sudah kembali normal.

Tiyas melanjutkan. "Aku pingin istirahat, fokus selesaikan sekolah dan masuk ke universitas impian aku...dan aku mau kamu juga begitu."

Wisnu tidak menyahut, matanya menjadi sangat sedih.

"Kalau ingatan aku benar, kamu juga akan mulai sibuk dengan Nusantara Satu, iya kan? Test masuk, pendaftaran. Mungkin akan ada beberapa pertandingan yang nantinya kamu ikut. Aku akan selalu dukung kamu Nu, aku akan ada di pinggir lapangan semangatin kamu. Tapi aku capek dengan hubungan kita."

Untuk beberapa saat, mereka sama-sama tidak berbicara.

"Anindi Tiyas, do you love me?" Ia menatap Tiyas dalam-dalam. Ini senjata terakhir Wisnu. Jika ini tidak berhasil, maka ia sudah tidak punya apa-apa lagi.

"Do I have to say that ?"

"Itu yang selalu aku pingin tahu."

Setelah beberapa saat menimbang, Tiyas berkata. "I wasn't before. But Yes, I do love you." Tiyas menghela lega, tatapannya pada Wisnu melembut. Mengakui perasaannya ke Wisnu ternyata lebih melegakan daripada yang ia duga.

Wajah Wisnu berubah. Ada perasaan bahagia karena perkataan Tiyas. "Kalau gitu aku setuju. Setuju kita istirahat dulu. Aku paham kamu capek Ti, tapi kamu juga harus paham kalau aku berhak diberi kesempatan untuk betulin semua salah aku ke kamu."

"Tapi Nu..."

"Kamu bisa minta apa saja Ti, apa saja. Asal jangan minta aku tinggalin kamu. Kalau dulu aku bisa buat kamu jatuh cinta, jadi mulai sekarang aku akan buat kamu jatuh cinta lagi sama aku."

"Kenapa jadi susah begini siy Nu. Kenapa kamu nggak cari aja cewek lain."

"Kalau buat kamu semudah itu. Silahkan saja. Tapi aku nggak akan lari kemana-mana." Wisnu memberi jeda. "Aku sudah selesai. Aku pamit." Wisnu berdiri dan melangkah pergi. Ia tidak mau Tiyas berubah pikiran lagi. Sudah cukup ia mendengar dan mengerti apa mau Tiyas. Tapi demi Tuhan Wisnu tidak akan mau menuruti. Setidaknya sampai ia akhirnya memutuskan untuk berhenti mencoba.

Tiyas tertegun menatap punggung Wisnu. Wisnu berbeda, lebih percaya diri dan lebih susah untuk ditaklukan. Bukan Wisnu yang selalu akan menurut apa yang Tiyas minta. Tiyas merasa lebih tertantang. Dalam hatinya ia juga merasa bahagia, perasaan Wisnu masih sama. Andai saja Wisnu tidak pergi, tidak menjauh dari Tiyas. Mungkin mereka akan baik-baik saja dan Tiyas tidak merasa menderita seperti ini. 

Seperginya Wisnu Tiyas mulai menitikkan air mata lagi. Tiyas rindu dan sangat ingin berkata...bahwa ada serangga di rambutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro