Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 16 - This means War

Senin pagi Tiyas keluar dari rumah sakit. Seperti dugaannya, Raka sudah ada di depan pintu kamar bersiap membantunya berberes dan membawa barang.

"Bunganya tinggal aja disini Ti. Biar buat suster-suster disini. Kalau dibawa malah repot."

"Oh oke."

"Terimakasih lho Raka, tante terbantu sekali. Jadi ada yang gantian tunggu Tiyas disini. Adeknya masih di Bandung belum mau balik ke Jakarta." Tante Lena tersenyum tulus pada Raka.

"Nggak apa-apa Tante. Pas banget lagi liburan, jadi Raka bisa bantu."

Mereka diantar Raka sampai di rumah. Begitu Tiyas masuk ke kamarnya, sudah ada 2 buket bunga baru dan balon hias bertuliskan 'Welcome Home' dari Raka. Tiyas hanya memandangi hadiah-hadiah itu. Tidak merasakan apapun.

Malamnya Tiyas berusaha menghubungi Wisnu. Ingin memberi kabar bahwa ia sudah pulang. Sebelum Tiyas sempat memijit nomernya, ponsel Tiyas berbunyi. Tiyas tersenyum lebar menyangka Wisnu menghubunginya.

"Halo Ti." Suara Raka diseberang sana.

"Ya Ka?"

"Besok udah mulai masuk belum les Inggrisnya?"

"Udah. Gue besok les kok. Kenapa emang?"

"Gue jemput jam 7 berarti ya."

"Nggak perlu Ka. Gue bisa pulang sendiri kok."

"Gue nggak nanya Ti. Cuma mau kasih tahu lo aja gue jemput lo."

Tiyas memijit kepalanya bingung. "Raka, kalau kayak gini gue jadi ga enak lho Ka sama Wisnu." Intonasi Tiyas diturunkan dan lebih perlahan. Khawatir Raka tersinggung.

"Tiyas, ga usah GR. Lo itu abis sakit, jam 7 itu udah malem. Gue ga pingin temen gue sakit lagi. Ngerepotin." Raka berkelakar. "Lagian ga usah khawatir sama Wisnu, dia pasti ngerti gue cuma mau jagain pacarnya."...'yang dia ga bisa jagain sendiri.' Kalimat terakhir hanya ada di kepala Raka.

Tahu bahwa Raka tidak bisa dibantah, Tiyas menyudahi telponnya. Ia kembali berusaha menghubungi Wisnu dan disambut nada sambung panjang yang berati telponnya tidak terangkat. 'Satu kali lagi Ti, satuu kali lagi. Kalau masih nggak diangkat, sudah cukup. Tidak perlu telpon Wisnu lagi.' Tiyas berujar dalam hati. Telpon keduanya, bahkan disambut suara mesin yang berarti ponsel Wisnu mati tiba-tiba.

'Wisnu, kamu kok ga telpon si Nuuu.' Tiyas memeluk bantalnya dan tertidur.

***

Kamis malam akhirnya pacarnya itu menghubungi. Suara Wisnu terdengar sangat lelah membuat Tiyas khawatir. Di penghujung telpon Tiyas harus kecewa lagi. Wisnu tidak pulang lagi. Kali ini karena ada jadwal percobaan pertandingan dengan klub basket lainnya di Bandung.

Cukup, sudah cukup Tiyas menunggu. Ia menghubungi Rani di Jumat malam.

"Ran, besok anterin gue ke Bandung ya, ajak Raymond. Ya Ran yaaa...pleaseee."

"Assiiiikkk liburan ke Bandung." Sahabatnya itu langsung setuju.

"Besok anter gue ke RS dulu kontrol ya Ran jam 10an. Abis itu kita langsung jalan. Minggu atau Senin pulang terserah deh. Kita nginep rumah Om Surya aja di Lembang."

"Oke Boss."

***

Rumah Sakit Sabtu pagi itu masih cukup lengang. Biasanya jam sibuknya dimulai jam 12 siang. Tiyas hafal setelah menghabiskan satu minggu disana. Setelah daftar dan menyerahkan berkas ke suster jaga, ia memutuskan pergi ke kantin. Dokter Miko, dokter internist yang merawatnya seminggu yang lalu akan terlambat karena sedang tindakan, jadi ia punya banyak waktu. Rani akan menjemputnya jam 11.30 siang, selesai dari dokter. Ponselnya berbunyi.

"Ti." Suara Rani diseberang sana. "Nia dirawat Ti."

"Hah? Kok bisa?"

"Percobaan bunuh diri katanya."

"What?"

"Di rumah sakit Kenanga kamar 433. Lo kesana duluan nanti gue nyusul. Paling nggak sebelum kita ke Bandung nengokin dia dulu. Kesian Ti."

Tiyas setuju. Masih jam 10.30, tidak ada salahnya ia mampir sebentar ke tempat Nia. 'Ada apa dengan Nia? Bunuh diri?' Tiyas benar-benar tidak mengerti dan memutuskan akan menanyakannya ke Rani nanti.

Kamar 433 adalah kamar VIP. Pastinya, Nia datang dari keluarga berada. Tiyas tiba di kamarnya dan mengintip dari luar jendela pintu untuk memastikan. Lalu, ia melihat Wisnu ada disana. Sedang duduk di sebelah ranjang Nia, menggenggam tangannya. Ia tidak bisa melihat wajah Nia karena terhalang oleh tubuh Wisnu. Tiyas pun sudah tidak mau mencari tahu lagi. Jantungnya berdebar kencang sehingga membuat tubuhnya bergetar hebat. Jika ini bukan rumah sakit, mungkin Tiyas sudah akan masuk dan meminta penjelasan atas segalanya. Tapi ia hanya berdiri di luar pintu. Menatap pacarnya yang seharusnya masih di Bandung ada dihadapannya menggenggam tangan Nia.

Setengah berlari ia meninggalkan rumah sakit. Ini lebih sakit, teramat sakit. Mungkin ini adalah akhir untuk dia dan Wisnu, pacar pertamanya saat SMA.

***

Rani dan Raymond tiba di RS pukul 11.30 dan mereka sama terkejutnya dengan Tiyas menemukan Wisnu ada disana, menemani Nia. Setelah masuk ke kamar dan berbasa-basi dengan Nia, Rani menarik Wisnu ke luar kamar.

"Gila lo Nu. Kok bisa lo disini? Lo boongin Tiyas ya?" Rani murka.

"Ran, tunggu dulu Ran gue jelasin dulu. Semalem Nia hubungin gue, nangis putus asa. Lo tahu masalah keluarganya kan. Jadi pagi-pagi gue jalan kesini, gue nggak mau juga dia beneran nekat begitu. Nia nggak punya banyak temen Ran. Yang tahu masalah keluarganya juga ga banyak. Gue cuma mau bantu."

"Brengsek lo Nu. Terserah lo bilang apa. Lo jelasin sendiri ke Tiyas. Asal lo tahu, tadi Tiyas kesini mau nengokin Nia. Gue yakin Tiyas tahu dan pergi tanpa kalian sadar." Raymond menarik lengan Rani sebelum pacarnya itu lepas kendali.

"Ran.." Wisnu menahan bahu Rani. Refleks Rani berbalik badan dan memukul bahu Wisnu. "Itu, karena udah buat sahabat gue nangis berminggu-minggu. Bagus lo ngga gue tampar." Rani berlalu meninggalkan Wisnu di koridor rumah sakit.

***

Wisnu sudah berada di kamarnya malam minggu itu. Ponsel Tiyas mati. Ia sudah mencari Tiyas kerumahnya, namun Tante Lena bilang Tiyas pergi ke Bandung, tidak mau diganggu. Wisnu bahkan memohon pada Tante Lena untuk memberi tahu alamat Tiyas di Bandung. Namun tidak berhasil. Rasa bersalah dan ketakutan akan kehilangan Tiyas adalah kombinasi luar biasa yang membuat Wisnu berkaca-kaca. Ia tidak pernah menangis, tapi kali ini rasanya tidak tertahankan.

Sungguh ia hanya berusaha membantu Nia, tidak bermaksud apapun. Malam itu Nia menelponnya sambil menangis putus asa dengan latar belakang suara pertengkaran kedua orangtuanya. Lalu ada suara barang yang pecah dan hubungan telponnya terputus. Sabtu pagi ia meminta ijin ke pelatihnya dan segera kembali ke Jakarta. Di perjalanan ia mendengar kabar Nia dirawat dan ia segera kesana. Untuk membantu tidak lebih dari itu.

Ucapan Rani terus berputar di kepalanya. Pelatihan yang berat dan menguras waktu, serta telpon-telpon Tiyas yang tidak terjawab. Apa benar Tiyas banyak menangis? Dugaannya akan perasaan Tiyas yang sudah berubah makin membuat pikirannya kacau. Belum lagi Raka yang saat ini terang-terangan mendekati Tiyas. Wisnu sadar ia harus tetap fokus. Latihannya 1 minggu lagi berakhir. Setelah itu ia akan menyelesaikan masalahnya dengan Tiyas, sambil berharap semuanya tidak terlambat.

***

Pelatihannya selesai 3 hari lebih cepat. Kebijakan dari pelatihnya, mengingat Senin depan sekolah sudah kembali dimulai. Rabu sore itu Wisnu dan Dimas sudah bersama sobatnya Ferdi berada dalam mobil Ferdi masih di Bandung. Mereka berniat membantu Wisnu mencari Tiyas. Tapi tanpa alamat Om Surya dari Tante Lena, hal itu menjadi hampir mustahil untuk dilakukan. Setiap saat Wisnu mencoba menghubungi Tiyas, namun ponselnya masih tidak aktif. Beberapa hari terakhir Wisnu merasa hampir gila karena khawatir dan merasa bersalah. Jadi ini rasanya ditinggal pergi?

"Kita disuruh nungguin Raka sebentar disini." Ferdi berbicara sambil membaca pesan dari Raka di ponselnya.

"Ngapain dia kesini?" Wisnu menyahut.

"Tanya aja sendiri. Tu anaknya udah dateng."

Mobil sedan milik Raka masuk ke pelataran parkir. Mereka bertiga keluar dari mobil Ferdi. Begitu Raka keluar wajahnya sangat emosi. Ia langsung menghampiri Wisnu dan memukul wajahnya keras. Ferdi dan Dimas langsung berusaha memisahkan keduanya.

"Kunyuk lo apain Tiyas? Brengsek!! Gue belum selesai." Raka meronta dari Dimas masih sangat emosi.

Wisnu memegang hidungnya yang berdarah. Ferdi memegang lengan Wisnu khawatir Wisnu membalas. 

"Dulu lo tinggalin Nia buat Tiyas, sekarang lo tinggalin Tiyas  buat Nia? Enak banget hidup lo." Raka masih sangat bernafsu.

"Nggak usah sok tahu soal masalah gue kalo lo nggak tahu apa-apa sebenernya. Pertanyaan yang sama buat lo. Ngapain lo deket-deketin cewek gue waktu gue nggak ada? Lo sama brengseknya kayak gue Ka." Kali ini Wisnu yang berusaha maju namun Ferdi menahannya.

"Itu karena lo ga bisa jagain dia. Lo lebih mentingin Nusantara Satu dibandingin cewek lo, Nia sakit lo lari dateng, kemana lo waktu Tiyas sakit? Bilang sama gue lo dimana?" Raka berteriak.

"Itu cuma alasan buat lo deketin Tiyas kan Ka? Lo selama ini emang cari kesempatan, ya kan?"

"Setan!! Buang-buang waktu gue sama lo. Kalo lo waras, lo tahu apa yang gue bilang bener. Andai lo tahu gimana tiap hari Tiyas nungguin lo dateng waktu di rumah sakit, andai lo tahu gimana dia khawatirin lo padahal dia yang sakit, andai lo tahu gimana dia nangis di stasiun, di rumah sakit." Raka memberi jeda, matanya sesaat tampak sangat sedih. "Nu, lo ga nggak pantes buat Tiyas. Jadi mulai dari sekarang, gue akan terang-terangan. Jangan salahin gue."

Raka menabuh genderang perang. Panik karena Wisnu tahu apa yang Raka maksud, ia berteriak emosi. "Brengsek! Jangan pernah deketin Tiyas, jangan berani-berani deketin cewek gue." Wisnu ingin maju tapi Ferdi masih menahan tangannya.

"Sebentar lagi, dia bukan cewek lo lagi." Raka melepaskan lengannya dari Dimas dan masuk ke dalam mobilnya pergi.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro