Part 11 - Kompetisi
Empat sahabat itu sedang asyik bermain bilyard di tempat mereka biasa berkumpul. Acara wajib setiap Rabu malam itu mereka sudah lakoni sejak kelas satu SMA. Namun sudah satu bulan ini Raka atau Wisnu absen. Mereka bergiliran tidak datang. Baru kali ini mereka akhirnya dapat kumpul berempat lagi. Raka terlihat gusar sementara Wisnu lebih pendiam.
"Nu, main?" Dimas menyodorkan tongkat bilyarnya.
"Nanti lah Dim. Ferdi duluan aja."
"Kenapa? Ga mau main sama gue?" Raka menyahut.
"Nggak, nggak gitu. Sini-sini deh gue main."
Wisnu memutari meja bersiap untuk giliran pertama. Mereka berdua bermain dalam diam. Dimas dan Ferdi mengawasi mereka.
"Tiyas, gimana kabarnya?" Raka bertanya pendek.
"Baik."
Lalu hening lagi.
"Nia? Gimana kabarnya Nia?" Raka berujar lagi.
Wisnu menghentikan permainannya. Raka ada diseberang meja, wajah gusarnya datar tanpa ekspresi. Wisnu menatap Raka berani.
"Baik, Nia juga baik." Ia menunggu lawan bicaranya bereaksi.
"Yakin, Nia baik-baik?"
Ini persis seperti tebakan Wisnu. Raka akan memancingnya. Dimas sudah bersiap melerai namun Ferdi menahannya.
"Gila ni anak dua, nanti ribut disini gawat deh."Dimas berbisik pada Ferdi.
"Biar, biarin aja Dim. Ingat sudah 1 bulan mereka ga ngomong. Kita lihat dulu aja."
Wisnu kembali menjawab. "Yakin, gue yakin Nia baik-baik aja. Dia ga selemah kelihatannya." Ia berusaha tidak terpancing Raka.
"Giliran lo sekarang." Raka menyahut.
Wisnu memulai lagi gilirannya. Ia sengaja mengatur jaraknya dengan Raka. Wisnu memang terlihat lebih tenang daripada Raka yang sangat gusar. Mereka seperti dua kutub yang berbeda dan bukan hanya saling tolak menolak, tapi juga tidak ingin bersinggungan.
"Lo tau kenapa Tiyas tiba-tiba minta pacaran sama lo?"
Wisnu membiarkan pertanyaan itu, tidak menjawab.
"Ka, lo baik-baik aja?"
"Kenapa ga jawab pertanyaan gue?"
"Kenapa lo ga jawab pertanyaan gue?" Wisnu membeo namun dengan nada yang jauh lebih tenang.
"Karena ga ada hubungannya."
"Sama Ka, pertanyaan lo dari tadi itu ga ada hubungannya sama kita."
"Pertanyaan gue banyak hubungannya. Ini semua jadi ga enak, semenjak lo jalan sama Tiyas." Raka mulai emosi.
"Kenapa dengan siapa gue jalan penting? Kemarin-kemarin gue jalan sama Nia, lo sama Dara, Ferdi sama anak kelas satu itu kita pernah ada masalah kan."
"Iya, karena mereka bukan Tiyas."
"Kenapa kalau Tiyas masalah?"
"Karena...karena..." Raka mencoba mencari alasan yang lebih masuk akal dibandingkan emosi dalam dadanya. "Karena Tiyas temen kita dari awal. Karena gue tahu dari awal Tiyas ga suka sama lo, dia cuma terpaksa karena lo kejar dia terus. Apa dia happy sama lo? Apa dia ga ngerasa terpaksa?"
Wisnu hanya diam. Dia sudah berniat untuk mendengarkan semua luapan emosi sahabatnya ini. Raka suka Tiyas atau bahkan dia sudah mulai jatuh cinta, itu jelas. Dan Wisnu tahu rasanya bagaimana dikuasai cemburu.
"Yang bisa jawab itu semua cuma Tiyasnya. Silahkan lo tanya sama Tiyas. Gue ga ada masalah."
"Lagian gue ga ngerti cewek secerdas Tiyas mau selingkuh sama lo."Raka mulai melewati batas.
Wisnu menghampirinya dengan penuh emosi. Dia mencengkram baju Raka.
"Silahkan, katain gue seenak lo. Boleh. Jangan pernah bilang Tiyas selingkuh karena dia tidak pernah jadi selingkuhan gue. Jangan jelek-jelekin Tiyas didepan gue."
Raka pun tak mau kalah. Matanya berapi-api.
"Justru itu yang mau gue bilang ke elo. Justru itu yang buat gue ga suka sama lo. Lo membuat posisi Tiyas jelek di mata orang. Asal lo tahu, semua orang sudah beranggapan Tiyas itu selingkuhan lo, perusak hubungan orang. Kalau gue bisa, gue pukulin semua orang yang ngomongin Tiyas. Tapi ini, yang ngerusak nama Tiyas sobat gue sendiri. Bilang gue harus gimana? Bilang??!!" Raka mulai berteriak.
Wisnu terhenyak. Ia tahu bahwa akan ada omongan orang yang tidak enak soal hubungannya. Namun Wisnu tidak tahu bahwa desas-desus itu sudah beredar. Ekspresinya berubah, dari marah menjadi rasa bersalah. Wisnu melepaskan cengkramannya.
"Wisnu, kenapa lo ga pacaran aja sama Nia seperti biasa dan Tiyas bisa selalu jadi temen kita." Nada Raka putus asa.
Mereka berdua sudah berhenti bermain, termenung sambil berdiri masih memegang tongkat bilyar ditangan. Dimas dan Ferdi hanya duduk diam memperhatikan, berharap dua sobat mereka bisa menyelesaikan perang saudara ini.
"Lo suka sama Tiyas Ka?" Wisnu tiba-tiba berkata sambil menatap Raka, matanya menerawang jauh.
"Suka, sampai mau jadi gila." Emosi Raka sudah reda. Raka menyerah dan mengungkapkan dengan gamblang perasaannya.
"Bisa, lo kasih gue kesempatan dulu? Kalau gue bikin Tiyas sedih..." Ucapan Wisnu berjeda, lama. Matanya masih menunjukkan rasa bersalah. "Silahkan buat dia bahagia. Karena gue cuma pingin dia bahagia."
"Udah udah ah. Lo pada melow banget sik. Males gue. Ga ada diskusi cewek lagi, udah abis waktunya." Dimas memotong karena menurutnya suasana sudah menjadi aneh.
"Bagi rokok sini cepet." Wisnu duduk disebelah Dimas. Mood nya berubah. Sekalipun tidak suka mengetahui kenyataan ia dan sobatnya Raka menyukai perempuan yang sama, Wisnu tetap membenarkan perkataan Raka. Lalu rasa bersalah kembali membanjirinya.
Raka duduk disebelah Wisnu. Untuk Raka persoalan ini pun tidak mudah. Ia sudah berusaha menjauh, menghindari Wisnu dan Tiyas. Jatuh cinta adalah suatu hal yang sebelumnya menjadi hal yang tidak mungkin dan tidak ada dalam rencananya. Apalagi ini, jatuh cinta dengan pacar sahabatnya, menyedihkan. Ego Raka yang tinggi dan terbiasa mendapatkan apa yang dia mau membuat semua jauh lebih buruk rasanya. Dia tidak bisa mendapatkan Tiyas begitu saja, karena pacar Tiyas adalah Wisnu, bukan cowok lain. Karena kalut ia mulai menyulut rokok yang sedari tadi ada di kantong celananya. Sudah lama ia tidak merokok, ia pun tahu Wisnu tidak merokok apalagi menjelang musim kompetisi. Tapi mereka berdua sepakat dalam diam mereka membutuhkan sebatang rokok saat ini.
Tidak disangka-sangka Raka menepuk pundak Wisnu. Raka paham benar memusuhi Wisnu bukan cara yang gagah menghadapi masalah ini.
"Sorry Nu, gue emang suka emosi. Tapi beneran, gue ga ada maksud apa-apa."
"Iya, kecuali cemburu. Paham gue Ka, selow aja."
"Sial. Rese emang tu si Tiyas bikin kita jadi ga enak gini." Raka sudah mulai santai.
"Yang salah bukan Tiyasnya, kitanya aja yang gangguin dia bro." Wisnu sudah bisa tersenyum.
Untuk pertama kali setelah sebulan lamanya empat sahabat itu duduk bersama. Perang saudara sudah selesai, namun bukan berarti perang yang sama tidak akan terjadi lagi di kemudian hari. Karena perasaan mereka terhadap Tiyas masih sama dan tidak akan mudah hilang begitu saja.
***
Hubungan Wisnu dan Raka membaik, namun Wisnu tetap berhati-hati. Misalnya Wisnu tidak akan mengajak Tiyas ketika dia dan sobat-sobatnya itu berkumpul. Tiyas pun seperti membaca gelagat Raka dan menghindari pertemuan berdua saja dengan Raka. Demi menjaga suasana yang ada.
Suatu sore di rumah Tiyas
"Nu. Kok diem aja?" Tiyas dan Wisnu memutuskan menghabiskan Jumat sore di rumah Tiyas. Mereka duduk di taman kecil belakang rumah Tiyas.
"Nggak. Nggak kenapa-kenapa." Senyum Wisnu dipaksakan, Tiyas pun menyadari hal ini.
"Capek ya? Intens banget latihan basketnya?" Tiyas mengalihkan pandangan dari buku yang sedang dibacanya. Mereka berdua duduk di sofa rotan panjang.
"He-em." Wisnu mengangguk. "Persiapan kompetisi antar sekolah."
Ia mengamati wajah laki-laki disebelahnya ini. Sudah dua bulan, dan Tiyas mulai merasa terbiasa dengan keberadaan Wisnu disampingnya, bahkan lebih merasa nyaman ketika Wisnu ada. Sudah tiga hari ini Tiyas perhatikan Wisnu menjaga jarak dan lebih banyak diam. Terkadang pikirannya seperti tidak ditempat yang sama.
"Tanding sama SMA mana siy Nu? Sampe stress banget gitu?"
"SMA 3."
"Harusnya SMA kita secara peringkat basket lebih Oke bukan?"
"Iya."
"Terus kenapa khawatir banget? Kalian semua tanding kan? Maksudnya Dimas, Ferdi, Raka? Atau cuma anak kelas satu aja? Senior ikutan?"
"Ferdi ga ikut, tapi tenang aja ada senior kok yang ikut."
"Kapan?"
"Besok."
"Hah besok? Lho kok ga bilang? Ya udah kamu pulang aja istirahat. Harusnya kamu bilang tadi sama aku Nu. Aku bisa pulang sendiri kan." Tiyas menyentuh lengan Wisnu. Refleks Wisnu melihat tangan Tiyas di lengannya.
"Bukan, bukan itu yang aku pikirin." Wisnu menggenggam tangan Tiyas dan menariknya mendekat. Ia membelitkan lengan gadis pujaannya di lengannya sendiri. Keberadaan Tiyas yang biasanya bisa meredam hari terburuk pun, saat ini malah membuat Wisnu semakin gundah. Kata-kata Raka tidak bisa begitu saja hilang dari benaknya.
"Jadi apa?"
"Kamu... Aku mikirin kamu. Kamu happy ga sama aku? Kamu ngerasa beban ga jalan sama aku? Kamu sedih ga diomongin orang-orang."
"Nu, kamu masih waras kan Nu? Masa hal-hal kayak gitu aja dipikirin sampe 3 hari. Kenapa ga dari kemarin-kemarin ditanyain." Tiyas mencebik kesal.
Wisnu hanya tersenyum berat dan menatap Tiyas.
"Nih ya, aku jawab satu-satu. Pertama, aku ga bakalan mau pacaran sama siapapun yang ga bikin aku happy. Ngapain amat. Konsep pacaran aja udah aneh banget kok, ini pake ada embel-embel ga happy segala. Yang namanya hubungan ya, mau temenan, pacaran, ya harus happy. Kecuali musuhan, itu baru ga happy. Apalagi ngerasa beban, emangnya aku atlit angkat besi urusan sama beban-beban."
Wajah Wisnu tersenyum geli, Tiyas memang selalu bisa menjawab dengan gamblang dan terkadang jawabannya itu lucu, polos seperti anak-anak. Sudah dua bulan ini Wisnu merasa dibutuhkan oleh Tiyas dan ia tahu sisi-sisi lain dari perempuan itu. Hal itu yang membuat Wisnu tidak bisa berpaling.
"Dan aku udah ga perduli sama sekali anak-anak ngomong apa. Biarin aja, emang mereka tahu apa kejadian sebenernya. Dijelasin juga percuma. Nanti mereka juga lupa sendiri."
"Kamu tu ya, aku pikir kamu tu dewasa banget lho. Karena dulu-dulu keliatannya begitu. Tapi giliran deket, ternyata kamu tuh beda...hahaha, unik." Wisnu tidak kuasa menahan tawa.
"Maksudnya ga dewasa? Gini ya, mangkanya aku ga suka pacaran-pacaran begini. Sedikit banyak pasti akan ngerubah aku. Tapi ya biarin lah, biar kamu tau rasa. Siapa suruh ngotot ngejar-ngejar aku."
"Ya udah kita temenan lagi aja deh." Wisnu meledek.
"Ya udah." Tiyas melepaskan genggaman tangannya. "Deal ya?"
Wajah Wisnu kembali muram. "Deal" Ia menjabat tangan Tiyas resmi. "Kayaknya memang lebih baik begitu...dari awal."
"Lho, ini beneran?"
Wisnu tidak menjawab, hanya menatap Tiyas tanpa ekspresi sambil masih menjabat tangannya. Melihat gelagat Wisnu Tiyas panik.
"Nu, kan aku bercanda."
Wisnu masih diam.
"Bener, bercanda? Ini tawaran terakhir buat jadi temen aku lho?" Mereka masih berjabat tangan.
"Wisnu apa-apaan siy."
"Aku serius Ti. Pikirin baik-baik deh."
"Oke, the deal is cancel."
"Lho kok. Kan aku suruh pikirin baik-baik."
"Aku ga lemot kayak kamu yang mikirin begini aja lama. Pacaran-temenan-pacaran-temenan. Kamu tuh bingung banget deh. Dulu aku ga mau, kamu kejar-kejar. Sekarang aku bilang mau, bawaannya mau putus aja. Apa segampang itu ya orang putus? Tau gitu dari dulu ga usah ngajak-ngajak aku pacaran."
"Siapa bilang aku minta putus? Aku minta kamu pikirin baik-baik. Karena buat aku yang penting itu perasaan kamu bukan...." Wisnu tidak melanjutkan kalimatnya karena tiba-tiba Tiyas mencium pipi nya.
"Udah selesai ngomongnya?"
"Tiyas, kamu ga bisa main...."Belum sempat kalimat kedua terselesaikan Tiyas mencium pipinya lagi.
"Apa? Ga bisa apa?" Wajah Tiyas menantang. "Masih mau putus sama aku?"
Wisnu menggelengkan kepalanya sambil tidak bisa menyembunyikan senyum. Masih tidak percaya apa yang baru saja terjadi. Sebelumnya, ia tidak akan berani membayangkan kejadian barusan. Ia sangat berhati-hati dengan Tiyas. Dada Wisnu berdegup kencang.
"Sejak kapan kamu agresif begini?"
"Let say I'm a quick learner." Tiyas tersenyum, ia pun heran atas apa yang ia lakukan. Tapi melihat wajah Wisnu yang sedih dan mendengar alasan-alasan konyolnya membuat Tiyas gemas.
"Coba kita lihat, respon kamu quick juga ga kalau begini." Wisnu menggelitik pinggang Tiyas. Tiyas pun lari menjauh dari Wisnu. Saat mereka berhenti tertawa, Wisnu berujar. "Ga akan. Aku ga akan lepasin kamu. Untuk siapapun itu." Gusar diwajahnya sudah hilang. Ia hanya tahu apapun yang terjadi Raka tidak akan bisa merebut Tiyas darinya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro