Rahasia yang Manis
Rahasia yang Manis
Penulis: Icha_rizfia
Setelah mencuci, Mudah lekas menjemur pakaiannya. Waktu sudah menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh menit. Ia ada perkuliahan pagi. Setidaknya, ia sudah mandi. Tinggal ganti baju dan berangkat ke kampus. Enaknya tinggal di asrama yang diwajibkan untuk mahasiswa semester satu dan dua, adalah jarak tempuhnya yang dekat, dapat dicapai hanya dengan berjalan kaki lima menit saja.
"Tungguin, Dah!"
Mudah mendongak saat memakai sepatu di lantai bawah. Ada Esti yang berteriak dari lantai dua.
"Iya" balasnya.
Tak lama Esti turun dan bergabung dengan Mudah. Keduanya berangkat ke kampus bersama.
***
"Di kamarmu masak nasi nggak tadi, Dah?"
"Iya. Masak dua takar aja. Banyak yang pulang anak kamarku."
"Aku minta ya, Dah. Anak kamarku yang piket nggak masak karena udah pulang dari pagi. Kuliahnya kosong, jadi langsung ke halte biasanya."
Mudah mengangkat jari jempolnya. "Siap! Ke kamar aja ntar. Tinggal aku aja yang nggak pulang, jadi pasti sisa banyak."
"Ya udah, temenin aku beli lauk yuk!"
Menjadi mahasiswa dan tinggal di asrama dengan penghuni tiap kamar adalah empat orang, menjadikan kegiatan masak seperti jadwal piket harian. Mudah dan Esti berlainan kamar tetapi masih satu lantai. Mereka lain jurusan, tetapi keduanya dekat karena sama-sama dalam satu kelompok saat OSPEK.
Tiba di warung, Esti segera memilih lauk. Sementara itu, Mudah mencari tempat duduk di luar warung untuk membalas pesan dari Abra, kekasihnya sejak kelas tiga SMA yang kini tinggal di Blitar. Keduanya harus LDR karena Mudah sendiri kuliah di Kediri.
"Serius amat. Pacarmu yang di Blitar itu?"
Esti sudah selesai dan berdiri sambil menenteng kresek putih kecil di samping Mudah duduk.
"Ah, udah selesai, Es? Iya."
"Udah."
"Oh. Ayo pulang!"
Jawaban Mudah dengan raut pias menimbulkan rasa penasaran Esti. Ia hendak bertanya lagi, tetapi tak enak hati. Sepanjang jalan menuju asrama, Mudah banyak menundukkan pandangan. Sebisa mungkin menahan rasa kecewa dan sedih agar tak meledak di jalan, apalagi di samping sahabatnya.
"Kamu kenapa sih, Dah, nunduk sama diem terus?" heran Esti. Sahabatnya tersebut tak biasanya tampak murung. Sepanjang jalan biasanya mereka akan mengobrol dan tertawa.
"Nggak papa."
"Bener nih?"
"Iya, Es. Udah yuk, buruan."
Esti mengabaikan sejenak meski ia masih tak percaya. Kenal hampir setahun membuatnya hafal tabiat Mudah. Langkah keduanya hampir masuk gerbang asrama, namun pesan di ponsel Esti membuat gadis itu berhenti. Ia menoleh pada Mudah setelah membaca pesan.
"Dah, ikut aku bentar ya. Masku minta aku ke masjid, buat ambil print-an."
"Masmu di masjid belakang kampus itu?" Esti mengangguk sambil meringis. Meminta belas kasihan agar Mudah mau menemaninya ke masjid tempat kakak Esti tinggal menjadi takmir.
Selain bisa tinggal gratis, bisa mengikuti kajian. Tugas Mahmud dan dua takmir lainnya adalah bebersih, menyiapkan segala keperluan di masjid, dan menjaga keamanan.
"Ya udah deh," putus Mudah akhirnya.
***
Sudah lima kali Mudah diajak Esti menemui Mahmud di masjid. Kakak kandung Esti yang sebentar lagi skripsi itu tak banyak bicara padanya. Ia kenal, tetapi tak akrab. Kadang bertemu di kampus, hanya menyapa dan bertanya soal Esti. Atau ketika sedang bersama adiknya, Mahmud hanya menyapa kemudian fokusnya bertengkar dengan Esti. Mudah hanya sebagai obat nyamuk di antara saudara yang saling sayang, tetapi terus saja bertengkar setiap bertemu.
"Ya udah, pulang dulu, Mas."
Esti menempelkan punggung tangan Mahmud ke kening sambil mengucap salam. Mudah sendiri hanya mengangguk dan mengucap salam. Keduanya beranjak pergi.
"Masmu kapan skripsi?"
"Bulan depan. Rencana ikut gelombang pertama, biar cepet selesai. Udah dapet kerja dia. Jadi mau buru-buru lepas sama skripsi. Soal wisuda kan masih lama."
Mudah manggut-manggut mendengarnya. Esti memang sering bercerita soal kakaknya pada Mudah. Ia percaya, Mahmud memang pekerja keras yang rajin. Terlihat dari bagaimana ia bercerita soal kakaknya yang sibuk mengajar di bimbel, les privat ke rumah, mengurus masjid, menjadi mahasiswa dan ikut BEM.
"Enak ya, udah bisa kerja meski ijazah belum keluar."
Esti mengangguk. "Hem, rejeki."
"Diterima di mana?"
"Penerbit Serlangga," jawab Esti dengan bangga. "Mampir beli es tebu situ yuk!" ajaknya kemudian.
Saat duduk sambil menikmati es tetes tebu dan gorengan, Esti bisa menangkap raut gelisah di wajah Mudah yang memandang ponselnya.
"Ada apa?"
Mudah menoleh. Ia ragu ingin bercerita. Digenggamnya ponsel erat-erat. Tak berapa lama, ia terisak pelan sambil menutupi dengan kerudungnya. Esti gegas menangkap Mudah dalam pelukan. Tak enak juga dilihat beberapa orang yang juga minum es di warung tersebut.
"Ssttt, tenang, Dah. Cerita aja, ada apa. Kamu tenang dulu, nangis nggak papa."
"Bustan, Es, Bustan. Dia selingkuh," lirihnya di sela isak tangis dalam rengkuhan Esti.
"Astagfirullah, Dah, kok bisa?"
"Dia, dia, pacaran sama Murni tetanggaku selama aku di sini. Sekarang Murni hamil, Es."
***
Langit temaram, diiringi gerimis. Malam semakin menusuk kulit. Remang yang syahdu menemani lara hati. Seperti itulah luka yang tengah Mudah belai. Tangisnya memang sudah mereda, namun rasa kecewa masih bercokol di dada. Tak menyangka, ia keluhkan berkali-kali. Bagaimana bisa kekasih yang ia yakini akan menjadi masa depan sakinah, malah berkhianat.
Sejak awal ia sadar bahwa pacaran tak ada yang dibenarkan. Bujuk rayu Bustan, janji bahwa menyentuh atau bahkan bergandengan tangan saja tak akan terjadi, nyatanya di depan layar saja. Sementara kenyataan, Bustan rupanya menjadikan alasan Mudah terlalu kolot-lah ia pindah ke lain hati.
"Nangis nggak bakal bikin dia kembali juga, Dah. Emangnya kalau kamu nangis, marah juga ke dia, tetanggamu nggak jadi hamil?"
Esti datang dari belakang. Sejak tadi Mudah melamun di anak tangga paling atas, samping kamarnya. Malam Minggu, banyak mahasiswa yang pulang. Hanya beberapa yang masih tinggal dengan alasan domisili atau tugas.
"Aku nggak nyangka dia begitu, Es."
Esti duduk di samping Mudah. "Namanya juga LDR. Berat, banyak godaan. Kalau nggak kuat iman, ya emang gitu."
"Iya sih. Emang aku aja yang kolot, Es, makanya dia nggak tahan dan ke lain hati," sesal Mudah.
PUK.
Tepukan keras mampir ke pundak Mudah. Gadis itu memekik kaget. Sambil meringis ia bertanya kenapa Esti memukulnya.
"Kolot sama bego itu beda, Dah. Perempuan harus bisa jaga diri. Kamu bersyukur, putus sekarang. Jadi kamu bisa tahu kalau dia bukan laki-laki yang baik."
Mudah membenarkan sambil menunduk. "Iya. Aku juga salah dari awal, Es. Mau-mau aja diajak pacaran. Ini pacaran pertamaku. Kami juga sembunyi-sembunyi. Abah ngelarang keras aku pacaran. Habis ini nggak mau pacaran lagi deh. Maunya langsung nikah aja, biar aman. Halal juga."
Esti mengangkat jempolnya. "Betul. Kayak aku dong, bangga jadi jomlo. tetapi emang belum siap nikah muda sih. Mau kuliah selesai, kerja dulu."
"Aku... gimana ya. Pengen nikah muda sih. Malah rencana Bustan itu mau lamar aku pas semester enam. Jadi habis sidang bisa langsung akad. tetapi, begini jadinya."
Esti tampak berpikir sejenak. "Eh, kamu mau nggak ta'arufan sama Mas Mahmud? Mungkin kalian cocok."
"Masmu itu? Lah, kok?"
***
Semua persiapan usai. Malam ini Mudah tidur di kamarnya sendiri. Esok ia akan menjalani akad nikah dengan Mahmud. Setelah empat bulan merasa yakin dengan niat Mahmud, Mudah mengabari orang tuanya. Setelah acara lamaran sederhana, keduanya memutuskan esok adalah harinya.
Seminggu lagi akan diadakan UAS. Sebenarnya tak dibolehkan izin pulang dari asrama karena sebentar lagi sudah libur. Keduanya malah merencanakan akad. Meski resepsi akan diadakan nanti saat libur semester. Bukan tanpa sebab, Mahmud harus menyiapkan sidang skripsi lebih dulu. Terlebih masa mengerjakan skripsi, Mahmud lalui di tempat penelitian. Tak enak jika sudah beristri, ia sendiri harus meninggalkan Mudah. Lagipula Mahmud sudah mempersiapkan rumah kontrakan dalam masa tenggang ia menunggu hari akad. Jadi, saat menikah nanti ia bisa membawa Mudah ke gubuk sederhananya. Bukan di masjid tentunya.
"Mau apa kamu datang ke sini?"
Suara ribut di luar, membuat Mudah urung memejamkan mata. Ia raih kerudung dan gegas menghampiri arah suara. Ada ibunya di depan pintu, dan... Bustan?
Langkah Mudah cepat menuju pintu depan. "Ada apa, Buk?"
"Ini loh, Bustan ke sini mau ketemu kamu. Ibuk nggak bolehin masuk."
Ia meminta ibunya masuk dan berkata akan menghadapi. Mudah mendekat ke pintu, menghampiri Bustan di luar yang tengah berdiri gelisah. "Kenapa ke sini?" tanyanya.
Bustan semringah begitu Mudah mau menemuinya. Gadis itu masih saja terlihat menawan di mata Bustan. Gadis manis yang terlampau baik, tak mengumpat saat ia menghamili perempuan lain. Semoga kedatangannya, masih bisa diberi kesempatan oleh belas kasih Mudah.
"Dek, gimana kabarnya?"
"Aku baik kok, lihat aja sendiri," ketus Mudah, malas sebenarnya.
"Maafin aku, Dek. Maaf udah ngecewain kamu. tetapi, jangan nikah, Dek. Aku masih sayang sama kamu."
Bergeming tanpa kata, Mudah hanya memandang Bustan dari atas ke bawah. Penampilan laki-laki itu terlihat berbeda. Kuyu, semrawut. Berbeda dengan dulu ia mengenalnya
"Dek, Murni dan aku nggak ada hubungan apa-apa. Habis anak kami lahir, Murni minta cerai karena memang dia nggak pernah cinta sama aku. Begitu juga aku, Dek."
Mudah masih diam. Ia edarkan pandangan pada langit malam kemudian ke tanaman di teras rumah yang temaram.
"Kami khilaf, tetapi benar-benar bukan saling cinta. Kamu yang aku cintai, Dek. Percaya sama aku, dan beri kesempatan untuk kita," mohon Bustan.
"Kita sudah selesai. Kepercayaan dan kesempatan Mas sudah hilang sejak telepon soal Murni hamil. Jadi, aku mohon Mas jangan ke sini dengan maksud seperti ini. Silaturahmi kita tetap terjalin, tetapi maaf jika lebih dari itu. Aku besok menikah, Mas juga sudah beristri. Alangkah baiknya jika kita sama-sama menjaga apa yang sudah diberikan. Bukan merebutnya. Terima kasih dan maaf. Assalamualaikum."
Mudah percaya, jodoh yang esok akan mengucap janji di hadapan-Nya adalah jodoh terbaik yang Allah persiapkan. Tak perlu ragu, apalagi terseret bujuk rayu. Bahwa jodoh masing-masing, sudah tertulis. Dan Mahmud, adalah jodoh pilihan terbaik untuknya. Mungkin seperti namanya yang sama. Entahlah, jodoh memang rahasia yang manis.
[Tamat]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro