Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kisah Kiara

Kisah Kiara
Penulis: SanggiRedemaP

"Mas, kapan mau ketemu Ibu?"

Aku terus mendesaknya demikian. Sebab sudah lama sekali aku berpacaran dengan pemuda jangkung tersebut, namun sekali pun ia tidak pernah berani menemui orang tuaku.

"Aku ini belum ada apa-apa, Dik. Malu ketemu calon mertua."

Alasannya pun dari hari ke hari tidak berbeda. Aku merasa jengah dengan hubungan yang tidak ada akhir ini. Seperti digantung oleh ketidakpastiannya.

"Kalau begini terus tidak malu sama dosa, Mas? Janjinya aja mau nikahi aku," rutukku demikian.

Aku pun beranjak dari kost-annya dengan penuh kekesalan. Decakan yang keluar darinya tidak kuhiraukan. Aku terlalu fokus memperlihatkan emosi padanya agar ia berpikir untuk mengambil langkah selanjutnya demi membujukku.

***

Deringan ponsel terus saja berbunyi tanpa menggubrisnya aku melanjutkan acara menonton televisi. Sepintas, kulirik ibu yang lewat di depanku sambil menggeleng. Mungkin tidak habis pikir dengan sikap anak gadis satu-satunya.

Memang usiaku sudah menginjak duapuluh lima tahun. Menjadi bahan omongan para tetangga juga karena hingga sekarang belum berpasangan. Aku pun sering dibandingkan dengan teman sebayaku, Leila. Tidak sampai di sana. Ibu juga mulai khawatir denganku walau sudah ku katakan memiliki kekasih.

Perempuan baya itu duduk di sampingku. Mengambil alih remot dalam genggaman. Mematikan saluran televisi seketika. Mata sayunya yang dalam nyaris menusuk relung hatiku. Aku menghela napas kemudian beralih pandang.

"Kapan pacar kamu itu datang, Ra?"

Suasana hening tercipta sebab aku memang tidak ingin langsung menjawab secara verbal. Biar ibu yang mengartikan sendiri sikapku.

"Dia tidak mau kenalan dengan Ibu, Ra?" tanya ibu selanjutnya.

"Belum saatnya, Bu. Ntar juga bakal Kiara kenalin kok," jawabku, sedikit nyolot sebagai pertahanan terakhir, sebelum ponsel kembali berdering.

Setidaknya aku memiliki alasan mengangkat telepon demi menghindari Ibu.

"Kenapa baru diangkat sekarang?"

"Sibuk."

"Sekarang lagi di mana?"

"Rumah."

"Bisa keluar sebentar?"

Seketika aku mengintip di balik jendela. Mataku membola, bibirku bahkan tidak sanggup mengeluarkan kata. Di seberang sana sudah ada Hindam lengkap dengan pakaiannya yang rapi, setidaknya pria itu tak mengenakan kaus oblongnya dan memilih mengenakan kemeja.  Aku gembira bukan main. Setelah tiga tahun menjalin kasih akhirnya bukan sekadar ekspektasi.

Aku menjawabnya singkat, kemudian bergegas mengambil tindakan. Aku berlari kecil sembari tersenyum semringah. Di balik pintu tangan kananku membuka engsel. Aku patrikan senyuman yang merekah bak bunga bermekaran. Kulambaikan tangan ke arahnya. Ia pun menuju padaku. Semakin dekat bisa ku rasakan degup jantungku kian bertalu-talu. Semoga ibu bisa menerimanya.

"Apakah Ibumu ada di dalam?"

Aku mengangguk masih tersenyum sambil menggamit tangannya untuk masuk ke dalam rumah. "Ibu pasti akan senang melihatmu."

***

"Apa kamu bilang?" tanya ibu setelah mendengar ucapan Hindam. 

"Saya berniat meminang anak Ibu," jawab Hindam kedua kalinya tanpa rasa takut.

Air muka ibu pun berubah, dahinya mengerut sambil meneliti penampilan Hindam. Satu hal yang kulupakan tentang anting kecil di telinga kiri Hindam yang kemudian menjadi sorotannya. Aku hanya bisa diam dan melihat walau hatiku berteriak agar ibu sedikit lunak. Paling tidak ibu seharusnya menghargai keberanian Hindam untuk menyatakan niatnya.

"Model lelaki seperti ini yang ingin kamu jadikan suami, Kiara?" tanya Ibu sinis padaku.

"Ibu...," pelasku memberi isyarat.

"Barusan ia bilang ingin melamarmu? Ibu yakin solat saja tidak pernah ia lakukan. Imam macam apa yang kamu pilih, Kiara!"

Pandanganku tertuju pada Hindam. Berharap ia menemukan solusi. Aku tidak ingin penolakan Ibu menghambat kebahagiaanku bersamanya. Tetapi, Hindam hanya diam tak menyangkal pernyataan itu.

"Aku cinta dengan Hindam, Bu," ucapku tanpa memilah kata lagi. Aku berada di jalan buntu saat ini. Hanya kalimat itu yang kupikirkan.

Ibu menatapku penuh pertimbangan kemudian beralih pada Hindam di sampingku. "Apa kamu juga mencintai anakku?"

"Ya, saya juga mencintai Kiara." jawab Hindam mantap.

Kulihat ibu menghela napas. Masih dengan gayanya yang anggun, ibu menatap kami berdua secara bergantian. "Baiklah."

Aku tidak dapat menahan senyuman sedangkan Hindam melepaskan rasa leganya.

"Tapi...," Ibu menjeda kalimatnya. Kami berdua menatap ke arahnya secara bersamaan. "saya punya syarat."

Mendadak atmosfer di ruang tamu kembali tegang. "Ia akan kuterima menjadi menantu dengan catatan mau memperdalam ilmu agama."

"Ada sebuah pesantren di daerah Batu Besar, kiainya adalah guru ngaji Ibu. Selama tiga bulan tuntutlah Ilmu agama di sana setelah itu kembali kemari lagi untuk meminang Kiara. Kalian berdua selama tiga bulan tidak boleh bertemu dan berkomunikasi dulu."

***

Rasanya begitu hampa. Biasanya aku dan Hindam berbalas pesan walau membahas topik secara acak. Tidak jarang juga ia mengajak kencan. Namun, demi syarat yang ibu pinta, Hindam pun harus melakukannya. Ia mengatakan wujud rasa cintanya terhadapku. Sebelum ia pergi ke pesantren pun berjanji akan mengirimi surat, tetapi sudah seminggu berlalu tidak ada kurir yang mengantarkannya.

"Daripada tidak ada kerjaan lebih baik bantu Ibu memasak."

Aku pun menuruti permintaan Ibu. Tidak ada ruginya membuat bekal untuk masa depan. Kendati masakanku masih jauh di bawah rata-rata. Paling tidak aku sudah mengenal bumbu-bumbu yang ada di dapur.

***

"Ibu, apa tidak ada surat dari Mas Hindam?" tanyaku di sela-sela kegiatan kami membuat kerajinan dari kain flanel. Ibu akhirnya luluh, mengizinkan kami berkomunikasi, asalkan hanya melalui surat saja.

"Baru ditinggal sebentar sudah rindu saja," goda ibu membuatku malu.

"Namanya juga sedang kasmaran, Bu."

"Kalau begitu kamu juga harus ikut berbenah. Perbaiki salatmu yang masih bolong-bolong itu. Gantung namanya di langit melalui doa. Rindumu pasti akan dibalaskan oleh Allah."

Aku mengangguk patuh akan nasihat Ibu. Benar juga, Hindam di sana sedang berbenah untuk menjadi lebih baik seharusnya begitu pula denganku. Aku mulai belajar kembali, dimulai dari menuruti kewajiban salat yang sebenarnya telah sering kulewatkan.

***

Aku menunggu di teras rumah. Ini sudah memasuki minggu kedua. Aku bahkan tidak merasa jengah menanti kedatangan surat darinya. Berharap seorang kurir mengantarkan sepucuk surat yang berisi tanda rindu dari Hindam.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saat menjelang waktu Dzuhur, aku hendak salat, seorang kurir datang membawa surat dari orang terkasih.

Penantianku tidak sia-sia. Aku menari-nari kecil menerima surat itu, gembira dan bergegas membaca isinya.

Teruntuk, Kekasihku.

Ada hal yang sulit sekali kulakukan di sini. Terkadang aku berpikir untuk menyerah. Namun, di kala gusar akan hal itu, aku membayangkan wajahmu. Niatku kembali bulat. Aku sekarang sedang berjuang beradaptasi. Kuharap kau di sana pun demikian.

***

Di hari berikutnya, aku menanti balasan surat. Walau aku tahu tidak akan secepat perkiraanku. Kakiku berjalan statis pada tempat itu saja. Pandanganku awas pada setiap orang yang lewat. Ibu pun sesekali menggeleng melihat tingkahku, namun ia sekarang lebih membiarkan.

"Ra, sedang apa? Yuk, sini ngerujak bareng," ajak Leila. Perempuan yang selalu dibandingkan denganku yang saat ini tengah mengandung anak keduanya. Maklum saja, ia menikah setelah tamat SMA. Berbading terbalik denganku yang sampai saat ini tengah berjuang keras. Aku menanggapi ajakannya sekaligus membaur dengan para tetangga.
"Kamu dua minggu ini aku lihat selalu gelisah. Apa ada masalah?" tanya Leila di tengah aku keasikan kami.

"Tidak. Cuma sedang menunggu kiriman datang."

"Ah, Kiara hobi banget ya beli barang online," celetuk Bu Rima yang kurespons senyum singkat.

Kenyataannya mereka tidak tahu bahwa yang ku tunggu bukanlah hal lain, selain secarik kertas tulisan tangan Hindam.

***

Kiaraku sayang,

Aku semakin paham hakikatnya manusia. Kita semua hanya ciptaan Allah yang lemah. Hari ini aku belajar bersyukur untuk segala hal yang telah Allah berikan padaku. Nikmat yang diberikan tiada duanya. Aku bersyukur Ibumu memintaku belajar agama. Ku harap kamu pun melakukan hal serupa denganku. Aku di sini sudah mulai bisa beradaptasi. Ini untuk balasan suratmu.

Hatiku berbunga-bunga membacanya. Melihat usahanya yang sedemikian membuatku turut bersemangat dalam memperbaiki diri lagi. Beberapa waktu lalu pun ibu mengajakku untuk ikut majelis taklim mengkaji kitab-kitab sebagai bahasan materi.

Seperti yang Hindam tuliskan. Aku pun mulai belajar bersyukur. Sebab aku masih diberikan kesempatan hidup dan merasakan indahnya dunia.

***

Tiga bulan berlalu dengan cepat. Aku menunggu kedatangan Hindam penuh harap. Sambil tersenyum sendiri aku membayangkan lelaki itu berdiri di hadapanku. Aku juga tidak hentinya menyusun kalimat penyambutan hingga bagai orang tidak waras, sebab bermonolog dalam keadaan apa pun.

"Ra, Ibu tau kamu sangat antusias, tapi tolong jangan lakukan hal itu di mana pun," tegur Ibu padaku. Ibu sendiri yang mengatakan Hindam akan pulang hari ini. Lelaki itu juga telah lulus dari tes Bapak Kyai selama tiga bulan dengan baik.

Aku menanggapi teguran Ibu dengan senyum malu. Maklum saja, diri ini ingin terlihat sempurna di depan kekasih hati hingga lupa alam sekitarnya pun memperhatikan.

Masih dengan antusias yang memuncak, aku menanti Hindam di sofa ruang tengah. Walau sudah empat jam lebih berlalu dari perkiraan awal. Aku tidak putus asa. Mungkin saat ini ia tengah menuju arah rumahku. Aku hanya perlu menunggu, bukan?

Rasa antusiasku mulai berkurang. Hampir memasuki waktu ashar pun Hindam belum datang. Aku mulai khawatir. Pikirku melayang-layang ke arah negatif. Kulihat Ibu memberi senyum yang lain artinya. Aku tetap berusaha membuang jauh hal tersebut. Namun, tidak dapat kupungkiri aku mulai menangis dalam hati.

Selepas Ashar, aku mendatangi rumah sementara Hindam. Pintu rumah itu terbuka, sosok Hindam pun aku yakin ada di dalam sana. Aku menghampirinya demi memuaskan rasa penasaran atas keingkarannya untuk datang hari ini.

"Assalamualaikum."

Lelaki itu terkejut atas kehadiranku, kemudian pandangan Hindam tidak lagi tertuju ke arahku.

"Wa'alaikumussalam," jawabnya sembari menyusun baju dalam koper.

"Kamu mau kemana, Mas?" tanyaku merasa ganjil dengan tingkahnya.

Ia berhenti sejenak. Menghela napas panjang kemudian memberanikan diri menatapku. "Kiara, maaf aku tidak bisa menikahimu."

Aku tercengang. Bukan ini yang kuharapkan. "Apa?!"

"Bapak meninggalkan wasiat untukku menikahi pilihannya. Kurasa inilah saatnya aku harus menjadi anak yang berbakti dan memenuhi wasiat beliau. Maaf, karena aku tidak bisa menepati janjiku padamu, Kiara."

Aku pergi tanpa kata setelah membentaknya hingga puas yang hanya diterima saja olehnya. Kurasa percuma juga, Hindam mungkin juga tidak memiliki pilihan lain. Jujur saja, aku merasa runtuh. Impian kami yang telah terajut apik, kini terurai benang lungsinya. Tiba di rumah, kutumpahkan segalanya. Aku mengatakan kebenaran itu pada ibu.

"Ra, jodoh itu misteri. Dia yang kamu harap dan perjuangkan belum tentu yang terbaik. Mungkin Allah sedang menguji kesabaran dan ketabahanmu. Berbaik sangkalah pada Allah, Dia pasti gantikan Hindam dengan yang lebih baik," ujar Ibu menenangkanku.

Aku memeluk Ibu dengan erat dan dalam keyakinan hatiku berucap pasrah akan takdir yang sudah digariskan padaku. Hindam merupakan cobaan untukku agar lebih memahami hakikatnya jodoh yang tidak siapa pun dapat memprediksi juga melatihku untuk meletakkan pengharapan besar kepada Allah dan bukan kepada makhluk-Nya.

[Tamat]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro