Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB TIGA

HARI 1 / 11:11


Rahman memutuskan untuk keluar dari kelasnya, dan dia mulai merasa bahwa ternyata keputusannya mungkin kurang bijak.

Lobby lantai 4 benar-benar ramai, dan saat Rahman menengok sebentar untuk melihat sumber keributannya, ternyata di tengah sana ada tubuh tanpa kepala.

Persis seperti tubuh Anin di kelasnya tadi.

Rahman bergerak terus, meninggalkan kerumunan yang tengah menangis tersedu-sedu. Dia sadar betul bahwa mereka telah dicurangi—saat diumumkan bahwa segalanya dimulai dari jam sebelas, jam sudah menunjuk jam sebelas lewat tujuh. Mereka kecolongan tujuh menit—yang berarti waktu hingga gelombang maut pertama, mengasumsikan bahwa tidak akan ada pembunuhan hingga jam dua belas nanti, akan tiba dalam lima puluh tiga menit, bukan enam puluh. Bukan selisih yang banyak, tapi sebagai anggota Eksekutif Mahasiswa, itu cukup untuk membuat lehernya gerah.

Tidak secara harfiah, tentu.

Rahman bergerak di bawah komando—Rama mendekatinya tidak lama setelah pengumuman bahwa semua ini secara resmi dimulai bersama Ayza, dan dia menugasi Rahman dengan mencari kawan. Tidak harus kerumunan, tapi yang penting kawan. Seseorang yang bisa mereka percaya. Selama empat puluh sembilan menit ke depan, mereka bisa berharap ada jendela aman berkat shock yang pasti melanda semua orang di gedung ini. Namun, kata Rama, semua itu akan berubah setelah gelombang maut pertama.

Jika pembunuhan acak yang dimaksud oleh para penyandera di bawah adalah seperti yang mereka tunjukkan dengan mencabut leher semua orang secara gaib, mereka tidak akan bisa melawan sama sekali. Pada satu titik nanti, tekanannya akan terlalu besar.

Tidak ada orang yang mau mati begitu saja. Oke, ada beberapa pengecualian, tapi Rahman berani bertaruh bahwa nyaris semua dari seribu seratus dua puluh empat orang yang masih ada di gedung FISIP tidak akan mau mati begitu saja. Yang cuma bisa berarti satu hal: pertumpahan darah yang mereka inginkan akan terjadi.

Rahman memutuskan bergerak turun, karena dia tahu siapa lagi yang bisa dia percaya dan kini sedang berada di kampus: Hafiz. Dalam situasi tegangan-tinggi seperti ini, Hafiz memang bukan orang terbaik yang bisa menjaga emosinya, tapi Rahman tahu Hafiz cukup bisa dipercaya untuk bekerja sama.

Belum lagi, Rahman nyaris tidak pernah melihat Hafiz tidak bersama Ammar. Bulldozer manusia seperti itu jelas merupakan keuntungan sendiri jika berada di pihak mereka dalam keadaan seperti ini.

Menurut pesan instan teman-teman mereka dari kelas Hafiz sebelum segala macam jaringan mendadak hilang, kelas mereka selesai lebih cepat dari kelas Rahman, dan mengetahui kebiasaan Hafiz dan kumpulannya, Rahman tahu ada dua kemungkinan: antara mereka sedang di kantin, atau mereka sudah pergi mencari tempat makan siang. Jika kemungkinan yang benar adalah yang pertama, Rahman sudah tenang. Hafiz percaya pada Rama dan cukup dekat dengan Ayza. Namun jika yang benar adalah kemungkinan kedua ... Rahman turut berduka. Jika menilai dari ledakan dan tembakan tadi, bukan tidak mungkin mereka sudah ditembaki hingga mampus oleh pasukan di luar.

Yang membuat Rahman merasa keputusannya kurang bijak adalah karena posisinya yang sedang berada di lantai 4. Asumsinya dengan Rama dan Ayza memang berdasar, tapi seperti yang ditekankan oleh Rama, dia harus siap dengan segala kemungkinan. Karena itulah dia sekarang membawa sebatang besi kecil yang ditemukan Rama di pojok kelas, disembunyikan di dalam lengan jaketnya.

"Patahan pijakan bangku," katanya waktu memeriksa batangan itu. "Besi. Lumayan sakit untuk memukul. Tonjolan bekas las di sini juga bisa untuk menusuk, walaupun cuma setengah sentimeter."

Lebih dari cukup bagi Rahman untuk kondisi saat ini.

Lobby lantai 3 sepertinya tidak lebih baik daripada di atas—malah, Rahman merasa melihat lebih banyak lagi darah daripada di kelas atau di lobby B4. Dia tidak sedang berniat memeriksa, dan saat ini, tujuannya adalah kantin. Senjata yang dibawanya sudah cukup membuatnya tegang karena mau tak mau, dia jadi terus teringat akan kemungkinan diserang di tengah jalan. Dia tidak butuh distraksi lain.

Turun ke lantai 2, keadaan tidak jauh lebih baik. Beberapa kubangan darah lagi, kerumunan lagi....

Dan akhirnya lantai 1. Rahman harus sedikit memicingkan mata karena agak kaget dengan cahaya terang dari arah pintu depan dan belakang yang sepertinya sudah tidak berkaca lagi, tapi paling tidak pandangannya terbantu. Ada wajah familier.

"Ra?" panggilnya. Gadis itu tidak langsung merespon. "Rara!"

Begitu Rara menoleh, Rahman langsung tahu ada yang salah. Jadi dia memutuskan menghampiri dulu.

Tangan Rara berdarah.

"Apa—?"

"A-ada—ada yang kepalanya—" Rara menelan ludah. "Aku tidak tahu, tiba-tiba—"

Rara berhenti dan tampak menahan napas. Perlu dua detik hingga Rahman sadar bahwa Rara juga menahan tangis.

"Ssh, ayo sini," katanya sambil merangkul Rara. "Aku sedang mencari gerombolan Hafiz."

Rara menarik napas tajam sembari mengikuti Rahman berjalan ke kantin. "Untuk?"

"Cari teman," jawab Rahman. "Cari orang yang bisa diajak bekerja sama jika situasi jadi jelek."

Rara terdiam. Rahman merasa seakan Rara sudah melihat situasi jadi jelek. Jika menilai dari pintu dan jendela yang hancur lebur beserta teras Gedung B dan jumlah pasukan bersenjata di luar sana, Rahman tidak heran.

"Kenapa Hafiz?" tanya Rara akhirnya.

"Perintah Rama," kata Rahman. "Ada beberapa keuntungan ... taktis."

Rahman sedang tidak dalam mood menjelaskan, dan dalam keadaan begini, toh dia masih bisa menjelaskan sekalian nanti setelah ia mencapai Hafiz.

Jadi, begitu dia mencapai kantin, matanya segera mencari. Tidak seperti di lobby, kantin sangat gelap—ternyata jendela tempat ini juga tertutup kain, seperti di atas. Dan, seperti di lobby, hanya ada satu daerah yang tidak terhalang kain: pintunya. Ada dua pintu dari kantin yang mengarah langsung keluar, dan kedua pintu itu tidak ditutup dengan kain.

Rahman masuk bersama Rara. Dengan keadaan gelap begini, tidak mungkin dia bisa mencari Hafiz ... memanggil juga sepertinya bukan keputusan yang tepat, berhubung kantin saat itu sedang sangat ramai.

"Banyak yang lari ke sini," kata Rara lirih. "Semenjak ... semenjak mereka mulai menembak."

Rahman teringat kaca pintu dan jendela lobby lantai 1 yang sudah raib—cukup masuk akal. Dengan senapan mesin yang dibawa oleh pasukan bersenjata di luar sana, salah tembak ke arah gedung akan cukup untuk menghancurkan kaca ... dan mengenai beberapa orang di dalam. Tentunya, refleks pertama semua orang adalah mencari perlindungan, dan dengan depan dan belakang gedung dikepung seperti itu, tinggal ada satu tempat yang bisa mereka tuju: gedung konektor.

Alias, karena mereka di lantai 1, kantin.

Berarti, pekerjaannya mencari Hafiz baru saja menjadi agak pelik. Rahman tidak membawa senter sama sekali.

"Kamu yakin Hafiz di sini?" tanya Rara. Rahman mengangguk.

"Semoga saja," katanya. "Entahlah, aku tidak yakin di mana lagi dia akan berada saat ini ... jika dia masih hidup."

Rahman berusaha menebar pandangan, tapi dia cuma bisa melihat mereka yang tersentuh cahaya dari pintu-pintu kantin di pojok. Rara akhirnya menghela napas dan merogoh ke dalam tasnya.

"Ini," katanya sambil mengeluarkan sesuatu, diikuti dengan bunyi tombol yang ditekan dua kali. Sesuatu lalu menyala terang di tangannya. "Powerbank-ku."

"Trims," kata Rahman sambil menerimanya dan mulai mengarahkan senter kecil itu ke seantero kantin.

Rara benar—kantin sangat ramai. Banyak orang berdesak-desakan di sana-sini, saling bersinggungan, saling memeluk, saling menangis dan bergumam ketakutan. Rahman nyaris tidak bisa melihat menembus massa daging hidup di depannya.

Apa dia tidak di sini? Toh, pernyataan 'Hafiz masih hidup' belum berbentuk fakta baginya. Itu masih praduga. Belum lagi, kemungkinan bahwa Hafiz keluar bersama teman-temannya saat kelas mereka selesai cukup besar ... yang berarti, antara Hafiz sudah mati, atau—pastinya—Hafiz sudah di luar jangkauan.

Masalahnya, Rahman belum mencoba mencari, yang berarti bukan haknya menyimpulkan lebih dulu.

"Bagaimana kalau menurutmu? Apa Hafiz ada di sini?" tanya Rahman. Rara terdiam sesaat.

"Mungkin saja," kata Rara. "Kenapa tidak kita coba cari dulu?"

Rahman tidak menjawab. Namun akhirnya dia memutuskan untuk melangkah maju ke dalam kerumunan di depannya dan mulai mencari. "Fiz!"

***

Ketika semua orang sudah berkumpul dan mulai menangis, kepala Sangkil malah terbang ke arah lain.

Kepala Tari lepas sendiri. Kejadian itu terulang terus di kepalanya. Lepas. Buntung. Terpental, malah. Sangkil ingat luka dalam yang mendadak muncul di sekeliling leher Tari sebelum leher itu akhirnya putus di tengah.

Luka. Sangkil memiliki ketertarikan tersendiri terhadap luka-luka fisik, jadi dia tahu bahwa luka itu mirip dengan luka hukuman gantung. Tidak persis, dan penyebab kematiannya jelas berbeda, tapi ada persamaan—trauma pada pembuluh darah di leher.

Yang berarti, untuk suatu alasan—entah itu tekanan dari luar seperti dalam kasus hukuman gantung, atau penyebab lainnya, pembuluh darah Tari di daerah sana banyak yang pecah, dan sepertinya nyaris secara bersamaan. Atau mungkin terjadi dalam jangka waktu agak pendek, dan terlokalisasi di daerah leher ... tapi bagaimana bisa? Apa yang kira-kira bisa menyebabkan itu?

Belum lagi, aturan permainan yang dijelaskan oleh pasukan di luar sana ... jika kurang dari tujuh orang mati saat jam dua belas nanti, berarti mereka sendiri yang akan menanganinya secara acak. Dan mereka mampu membunuh dari jarak jauh. Sangkil tidak pernah percaya pada hal-hal gaib, tapi Tari ternyata bisa menantangnya lebih dari yang dia mampu.

Mereka mampu membunuh dari jarak jauh ... dan mereka menyebutkan sesuatu soal kerumunan. Tiap kerumunan. Yang berarti mereka juga bisa melacak dinamika orang-orang di dalam ... apa mereka punya penyusup di dalam gedung?

"Aku sudah tahu!" gerung seorang mahasiswi. Ketidakmampuan Sangkil dalam segera menghafalkan nama sedang merugikannya saat ini. "Aku sudah bilang dari dulu! Tempat ini dikutuk!"

"Dikutuk apanya?" sahut mahasiswi lain.

"Tempat ini dulu digunakan untuk menghukum mati orang, tahu! Pasti mereka tidak tenang—dan begitu banyak orang mati waktu ledakan tadi—"

"Kamu gila! Kalau begitu kenapa mereka tidak menghantui dari dulu, hah?"

"Mereka sudah menghantui di sekitar lantai 5 dan 6, sumpah! Aku sering melihat bayang-bayang di sana! Tapi banyak darah tertumpah tadi—dan mereka jadi tidak tenang!"

"Lalu bagaimana kauakan menjelaskan fakta bahwa pasukan di bawah bisa mengendalikan siapa yang mati dan tidak?" sergah Sangkil tanpa dipikir. "Mereka bawa dukun, begitu?"

"Siapa tahu? Apa kita tahu apa yang dilakukan militer kita selama ini? Oleh Pemerintah?"

Tidak seperti gadis ini, Sangkil cukup mengikuti perkembangan militer dunia. Sebenarnya lebih supaya bisa mengikuti perkembangan permainan daring first-person shooter, tapi paling tidak ada efek samping yang bisa menguntungkannya. Oke, berarti gadis ini anti-Pemerintah. Sangkil berusaha mencatat itu secara mental. Jika dia tidak bisa mengingat namanya, paling tidak dia bisa mengingat perilaku dan sifatnya.

Lucunya, beberapa anggukan setuju mulai muncul. Bisik-bisik senada 'benar juga ya' dan 'kenapa tidak terpikir dari tadi' mulai saling bertukar mulut. Sangkil menatap keremangan teman-temannya dengan tidak percaya. Dia memang sudah tahu bahwa banyak orang bodoh yang mudah disetir. Dia cuma tidak tahu bahwa bisa ada sebanyak itu dalam satu ruangan.

Jika ada bukti, baru kauboleh percaya. Di luar itu, kauharus siap jika ternyata kau salah. Ini mentalitas yang ternyata tidak dimiliki hampir semua teman-teman sekelasnya. Membuat hubungan pada hal yang sebenarnya tidak ada hubungannya. Percaya tanpa bukti. Menolak saat dibuktikan salah. Justifikasi. Menyedihkan.

Mengesampingkan itu semua, mau tidak mau, Sangkil sebenarnya agak penasaran dengan penyebab kematian Tari—sayangnya, dia tidak bisa memulai pencarian karena kurangnya data. Sangat kurangnya data, malah. Dia cuma tahu terjadi pemecahan pembuluh darah dalam waktu singkat di lehernya, diikuti dengan kepala yang putus sendiri ... oh, dan kepalanya agak terpental. Hmm. Berarti ada gaya yang terlibat. Mungkin karena tekanan dari dalam?

Namun dari mana asalnya?

Sangkil mengacak-acak rambut keritingnya. Tidak, situasinya sedang tidak enak untuk berpikir. Apalagi dengan Karna yang masih bernapas berat di sebelahnya.

"Jangan bilang kau masih kaget," kata Sangkil. Karna menoleh kepadanya dengan tidak percaya.

"Kau bercanda? Itu—kepala Tari—"

"Iya. Tahu. Masalahnya, bagaimana caranya?" Sangkil mengerjap. "Apa ada cara mencurangi semua ini?"

Karna masih berjuang bernapas lewat mulut, tapi kata-kata Sangkil mulai tenggelam di kepalanya. Baguslah. Karna cukup tahu bahwa situasi seperti ini akan menggigitnya keras-keras jika dia sampai membiarkan emosi mengambil alih. Karna menelan ludah. "Kita butuh bantuan."

Sangkil menyeringai kecil. "Persis. Dan aku tahu siapa lagi yang sedang kelas hari ini."

***

Ammar mulai bernapas berat, dan Hafiz beberapa kali memukuli lengannya karena itu.

"Santai dikit napa, sih?" ujarnya kesal. Seakan kegelapan dan bunyi tembakan dan ledakan dan bau darah yang menggelantung di udara kurang mengerikan. Belum lagi memperhitungkan fakta bahwa ada kemungkinan seribu seratus dua puluh empat banding satu bahwa dia akan mati dalam kurang dari dua puluh empat jam ke depan.

Kenapa semua jadi seperti ini? Ammar benar-benar tidak habis pikir. Keberuntungannya saja, mungkin. Namun dia tidak percaya keberuntungan. Semua pasti ada yang mengatur.

Namun kenapa semua jadi seperti ini?

Agak ganjilnya, Hafiz sedari tadi tidak banyak cingcong. Dia tetap tampak agak tegang—atau mungkin itu cuma persepsi Ammar di tempat penuh stres begini karena toh dia tidak bisa melihat Hafiz dengan jelas—tapi dia tidak mengucapkan banyak kata semenjak semua jendela mendadak tertutup kain.

Oke, dia memang sempat menjerit saat mendadak ada kepala seorang mahasiswa yang putus begitu saja, tapi Ammar tidak yakin jeritan dihitung sebagai kata.

Dan keganjilan ini membuat Ammar merasa semakin tidak nyaman. Mungkin karena itu dia terus-terusan mengganggu Hafiz. Sayangnya upayanya tidak banyak berbuah.

"Fiz!" seru sebuah suara di tengah isak tangis semua orang. "Fiz!"

Ammar melongo sesaat. Sepertinya Hafiz juga. Namun dia langsung mencengkeram lengan sahabatnya. "Fiz!"

"Iya, gue denger!" sergah Hafiz cepat. "Man! Di sini!"

Sesaat kemudian, secercah cahaya kecil muncul dari tengah keramaian berbau keringat dan darah di depan mereka—cahaya senter mini. Senter ponsel? Tunggu, bukan. Begitu cahaya itu mendekat, Ammar bisa mengenali bentuk Powerbank yang khas di sana. "Ah, di sini kamu."

"Pada di mana? Kok tau gue di sini?" tanya Hafiz cepat.

"Tadi aku dari kelas B4.1. Rama yang menyuruhku mencarimu," jawab Rahman. Ada suara kain bersinggungan dan isakan lembut setelahnya, dan Ammar mengenali suara tangis itu.

"Rara?" panggilnya. Tidak ada jawaban, tapi Ammar bisa mendengar Hafiz mengatakan sesuatu dengan lembut dengan menyebut 'Ra'. Oke, berarti yang sedang memeluk Hafiz sekarang memang Rara. "Tunggu. Rama tahu dari mana kami masih di sini?"

Siluet remang Rahman mengangkat bahu. "Tahu sendiri dia seperti apa."

"Kenapa dia menyuruhmu mencari kami?"

"Cari teman," jawab Rahman simpel. "Situasi seperti ini tidak akan bisa ditangani satu kelompok kecil, apalagi satu orang. Rama ingin tahu siapa yang bisa dipercayanya. Ada seribu seratus dua puluh empat orang di sini. Dia tahu paling tidak segelintir pasti bisa diajak bekerjasama jika situasi jadi genting."

Ammar terdiam, tapi lalu suara isakan Rara agak menjauh. Hafiz angkat bicara duluan. "Ya terserah, sih. Cuma kalo entar ujungnya bener-bener soal idup mati ... gue ga berani jamin apa-apa."

Ammar menatap Hafiz tidak percaya, walaupun sepertinya Hafiz tidak sadar.

"Oke," jawab Rahman. Ammar langsung melemparkan tatapan yang sama kepadanya.

Gila. Baru beberapa menit setelah muncul pengumuman permainan dimulai, dan mereka berdua sudah berpikir hingga skenario itu? Bagaimana mereka bisa mencerna semua ini secepat itu?

"Tapi kuperingatkan dulu—kantin sangat ramai," sambung Rahman. "Belum lagi, nyaris semua makanan ada di sini. Tempat lain yang bermakanan di dalam koperasi. Jika semuanya mulai memburuk ... tempat ini tidak akan aman. Sama sekali."

Ammar masih tidak berkomentar, tetapi gerigi-gerigi di otaknya mulai berputar. Rahman benar. Dalam keadaan seperti ini, mungkin syok masih bisa mencegah siapa pun dari bertindak bodoh—tapi jika keadaan jadi tambah parah, misalnya jika akhirnya ada yang menyeriusi permainan mengerikan ini, maka hal pertama yang akan dicarinya adalah cara untuk meningkatkan kemungkinan bertahan hidup. Pertama, jika cukup kuat, lawan. Jika tidak, bertahan.

Lalu, dalam jangka agak lebih panjang ... makanan.

"Gawat," kata Hafiz dari sebelahnya. "Anjir. Stand kantin ga ada yang dijaga."

Jantung Ammar mencelus. "Kita harus pergi sekarang."

"Aku berencana kembali ke kelas," kata Rahman. "Berkumpul lagi dengan Rama dan Ayza, lalu kita putuskan langkah berikutnya dari sana."

"Bukannya kelas juga ramai?" tanya Hafiz.

"Tapi tidak banyak makanan di sana," sambung Nisa. "Aku ikut Rahman."

"Aku juga," sambung Lissa. Ada suara gusrakan, dan Ammar menangkap keremangan tangan Hafiz menyambar lengan Rahman.

"Lo bawa senjata, ga?" bisiknya. Perlahan, Ammar melihat Rahman mengangguk. Hafiz menarik napas. "Tapi gue masih ngerasa kalo makanan di sini bakal abis ga lama abis kematian pertama. Entah gara-gara ada yang bego bunuh orang, ato ada lagi yang buntung mendadak."

Ammar merinding mendengar itu. Aura panik di kantin saat itu tidak banyak membantu.

"Dan kalo makanan di sini abis," lanjut Hafiz, "gimana?"

"Menurutku makanan bukan masalah," kata Nisa. "Banyak di sini yang sering puasa untuk hemat uang. Kita cuma akan di sini 24 jam, 'kan?"

Semuanya terdiam. Seakan-akan tidak ada yang mau mengingatkan bahwa ya, mereka hanya akan ada di sana selama 24 jam ... jika mereka tidak mati duluan.

Atau terpilih untuk mati di jam terakhir, dalam hal itu.

"Kita masih bisa rampok koperasi," usul Ammar.

"Jangan," kata Rahman. "Sebaiknya jangan jadi sumber keributan. Itu akan meningkatkan panik, dan semua orang akan terpengaruh. Segala hal akan bertambah parah lebih cepat. Selama mungkin, jangan sampai ada yang jadi pemicu keributan."

"Lalu bagaimana sekarang?"

"Gue mau coba curi makanan," kata Hafiz pelan. "Kalo gagal atau jadi ribut, kita langsung mangkir semua. Gimana?"

"Kamu gila," ujar Rara setelah diam cukup lama.

"Emang. Tapi gue gamau rugi."

"Lalu jika ribut pecah bagaimana kaumau keluar, hah?" protes Nisa. "Merangkak? Cerdas."

Hafiz terdiam. Namun Ammar lalu merasakan gerakan—Hafiz sudah menyelinap pergi. "Eh—Fiz!"

"Hah?" Rara ikut meraba ke depannya—dan cuma bertemu udara kosong.

Ya. Hafiz sudah menyelinap pergi.

Ammar menatap ke sekelilingnya. Semuanya gelap. Gawat.

Lagi-lagi dia harus memastikan Hafiz tidak bertindak bodoh. Akhirnya dia cuma bisa menghela napas dan berharap ponselnya cukup untuk jadi penerangan. "Fiz!"

***    

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro