BAB DUA
HARI 1 / JAM 11:02
"SEBAGAI DEMONSTRASI...."
Rara tidak yakin apa yang lebih membuat tangannya gemetar—tubuh-tubuh bersimbah darah yang baunya sangat tajam menusuk hidungnya, jeritan dan bisikan panik yang menghiasi lobby lantai 1 Gedung B, atau kegelapan sebagian yang menyelimuti ruangan itu. Atau mungkin semuanya? Itu juga bisa.
Omong-omong soal kegelapan, sebenarnya lobby tidak terlalu gelap. Entah kenapa dan bagaimana, hanya jendela di kedua pintu keluar Gedung B yang tertutup oleh kain. Pintu sama sekali tidak ditutup. Dan itulah bagaimana Rara tahu bahwa mereka yang di luar tidak sedang bercanda.
Rara bisa melihat jelas orang-orang bersenjata di luar sana, dan jumlahnya banyak. Beberapa baris tampak menjaga dengan rapat dan sigap di luar, sementara orang-orang di belakangnya mulai mengerjakan sesuatu yang Rara tidak bisa lihat apa.
"Dik—Dika—tahan, Dik—" ujar seorang mahasiswa dengan panik dari sebelah Rara sambil memegangi temannya ... yang bersimbah darah.
Darah. Rara menelan ludah. Cahaya dari pintu depanlah yang masih cukup memberinya penerangan untuk bisa melihat bahwa Dika memang sedang bersimbah darah. Rara tidak yakin apa yang menyebabkan luka parah di sekujur tubuh Dika—apakah Dika termasuk yang selamat saat teras di depan dan belakang kampus mendadak diledakkan hingga runtuh? Atau Dika tiba di sini setelah semua orang yang masih di luar gedung kampus ditembaki tanpa sisa?
Yang pasti, Dika ternyata sulit bernapas. Entah kenapa. Apakah paru-parunya tertembak? Atau perutnya? Atau dia luka di tempat lain? Rara tidak tahu, dan dengan luka-luka lain yang menghiasi tubuh dan pakaiannya—belum lagi ditambah penerangan yang sangat terbatas—Rara tidak yakin dia bisa membedakan sumbernya sama sekali.
Toh, bukannya itu hal yang penting juga. Ia cukup yakin tidak ada orang di sini yang punya kualifikasi yang tepat untuk menolong orang dalam posisi Dika.
Jadi saat Dika akhirnya berhenti tercekat dan berhenti bergerak sama sekali, disusul dengan tangis tertahan teman yang berusaha menyelamatkannya, Rara cuma bisa menahan napas.
Kelasnya baru saja selesai. Belum makan sepuluh menit sejak kelasnya selesai, dan hal berikutnya yang ia tahu....
Saat itulah muncul suara tercekik lain.
Seharusnya Rara tidak heran—cukup banyak mahasiswa yang berhasil mereka tarik kembali ke dalam kampus saat penembakan mendadak dimulai. Pintu kaca dan jendela mereka sudah hancur. Beberapa peluru juga sepertinya meleset ke dalam—tapi Rara menyadari satu hal: begitu mereka yang di luar berhasil masuk, mereka tidak lagi ditembaki.
Begitu saja, mereka berhenti menjadi target.
Bagaimanapun juga, berhenti menjadi target bukan berarti luka-luka mereka bisa sembuh sendiri, dan persis itulah yang paling banyak berkontribusi ke nyawa-nyawa melayang prematur dan tangisan tak percaya yang bergaung di seantero lobby, bahkan hingga melatarbelakangi saat pasukan di luar mulai berbicara menggunakan speaker.
Namun suara tercekik yang baru saja muncul terasa salah—ada yang berbeda dengan suara itu.
Jadi, Rara memilih menengok.
Pilihan waktunya sangat tepat. Persis di saat itu, tangan Rara yang terbuka menangkap sesuatu dari arah suara itu.
Rara berhenti sesaat. Yang ditangkapnya terasa agak berambut—
Karena itu memang rambut.
Rara mengangkat tangannya.
Itu kepala.
Telinga Rara terasa sakit. Sesuatu terdengar menulikan—tunggu, apa itu jeritannya sendiri?
Tepatnya, itu jeritan bersamaan dari puluhan orang yang sedang berada di lobby Gedung B saat itu. Seluruh tubuh Rara benar-benar lupa caranya bergerak, yang mungkin bukan hal bagus karena kini mata Rara benar-benar terpaku pada kepala bermulut menganga di tangannya.
Leher kepala itu tampak seakan-akan pemiliknya sehabis dipotong dengan sebuah pedang dengan sangat bersih. Potongan bersih tidak sama dengan potongan bebas darah, tentu, tapi kepala ini nyaris tampak seperti benar-benar dicabut tanpa hambatan dari tengah lehernya.
Pastinya, itu tetap tidak menghalangi tubuh pemiliknya dari tetap mengucurkan darah dengan derasnya sembari terjatuh dengan lemas ke depan. Seakan lantai lobby masih kurang merah.
Jeritan dan tangisan di lobby masih belum menipis, tapi otak Rara akhirnya mulai bisa bekerja dengan benar—kepala ini lepas dari tubuhnya seperti tutup botol anggur yang dicabut. Lepas, begitu saja. Sepertinya dengan agak terpental, karena Rara ingat bahwa kepala yang mendarat di tangannya tadi tidak terasa seperti baru jatuh dari ketinggian seleher. Rasanya lebih seperti dijatuhkan dari langit-langit.
Namun bagaimana bisa mereka yang di luar mengendalikan mereka yang di dalam begitu saja?
Leher yang putus sendiri dengan bersih tanpa ditebas, bahkan tanpa disentuh—apakah pihak militer di luar akhirnya bisa menguasai ilmu gaib untuk digunakan dalam perang?
"YANG SEPERTI BARUSAN AKAN TERJADI APABILA KURANG DARI TUJUH ORANG MATI DALAM SATU JAM KE DEPAN. ANGKA MINIMALNYA AKAN KAMI NAIKKAN TIAP JAM TANPA PEMBERITAHUAN LEBIH LANJUT."
Suara speaker mengerikan itu muncul lagi, tapi ternyata itu tidak cukup untuk memaksa semua orang diam. Lobby ini tetap berisik dan pilu. Kepala Rara benar-benar penuh dengan berbagai hal sekarang hingga ia sendiri bingung apa yang harus dilakukannya sekarang—menangis? Terus menjerit? Diam? Mencari teman dan minta tolong? Siapa? Minta tolong apa?
Apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini?
"CARA BERMAINNYA SEDERHANA: JIKA ANDA MASIH MAU HIDUP, JANGAN SAMPAI MATI."
Yang seperti barusan....
... mati....
... satu jam ke depan....
Angka minimalnya....
... jangan sampai....
... di tangan kami....
Rara menelan ludah. Di tangan kami.
Orang-orang bersenjata di depan mengakui bahwa, entah bagaimana caranya, merekalah yang mencabut kepala di tangan Rara.
Dan mereka tidak akan ragu melakukannya lagi....
Entah bagaimana caranya.
"PERMAINAN HANYA AKAN DIBERHENTIKAN JIKA SATU DARI DUA SYARAT TELAH TERPENUHI. SYARAT PERTAMA: WAKTU PERMAINAN MELEWATI DUA PULUH EMPAT JAM."
Kali ini, tangisan-tangisan pilu sudah berubah menjadi isakan. Jeritan-jeritan panik sudah berubah menjadi kasak-kusuk penuh dendam. Rara bisa mendengar suara speaker itu dengan jelas.
"APABILA PERMAINAN MELEWATI DUA PULUH EMPAT JAM, KAMI AKAN MENGHABISI SEMUA YANG TERSISA KECUALI SATU ORANG YANG DITENTUKAN SECARA ACAK."
Akal Rara akhirnya bangun juga, dan Rara baru sadar bahwa harusnya ia berjengit sambil menjatuhkan kepala di tangannya yang jelas tidak mati tenang. Jadi persis itu yang ia lakukan setelahnya. Walaupun tetap sambil menjerit kecil.
"SYARAT KEDUA: TINGGAL TERSISA SATU ORANG, WALAUPUN PERMAINAN BELUM BERLANSUNG DUA PULUH EMPAT JAM."
Rara merinding sendiri. Permainan....
... diberhentikan....
... syarat pertama....
... kecuali satu orang....
Syarat kedua....
... tersisa satu orang....
Rara menelan ludah. Sial, jadi intinya—
"KAMI AKAN MENYEGEL ANDA DI DALAM HINGGA PERMAINAN SELESAI. TOLONG PAHAMI BAIK-BAIK BAHWA USAHA ANDA UNTUK KABUR, USAHA APA PUN ITU, AKAN DITINDAKLANJUTI SECARA FATAL."
Yang berarti, yang bisa keluar dari kampus ini hidup-hidup, bagaimanapun juga, hanya satu orang.
Satu, dari seribu seratus dua puluh empat.
Dalam waktu dua puluh empat jam.
Atau kurang....
Suara di balik speaker itu terdiam sesaat sebelum akhirnya melanjutkan, "JAM PERTAMA ANDA TELAH MULAI DIHITUNG DARI SEJAK JAM SEBELAS TEPAT. KAMI MENANTI TUJUH NYAWA ANDA. OLEH KARENA ITU, SELAMAT BERMAIN KEPADA ANDA SEKALIAN, DAN TERIMA KASIH ATAS PARTISIPASINYA."
Rara masih berjuang bernapas normal, dan menatap ke arah luar sepertinya jelas tidak membantu. Namun paling tidak akhirnya ia bisa melihat bahwa pergerakan di balik barisan penjaga bersenjata yang mengepung gedung ini telah berkurang.
Mereka akhirnya berfokus pada menjaga semua orang di dalam.
Mereka akhirnya berfokus menjaga hingga permainan selesai.
Yang cuma berarti satu hal: permainan telah dimulai.
***
Ayza tahu bahwa pengumuman di bawah sana tidak main-main, jadi ketika mendadak teman-teman sekelasnya mulai panik lagi setelah kepanikan pertama waktu leher sahabatnya putus, Ayza memutuskan pindah tempat duduk ke pojok kelas.
"Za. Kamu tidak apa-apa?" tanya Rama di sebelahnya. Wajah Rama tampak tegang, tapi Ayza cukup kenal anak ini untuk tahu bahwa itu lebih karena kaget—dan dipengaruhi oleh sekelilingnya. Ayza tahu Rama bisa menjaga emosinya di bawah kendali dalam situasi lain saat tidak dikelilingi oleh teman-teman mereka.
"Iya," jawab Ayza. Lucu. Biasanya Ayza lebih ekspresif. Kali ini sahabatnya mendadak putus leher—secara harfiah—dan Ayza malah merasa mati rasa. Entah kenapa juga. Ayza benar-benar tidak merasa sedih, takut, panik ... tidak ada emosi apa pun sama sekali. Saat Anin mendadak mulai mencakari lehernya sendiri dan mencari tali gaib yang tidak ada di sana, Ayza panik. Sangat. Ia bahkan ikut berusaha mencegah Anin dari melukai lehernya sendiri—
Namun lalu kepala Anin terpental sendiri ke udara, dan setelah beberapa detik keheningan mental yang dihiasi keributan jeritan panik dari semua orang di kelas, Ayza tidak bisa merasakan apa-apa lagi.
"Bagus," kata Rama. "Aku butuh bantuan otakmu."
"Untuk?"
"Mencari tahu," kata Rama. Dia menghela napas—Ayza yakin Rama akhirnya berusaha mengendalikan emosinya lagi. Elemen kejutan dari pasukan bersenjata di luar sudah memudar. Rama seperti sudah menduga bahwa segalanya akan berlangsung ke arah sini. Ledakan, tembakan ... maut sudah dekat dengan mereka selama sepuluh menit terakhir, dan dia akan semakin memperkuat cengkeramannya pada mereka.
Dan Ayza tidak takut. Paling tidak, untuk saat ini. Hingga mati rasanya akhirnya melepaskan diri, Ayza benar-benar merasa kebal emosi apa pun.
"Mencari tahu apa?"
"Alasan mereka melakukan ini," kata Rama. "Jumlah orang di luar sana tidak main-main. Mereka bahkan menyusun tenda sendiri," Rama menunjuk ke bawah jendela. Posisi mereka di ruang B4.1 memberi mereka pemandangan sempurna akan lapangan parkir depan kampus, dan begitu Ayza megintip, ia tahu Rama benar—ada sebuah tenda hijau yang didirikan di sana. "Mereka serius soal ini. Tapi untuk apa?"
"Mereka menyebut ini 'permainan'," ingat Ayza. "Mereka juga memastikan bahwa yang bisa keluar dari kampus ini hidup-hidup cuma satu orang."
"Satu dari seribu seratus dua puluh empat. Untuk? Apa untungnya bagi mereka? Apa untungnya bagi semua orang? Seribu orang bukan jumlah yang sedikit. Belum lagi, menurutku, jika ada yang berhasil kabur, dia pasti dalam masalah serius."
"Kenapa?"
"Kota kita dikelilingi markas militer di sana-sini," jawabnya. "Dengan asumsi ada yang berhasil selamat keluar sekalipun, dan selamat dari mereka yang mengepung kita di luar—yang sendirinya mustahil—dia akan masih harus menjaga diri dari orang-orang di kota ini. Lihat ke seberang. Tidak ada aktivitas apa pun di Fakultas Teknik. Aku tidak melihat mobil berseliweran di dekat Fakultas Hukum. Sepi. Bagaimana bisa cuma fakultas kita yang masih masuk ... dan tepat saat kita dikepung begini?"
"Maksudmu ...," Ayza berpikir sebentar. "Mereka sudah tahu bahwa akan diadakan ... permainan ini?"
"Bisa jadi. Atau mungkin mereka disetir oleh yang sudah tahu tentang ini semua. Lalu mengingat brutalnya permainan ini, orang biasa seharusnya tidak setuju. Yang berarti, antara mereka punya alasan yang sangat bagus hingga bisa meyakinkan pihak jajaran atas untuk bisa mengevakuasi wilayah tanpa sepengetahuan kita ... atau mereka punya koneksi. Orang dalam."
"Dan karena kita tidak tahu siapa ... mereka bisa jadi siapa saja. Begitu?"
"Ya. Dan kota ini tidak aman karena itu. Lalu jika ada orang yang berhasil keluar dari kota ini pun ... kota-kota satelit dari sini semuanya punya pangkalan militer. Jika yang di bawah sana adalah militer sungguhan dan bukan pasukan pemberontak atau semacamnya...."
"Dia pasti mampus," simpul Ayza. Rama mengangguk.
"Aku masih tidak paham kenapa mereka sangat ingin seribu seratus dua puluh tiga mahasiswa FISIP mati dalam dua puluh empat jam atau kurang. Apa mereka berusaha menyetir berita? Apa mereka berusaha mencari ancaman imajiner supaya tetap dapat pendanaan, seperti di Papua dulu? Apa tujuan mereka? Apa kepentingan mereka?"
"Apa kita bakal tahu? Sekarang sebaiknya kita fokus dulu ke bertahan hidup."
"Atau mencari jalan keluar," kata Rama. "Aku tidak melihat cara yang masuk akal, tapi aku jelas tidak mau harus membunuhmu."
Ayza terdiam. "Menurutmu anak-anak akan benar-benar saling membunuh, seperti yang mereka inginkan?"
"Untuk saat ini? Tidak," kata Rama. Namun lalu dia mengedikkan dagu ke arah tubuh Anin yang tak berkepala. "Tapi jika mereka bisa mengendalikan tubuh dari jarak jauh seperti itu, entah bagaimanapun itu caranya ... aku tidak tahu apa lagi yang mereka bisa lakukan. Kemungkinannya tidak terbatas."
Ayza mengikuti arah pandangan Rama. Anak itu ada benarnya. Ayza tidak bisa memikirkan cara apa pun yang kira-kira bisa melakukan itu, dan ia juga tidak akan munafik—ia sempat terpikir solusi yang lebih supernatural. Luka dalam di leher Anin saat ia mulai tercekik sendiri benar-benar tampak seperti memar yang biasa ada pada jenazah orang-orang yang dihukum gantung atau habis gantung diri. Kepala Ayza buntu.
Apa lagi yang bisa menyebabkan itu?
Dan jika kekuatan seperti itu benar-benar ada di bawah kendali mereka yang mengepung mereka sekarang ... apa lagi yang bisa mereka lakukan?
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro