Bagian 7
Seorang pria berdiri di teras sebuah rumah setelah membunyikan bel, tangannya terus menggenggam sebuah kotak beludru dalam saku kanan celananya dengan senyum cerah yang terpancar dari wajahnya. Hari ini, dia bertekad akan melamar wanita yang selama ini dicintainya. Setahun lebih dia berjuang mendapatkan hati wanita tersebut, dan hari ini dia berharap perjuangannya berbuah manis.
Ceklek
Seorang wanita muda berusia dua puluh lima tahun nampak terkejut melihat kedatangannya.
"Bian?"
"Ha ... Hai. Boleh aku masuk?" Bian tiba-tiba nampak gugup.
"Oh iya. Silahkan." wanita yang biasa dipanggil Kirana itu membuka lebar pintu serta memiringkan badannya agar Bian bisa masuk.
Bian melangkah masuk. Setelah mempersilahkan Bian duduk, Kirana beranjak ke dapur untuk membuat minuman. Hingga beberapa saat kemudian, dia kembali dengan membawa nampan yang berisi minuman untuk Bian.
"Silahkan diminum, Bian." Kirana berusaha tersenyum.
"Terimakasih, tapi ... Aku kemari untuk mengatakan sesuatu." Bian mulai bicara serius dengan menegakkan duduknya.
"Ada apa?" Kirana nampak bingung dengan perkataan Bian.
"Kirana, sudah lebih dari setahun aku mencoba dekat denganmu. Dan beberapa bulan belakangan, aku rasa kita semakin dekat. Aku enggak ada niat buat pacaran, karena aku sudah merasa mantap jika kamulah wanita yang tepat buatku." Kirana terhenyak mendengar perkataan Bian yang tidak pernah ia sangka.
"Kirana Mustika, aku ingin kamu jadi pendampingku. Maukah kamu menikah denganku?" Bian mulai mengeluarkan serta membuka kotak beludru yang dibawanya, hingga terpampang sebuah cincin emas putih yang ditengahnya terdapat safir berbentuk hati dengan hiasan permata kecil yang melingkarinya.
Hening. Hanya deru suara pendingin ruangan yang memecah kesunyian antara mereka. Bian menatap lekat Kirana yang saat ini menundukkan kepala. Bulir bening jatuh tepat diatas tangan Kirana yang digunakan meremas ujung kaos sedari Bian mengungkapkan perasaannya.
Debaran dalam dada Bian kian menjadi ketika tetesan air mata tanpa suara itu berubah menjadi isak. Bian letakkan kotak cincin itu diatas meja kemudian duduk mendekat pada Kirana, perlahan ia menggenggam lembut tangan wanita yang dicintainya itu.
"Aku ... Aku tidak bisa Bian." Kalimat Kirana membuat Bian mematung.
"Kenapa?"
"Aku tidak pantas untuk kamu. Aku sudah menikah, Bian." Tangis Kirana pecah saat mengatakan itu semua. Ia tidak menampik jika ada rasa suka dan nyaman yang mulai tumbuh di hatinya untuk Bian selama beberapa bulan belakangan, namun ... Mungkin memang bukan Bian jodohnya.
"Ada tamu?" Suara yang cukup familiar bagi Bian tiba-tiba terdengar.
Dengan segera Kirana melepaskan genggaman Bian serta menghapus air matanya.
"Iya Mas." Kirana berdiri menyambut pria yang kini menjadi suaminya.
"Pak Arfin?!" Bian tak dapat menyembunyikan raut terkejutnya. Pertanyaan demi pertanyaan muncul disana. Kenapa rekan kerjanya ini ada disini bersama Kirana? Bukankah pria yang terpaut usia 10 tahun darinya ini sudah memiliki istri dan anak?
"Jadi???" Bian beralih menatap Kirana.
"Dia, suamiku." Jawaban singkat Kirana membuat Bian harus menelan kekecewaan.
Dia sangat mengenal baik Arfin yang kini ternyata telah menjadi suami Kirana itu, namun bagaimana bisa Kirana mau menjadi istri kedua?
Dan mengalirlah cerita dari Kirana, sampai akhirnya Kirana diketahui hamil karena perbuatan Arfin kemudian menikah dengan pria itu.
Bian merasakan marah dan kecewa luar biasa. Secara tidak langsung, kesalahan fatal Arfin telah membuatnya kehilangan cintanya. Sia-sia sudah pengorbanan yang dia lakukan selama ini. Tanpa kata, Bian keluar dari rumah Kirana dan melempar jauh cincin yang akan ia gunakan untuk melamar Kirana sebelumnya.
***
Tok ... Tok ... Tok
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Bian tentang kejadian beberapa tahun silam.
"Masuk!"
"Permisi Pak. Calon pegawai yang melamar sebagai sekretaris sudah siap interview dengan Bapak." Malik, Asisten pribadi pria itu menjelaskan.
"Baik, Suruh dia masuk." Bian kembali fokus pada berkas yang semula harus ia tanda tangan.
Bunyi langkah yang semakin mendekat tak membuat Bian mengalihkan fokusnya.
"Ini CV-nya Pak." Malik meletakkan Map berwarna merah disamping Bian kemudian pamit keluar menyelesaikan pekerjaannya.
"Duduk," ucap Bian saat terdengar suara pintu tertutup.
Bian mulai mendongakkan kepala saat seorang wanita telah duduk didepannya. Dan saat itu pula, udara menipis bagi keduanya.
"Kamu?!" Bian menunjuk tepat pada wajah wanita itu.
Pria itu menunduk serta dengan cepat memeriksa map yang berada disampingnya untuk memastikan sesuatu. Dan nyatanya dia tidak bermimpi.
Si wanita pun tak kalah terkejut dengan pertemuan yang tak pernah dia inginkan ini. Nafasnya sesak, keringat dingin mulai muncul, serta memori masa lalu berkelebat dalam ingatannya.
Juni lantas memegang kepalanya dengan kedua tangan menutup telinga, lalu menundukkan kepala. Dia belum siap bertemu dengan pria di depannya ini. Juni menggelengkan kepalanya, sedang air matanya meluncur dengan deras. Dia harap semua ini mimpi. Setelah sekian lama, kenapa dia bertemu lagi dengan pria didepannya ini?
***
Hari ini, terhitung sudah dua hari ibunya belum sadarkan diri. Gadis itu menunggu sendiri. Ayahnya? Entah kemana laki-laki itu. Juni tidak peduli. Baginya, kesembuhan ibunya yang utama.
Namun saat hari menjelang sore, tiba-tiba keadaan ibunya menjadi kritis. Lagi-lagi dia hadapi keadaan itu sendiri. Sesaat kemudian, dokter nampak keluar dari ruang rawat ibunya. Dokter berkata pada Juni agar meminta ayahnya untuk segera datang karena dalam keadaan tidak sadar, ibunya mengigau memanggil nama ayahnya berulang kali.
Juni mengalah, ia mencoba menghubungi ayahnya. Namun hingga hari mulai petang, ayahnya tak kunjung datang. Dalam hati, ia bertanya-tanya kemana ayahnya. Apakah bersama wanita itu? Ah, Juni semakin mengingat rasa sakit di hatinya. Karena wanita itu, hubungan ayah dan ibunya rusak. Dia benci wanita itu.
Juni yang belum bisa mengontrol emosi, memutuskan pergi ke rumah wanita itu. Berbekal alamat yang sebelumnya ia dapat dari sekretaris ayahnya, Juni mengendarai taksi setelah sebelumnya menitipkan Pertiwi pada perawat yang berjaga.
Ketika Juni sampai di luar rumah istri muda sang ayah, dia berpapasan dengan seorang pria yang nampak keluar dari rumah itu dengan raut wajah yang tak terbaca. Mata mereka saling beradu, wajah pria nampak tidak asing bagi Juni. Namun, belum sempat Juni mengingat siapa pria tersebut, Pria itu langsung saja membekap dan menyeretnya masuk dalam mobil. Juni sempat berontak dalam cengkraman pria asing itu, pria itu mulai melepaskan cengkramannya, dan ketika Juni berusaha membuka pintu mobil tersebut, pria itu secara cepat memukul tengkuk Juni hingga pingsan.
***
Dalam ruangan serba putih dengan bau obat-obatan yang tercium jelas, mata Juni masih terpejam, badannya bergerak gelisah. Dibawah alam sadarnya, semua kelebatan masa lalu yang mengerikan kini muncul dengan jelas.
Juni tiba-tiba pingsan, sesaat setelah mengetahui jika calon atasan yang akan melakukan interview padanya adalah Bian. Sementara Bian sendiri juga tidak pernah menyangka akan dipertemukan kembali dengan Juni dengan cara seperti ini. Bian yang terkejut akan reaksi Juni, bergegas memanggil asisten pribadinya untuk memberikan pertolongan.
"Jangan ... Jangan ... Aku mohon." Gumaman Juni serta banyaknya keringat dingin yang keluar, membuat Bian semakin kalut.
Sejak setengah jam lebih tidak ada tanda-tanda Juni sadarkan diri, Bian memutuskan membawa Juni ke Rumah Sakit untuk mendapatkan pertolongan. Rasa bersalahnya semakin nyata saat kembali melihat Juni.
Kejadian empat tahun lalu, ternyata menyisakan trauma mendalam bagi wanita yang kini terbaring di depannya. Ah, Bian sungguh bodoh dengan melimpahkan amarah dan kekecewaannya kala itu pada putri Arfin. Jika saja ia tidak hilang akal, semua tak akan terjadi.
...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro