Bagian 4
Juni berjalan ragu menyusuri lorong Rumah Sakit. Setelah semalam "berperang" dengan pikirannya sendiri, akhirnya dia beranikan diri untuk pulang menemui Mama Pertiwi serta Andra. Entah apa yang akan terjadi nanti setelah mereka bertemu, namun Juni hanya mencoba mengikuti kata hatinya.
Setiap langkahnya, Juni tanamkan jika Andra tidak bersalah. Andra pun juga korban. Namun saat wajah Andra terlintas sekilas, Juni berhenti melangkah serta menghirup dalam udara agar memenuhi paru-parunya.
"Mama..." Tangan Juni tertahan sebelum sempat menyentuh gagang pintu, samar terdengar suara Andra saat Juni sampai didepan pintu ruang rawat putranya itu.
Degup jantungnya seketika terasa cepat. Andra, Juni tak pernah sekalipun berbicara pada bocah itu. Hanya melalui foto-foto Juni, Pertiwi mengenalkan Juni sebagai mama Andra. Dan Juni, tidak sekalipun dia ingin melihat pada Andra. Tiga tahun hidup Andra, hanya beberapa kali dia bisa melihat Mamanya secara langsung meski tanpa interaksi.
Juni mulai gamang, ketika kilasan masa lalu kembali berkelebat dalam ingatannya. Sesak, rasanya udara sekitar Juni mendadak menipis. Dia tak tahu harus bagaimana sekarang. Hingga pintu tiba-tiba terbuka dari dalam dan menampilkan raut cemas dari sang Mama.
"Juni?! Ya Ampun! Mama lega kamu mau datang Nak. Tolong kamu jaga Andra, Mama harus memanggil perawat." Mama Pertiwi berlalu, berjalan cepat menuju konter perawat.
***
Dalam ruangan itu, nampak tubuh kecil dengan wajah pucatnya terbaring lemah, selang infus ditangan kiri serta suara rintihan dan igauan yang samar terdengar. Juni masih mematung didepan pintu yang terbuka. Entah ada apa dengan hatinya, kebenciannya berganti menjadi rasa sakit tak kasat mata. Hatinya seperti diremas saat netranya menatap kedepan.
"Mama.. " Lagi, suara Andra yang lebih tepat terdengar seperti rintihan membuat mata Juni tanpa sadar semakin buram. Satu kedipan saja, bisa dipastikan pipinya akan basah.
Langkahnya tanpa sadar semakin mendekat, namun terhenti ketika mendengar beberapa langkah kaki beriringan semakin mendekat ke arah ruang rawat Andra. Hingga beberapa perawat melewatinya dan memeriksa keadaan Andra, Juni perlahan melangkah mundur.
Merasakan pundaknya ditepuk ringan, Juni menoleh pada orang disampingnya.
"Andra sering panggil kamu." Mama Pertiwi tersenyum miris menatap ranjang dimana Andra kembali terlelap. Keadaan tak pernah lagi bisa diulang. Semua kata andai yang terucap untuk masa lalu, tak akan merubah apapun.
Juni masih bergeming, hati dan pikirannya mulai beradu. Mau bagaimanapun dirinya adalah seorang ibu, Andra lahir dari rahimnya meski Juni tidak pernah menginginkannya. Disisi lain, ingatannya terus menampilkan kilasan kesakitan masa lalu. Pria itu, Andra mewarisi wajah pria itu. Ada bagian dari dirinya yang memberontak ketika Andra berada dihadapannya.
Juni memejamkan matanya erat, badannya terhuyung ke belakang hingga punggungnya menabrak dinding. Isak kecil mulai keluar dari mulutnya yang sejak tadi terkatup rapat. Juni luruh, menenggelamkan kepala diantara kedua lutut yang tertekuk.
"Juni benci Ma. Juni nggak bisa." Badannya bergetar hebat ketika isakannya berubah menjadi tangis.
Pertiwi mendekap erat Juni, berharap elusan pada punggung anak semata wayangnya dapat menyalurkan sedikit ketenangan.
"Belum terlambat, Nak. Mama yakin kamu bisa. Cobalah menerima Andra, dia tidak bersalah. Dia juga korban disini. Kamu hanya belum terbiasa berada didekatnya. Setidaknya, biarkan dia melihatmu, hanya itu. Mama yakin seiring berjalannya waktu, kalian perlahan akan saling menyembuhkan." Mama Pertiwi mendongakkan dagu Juni kemudian menatap mata putrinya lekat.
Tak ada kata yang terucap dari mulut Juni, dekapan erat yang Juni berikan pada Pertiwi cukup membuat Ibu satu anak itu mengerti jika putrinya butuh kekuatan serta dukungannya. Kali ini, ia tidak akan membiarkan Juni jauh darinya dan Andra lagi.
"Jika berada di rumah itu membuatmu semakin terluka, Mama sama Andra akan ikut kemana kamu ingin tinggal. Kami enggak akan biarin kamu sendirian." Pertiwi mengurai pelukan Juni kemudian mengecup kening putrinya lama, menyalurkan kerinduan yang tertahan karena sikap dingin Juni selama ini.
"Sekarang, cobalah mendekat pada Andra. Jangan melihatnya sebagai bagian masa lalu yang menyakitkan. Lihatlah dia sebagai anak yang memerlukan kasih sayang, jadikan Andra masa depanmu, Sayang." Pertiwi membantu Juni berdiri, lalu menuntunnya mendekat pada ranjang tempat Andra berada.
***
"Bian??" Elsa mendekat pada putranya. Tak pernah ia sangka jika putra sulungnya akan kembali pulang ke rumah setelah sekian lama.
"Ma," Bian berjalan cepat dan tiba-tiba berlutut memeluk kaki Elsa, membuat Elsa memaku ditempatnya.
"Bian salah, Ma. Bian salah." Bian mengeratkan peluklan pada kaki ibunya.
"Berdiri Bian. Mama sudah maafin kamu, meski kamu memilih ninggalin Mama."
Bian perlahan berdiri menghadap sepenuhnya pada Elsa. Lima tahun lalu, ia menjadi anak durhaka hanya karena mengejar wanita yang bahkan tak pernah menganggapnya ada. Kirana Mustika, wanita yang dia kejar dengan mengorbankan perasaan ibunya ternyata bukan jodoh untuknya. Empat tahun lalu, saat usaha Bian mendapatkan cinta Kirana akan membuahkan hasil, saat itu pula seluruh kebahagiaanya lenyap. Usahanya sia-sia, Kirana mengatakan bahwa dia telah menikah secara diam-diam dengan pria lain, tepat sehari sebelum Bian mengungkapkan keinginannya menjadikan Kirana sebagai istri. Dan mirisnya, Bian mengenal pria itu. Seorang pengusaha yang juga secara kebetulan merupakan rekan bisnisnya. Bian menelan sendiri kekecewaanya.
"Apa kamu berhasil menikahinya?" Elsa menatap lekat wajah putra sulungnya yang kini terlihat semakin dewasa, setelah menuntunnya untuk duduk di sofa.
Bian menunduk serta menggeleng lemah, sorot kecewa terlihat jelas dari matanya.
"Dia memilih pria lain, Ma ... Empat tahun lalu."
Elsa mengelus pundak Bian, dia kira Bian-nya telah bahagia dengan wanita pilihannya. Namun, yang dia dengar sebaliknya. Ia melihat sorot kekecewaan yang masih bersarang pada diri sang putra.
"Mungkin bukan dia jodohmu. Mama yakin, nanti kamu juga akan menemukan kebahagiaanmu sendiri. Lalu, kenapa baru sekarang kamu pulang ke rumah? Mama merindukanmu." Elsa tersenyum lembut. Sebesar apapun kesalahannya, Bian tetaplah putranya.
"Bian berdosa, Ma." Lagi-lagi Bian menunduk meremas kuat rambutnya sendiri. Entah kenapa Elsa merasa ada yang Bian sembunyikan darinya.
...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro