I (don't) wanna...
"Played a mirror like a show."
"The past i used to know a dream."
"Til i see every part of me.
"Eyes of red following and..."
.
.
.
"Uughhh.... uhh..." Yuuji menggigit bibirnya, ia terisak hingga dadanya terasa sakit.
Kepingan memori di mana dirinya tertawa puas, menggila di atas kepolosan manusia tidak bersalah, menghilangkan kehidupan semudah memotong kertas dengan gunting itu... terus muncul dalam benaknya seperti kaset rusak.
Rasa bersalah.
"Augh..." Yuuji meremas kepalanya yang berdenyut sakit, seakan ingin pecah.
Nanamin hancur menjadi debu.
Wajah Nobara meledak.
Satu kota hilang seakan tidak pernah ada.
Begitu banyak warga yang meninggal.
Inumaki kehilangan kedua tangannya.
Todo kehilangan kemampuan penyihirnya.
.
.
.
"I wanna die."
.
.
.
"AaaAaaa.... AaaAaaah..."
Yuuji merintih, meremas seragamnya hingga kusut. Seakan mencoba menghentikan denyut jantungnya yang berdetak sakit.
"Maaf... maaf... maafkan aku..."
"Maafkan aku..."
"Maafkan aku..."
"Maaf..."
Ketika benaknya semakin tenggelam, Yuuji teringat pesan kakeknya yang untuk kesekian kali menguatkan dirinya.
"Tolonglah orang lain."
Iris madu itu menengadah, menatap langit gelap tanpa awan. Ia berada di bawah reruntuhan.
"Huh...?" Yuuji mencoba bangun dari tidurnya, apa yang terjadi?
Di mana dia?
Bukankah tadi ia sedang bertarung dengan Yuta Okkotsu?
Lalu, kenapa ia masih hidup--
"Oh? Ah! Syukurlah akhirnya
kamu bangun."
Yuuji menoleh, ia mendapati orang yang tadinya mencoba membunuhnya tengah tersenyum lebar.
Bersyukur... ia masih hidup?
"Okkotsu senpai..." Yuuji tidak mengerti, bukankah seharusnya ia mati?
Setelah apa yang ia perbuat dengan membiarkan Sukuna bertingkah sesuka hati?
Bahkan jika kematiannya tidak setimpal dengan semua nyawa yang telah melayang di tangannya.
Yuuji... akan bertanggung jawab dan menerima segala konsekuensinya.
Lantas... apakah ini karena ulah Sukuna lagi? Menghidupkan dirinya lagi?
"I wanna die..."
"But i still couldn't die."
Mungkinkah... ini untuk membayar dosa yang ia lakukan? Tersiksa dengan rasa bersalah.
Bukankah sedari awal harusnya ia menerima eksekusinya? Benar.
"Okkotsu senpai... jika suatu saat aku lepas kendali lagi, tolong bunuh aku."
.
.
.
"I wanna life."
"Deep inside i've always been."
"Reaching out for a hand."
"So don't let this be the end."
.
.
.
"Ini di mana?" Hinata yang baru saja kembali ke Tokyo di landa kebingungan, orang-orang seakan tidak ada di sini.
Apa ia tersesat?
"Anu, apa kamu sendirin?" Seorang remaja menepuk pundaknya, hampir membuat Hinata menjerit kaget.
"A-ah? Ya, aku sendirian..."
Remaja bersurai pink itu mengangguk, meski wajahnya penuh luka codet, ia terlihat tidak berbahaya. "Baiklah kamu bisa pergi ke arah sana, di sini tidak aman."
Hinata menganga, apa selama ia pergi Tokyo berubah drastis? Seperti menjadi kota yang hanya berisikan mafia?
"Benarkah? Kalau begitu ke arah sini ya?"
Remaja itu tersenyum lebar, melambaikan tangannya pada Hinata.
"Hati-hati!" Seru si remaja.
Ketika Hinata melewati sepasang tiang pondasi bangunan, ia mendapati begitu banyak orang berlalu lalang.
Dan ketika ia berbalik, pemuda itu sudah tidak berada di sana.
"Hmm? Aneh, cepat juga dia perginya."
.
.
.
"Tolonglah orang lain."
*****
Author Note :
A bit darker than usual? Hahahaha. I'm sorry, when my sourish thoughts always ended with a dark story.
Yuuji at that time was broken so beautiful, pathetic, so poor, fragile, cracked.
And, yes...
It's quite nice to see him when he shines again after falling, the most beautiful light.
08042022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro