Prolog
Suasana riuh memenuhi aula kampus, karangan bunga berjejer di sepanjang koridor aula sebagai ucapan selamat atas wisudawan.
Semua wisudawan sibuk dengan kegiatan mereka. Ada yang berfoto ria bersama keluarga, teman bahkan pacar.
Begitu pula dengan segerombolan wisudawan yang terdiri dari enam orang itu. Mereka tampak bahagia sekali sambil berpose untuk diambil gambar.
Tangan mereka kompak melemparkan toga ke arah langit. Semua serentak tertawa dan dalam hitungan detik fotografer sudah menangkap momen itu dalam kamera.
Meski belum tahu apa yang akan menanti mereka ke depan baik dari karir ataupun kisah lainnya, mereka tampak sangat lega. Setidaknya perjuangan mereka kuliah sudah sampai di titik akhir.
"Guys, sori gue harus duluan," ujar Sarea.
Gadis itu melihat beberapa jarak dari mereka sudah ada ibunga dan gadis remaja yang menunggu.
"Eh? Mau ke mana Re?" tanya Abyan.
Keempat temannya yang lain ikut menatapnya. Dengan berat hati dan senyum yang begitu kaku, Sarea berkata, "gue ada flight satu jam lagi, sori banget ya nggak bisa ikut foto-foto sama makan."
Karisa mendekat. "Flight? Ke mana? Harus hari ini banget Re?" tanya gadis itu.
"Iya anjir. Lo baru banget pulang dari Kanada kemarin, terus hari ini mau berangkat lagi?" Neo ikut bergabung dalam percakapan.
Lagi dan lagi Sarea kembali tersenyum kaku. Rasa bersalah mulai menyergap dirinya begitu saja.
"Gue belum sempat bilang ke kalian. Maaf banget, tapi...." gadis itu menggantung kalimatnya sambil menatap kelima temannya satu persatu.
"Gue akan balik ke Kanada dan menetap di sana." Akhirnya kalimat itu berhasil Sarea ucapkan.
Bisa dilihatnya seluruh wajah teman-temannya mendadak kaku. Tak ada yang berkata sepatah kata pun.
"Tunggu-tunggu, gue masih mencerna. Kanada?Lo? Menetap?" Abyan kembali bicara.
Sarea hanya mengangguk.
Abyan tampak memijat pelipisnya, berbalik membelakangi Sarea. Tentu saja Sarea tahu bahwa Abyan sangat kecewa.
Pun mungkin dengan temannya yang lain.
"Kenapa tiba-tiba Re?" kali ini Sean yang sedari tadi hanya diam ikut bicara.
"Eum ... sebenarnya nggak tiba-tiba. Gue udah mikirin ini sejak gue pertukaran mahasiswa tahun lalu," jawab Sarea apa adanya.
"Alasannya apa Re?" sekarang Amara yang bertanya.
"Nggak ada yang spesifik. Gue...." Sarea kehilangan kata-kata.
"Yang nggak spesifik itu alasan lo mau menetap di sana tau alasan lo nggak ngasih tahu kita selama ini atas rencana lo ini?" kali ini Karisa yang bertanya dan tentu saja terdengar sinis sekali.
"Gue hanya mencari waktu yang tepat untuk kasih tahu kalian. Gue...."
"Kita ini sebenarnya apa sih Re buat lo? Temen atau cuma orang asing?" Karisa menyela.
"Kar, lo tahu jawabannya," kata Sarea yang tampak frustrasi.
"Gue nggak tahu makanya nanya karena apa yang sekarang lo lakuin sama sekali bukan etika dalam pertemanan." Karisa semakin sinis.
Sakit. Sakit sekali rasanya bagi Sarea, tetapi dia tak bisa apa-apa. Mereka berhak kecewa.
"Gue minta maaf," lirih Sarea.
"Gue nggak butuh maaf. Gue juga nggak butuh penjelasan kayaknya karena apapun penjelasan lo, keputusan lo udah dibuat." Karisa tampak menjauh setelah mengatakan itu.
Amara mendekat. Memegang tangan Sarea dengan lembut sembari menatap dengan penuh harapan. "Re, nggak bisa lo tunda aja pindahnya?" tanya gadis itu hati-hati.
Sarea menatap Amara dengan perasaan campur aduk. "Maaf Ra," lirihnya getir.
Abyan dan Neo tampak kecewa, mereka menyusul Karisa yang menjauh.
Hanya tersisa Amara yang masih senantiasa memegang tangannya dan Sean yang masih menatap dan tak mengubah posisinya.
"Gue nggak tahu alasan lo atas keputusan ini Re, tapi gue harap kita nggak putus komunikasi, ya?" Amara kembali berkata.
Sarea mengangguk. "Pasti."
"Hati-hati ya," kata Amara dan matanya sudah tampak berkaca-kaca.
"Sekali lagi gue minta maaf, sampaikan juga ke mereka. Gue pamit," usai mengatakan ini dan berpelukan sekali Sarea pergi menghampiri ibu dan adiknya.
Sebelum benar-benar meninggalkan area kampus gadis itu kembali menoleh, melihat ke arah teman-temannya. Menarik napas panjang, berat sekali.
Sungguh. Dia akan sangat merindukan mereka, bahkan dirinya tak yakin akan mendapatkan teman sebaik mereka nanti di Kanada. Namun, tak ada yang boleh membuatnya goyah.
Pergi meninggalkan negara ini adalah pilihan terbaik untuknya. Tidak peduli bagaimana semesta akan membolak-balikkan hidupnya, selama bukan di Indonesia dia akan siap.
Setidaknya, untuk kali ini saja Sarea berharap rencananya tak lagi dikacaukan semesta dengan atas nama takdir. Tolong, demi apapun Sarea meminta tolong pada Pencipta biarkan saja dirinya dan rencana ini.
Biarkan dia rayakan sendiri patah hati itu. Biarkan dia rayakan sendiri semua sakit yang ia terima dan ... biarkan dia berusaha sendiri untuk sembuh meski tak tahu kata 'sembuh' apa memang akan datang pada dirinya. Biarkan. Biarkan kali ini saja dia menjadi pengecut yang meninggalkan kota hanya karena patah. Biarkan dia melarikan diri sebelum benar-benar mati karena terikat di sini.
....
Okey, bismillah dulu supaya cerita ini beneran tamat, hehe.
Sejujurnya agak trauma karena berkali-kali mencoba kembali menulis, tapi hasilnya tetap sama. Terbengkalai.
Part berikutnya baru kita mulai konfliknya ya.
Sepertu biasa, cerita ini nggak punya outline jadi biarkan dia mengalir mengikuti alur dengan sendirinya.
Okedeh, see you!
Love sekebon!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro