JOS - Dua
Pertemuan itu, aku yakin bukan sebuah kebetulan melainkan sebuah takdir. Meski tentu takdir baik belum tentu menjadi milik kita hingga akhir.
...
Sarea cepat-cepat memasuki kamar usai mengatakan hal tersebut. Tak peduli nanti adiknya akan mengomel atau apapun.
Gadis itu kini duduk di hadapan meja rias. Memandangi dirinya di cermin. Perlahan menarik napas sambil terus memperhatikan dirinya di cermin. Ada seulas senyum yang dipaksakan gadis itu. Dia tidak tahu sudah sangat lama sekali dirinya menyembunyikan dan mengubur hal-hal itu.
Sarea melihat kantung mata yang mulai menghitam pada dirinya. Jelas sekali ingatan itu bagi dirinya, bagaimana kehidupan lima tahun ini sungguh berhasil memporak-porandakan dia.
Bagaimana lima tahun ini dia berjuang dengan sangat keras agar lupa dengan segala hal. Tidak mudah tentu saja. Tidak ingin usaha itu sia-sia Sarea meyakinkan dirinya sekali lagi. Tidak apa, Jakarta hanya sebuah kota. Setidaknya jika terus berdiam di rumah tak akan ada kemungkinan-kemungkinan yang akan membuat usahanya itu sia-sia.
"Ya. It's oke," ujar gadis itu pelan namun terdengar yakin.
Diraihnya ponsel kemudian mengecek email dan betul saja ada beberapa pekerjaannya yang belum selesai sebelum pulang ke Indonesia. Dia harus menyelesaikannya.
Beralih dari ponsel Sarea mulai mengambil laptop miliknya. Menjadi pengacara di negara orang dengan kultur dan aturan yang sudah pasti berbeda dari Indonesia tentu saja tidak mudah.
Awal-awal sempat membuat Sarea tampak frustrasi, tapi dengan kerja keras kini dirinya berhasil melaluinya. Berkat kerja keras itulah Sarea dapat bekerja di salah satu firma hukum ternama di Kanada.
Sama halnya dengan Indonesia, bekerja di tempat yang tidak biasa tentu banyak sekali tuntutan. Banyak waktu yang ia korbankan dan harus ada lelah yang ia abaikan.
Dua minggu lagi dirinya ada persidangan, tapi berkas-berkas yang sudah disiapkannya di Kanada masih belum mencapai pada tahap final untuk diserahkan ke pengadilan. Masih harus ada satu berkas yang ditunggunya dan email ini adalah email dari asistennya yang berisi berkas tersebut.
Tanpa berpikir apapun lagi Sarea langsung mengecek berkas tersebut dan melakukan panggilan jarak jauh kepada asistennya.
...
Lanisa membukakan pintu begitu mendengar suara bel. Wanita paruh baya itu tersenyum lalu memeluk sang tamu.
"Ya ampun Sa, kita udah lama banget nggak ketemu, ya."
"Iya. Terakhir kapan, ya, Nim? Sekitar dua bulan yang lalu?" tanya Lanisa.
Wanita paruh baya yang disebut 'Nim' tersebut hanya mengangguk sambil terkekeh.
"Ayo Nim, masuk-masuk. Kamu ke sini sendiri?" tanya Lanisa lagi.
"Sama anakku, dia lagi ambil HP di mobil."
Sambil terus berbincang santai kedua wanita paruh baya itu menunju ruang tamu.
"Sean sekarang kesibukannya apa?" tanya Lanisa lagi.
"Biasa. Sama kaya sebelumnya."
"Aku udah lama banget, lho, nggak ketemu sama Sean. Dulu padahal hampir tiap hari," Lanisa terkekeh.
Di tengah perbincangan mereka sosok pria tinggi dengan kemeja putih dan celana bahan menghampiri. Tangan pria itu melepas kaca matanya dan kemudian. "Sore Tan," sapa pria itu.
....
Sarea baru saja memutuskan panggilan jarak jauh dan sura ketukan pintu terdengar.
"Ya," sahutnya.
Tak lama pintu terbuka dan Sania masuk.
"Mbak, diminta ibu ke rung tamu," ujar Sania.
"Lho? Kenapa?" tanya Sarea.
"Itu ada temen mama. Tante Nima, mamanya temen Mbak, kan? Siapa ya namanya tadi kata ibu?" Sania tampak berpikir sejenak.
"Sean?" tanya Sarea.
"Iya. Mas Sean."
"Ya udah nanti aku ke ruang tamu." Sarea tampak membereskan kertas-kertas dan mematikan laptopnya.
"Iya, jangan lama-lama Mbak nanti ibu ngomel. Aku balik ke kamar, ya," ujar Sania lalu keluar dari kamar.
...
"Diminum dan dimakan Nim, Sean." Lanisa menyuguhkan teh hangat dan juga beberapa camilan cookies dan kripik.
"Iya Tante." Sean menyeruput teh hangatnya perlahan.
"Jadi kamu tu operasi ya Sa? Aku kaget banget waktu baca chat kamu," Nima berkata lalu meminum teh.
"Iya. Maklum udah umur jadi penyakit banyak datang," kekeh Lanisa.
"Tapi sakit banget pas udah habis bius nya. Dulu kakakku pernah operasi hemoroid juga soalnya." Nima kembali berkata.
"Sakit banget. Aku sampai rasanya gerak aja susah." Lanisa menimpali sambil memasang raut wajah seolah dia kesakitan.
"Ngomong-ngomong karena operasi ini Sarea pulang?"
Lanisa mengangguk. "Mungkin takut nyesel kalau gak pulang," kekeh Lanisa.
"Mulai deh, Bu." Suara Sarea ikut bergabung.
Gadis itu menghampiri dua wanita paruh baya yang tengah sibuk berbincang dan satu pria yang sibuk memainkan ponsel di tangannya.
"Halo Tante," sapa Sarea sambil mencium tangan Nima.
"Ya Allah, ini Sarea? Cantik banget ya sekarang jadi pangling tante," jawab Nima sambil mengelus-elus pundak Sarea.
Sementara Sarea hanya tersenyum malu.
"Sean, Sean." Nima memanggil putranya. "Kamu masih ngenalin Sarea nggak? Orang udah cantik banget gini anaknya," kata Nima.
Sean pun ikut menoleh dan berdiri. Tatapan antara Sarea dan Sean pun sempat bertemu.
Sean terlebih dahulu mengulurkan tangan. "Hai, Re."
Sarea bergeming beberapa saat lalu menyambut uluran tangan itu. "Hai," balasnya singkat.
"Kalian tu udah lama banget nggak ketemu padahal dulu hampir tiap hari hangout. Masih kontakan sesekali kan selama lima tahun ini?" tanya Lanisa.
Nima ikut menatap putranya dan Sarea secara bergantian seolah ikut bertanya seperti Lanisa.
"Rea kayanya sibu di Kanada Tante, jadi kita udah lost contact." Sean menjawab lebih dulu.
"Lebih tepatnya nomor Rea yang lama rusak, jadi kontak-kontak udah nggak ada lagi," kata Sarea sambil tersenyum kaku.
"Oh iya, waktu itu sim-card kamu patah ya, Re?" Lanisa ikut bicara.
"Iya, Bu."
"Ya udah kalau gitu ngobrol berdua sana, biar bisa nostalgia kaya dulu," ujar Nima.
"Iya. Di taman belakang aja Re, udah nggak panas pasti jam segini," kata Lanisa.
"Eum...."
"Boleh Tan?" tanya Sean yang lebih dulu berujar disaat Sarea masih bingung ingin menanggapi seperti apa.
"Boleh, dong."
....
Di sinilah mereka saat ini. Duduk di bangku putih taman belakang. Matahari sudah berangsur turun. Semilir angin juga membuat tidak terlalu panas.
"Gimana kabar Re?" Sean lebih dulu berbicara.
Sarea mengangguk beberapa kali. "Baik."
"Udah lama banget, ya," ujar Sean.
Lagi dan lagi Sarea mengangguk.
Suasana tampak canggung. Dulu mereka memang teman dekat, tapi teman dekat sekali pun jika sudah lima tahun tak pernah bertemu dan berkomunikasi akan sangat terasa asing.
"Kamu di Kanada sehat? Maksudnya selama lima tahun ini?" Sean kembali bertanya.
"Nggak lima tahun juga sehat selalu. Gue manusia biasa, sih. Kadang sakit kadang pusing." Sarea menjawab sambil terkekeh.
Kali ini Sean yang mengangguk lalu menoleh ke arah Sarea. "Pulang ke Kanada udah direncanakan?" tanya pria itu lagi.
"Minggu depan."
Kemudian mereka hening. Tak ada lagi yang bicara. Sean pun tak mencoba membuka percakapan lagi.
Jika dulu mereka bisa mengobrolkan hal-hal yang tak penting dan tak masuk akal berjam-jam, tidak untuk saat ini. Waktu semenit pun terasa lama karena tak tahu harus mengobrol tentang apa.
"Lo sama yang lain masih sering ngumpul?" tanya Sarea yang akhirnya mencoba mencari topik pembicaraan.
"Lumayan. Kita selalu ngosongin jadwal setiap dua atau tiga bulan sekali buat ngumpul," jawab Sean.
Sarea hanya mengangguk lagi.
"Karisa setiap ngumpul juga pasti posting. Katanya biar kamu lihat," ujar Sean.
"Tapi kayanya kamu nggak lihat, ya?" lanjut Sean.
Sarea tersenyum kaku. "Gue udah lama banget nggak main sosial media. Mungkin sekitar tiga atau empat tahun."
"Pantas nggak pernah posting apapun." Sean berkomentar.
Dan hari itu pertemuan mereka tak singkat, tetapi tidak juga lama. Untuk dua teman yang sudah lama berpisah waktu itu sudah lebih dari cukup. Berbasa-basi tentang kabar dan tentang lainnya sudah lebih dari cukup.
Sarea tidak tahu bahwa teman-teman yang ditinggalkannya lima tahun lalu masih selalu menantinya. Bagi Sarea lima tahun lalu dirinya pergi adalah berarti dirinya dilupakan.
Gadis itu bahkan tidak tahu bahwa Karisa selalu memposting kebersamaan mereka hanya untuk berjaga-jaga agar dirinya melihat dan memberi kabar.
Ada setitik rasa bersalah dalam dirinya, tetapi bukan waktunya untuk kembali melunak. Akan sangat kejam jika Sarea mendatangi yang lainnya sambil meminta maaf lalu kemudian kembali pergi.
Lebih baik mereka tak pernah tahu bahwa Sarea sempat pulang ke Indonesia karena mungkin kecewa mereka lima tahun lalu belum dapat ia sembuhkan dan mana mungkin dirinya menambah kecewa lagi?
Sarea sudah sempat meminta Sean untuk tidak bilang dengan temannya yang lain bahwa saat ini dirinya sedang ada di Jakarta. Tentu saja tak ada yang menjamin bahwa Sean akan mengabulkan permintaannya, tetapi dalam hati Sarea tetap berharap bahwa Sean dengan tulus ingin membantunya.
....
"Ibu. Ibu lagi ngawur atau gimana? Aku hampir keselek," protes Sarea setelah meletakkan gelas minumnya di meja makan.
"Lho, nggak ngawur Re, Ibu ini serius lho. Ibu dan tante Nima ingin kamu dan Sean menikah," Lanisa berkata dengan raut wajah serius.
"Bu, jangan aneh-aneh. Ini udah 2024 Ibu, mana zaman jodoh-jodohan. Lagian Ibu tahu kan aku sama Sean itu temen dari SMA. Mana mungkin bisa nikah?" Kalu ini Sarea sudah tidak bisa melahap makanannya lagi.
"Lho kenapa? Justru teman itu lebih baik untuk menikah. Kalian sudah lama saling mengenal, Ibu dan tante Nima juga sudah lama saling mengenal. Sudah jelas bibit, bebet dan bobotnya."
"Bu. Aku minggu depan harus balik ke Kanada, Ibu kan tahu aku nggak akan pernah bisa stay di Jakarta. Kita udah sering bahas ini, kan, Bu?" Sarea tampak sedikit kesal.
"Jangan langsung nolak Re. Kamu pikirkan dulu, ya? Lagi pula Ibu sama Sania juga udah berapa kali bilang kalau kami ingin kamu pulang ke Indonesia. Mau sampai kapan kamu berkelana di negara orang sendirian?Atau kalau kamu sudah sama suamimu nggak apa-apa, Ibu nggak akan melarang." Lanisa kembali bicara.
"San bilangin ke Ibu, deh. Aku masuk dulu ke kamar," Sarea bicara kepada Sania lalu menuju kamar.
"Rea, pikirkan dulu soal pernikahan sama Sean. Kalau menikah dengan Sean kamu boleh balik ke Kanada, tapi kalau nggak ya sudah menetap saja di Jakarta. Begitu kesepakatannya, ya?"
...
Gimana guys? Udah terbayang konfliknya?
Kita sama-sama kawal cerita ini mau dibawa ke mana, ya?
See you next part!!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro