Part 9 - Yes Or No -
Assalamuallaikum...
Sudah kangen cerita Journey Of Diara belum yaa???
Kangen yaa... Yaaa... *duh Aahh, author maksa banget yaa... Hehehee....
Semoga setiap Part di cerita ini bisa memberikan efek positif bagi pembaca. Aamiin....
Selamat membaca.... #Senyum
***
Diara POV
Udara segar kota kembang menyeruak dipenciumanku. Ku rentangkan kedua tanganku. Membiarkan semua oksigen merasuki rongga-rongga dadaku.
Hangatnya sinar matahari kurasakan hingga menerobos relung hatiku. Kupincingkan mata tatkala sinar hangatnya menerobos retina. Kualihkan tangan kananku tepat di wajahku. Berusaha menutupi sinar kehangatannya.
Mungkin aku lebay atau norak. Biarlah. Tapi, pagi ini rasanya beda. Sungguh bahagia.
Kenapa???
Entahlah... yang pasti Allah telah menyembuhkan hatiku, sedikit demi sedikit. Beban dan tekanan yang lama kurasakan kini berangsur berkurang. Hanya syukur yang bisa kupanjatkan tiap waktu.
Perjalanan pertamaku, setelah semalam kuputuskan untuk berhijrah. Ya... Hidayah itu menyapaku. Bersyukur teramat sangat karena akhirnya nikmat itu kurengkuh juga.
Pagi ini, kukenakan gamis yang selama ini selalu kusimpan rapat di almari. Memakai baju muslimah membuatku semakin nyaman. Entah apa faktornya. Jangan tanyakan itu kepadaku yang baru hitungan jam berubah sedrastis ini. Semoga Allah memberikan rasa yang luar biasa ini kepada kalian juga ya... In syaa Allah.
***
Author POV
Setelah sampai di perkebunan bunga, Diara langsung turun ke lapangan. Melihat kondisi bunga-bunga krisan yang sedang terjangkiti virus kerdil krisan, (Chrysanhenumum stunt Virus) & Virus Mozaoik Lunak, Krisan (Chrysanthemum Mild Mosaic Virus). Bertanya kepada penanggung jawab perkebunan yang ku berikan amanah mengelola perkebunanku.
Rasa-rasanya dua minggu belum cukup untuk membenahi kondisi perkebunan saat ini. Banyak hal-hal ganjil yang harus diselidiki.
Diara harus turun tangan sendiri. Melihat setiap proses mulai dari pemilihan bibit, penyemaian, penanaman, perawatan dll. Hingga hampir dua minggu di Bandung, Diara mendapati bahwa penanggung jawab perkebunan yang telah dipercaya olehnya selama hampir 6 tahun telah melakukan korupsi.
Pantas saja bunga-bunga di perkebunan ini terkena virus, karena uang yang seharusnya dianggarkan untuk membeli vaksin dikorupsi. Tak hanya itu, upah tenanga kerja tak sesuai dengan laporan keuangan yang Pak Budi laporkan tiap bulan.
Diara memijat keningnya. Kepalanya terasa berat dan berdenyut. Mendapati kecurangan pak Budi. Diara merebahkan tubuhnya di atas pembaringan. Matanya memandang atap kamar yang bewarna putih gading. Pikirannya melayang jauh, memikirkan bagaimana seharusnya menyelamatkan panen bunga kali ini.
Setelah berdiskusi dengan beberapa staf lainnya, akhirnya Diara memutuskan untuk menangani langsung perkebunannya untuk sementara waktu.
Dia sangat sibuk hingga hampir 1 bulan tidak bisa pulang ke Jakarta. Padahal Bandung - Jakarta hanya ditempuh 3 jam perjalanan dengan kereta api. Dia hanya bisa berkominikasi dengan ibunya via video call untuk mengurangi rasa ridu pada sang ibu.
***
William POV
Seminggu sudah aku di London. Merawat Shabia yang keadaannya mulai melemah. Leukimianya yang dua minggu lalu sudah mulai membaik kini kambuh lagi. Dan sekarang adalah jadwal pertama kemoterapinya jika kemoterapinya tak menunjukkan hasil yang memuaskan, maka harus dilakukan operasi tlansplantasi sumsum tulang belakang. Kini, minggu sekali dia harus menjalani kemoterapi. Selama ini, Shabia tidak pernah mengeluh. Apalagi aku sering ke luar negeri untuk melakukan perjalanan bisnis.
Alhamdulillah ada ayah mertua yang sangat baik. Beliau yang menggantikan tugasku menjaga Shabia saat aku pergi.
"Pagi ini akan kuantar dan kutemani kemo ya... Sekarang kita sarapan dulu yuk. Sudah ku masakkan bubur ayam. Katanya, istri abi tercinta ini kangen dengan masakan Indonesia". Jelas William sembari membawa dua mangkuk ke meja makan.
"Iya, Jazaakallahu khoyr bi. Maaf, harusnya aku yang melayanimu", diterimanya mangkuk berisi bubur ayam yang wanginya sungguh menggoda.
"Wajazaakillahu khoyr, sayang". Balas William dengan lembut seraya membelai lembut rambutnya.
Setelah selesai sarapan. Kami langsung menuju ke Rumah Sakit. Dengan sabar ku tunggu Shabia yang sedang ada di ruangan kemo. Sembari menunggu kemoterapinya selesai, ku membuka email. Membaca setiap pesan disana.
Di jaman yang sudah canggih seperti ini, pekerjaan kantorpun bisa dikerjakan dimana saja. Hal ini sangat memudahkanku.
Meleburkan waktu dengan menyibukkan menyelesaikan semua pekerjaan melalui ponsel pintarnya. Ada beberapa kolega yang harus dia telpon untuk sedikit bernegosiasi.
Selesai mengakhiri panggilan di ponselnya. Dia menerima sebuah pesan singkat. Iyaaa... Di jaman yang sudah canggih ini. Aku menerima pesan singkat.
Kubuka pesan itu. Dari nomor asing. Kode awal ponselnya +62 itu adalah kode nomor Indonesia. Tanpa basa basi, dia membuka pesan itu.
Keningku berkerut. Membaca pesan singkat itu membuat debaran jantungku semakin tak beraturan. Ku rebahkan punggungku di kursi, tak terasa ku hembusan napas kecil. Rasanya dadi ini begitu penuh dan sesak.
Ku pijat keningku yang berdenyut. Kepalaku seketika langsung pusing. Kututup pesan itu. Kumasukkan ponsel kedalam saku kanan celana.
Kusap-usapkan kedua tanganku dengan kasar ke wajah ku. "Astaghfirullah..." hanya ucapan istighfar yang mampu keluar dari mulut.
Ku putuskan untuk ke kamar mandi. Membasuh muka dengan air sedikit mengurangi rasa pusing dikepala. Ku ambil wudhu untuk menenangkan hati.
Selesai berwudhu, aku kembali menuju ruang tunggu ruangan kemoterapi. Ku keluarkan mushaf dari dalam tas jinjing. Ku buka surah Al-Kahfi. Hari ini adalah hari jum'at jadi harus ku maksimalkan waktu-waktu mustajab di hari ini.
Kupelankan suara saat mengaji karena takut mengganggu yang lain. Membaca ayat-ayat Allah membuat hati menjadi tenang. Menghalau rasa was-was yang sedari tadi ditiupkan oleh syetan.
"Alhamdulillah...", kututup mushaf dan memasukkannya kedalam tas kembali. Kuletakkan tas jinjingku diatas lemari tunggu.
Tak berapa lama, akhirnya proses kemoterapi Shabia selesai. Wajahnya terlihat lebih pucat dari sebelum berangkat tadi. Dia terlihat sangat kelelahan.
***
Author POV
Setelah sholat isya', William menemani Shabia yang hendak tidur dengan membacakan Al Qur'an. Suara merdu William saat mengaji membuat Shabia lebih relax. Karena akhir-akhir ini dia merasa sulit tidur. Setelah Shabia terlelap, William mengelus-elus rambut panjang Shabia yang hitam dan tebal. Dia menyisir rambut Shabia dengan memasukkan jari jemarinya diantara rambut.
Shabia terlihat menggeliat menerima sentuhan tangan William dari kepala hingga ujung rambutnya. William tersenyum manis melihat tingkah Shabia saat tidur.
Dilihatnya ada beberapa helai rambut yang tertinggal di telapak tangan William. Dia memandangi rontokan tambut ditelapak tangannya. Seketika menyeruak rasa sedih direlung hati William.
William sadar betul bahwa Shabia lah yang membuatnya bisa menjadi pribadi yang seperti sekarang. Tidak terlepas karena takdir Allah lah hidayah menyentuhnya melalui Shabia. Gadis manis keturunan Turki dan Indonesia. William telah bertekad untuk selalu bersamanya, apapun yang terjadi. Karena Shabia pun begitu. Disaat semua temannya bahkan ayah kandungnya meninggalkannya sendiri melewati kelamnya hidup tetapi tidak pada Shabia. Dia selalu ada untuknya.
William mengecup kening Shabia yang tertidur pulas. Tak terasa bulir air matanya keluar. Cepat-cepat ia menyekanya supaya tidak jatuh menetes di kening Shabia.
"In syaa Allah aku akan selalu bersamamu", bisiknya lembut di telinga Shabia.
***
"Maaf... Maafkan aku... Aku benar-benar bersalah. Maafkan aku Diara...". Bulir air mata keluar dari kedua mata yang terkatup erat. Suara yang keluar dari William begitu sedih dan membuat Shabia terbangun dari tidurnya.
"Bi... Bi... Istighfar Abi". Shabia menguncang-guncang bahu William dengan kencang. Berusaha membangunkannya.
"Diara...!!!" Pekik William saat dia berhasil membuka matanya.
William bangkit dari tidurnya. Memundurkan tubuhnya hingga terduduk di kepala ranjang. Napasnya masih terengah-engah. Diusap keningnya yang penuh dengan keringat dengan lengan bajunya.
"Bismillah...". Kemudian William meminum air mineral yang diberikan oleh Shabia.
"Pasti mimpi buruk lagi ya, Bi? ". Tanya Shabia sembari meletakkan gelas air mineral diatas nakas tempat tidurnya.
"Iya sayang. Maafkan aku". Ucap William dengan suara parau khas orang baru bangun tidur. Tangan kanannya membelai lembut pipi Shabia.
Shabia menangkap tangan William yang hangat dipipinya. Digenggamnya tangan William dengan erat. Disesapnya aroma tangan William. Kemudian ditempelkan kembali tangan hangat itu dipipinya.
"Perbanyak Istighfar, Bi...". Dia menghela napas beberapa kali. "Maafkan Bia yang tidak cakap menjadi istrimu. Selalu merepotkanmu dengan segala sakitku ini. Apalagi...." suara Shabia seperti hilang. Dia diam dan suaranya kini bergetar. Shabia menangis.
Melihat istrinya menangis, William memeluknya dengan erat. Mengusap-usap punggung istrinya.
"Allah sayang kepada kita, sayang. Sakitmu ini, in syaa Allah akan menghapus dosa-dosa kecil yang telah dilakukan. Bersabarlah, sayang. In syaa Allah aku akan selalu bersamamu". Ucapan William malah membuat tangis Shabia meledak.
Setelah Shabia lebih tenang. William mengajaknya untuk kembali beristirahat.
"Abi... Maafkan aku". Suara Shabia membuat William yang hendak membaringkan tubuhnya kembali duduk. Mengangkat dagu Shabia yang sedari tadi tertunduk. Dia menatap lekat mata indah Shabia. Shabia membalas tatapan William. Kemudian mengecup lembut bibir suaminya.
"Tolong... Menikahlah lagi Bi. Nikahilah Diara, Bi. Bahagiakanlah aku dan dia, Bi. Abi kan tau... Bia sudah hampir 6 bulan tidak bisa melayani kebutuhan biologis Abi. Dari pada Abi terjerumus pada zina, baiknya Abi memadu Bia. In syaa Allah Bia ikhlas dan ridho, Bi". Meskipun tidak ada isak tangis tapi air mata Shabia mengalir deras ketika mengucapkan itu kepada suami tercintanya.
"Astaghfirullah... Jangan berkata begitu, Shabia. Aku tidak ingin dan tidak ada niat untuk berpoligami. Aku ingin membahagiakanmu. Menua hanya bersamamu. In syaa Allah aku kuat menahan nafsuku". Jelas William.
"Bagaimana kau mau membahagiakanku, sayang... Jika ditiap malam, engkau selalu memanggil namanya. Aku sungguh tersiksa".
William langsung peraih tubuh Shabia. Dia memeluknya dengan sangat erat.
"Maafkan aku, Shabia". Hanya kalimat itu yang bisa lolos dari bibir William.
"Ayo kita berusaha untuk sembuh bersama-sama. Meskipun harus dengan jalan poligami, aku rela jika ini memang sudah dituliskan oleh Allah sebagai jalan hidupku".
William mengelus punggung Shabia yang hanya dibalut baju tidur tipis motif shabby.
"Kita bicakan besok lagi ya. Sekarang kamu tidur lagi ya..." William melepaskan pelukan mereka. "Jangan menangis lagi, karena itu akan menyakitiku", jari telunjuk William mengusap bulit air mata yang masih tertinggal dipipi Shabia.
Alhamdulillah.... Akhirnya part 9 selesai juga. Maafkan terlambat update karena mood author sedang menukiiikkk tajam.
Jangan lupa like bintang yaa...
Karena like bintang membuat saya merasa kalau karya saya dihargai.
Dan tinggalkan komentar ya guys karena itu membuat mood saya bisa naik drassstiisss.
Penasaran gak sih??? Kira-kira William dapat sma dari siapa ya???
Teruuusss... Penasaran juga gak yaaa... Sama isi surat William kepada Diara???
Penasarann yuuukkk.. Wkwkwk...
Biar saya semangat ngelanjutin part-part beeikutnya...
Heheheee....
#SalamHangat
Ini nih penampakan Diara yang sudah berhijrah. Ini dia foto saat mau berangkat ke Bandung. Dia sengaja memfoto dirinya karena akan ia kirimkan ke Martha. Dia memberi kabar kalau hijab yang diberikan oleh Martha malam itu "pas" dia kenakan.
Ini penampakan William.
Untuk cast Shabia, Martha dan bang Ajun menyusul yaaa....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro