Part 4 - First Love-
Bunga cantik nan wangi itu namanya Gardenia atau Gardenia Augusta. Di Indonesia lebih dikenal dengan kaca piring banyak.
Gardenia memiliki harum yang khas. Bunganya putih nan indah. Bentuknya hampir seperti bunga mawar dengan tajuk-tajuk melingkar dan bersusun. Warna bunganya putih dan kuning. Daunnya berbentuk oval, tebal, licin dan mengilap pada permukaan telapak daun bagian atasnya.
Gardenia, diperkirakan berasal dari Cina atau Jepang, namun sudah lama tumbuh di Indonesia.
Setiap bunga pasti memiliki simbol. Tak terkecuali Gardenia. Si bunga harum itu memiliki simbol, yaitu secret love.
Benar, cinta yang terpendam. Untuk pertama kalinya... Diara merasa jatuh cinta kepada hidupnya, setelah terpuruk begitu lama. Kecantikan dan keharuman bunga itu mampu membuatnya terpikat. Pertemuannya dengan Gardenia dimulai saat libur semester 3, Diara memutuskan untuk ikut Martha ke Blitar. Martha ingin mengunjungi neneknya di kota Proklamator. Ajakan Martha untuk ikut dengannya tidak ditolak oleh Diara. Dia sadar betul bahwa tempat baru, perjalanan baru dan orang baru bisa membuatnya semakin bahagia. Sejenak melupakan kenangan masa lalunya.
Diara begitu antusias, karena itu adalah kali mertamanya melakukan perjalanan jauh hanya dengan sahabatnya.
Perjalanan jauh yang membutuhkan 14-15 jam jika ditempuh dengan kereta. Perjalanan yang tak pernah Diara lupakan.
Sore itu, Diara sudah sampai di stasiun Pasar Senen. Dia duduk di ruang tunggu sambil menunggu Martha. Dilihatnya jam diponselnya, sudah menunjukkan pukul 15.00 wib dan jadwal keberangkatan kereta mereka pukul 16.00 wib. Dengan gusar, Diara memasukkan ponselnya kembali ke saku jaketnya.
Mengusir bosan dan rasa gugupnya dengan memakan camilan yang ia beli di mini market stasiun. Dibukanya sebungkus kripik kentang rasa balado. Mengunyahnya perlahan. Satu per satu kepingan keripik kentang itu habis dimulutnya. Tak terasa, satu bungkus sudah habis tak tersisa.
Dibukanya botol air mineral kemasan tanggung. Diteguk hingga habis. Bukan karena sangat kehausan sebab sudah menghabiskan satu bhngkus keripik kentang tapi karena rasa cemasnya yang begitu kuat. Menantikan Martha tak kunjung datang.
Kan sangat tidak lucu kalau rencana liburan kuliah harus ditunda bahkan batal karena Martha ketinggalan kereta. Dilihatnya jam digital di layar ponsel. Sudah 30 menit menunggunya dengan gusar. Kemudian, Diara mencoba untuk menelpon Martha. Tak diangkat juga.
Suara petugas kereta api kudengar dengan jelas melalui speaker yang dipasang di depan ruang tunggu. Suara lembut dan renyah itu memberikan informasi bahwa 30 menit lagi, kereta yang akan kami naiki sudah tersedia di peron 1 dan kami dihimbau untuk segera memasukki kereta.
Diara keluar dari ruang tunggu sembari menyeret kopernya dengan lemas. Dia menuju gerbang masuk peron 1. Dilihatnya ke kanan dan ke kiri. Tapi, sosok Martha tak kunjung kelihatan. Hembusan napas kesal lolos begitu saja. Kepalanya menunduk, melihat kelayar ponsel yang sedari tadi memanggil kontak nomor Martha. Tak diangkat juga olehnya. Pasraaahh... Itu yang hanya bisa Diara lakukan. Walaupun kekesalan dan kesedihan ia rasakan.
"Heeeiiiii....!" teriakan kencang yang seketika membuyarkan perhatianku pada layar ponsel.
"Ayo, masuukkk... Sebentar lagi kereta kita berangkat. Maaf ya... Aku terlambat. Ban motor ojol gembes di jalan". Kata-kata Martha tak begitu jelas karena napasnya tersengal-sengal. Aku tahu, dia pasti berlari kencang seperti induk ayam yang kehilangan anaknya.
Di dalam kereta, kami habiskan waktu malam untuk ngobrol dan tertawa. Menertawakan hal-hal lucu di kampus. Saat malam sudah sangat larut, kami pun ikut terlelap seperti penumpang lainnya.
Pukul 07.00 wib kita sudah sampai di kota Blitar. Kota yang penduduknya begitu ramah, sopan dan murah senyu. Udara pagi yang masih segar karena belum begitu banyak kendaraan.
Kita menuju rumah nenek dan kakek Martha dengan naik becak hingga ke tempat pemberhentian bus. Setelah itu, kita naik bus antar kota. Sekitar 25 menitan, akhirnya kita sampai di kecamatan Talun. Dari situ, kita berjalan kaki kurang lebih 1-2 km.
Memutuskan untuk berjalan kaki menuju rumah nenek dan kakek Martha bukanlah tanpa alasan. Karena sepanjang jalan yang kita lalui, terhampar luas persawahan milik penduduk. Pemandangan gunung Kelud juga bisa dilihat langsung dengan mata telanjang. Sungguh pemandangan yang begitu indah.
Setelah hampir setengah jam kami berjalan. Akhirnya, sampai juga di rumah kakek dan nenek Matha. Beliau adalah orang Jawa asli. Bahasanya pun masih memakai bahasa kromo inggil. Kata Martha, sejenis bahasa yang memiliki tatanan paling sopan. Yang jelas, aku nggak ngerti bahasanya. Heheee.... Maklum, aku hanyalah putri asli Indonesia yang hanya tahu bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Heheheee....
Ku kecup punggung tangan kakek dan nenek Martha dengan penuh hormat. Beliau mempersilahkanku untuk beristirahat. Namun... Melewatkan momen-memen indah di kampung ini merupakan suatu kerugian.
Setelah selesai memasukkan baju ke dalam lemari, ku lanjutkan untuk mandi. Keringat yang menempel kuat di pori-pori kulitku menimbulkan sensasi gatal.
Kamar mandi di rumah ini letaknya terpisah dari rumah utama. Kamar mandi teletak di ujung belakang rumah. Dekat dengan dapur yang kental dengan nuansa jadulnya. Indaahhh... Itu menurutku. Bangunan kamar mandinya sederhana. Pintunya hanyalah pintu geser yang terbuat dari seng. Bak kamar mandinya luas. Bisa dipakai berendam oleh 3 sampai 4 anak usia kelas 3 SD.
Air segar yang membasahi tubuhku mampu mengembalikan kewarasan jalan berpikirku. Menambah hormon serotonin berkali-kali lipat lebih banyak di dalam tubuhku. Tak pernah ku rasakan, sensasi penuh kebebasan dan kebahagiaan seperti ini. Rasanya begitu lepas tanpa beban. Entahlah, apakah karena efek mandi air yang sungguh sangat segar atau efek karena raga dan jiwa ini tidak berada di ibu kota.
Selesai membersihkan tubuh. Kami makan bersama. Masakan nenek Rohma, nenek Martha. Rasanya sungguh enak. Apa mungkin efek memasaknya masih memakai cara tradisional ya??? Entahlah...
Suasana sarapan yang begitu hangat. Nenen Rohmah yang dengan sabarnya mengambilkan menu sarapan suaminya, kakek Sastro. Meskipun usia keduanya tidak muda lagi, namun aura cinta mereka dapat kami rasakan.
"Apakah hingga nanti aku tua, aku bisa merasakan hal yang sama??? Sedangkan hingga sekarang pun, aku masih sangat takut untuk menjalin hubungan serius dengan makhluk yang bernama lelaki".
Seketika lamunan singkat itu hilang oleh teguran suara bersahaja kakek Sastro. Aktivitas sarapan pun ku lanjutkan kembali.
Seharian, kami menghabiskan waktu bermain di sawah dan di sungai dekat rumah kakek. Saat matahari mulai tergelincir ke ufuk barat. Kita baru beranjak pulang.
***
Diara POV
Ku jatuhkan tubuh ini dengan serampangan ke kursi kayu dengan bantalan busa yang sudah tak utuh lagi. Sepertinya, cakaran kucing membuat beberapa busa hilang dan sarung dudukannya sobek tak beraturan.
Ku kibas-kibaskan kedua tanganku diudara agar rasa gerah karena tadi saat berjalan pulang kami adu lari hilang.
Sesekali, kulirik Matha yang tarikan napasnya tersengal-sengal. Tatapan mata kami bertemu. Kemudian gelak tawa berhamburan tak punya sopan. Tawa yang mengingatkan kekonyolan saat kita bermain di sawah dan di sungai tadi.
Tawaku mereda karena bagian perut rasanya sakit. Bukan karena sakit maag tapi karena terlalu banyak tertawa. Mataku tertuju pada kelopak bunga berwarna putih itu. Ku dekati bunga itu. Harumnya sunguh khas. Enaaakkk sekali. Terlebih lagi, membuatku semakin relax.
"Itu namanya bunga kaca piring atau bekennya Gardenia. Indah kah???“ ucap Matha yang tiba-tiba sudah ikut jongkok bersamaku.
"Iya, sungguh indah".
"Itu, mama ku yang menanamnya. Duluuu... Kata nenek, ibu hobi berkebun. Saat selesai dari kuliah kerja nyata, mama pulang membawa bunga itu. Kemudian menanamnya. Dari puluhan bunga Gardenia yang ditanam oleh mamaku, hanya tinggal ini yang mampu bertahan hidup".
"Hanya ini kenangan yang bisa diingat oleh kakek nenekku setelah ibu memutuskan pergi ke jakarta. Meninggalkan mereka dan agamanya demi papaku". Terdengar isak tangisnya. Ku rengkuh pundaknya.
"Rasanya tak percaya, bahwa mama bisa berbuat seperti itu kepada kakek dan nenek. Untung, mereka mau menerimaku. Masih mau mengakuiku sebagai cucunya. Walaupun aku datang amat sangat terlambat. Berkat mereka, niatku memeluk Islam semakin kuat". Kutepuk-tepuk pelan bahunya.
"Semoga Allah masih memberikan cintaNya kepada orang tuaku, agar bisa kembali meneguk nikmatnya Islam. Aamiin".
"Seperti bunga ini, yang selalu cantik dan harum. Memberikan semerbaknya kepada siapa pun di sekitar nya. Pantas saja bunga cantik ini dijuluki, secret love. "
***
Semenjak pertemuan pertamaku dengan Gardenia, aku bertekad agar bisa melawan masa laluku (walaupun sekarang sudah jarang menghantuiku, tapi rasanya jika bisa terbebas akan sangat lega dan tanpa beban.
Entah mengapa, aku msnjadi terobsesi dengan bungan cantik itu. Aku ingin memiliki kekuatan yang sama sepertinya. Agar hidupku lebih hidup lagi.
Cinta peetamaku, Gardenia.
***
"Kenapa engkau begitu lama memandangi bunga Gardenia itu, nak?" tanya ibuku dengan lembut.
"Jangan terlalu banyak melamun nak, tidak baik untuk kesehatan jiwa mu. Apakah ada hal yang terjadi?" tangan lembut ibu membelai puncak kepalaku. Jari-jemarinya menyentuh lembut pasmina yang ku kenakan. Beliau merapikannya. Senyumnya sunguh hangat. Mampu mencairkan bekunya hatiku yang masih terasa shock karena kehadiran Will di Ancol tadi.
Kuambil tangan ibu yang masih membelaiku. Kutempelkan tangan hangat berselimut kasih sayang itu di pipiku. Kurasakan kehangatan itu.
Entah mengapa, Sepertinya tangan ini menghantarkan aura positif di dalam diriku.
Kurengkuh kedua tangan ibu. Kusesap harum khas tangan ibu. Ku hisap dalam-dalam aromanya. Membuat syaraf-syarafku yang sedari tadi menegang, mulai mengendur.
"Kenapa nak? Teringat masa lalumu? Atau sebagian orang yang melukaimu datang kembali?"
"Ehhheeemmm... " jawabku sambil tetap membau tangan ibu.
"Ikhlaskanlah nak, janganlah kau menyimpan dendam atas bullying temanmu dulu. Hadapi takdir hidup ini dengan lapang dadi. Jangan sampai, dendam masa lalu membuatmu terjebak dalam kehidupan yang menyedihkan. Hidup ini hanya sementara, jalani takdir Allah dengan penuh khusnudzon".
Bulir air mataku menetes.
"Maafkan aku bu... Maafkanlah aku bu. Akuu.... " suaraku tercekat. Kelu. Seperti ada sekepal batu yang tiba-tiba memenuhi tenggorokanku.
" Iya nak... Sabarlah. Ikhlaskanlah". Belaian tangan ibu di puncak kepalaku yang sudah tersungkur dipangkuan ibu menambah rasa bersalahku. Rasa bersalah karena tidak jujur jika William lah penyebab traumaku. Dia yang telah merusakku. Merusak masa depanku. Jiwa dan batinku.
"Sebenarnya aku... Bukan... Itu... Karena.... " terbata-bata kalimat yang keluar dari mulutku. Masih berat mengakuinya. Karena hal ini pasti akan membuat hati ibu hancur.
" Bicaralah saat engkau siap, nak. Sekarang masuaklah ke dalam rumah. Tidak baik anak gadis melamun sendirian di teras rumah. Ibu tadi masak ayam balado kesukaanmu. Ayok makan, nak".
Ajakan ibu seketika membuatku sangat lapar. Karena aku juga baru sadar kalau sedari siang belum juga makan.
***
William POV
Ku ikuti Diara. Dia pulang naik ojol. Bukannya mau menjadi stalker tapi lebih tepatnya, aku khawatir. Sejak kapan??? Entahlah...
Ku parkirkan mobilku tak jauh dari rumahnya. Pandangan mataku tertuju pada Diara yang duduk memandangi bunga putih di atas meja terasnya.
Wajahnya begitu pucat. Entah apa yang dia pikirkan. Aku penasaran... Tapi tak mungkin juga bagiku untuk mengutarakannya. Kupandangi sosoknya dari kejauhan.
Wanita paruh baya keluar, berbicara dengannya. Wanita dengan senyum khasnya itu adalah ibunya. Seorang ibu yang begitu sangat mencintai Diara. Semenjak pertemuan singkat di RS, aku bisa langsung tahu kalau kasih sayang ibunya begitu besar.
Dia menangis lagi, pasti karena luka itu. Aahhh... Begitu bangsatnya diriku hingga meninggalkan luka padanya. Kuacak-acak rambutku. Mulutku tak berhenti mengucap istighfar. Rasanya sungguh frustasi.
Melihat orang lain menderita karena kecerobohan dan kebodohanku. Ingin rasanya aku menghampirinya, bersimpuh di kakinya, meminta maaf dan memeluknya dengan erat. Mencoba membantu menghapus lukanya. Andai saja dosa itu tak ada, maka akan ku lakukan. Demi menghapus jejak lama yang sudah membekas.
Ku ambil ponselku, ku ketik 12 digit nomor telpon di kartu nama yang kudapat tadi pagi. Yaa... Aku menelpon Martha.
"Assalamuallaikum, iya... Ini William. Bisakah ahad besok aku bertemu denganmu? Baiklah... Memang lebih baik kau ajak suamimu, mahrommu. Karena itu lebih aman. Baiklah... Aku kirim alamatnya via WA. Syukron. Wa'alaykumussallam".
Ku pacu mobilku, setelah melihat Diara masuk ke rumah bersama ibunya.
Besok, aku akan bertemu dengan Martha...
Ini adalah langkah pertamaku untuk menebus kesalahanku dan juga mengakhiri semua rasa sakit kami....
Alhamdulillah, akhirnya selesai juga part 4.
Mohon kritik dan sarannya yaa...
Jangan lupa like dan vote supaya teman kamu banyak yang membaca ceritaku.
Penasaran gak sih sama kisah selanjutnya???
Penasaran dong yaaa....
Heheheehiiii....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro