Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 3 - Maaf-

Diara POV

"Apa yang kalian bicarakan???" tanyaku penuh keingintahuan...

Martha tersenyum.... Tidak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibirnya.

Membuatku semakin bingung. Semakin penasaran... Eeehhh, penasaran??? Kenapa ini??? Kenapa aku mulai penasaran kepadanya??? Oohh bukan, jelas aku penasaran mengapa dia sampai disini dan kenapa dia mencariku. Apa belum puas dia menyiksaku??? Duluu...

"Kok kamu diam aja sih Mar??? Kenapa aku jadi curiga kalau dia punya rencana busuk padaku". Martha menggeleng pelan. "Ciihh, mana bisa aku mempercayai tampangnya yang kriminal itu? Mengingat namanya saja membuatku sesak. Semoga dia tidak datang lagi di kehidupanku. Sudah sulit bagiku bertahan hidup, menanggung sakit. Kini, saat depresiku sudah mulai sembuh. Dengan seenaknya dia datang. Mau bikin aku hidup dalam lubang yang gelap dan kelam lagi? HAH!!! " entah mengapa kalimatku mulai meninggi. Bukan marah atau kesal pada Martha yang tak mau bicara tapi aku kesal dengan tingkah laku Will.

"Apakah kamu mau terjebak untuk yang kedua kalinya di dalam lubang kelam dan kelam itu lagi??“

Aku refleks menggeleng cepat.
"Tentu tidak Mar, itu sungguh mengerikan. Aku hidup tapi bagaikan mati, Mar. Hari-hari ku lalui dengan derita. Membayangkannya saja membuatku begidik".

"Jangan mau kalah Ara, lawanlah rasa takutmu itu. Dobraklah pencetus rasa sakitmua itu. Aku yakin, Allah mempertemukanmu dengan Will saat ini setelah 15 tahun berlalu, pasti ada maksudnya. Hadapi dia Ara, luapkan emosi dan segala yang telah lama kau pendam padanya. Pasti setelah itu, hidupmu akan semakin ringan. Dan kamu bisa melanjutkan hidup dengan lebih baik. Bukan sekedar bertahan hidup tanpa punya keinginan untuk melanjutkan hidup dengan penuh kebahagiaan". Tatapan matanya begitu dalam, hati ini mengiyakan semua perkataan Marta. Tapi emosi ini masih menguasai diri.

Aku berdiri, hendak meninggalkan Martha yang sedari tadi duduk di depan ku. Kuambil tas ransel di meja  dekat kamar mandi. Ku putuskan pergi dari Gardenia. Aku mau jalan-jalan sendirian. Sepertinya, Gardenia mulai panas sepertinya karena ucapan Martha. Atau hati ku yang mulai memanas??? Entahlah....

Ku berjalan melewati Martha.
"Hidup itu hanya sekali dan sangat singkat, manfaatkan untuk menggapai Ridho-Nya. Jangan menyiayiakan nikmat Allah atas tiap helaan napasmu dengan menanam kebencian. Kebencian tidak akan membawa kebahagiaan". Ucapan Martha membuat langkahku terhenti. Otakku mencerna semuanya. Tapi egoku tidak.

"Aku mau keluar sebentar. Titip Gardenia ya... In syaa Allah aku kembali setelah dzuhur. Assalamuallaikum. "

" Wa'alaykumussallam Warohmatullahi Wabarokatuh. Hati-hati sayang".

Ku langkahkan kaki menjauhi Gardenia. Berjalan menyelusuri tepian jalan tanpa arah. Berhenti sejenak di sebuah kafe. Tak jauh dari Gardenia. Ku pemesan ice capuchino. Sepertinya, minuman dingin dan bercafein bisa membuat kesadaranku kembali.

Kuaduk-aduk ice capuchino ku sembari tangan kiriku memainkan ponselku . Ku pesan ojek online. Ku hisap sedikit demi sedikit sambil menggoyang-goyangkan gelas plastiknya. Ku sruput lagi... Aaahhh... Begitu segaarrr dan nikmat. Alhamdulillah.

Ponselku berbunyi. Kuusapkan jari jempol kananku untuk mengangkat panggilan itu.

"Iya... Benar. Baiklah pak, saya akan keluar. Benar pak... Bapak tunggu diseberang jalan ya. Sebentar ya pak". Kuputus saluran telponnya. Kulangkahkan kaki keluar cafe shop. Membuang gelas plastik kosong itu ke tempat sampah di pinggir jalan.

Ku tengok kiri dan kanan. Jalanan lengang sekarang. Kulangkahkan kaki untuk menyebang jalanan ibukota.
Diseberang jalan, sudah menunggu bapak ojol (ojek online) dengan senyum ramahnya. Kubalas senyum itu. Lalu, kupakai helm berwarna hijau yang diberikan oleh bapak ojol.

Setelah melakukan konfirmasi tujuan. Bapak ojol membawaku membelah jalanan ibukota. Pukul 10 pagi, panasnya matahari sudah terasa. Sekitar 45 menit kemudian, aku sampai di tempat tujuanku. Pantai utara Jakarta.

Menikmati indahnya pantai membuat pikiranku sedikit rileks. Mencium aroma pantai membuat beberapa syaraf diotakku yang sedari tadi pagi melihat Will menjadi lebih relax.

Kulepas alas kakiku. Kupijakkan kaki ini dilembutnya pasir putih. Sentuhan langsung telapak kaki dan pasir pantai membuatku semakin merasa kalau aku ini masih ada di bumi. Memijakkan kaki. Bukan melayang.

Berjalan menyelusui bibir pantai di tengah teriknya matahari pun tak kuhiraukan. Hampir 2 km ku langkahkan kaki, namun tak membuatku lelah ataupun capek. Keringat yang sudah membasahi tubuhku, membuatku sadar betapa hidup ini sungguh hangat.

Kuhentikan kakiku. Kepalaku tertunduk melihat indahnya hamparan pasir pantai. Ku jongkokkan badanku. Menyentuh pasir putih. Perlahan dan sangat lembut.

Entah kenapa badanku seperti kehabisan tenanga. Mataku terasa panas dan berat. Bukan karena kelilipan. Sungguh bukan. Tapi rasa sesak bagaikan gundukan batu yang sedari tadi bertahan, perlahan menyeruak. Menimbulkan sensasi menyesakkan. Bahuku bergetar. Air mataku tak terbendung lagi. Meluncur bebas dipipiku. Semakin kutundukkan kepala ini. Karena malu, di siang bolong menangis di tepian pantai. Sendirian pula.

Kurapatkan kedua kakiku di dada. Semakin rekat. Kupeluk kedua kakiku dengan erat. Entah mengapa semakin sakit dada ini. Semakin sesak. Apakah yang sedang terjadi padaku??? Sesakit inikah rasanya? Walaupun sudah 15 tahun berlalu. Meskipun jiwa ini sudah sembuh secara medis. Tapiii... Kenapa masih begitu sakit saat melihatnya??? Bagaimana caraku berdamai dengan hati ini???

Suara hati kecilku meronta-ronta, berteriak kencang. Namun, hanya sesenggukan yang keluar dari bibirku.  Kubiarkan air mata ini jatuh dengan derasnya. Mungkin, setiap derai air mata yang jatuh akan membawa jatuh sejumput dendam yang telah melapuk dan mengkristal di dalam dada.

Cukup lama aku duduk diam sambil memeluk erat kedua kakiku. Tak terasa sudah pukul 13.30 wib. Kuseka air mataku dengan perlahan. Berdiri pelahan dan kutepuk-tepuk pantat dan punggungku yang penuh dengan pasir.

Sembari berjalan ke arah pintu keluar, ku edarkan pandangan ke sekeliling. Mencari mushola untuk menunaikan sholat dzuhur. Tak menemukan apa yang kucari, kuputuskan untuk bertanya kepada abang-abang penjual minuman air mineral.

Kuulurkan uang 5.000 untuk membayar air mineral dingin. Duduk di bawah pohon dan meneguk habis air mineral. Rasa dahaga seketika sirna. Tenggorokanku menjadi basah dan rasanya langkah kakiku menjadi ringan.

Setelah menemukan mushola, tidak jauh dari tempat berteduhku tadi. Langsung ku jalankan kewajibanku. Meski waktunya sudah mendekati pukul 14.00 wib.

Setiap sujudku begitu sangat damai di dalam hati. Seperti ada air es yang menyirami hatiku. Hatiku menjadi lebih ringan. Dipenghujung salam, kusisipkan do'a terbaikku.

Kuusap mukaku dikala dzikir selesai ku dengungkan. Air mata meleleh, rasanya begitu dingin dan hati lebih tenang. Entah mengapa akhir-akhir ini aku menjadi begitu cengeng.

Kuusap bulir air mata, kupancatkan do'a semoga Allah memberikanku petunjuk untuk menyembuhkan luka di hatiku.

Do'aku harus terputus dikala getaran ponsel ditasku bergetar terus menerus.

Kulepaskan mukena milik masjid. Kurapikan kembali dan kumasukkan ke almari. Tabganku meraih tas punggungku lalu kuambil ponsel di kantong depan.

Belum sempat kuusapkan jariku untuk menerima panggilan Martha tapi panggilan itu sudah terputus. Kubuka kunci diponselku. Mencari kontak Martha, dan menelponnya.

Tak berapa lama setelah tiga kali nada sambung berbunyi, suara Martha menjawab disana.

"Assalamuallaikum Mar. Ada apa? "

“Wa'alaykumussallam Ara. Kamu dimana? Aku mencemaskanmu. Apakah kamu baik-baik saja?“ tanya Martha dengan penuh nada khawatir.

" Kamu tidak usah khawatir, say... Aku baik-baik saja. Ini baru selesai sholat. Setelah itu aku mau cari makan dan kembali ke Gardenia. Aku ada di pantai Ancol".

"Alhamdulillah kalau kau baik-baik saja. Tidak usah kembali ke Gardenia. Langsung pulang saja ke rumahmu. Ibu pasti akan khawatir kalau nanti kamu pulang terlambat, sayang. Laporan penjualan di Gardenia hari ini akan ku kirimkan lewat email".

"Okey, makasih beibb. Miss you. Merindukan omelanmu... Hihihii... " kekehku.

"Sama-sama sayang. Segera pulang setelah makan ya. Jaga dirimu baik-baik. Aku menyayangimu saudariku. Assalamuallaikum...".

"Wa'alaykumussallam... " kemudian kuputus sambungan telpon. Tak berselang lama. Ku pesan ojol lewat aplikasi telpon. Kuputuskan untuk mengisi perut ini dulu sebelum pulang ke rumah.

Tapiii....

William POV

Setelah mengucapkan salam kepada Martha . Iya, ku tahu namanya Martha Nathalie dari kartu nama yang dia berikan. Aku tetap menunggunya. Menunggu hingga dia pergi dari Gardenia Shop. Hanya ingin memastikan kalau dia baik-baik saja setelah kejadian seminggu yang lalu.

Setelah keluarganya datang, aku berpamitan kepada Ajun dan ibunya. Kusembunyikan siapa diriku sebenarnya kepada mereka. Belum mampu lidah ini berkata yang sebenarnya. Ajun mengantarkanku hingga ke depan. Tapi sebelum itu, aku memintanya untuk menemaniku ke loket RS. Setelah administrasi RS beres, Ajun mengajakku ngopi sebentar food court, letaknya diujung depan RS. Tak banyak yang kami bicarakan, karena waktu semakin malam. Selain itu, ada beberapa urusan pekerjaan yang harus segera aku tangani.

Memantau kondisi Diara hanya melalui pesan Whatsapp yang ku tanyakan kepada Ajun. Tapi... Kali ini aku ingin melihatnya langsung.

Tadi malam, Ajun mengabarkan bahwa keadaan adikknya itu sudah sangat sehat. Semenjak pulang dari RS, Diara sudah sehat dan ceria seperti biasanya. Karena itu, aku memutuskan keesokan paginya untuk melihatnya sendiri. Di tempat kerjanya.

Jangan tanya aku tau dari mana dimana tempat Diara kerja. Pasti dari Ajun. Dia tidak sengaja menceritakannya kala kita bercakap-cakap via WA.

Pukul 10.00 wib, aku melihat sesosok bertubuh mungil itu keluar dari Gardenia. Tidak tampak raut muka yang menggambarkan bahwa dia habis menangis/sedih. Tapi tatapan matanya terlihat kosong.

Kaki mungilnya berjalan perlahan. Menyelusuri jalanan ibu kota dengan berjalan perlahan di trotoar. Dia masuk ke sebuah cafe. Masih dapat kulihat jelas sosoknya masuk ke cafe itu. Karena jarak cafe dan Gardenia tak begitu jauh.

Ku hidupkan mesin mobilku. Kujalankan perlahan. Ku hentikan dibahu jalan. Tepat diseberang jalan cafe.

Sepertinya minuman yang dia pesan sudah tinggal sedikit. Dia menggoyang-goyangkan gelas plastik minumannya. Tak berapa lama, dia mengangkat telpon. Entah dari siapa. Dia bergegas keluar cafe swmbari membuang gelas plastik bekas minumnya tadi ke tempat sampah.

"oohhh... Dia sungguh manis sekali" bisik hati kecilku. "Astaghfirullah..."  suaraku lirih. Saat kesadaranku kembali langsung saja aku perbanyak iatighfar. "Ya Allah, maafkanlah hambaMu ini yang telah tergelincir bisikan syetan".

Kuikuti kemana Diara pergi. Dia naik ojol. Ku atur kecepatan mobilku agar tidak terlampau kencang. Menjaga jarak darinya sangat penting, agar dia tak menyadarinya. Untung hari ini jalanan Jakarta tidak begitu padat. Cenderung lengang.

Setelah sampai di pantai Ancol. Kulihat dia turun dari motor. Membayar pengemudi itu dan tersenyum ramah kepadanya. Melihat dia tersenyum dua kali, walaupun kepada bapak pengemudi ojol. Membuatku sedikit lega. Karena melihat Diara menangis membuatku terluka. Aku tahu, luka pada dirinya ada dan belum hilang hingga sekarang semua karena salahku. Akulah penyebab hancurnya dia.

Harusnya... Kala itu hanya aku saja yang hancur karena problem keluargaku. Tidak perlu aku menyeretnya ke lembah kepedihan. Semua karena kebodohan, keegoisan dan emosiku.

Mengutuk diri sendiri dan bersedih tiada batas tidak akan memperbaiki masalah. Justru akan membuat masalah semakin berlarut-larut.

Disini, kini aku kembali ke Jakarta. Ibu kota Indonesia yang telah lama kutinggalkan. Meninggalkan Shabia berjuang melawan sakitnya. Shabia... Dialah yang membuatku harus bertanggung jawab atas masa laluku. Dia menginginkanku seutuhnya bisa sembuh dari sakitku. Derita masa lalu yang terbawa hingga kini. Selalu teringat akan kata-katanya "Aku sakit dan kaupun sakit. Bagaimana kita bisa menjalani hidup ini dengan Sakkinah Mawwadah dan Warrohmah? Bukankah kita ingin bersama-sama hingga ke syurga? Sembuhkan dulu lukamu, sayang. Aku pun juga sangat menderita dengan luka masa lalumu. Sakit yang ku derita ini tidaklah menyiksaku. Tapi... Lukamu, begitu menyiksa batinku. Tak kuasa lagi diriku mendengar tiap malam engkau menyebut nama wanita lain. Menangis dalam tidur dan beribu-ribu kali mengucapkan maaf dalam mimpimu. Selesaikanlah sayang... Aku akan menunggumu". Aahhh... Kalimat itu yang selalu terngiang-ngiang di telingaku. Bahkan, air mataku tak jarang lolos begitu saja. Ternyata... Shabia juga menjadi sakit batinnya karena aku. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk menggali masa lalu ku. Berharap bisa memperbaikinya. Selama 2 tahun belakangan ini aku mencari informasi tentang Diara. Tapi nihil. Hingga akhirnya, seminggu yang lalu aku bertemu dengannya tanpa sengaja. Wajahnya tak pernah berubah. Dan aku bisa dengan mudah mengenalinya.

Allah Maha Tahu, menjodohkan aku dengan Shabia pasti ada tujuan tersendiri. Takdir yang ku jalani ini, pastilah takdir terbaik yang telah Allah gariskan untukku. Aku sangat beruntung bisa dijodohkan oleh Allah dengan Shabia.

Kembali dari lamunanku. Ku pinggirkan mobil dan kuparkirkan tak jauh dari tempat dimana Diara berhenti menatap lautan.

Kupandangi dia dari belakang. Kulihat dia mencopot alas kakinya. Berjalan menyusuri bibir pantai dengan deru ombak yang sangat lemah. Dia berjalan cukup jauh. Aku kembali kedalam mobil. Mengikutinya tanpa ketahuan membuatku menimang bahwa melihatnya dari dalam mobil adalah keputusan yang tepat.

Kulajukkan kemudi mobil. Amat sangat pelan. Kecepatannya tidak sampai 10 km/jam. Hingga tiba-tiba kulihat dia berjongkok di pinggir pantai. Kutahu dia menangis. Terlihat jelas dari kedua bahunya yang bergetar. Hatiku menjadi sangat sedih melihat pemandangan itu. Rasanya... Seperti ditusuk sembiluh. Sakit tapi tak berdarah.

Kuambil ponselku. Panggilan cepat di nomor 1 adalah panggilan nomor ponsel Shabia. Kutekan agak lama. Ponselku mendengungkan bunyi tuuuttt.... Tuuuttt.... Tuuuttt...

Tak butuh waktu lama, Shabia mengangkat panggilanku.

"Assalamuallaikum Warohmatullahi Wabarokatuh bi..." sapanya.

"Wa'alaykumussallam Warohmatullahi Wabarokatuh mi. Aku sudah menemukannya mi. Dia sungguh menyedihkan mi. Itu karena aku mi. Sejak bertemu seminggu yang lalu, dia begitu histeris setiap melihatku mi. Aku harus bagaimana mi??? Tanyaku dengan nada suara yang bergetar. Menahan gejolak emosi dalam jiwa. Emosi kesedihan.

"Bersabarlah bi. Mungkin dia sangat shock melihat engkau kembali. Mungkin, kehadiran abi membuat ingatannya akan masa lalu yang pedih mencuat kembali. Disana sekarang jam berapa bi?"

"Sekarang pukul 12.45 wib mi. Kenapa?"

"Abi sudah sholat dzuhur?"

"Astaghfirullah Hal Adzim. Belum mi... Jazaakillahu khoyr ummi sayang".

"Wa Jazaakallahu khoyron bi. Jangan lupa, dikala sujud perbanyak berdo'a kepada Allah. Berdo'a Semoga Allah melembutkan hati dek Diara. Semoga Allah memberikan kemudahan padamu, bi. Oia... Hasil pemeriksaanku hari ini bagus semua bi. Seperti yang kita harapkan. Maaf tadi malam aku tidak sempat membalas pesanmu, sayang. Aku sudah tidur. Nanti akan ku kirim hasil pemeriksaan hari ini lewat WA. Shabia menunggumu disini, bi. Assalamuallaikum Warohmatullahi Wabarokatuh".

"Wa'alaykumussallam Warohmatullahi Wabarokatuh, aku menyayangimu Shabia".

Terputus suran telpon kami. Kulajukan mobilku. Meninggalkan Diara yang masih menangis sambil memeluk erat kedua kakinyanya.

Setelah menemukan mushola. Ku tunaikan kewajibanku. Begitu khusyuk sholat fardhu ini. Setelah puas berdo'a kepada Allah, aku kembali ke mobil. Ku nyalakan mesin mobilku. Saat akan kumasukkan gigi pertama, mataku melihat sosok Diara berjalan ke arahku. Aku menatapnya lekat. Tapi dia tak tahu jika aku sedang melihatnya.

Dia menuju mushola dan hendak menunaikan sholat dzuhur. Kumatikan mesin mobil. Menunggunya selesai sholat dan melihat beberapa hasil pemeriksaan kesehatan Shabia di ponselku. Aku tersenyum lega kala melihat hasilnya.
"Alhamdulillah ada kemajuan".

Ku lihat Diara sudah selesai sholat. Setelah dia keluar dari mushola. Aku membuka pintu mobil. Dia terlihat begitu kaget. Dia mematung. Ekspresinya sungguh terkejut. Aku berdiri 5 meter darinya.

Tiba-tiba dia membalikkan badan. Aku tahu dia akan lari dan menghindariku.

"Tunggu Diara... " ucapku. Rupanya dia tak menghiraukanku." Tunggu duluuu!!!" ucapku agak kencang supaya dia mau mendengarkanku.

Berhasil. Dia berhenti. Tetap memunggungiku.

"JANGAN GANGGU AKU LAGI...!!!" ucapnya dengan lantang dan datar. Tanpa memalingkan badannya.

"Aku hanya ingin minta maaf... " ucapku dengan terbata-bata.

"Pergilah... Aku tidak mengenalmu, BAJINGAN...!!!" sedikit ada penekanan diakhir kalimatnya.

Dia berlari, dan aku mengejarnya. Kuraih pergelangan tangannya. Dia meronta. Mengibas-kibaskan tangannya yang kugenggam. Dia berusaha melepaskan tangannya.

"Biarkan aku pergi, BAJINGAN...!!!" kali ini dia berhasil melepaskan tangannya dalam genggamanku.

"Tungguuu Diaraaa... Sembuhkan akuu..." teriaku sangat keras.

Dia berhenti dan moleh. Menatapku. Air matanya jatuh.... Dia lari menjauhiku... Pergi hingga hilang dari pandanganku.

Dia tidak ku kejar, karena aku yakin hasilnya tidak akan lebih baik dari sekarang. Aku membiarkannya pergi. Dan aku pasti akan kembali...

Mengobati luka ini. Bersamaa....

Alhamdulillah akhirnya part 3 selesai juga...

Jangan lupa follow akun aku yaa...
Kasih bintang dan komennya.

Maaf banyak typo...
Kritik dan saran sangat author perlukan.

Salam hangaaattt....

#akhirnya 2400an kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro