Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 10 - Kekuatan Dari Sebuah Kejujuran -

William POV

Siang ini, pukul 11.15 WIB aku ada janji dengan seseorang yang 2 minggu lalu mengirimiku pesan singkat. Sebenarnya berat rasanya membawa serta Shabia ke Indonesia dengan kondisinya yang sekarang. Tapi... Shabia tetap bersikukuh untuk ikut ke Indonesia. Dia merindukan kampung halaman ibunya, Yogyakarta.

Kami sudah dua hari di Indonesia. Hari pertama kami di Yogyakarta. Mengisi energi Shabia dengan kenangan ibunya yang telah tiada sejak 4 tahun lalu. Tepat seminggu setelah pernikahan kami, ibunda Shabia meninggal karena mengidap kanker payudara.

Kini kita di Jakarta, tepatnya di restoran dekat kantor William. Setelah selesai menandatangani beberapa berkas dan meeting singkat seputar rencana pembukaan cabang baru, William menunggu sesosok wanita itu. Wanita yang mengirimi pesan padanya.

Melihat wajah Shabia yang merona dan terlihat segar, ada sedikit kelegaan direlung hati William. Sepertinya, keputusan mengijinkan Shabia pulang ke Indonesia adalah keputusan yang tidak sia-sia.

Banyak senyum yang terlontar darinya. Meskipun aku tak melihat dia tersenyum karena wajah cantiknya tertutupi oleh selembar kain hitam, iya... Dia adalah muslimah yang berniqob. Kedua matanya yang menyipit menandakan dia sedang tersenyum.

Kuraih tangannya yang mengatup diatas meja. Kulemparkan senyum padanya, senyum yang sangat hangat. Lalu kuciumi kedua tangannya. Dia tersenyum.

Tak lama, pramusaji membawakan pesanan kita. Genggaman tangan kami harus terlepas karena sepiring salad dan tiga botol infused water sudah tertata rapi dimeja. Kusengaja untuk menunda makan siang. Menunggunya datang. Jam arloji menunjukkan pukul 11.35 WIB. Kuedarkan pandangan, menyapu setiap pandangan di dalam restoran. Memastikan bahwa wanita yang ditunggunya sudah datang ataukah belum.

Karena sebentar lagi sudah masuk waktu dzuhur, maka kuajak Shabia untuk menyantap salad sayur kami. Kusuapi dia. Shabia sangat suka kusuapi karena pasti apa yang kusuapkan pasti ia makan dan sampai habis. Perlahan lahan semua salad dipiring pun tandas. Setelah menghabiskan infused water yang begitu segar, Shabia berpamitan untuk ke kamar mandi.

***

Saat aku menunduk menatap layar ponselku, mataku dikejutkan oleh sebuat amplop. Ya... Itu adalah amplop yang kuberikan kepada Diara.

Kuangakat kepalaku. Melihat sesosok tante Amira sedang berdiri tepat dihadapanku. Jarak kami hanya terhalang oleh meja.

Kuucapkan salam kepada tante Amira. Senyum kecil mengembang diwajahku. Tapi... Tak lama, senyum itu kukulum kembali. Ekspresi tante Amira tak seramah seperti saat terakhir kita berjumpa di Rumah Sakit.

Kupersilahkan tante Amira untuk duduk. Kupanggil pramusaji untuk memesan minuman. Tapi... Langsung dipatahkan oleh tante Amira.

"Langsung saja... Apakah itu kamu!!!" suara tante Amira sedikit meninggi dan bergetar.

"Jawaaabbb...!!!" suaranya mendekati notasi teriak. Kulihat tangannya mengepal diatas meja. Pasti tante Amira sangat marah. Aku bingung harus bangaimana. Akhirnya... Masa-masa seperti ini datang juga. Bodohnya... Dari dulu aku hanya mengulur waktunya, seperti menyulut bom waktuyang setiap saat bisa meledak. Dan bodohnya aku berharap ada celah untuk melarikan diri. Tapi sepenuhnya aku takkan bisa melarikan diri. Sisi nurani lain dariku telah menahannya. Memenjara rasa bersalaho hingga kini.

Kuangkat kepalaku. Kupandangi lekat tante Amira. Mata Beliau sudah berkaca-kaca. Sepertinya menahan amarah, kekecewaan dan kesedihan yang mendalam.

"Maafkan saya tante" kujawab pertanyaan Beliau dengan nada suara yang begitu bergetar. Bukan karena takut tapi karena merasa bersalah dan berdosa.

"Plllaaakkk... ". Sebuah tamparan mendarat dipipiku. Pipiku menjadi panas dibekas tamparan Beliau. Posisi tante Amira kini sudah berdiri.

Napas tante Amira memburu. Bisa kulihat saat kuberanikan mata ini memandang Beliau. Air matanya meluncur deras. Amarahnya seketika berganti dengan kesedihan.

Tante Amira menangis. Isakkannya membuat hatiku tersayat. Pasti itu karena kesalahanku dulu. Kesalahan yang melukai semua orang. Tante Amira terduduk kembali di kursi. Kedua tangannya membekap wajah.

"Teganya kamu..." suara Beliau terhenti. Masih dengan isakkannya. "Teganya membuat anak perempuan ku satu-satu menjadi terluka. Pantas saja sampai sekarang Diara tak mau dekat dengan lelaki. Pasti karena ulahmu. Ibu menyesal telah mengenalmu. Ibu menyesal membiarkan Ajun berteman denagnmu. Ternyata kamu orang yang sungguh mengerikan". Suara tante Amira begitu bergetar. Setiap ucapan Beliau menyayat hatiku. Bukan karena pedasnya kalimat Beliau tapi karena sebuah kejahatan yang dulu bisa kulakukan. Kejahatan yang tak termaafkan dan menyakitkan siapapun. Tak terkecuali aku.

"Tante... Maafkan William. William... "

"Diam kamu...!!! Permintaan maaf saja tidak cukup. Kamu tau!!! Perbuatanmu mencabik-cabik harga diri wanita". Nada suara Tante Amira meninggi. Kupusatkan pandanganku. Hanya ingin meyakinkan Beliau kalau aku benar-benar tulus meminta maaf.

"Sudah banyak penderitaan dan kesedihan yang kau torehkan selama ini. Sadarkah kau!!! Hah!!!" nada suara tante Amira semakin meninggi. Banyak mata disekitaran meja kami yang mulai menatap dengan tatapan penuh tanya dan ingin tahu.

"Assalamuallaikum, ini tante Amira ya? Perkenalkan, saya Shabia. Istri William". Diulurkannya tangan Shabia tapi tak disambut oleh tante Amira. Wajah Beliau semakin memerah karena menahan amarah.

"Bajingan kamu yaa... Sudah merusak anakku dan sekarang bisa-bisanya kamu menikmati hidup. Astaghfirullah ya Allah. Astagfirullah... Astagfirullah..." kepalan tangan kanan tante Amira menepuk-nepuk kasar dada kirinya. Bertanda bahwa Beliau ingin meredakan emosinya sambil beristighfar. "Teganya kamu... Dikala anakku tak kunjung membuka hati karena takut dengan laki-laki tapi kamu dengan bahagianya sudah beristri... Sungguh sangat biadap kamu". Kepalan tangan Beliau kini sudah beralih ke depan meja. Meremas-remas tisu. Kedua tangannya menggenggam begitu erat.

Saat tangan Shabia menyentuh tangan tante Amira, tangan Beliau berpindah. Hanya menyisakkan udara yang disentuh Shabia.

Shabia mendekatkan tangannya kembali. Berharap bisa menyentuh tangan tante Amira. Kini, tangan Shabia bisa menggenggam erat kedua tangan tante Amira yang masih mengepal diatas meja. Sedikit ada penarikan dari Beliau tapi ditahan oleh Shabia.

"Ibu... " panggil Shabia.

"Jangan panggil aku ibu. Aku bukan ibumu". Suara tante Amira begitu ketus.

"Maafkan kami, tante. Kami benar-benar minta maaf". Air mata Shabia kino membasahi niqobnya. Ku peluk pundaknya. Berharap bisa memindahkan seluruh kesedihan dan bebannya dipundakku saja. Ya Allah... Betapa bodoh dan gagalnya aku sebagai seorang suami. Ku rutuki ke gagalanku dalam dalamnya hati.

"Mungkin saat ini tante belum bisa memaafkan Bang William daaannn saayyaa... Tapiii... Kami akan terus berusaha dan berdo'a agak memperoleh maaf dari tante". Tangisnya semakin menjadi. Tatapan mata tante Amira tak melihat kami. Bola mata beliau memaling. Menatap bagian lain dari cafe ini. Beliau memalingkan mukanya.

"Kami pun juga terluka dengan kesalahan lalu yang dilakukan oleh Bang William". Suasana kami menjadi hening. "Tak terkecuali pernikahan kami, tante..." kalimat barusan yang terlontar dari Shabia membuat tante Amira memusatkan pandangannya pada kami.

"Kami pun juga harus berjuang melawan siksaan dosa dan rasa bersalah dari masa lalu...." kini kedua tangan tante Amira hanya diam menerima genggaman tangan Shabia.

"Terima kasih tante. Karena telah membantu Diara melewati masa kelamnya. Hingga kini, kami berdua bisa meminta maaf dan menebus kesalahan pada Diara". Kulihat mata mereka bertemu. Saling memandang. Kemarahan tante Amira sudah mulai berkurang, terlihat dari pancaran mata Beliau.

Kini, Shabia berganti tempat duduk. Dia duduk di sebelah tante Amira. Dengan tangan mereka yang masih saling menggenggam.

"Maafkan saya tante" suaraku memutus genggaman tangan mereka.

"Karena kebodohan saya yang berujung mencelakai Diara lahir dan batinnya, saya harus menanggung semua balasannya. Selama 15 tahun, saya selalu dihantui rasa berdosa dan bersalah. Bukan hanya saya tante. Tapi.... Saya telah membuat istri sayapun meanggung kesalahan saya". Tante Amira memandangiku lekat. Banyak tanya dari ekspresi wajah Beliau.

"Ditiap malam, saya harus menanggung mimpi buruk akibat perbuatan menjijikkan saya di masa lalu. Memanggil nama... Diara", kulihat wajah Shabia. Dia mengangguk mengisyaratkan bahwa dia mengijinkan aku membuka aibku sendiri. Karena menceritakan aibku sama halnya membuka juga aib pasangannya . Bukan begitu dalam islam??? Makanya dalam islam. Seorang syami adalah pakaian bagi iatrinya, begitu pula sebaliknya.

"Kemudian... Menangis tersedu-sedu meminta maaf. Bahkan dalam mimpipun Diara tak memberi saya maaf". Kutarik napas panjang. Kuceritakan dari awal hingga akhir. Mulai penyebab dari kejadian itu, ketakutanku yang membawa keberanianku menciut untuk bertanggung jawab atau bahkan sekedar meminta maaf bahkan mengakui kesalahanku. Perjuangan melawan sakitku hingga sakit inilah yang menjadi jalan pertemuanku dengan Shabia. Hingga Shabia yang menuntunku kearah Islam yang sebenarnya. Membangun keberanian yang hilang dan selalu menuntunku untuk bertanggung jawab atas semua yang kulakukan.

Mendengar ceritaku, tadi amarah yang terpancar dari Tante Amira kini berubah menjadi kesenduan. Beliau menangis. Berpelukan dengan Shabia. Saling menguatkan lewat pelukan. Kupandangi mereka berdua senyum.

Masyaa Allah, pemandangan yang begitu indah. Saat pelukan itu merenggang. Shabia mengusap air mata yang masih tertinggal dipipi tante Amira.

"Tante maafkan. Tante tidak tahu jika kamu juga merasakan derita ini. Tak sepenuhnya ini adalah salahmu. Kedua orang tuamu juga punya andil yang besar atas kejian ini. Ini adalah takdir Allah. Maafkan tante yang tadi sudah berucap kasar".

"Terima kasih tante. Semoga Allah membalas kebaikan hati dan keikhlasan tante untuk memaafkan saya". Ucapku penuh dengan syukur.

Kami berbincang cukup lama. Hingga waktu sholat dzuhur pun hampir habis. Saat Shabia mengingatkanku, aku meminta ijin pada tante Amira dan Shabia untuk sholat di masjid dekat restoran ini.

Kutinggalkan mereka berdua berbincang-bincang dengan telah memesankan aneka menu makan siang yang sehat dan lezat.

Saat berjalan menuju masjid. Kupandang sekilas mereka berdua daei kejauhan. Tampak mereka saling tertawa, menggenggam tangan satau sama lain dan berpelukan. Seperti ibu dan anak. Melihat semua itu, senyumku tercetak diwajah.

Segera kulangkahkan kaki menuju Masjid. Ingin sekali segera mengadu kepada Allah. Berucap syukur atas nikmatNya.

Kejujuran itu adalah bagian dari akhlak. Tegakkanlah kejujuran sekalipun itu pahit. Karena akhlak yang baik tak akan tegak jika hanya ada kedustaan. Karena kedustaan tak akan berujung kebahagian. Sedangkan kebahagiaan hanya tercipta dari akhlak yang baik, yaitu kejujuran.

William Hans
By Journey Of Diara


Alhamdulillah part 10 akhirnya selesai juga. Maaf kalau masih banyak typo atau tulisannya kurang greget.

Kritik dan saran begitu Author damba. Supaya kwalitas tulisan semakin baik.

Jangan lupa like bintangnya yaa...

#SalamHangat

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro