Gue sampe rumah sekitar pukul satu malam. Ini kedua kalinya gue pulang kemaleman karena Revi. Keadaan rumah udah sepi tadi Mang Ujang yang buka gerbang dengan muka ngantuknya. Gue rasa Alvira udah tidur. Untung ayah sama bunda lagi di Yogyakarta. Kalau ada di sini mungkin kedua kalinya juga gue dimarahin.

Gue yang udah capek banget langsung masuk ke kamar. Terbaring di kasur dengan sprei berwarna garis-garis belang hitam putih. Gue menatap ke meja belajar hitam yang ada di samping tempat tidur. Di atasnya ada sebuah laptop berwarna hitam juga.

Gue ambil ponsel yang ada di saku celana ternyata baterainya habis. Terpaksa gue harus bangun buat charger. Gue pengen banget istirahat, tapi rasa penasaran gue memuncak. Langsung aja gue ambil laptop dan nyalain wifi-nya. Gue jarang isi paket data. Di rumah wifi tersedia. Di sekolah tinggal pake wifi studio.

Gue langsung nanya ke si mbah dengan kolom pencarian ‘seseorang yang mempunyai dua kepribadian’. Gue agak kepo sama perilaku Revi yang berbeda saat di sekolah dan di luaran. Mungkin Revi punya alter ego. Bisa jadi, kan?

Gue kira alter ego dan kepribadian ganda itu sama aja. Gue tau sekilas tentang alter ego dari salah satu acara televisi. Itu pun lebih fokus ke ponsel.

Namun ternyata dari segala hasil pencarian, gue jadi tau ada yang namanya Dissociative identity disorder (DID) biasanya di sebut juga kepribadian ganda. Kalau ini kelainan di mana seseorang memiliki lebih dari satu identitas dalam satu tubuh. Penderitanya cenderung menyebut ‘kami’. Di sini dijelaskan juga saat melakukan perpindahan ‘kepribadian’ seseorang tersebut tidak sadar akan kepribadian sebelumnya. Otomatis hal ini cenderung membuat penderita lupa akan kejadian yang dilewati bila berpindah kepribadian.

Beda lagi kalau alter ego yang memiliki arti ‘aku yang lain’. Perpindahan identitas ini dilakukan secara sadar. Sehingga tidak lupa akan identitas sebelumnya.

Masih banyak lagi pembahasan tentang itu. Namun, inti dari isi artikelnya sama aja. Ada pula yang membahas ciri-ciri. Setiap kasus dari kelainan tersebut dan lain sebagainya. Si Mbah emang komplit. Pertanyaan apapun pasti ada penjelasannya. Kalau gak ada juga paling yang masih jadi misteri sampai saat ini. Contohnya jodoh gue, si Mbah gak bakal tau.

Gue sering denger dia dipanggil ‘Dy’ dengan teman di luar sekolah. Sedangkan di luar dipanggil ‘Revi’. Gue pikir ada dua kemungkinan. Revi memang memiliki kelainan atau hanya pencitraan saat di sekolah. Dengan kata lain Revi munafik?

-----Journalist-----

Kembali ke hari yang paling menyebalkan apalagi kalau bukan hari Senin. Sekarang udah jam istirahat gue berniat nemuin Zaky. Nggak susah nyarinya, karena dia itu udah semacam jadi kuncen studio. Tiada hari tanpa ke studio. Sesuai dugaan gue, dia ada di dalem studio duduk di depan komputer. Dia lagi sibuk edit foto-foto Sheila dijadiin foto mosaik. Gue tau pasti itu perencanaan buat nembak Sheila untuk yang ke sekian kalinya.

“Paketu lagi sibuk, nih.” gue langsung duduk di sampingnya yang masih fokus ngedit.

“Apaan sih lo. Gak lihat gue lagi sibuk?”

“Gue tau lo lagi sibuk buat nyiapin penembakan lo buat Sheila yang ke sekian kali. Urusan itu tunda bentaran, ya? Gue mau cerita.”

Zaky menengok ke samping, menatap gue tajam. “Sok tau lo. Ini buat kado ultahnya yang ke-17. Kalau mau cerita ngapain ganggu gue, sih. Tinggal ngomong aja, ribet banget lo.”

“Gini, Zak. Udah dua minggu ini gue sering banget rekam kegiatan Revi.” gue sengaja menggantungkan kalimat.

“Bisa gak jelasinnya gak usah sepotong-sepotong? Lanjutin aja gue denger kok,” sahut Zaky ketus—dari tadi juga emang udah ketus.

“Selama dua minggu ini gue nemuin fakta dari Revi yang mengejutkan, Zak.”

“Oh, terus?” tanya Zaky datar sambil masih fokus ngedit.

“Nih, Zak lihat.” gue menyodorkan kamera dan memperlihatkan video saat Revi masuk club malam.

Zaky fokus melihat isi kamera. “Oh, gitu.”

“Ini Revi lho. Murid berprestasi yang udah dua kali peringkat satu pararel seangkatan IPA. Dan dia masuk club malam. Seriusan lo gak kaget, Zak?”

“Jadi gue harus kaget gitu. Bilang ‘oh, ya ampun gak nyangka’ dan sederet kalimat kekagetan yang lain? Itu semua gak penting, Vin. Dia mau ngapain kek di luar sekolah itu bukan urusan gue,” jelas Zaky gak peduli sama sekali. “Gue nggak seperti lo yang kepo tingkat akut. Ngapain coba nge-stalk sampe segitunya. Kurang kerjaan tau gak.”

“Gue kan nge-stalk gini buat nanti film pendek tentang Revi, Zak. Dia keras kepala banget gak mau kerja sama. Ya udah gue rekam aja aktivitasnya diem-diem a--"

Plak!

Zaky langsung menggeplak kepala belakang gue dengan seenak jidatnya. Gila sakit banget ini.

“Jadi intinya lo ngikutin dia terus nanti di edit buat dijadiin film pendek gitu? Meskipun ini film pendek harus dibuat senyata mungkin, tapi gak gitu juga caranya. Lo bilang Revi gak mau diajak kerja sama lha usaha dong, Vin. Bujuk kek atau sogok gitu. Kalau diem-diem apa lo ngejamin waktu nanti ditayangin di youtube dia gak bakal nonton? Meskipun gak nonton sekalipun dia pasti bakal tau dari orang lain. Itu berarti lo bakal ketahuan juga. Ujung-ujungnya lo dapet masalah. Apalagi nanti sampai ke bang Radit kalau lo video diem-diem kan ribet. Bukan cuman lo doang yang kena masalah gue juga pasti kena.

“Gue salut sama lo, Vin. Padahal nih video harus beres masih sekitar dua bulan lagi, tapi lo udah mulai ngerjain. Diantara anggota yang lain lo paling cepet kalau tugas. Sekarang gini deh, mumpung masih banyak waktunya lo bujuk lagi si Revinya.”

“Kalau Revi tetep gak mau gimana, Zak? Gak masalah kan kalau yang ini aja gue jadiin film pendek?” gue coba negosiasi sama Zaky. Sepertinya Zaky lagi baik tuh buktinya dia muji gue.

“Ya nggaklah somplak. Lo tetep harus bikin film pendek tentang Revi dan gak sembunyi-sembunyi rekamnya. Dikira ini acara katakan putus apa. Diem-diem video lang—“

Kelentrang!

Gue kaget karena tiba-tiba diluar ada yang jatuh. Sepertinya kaleng tong sampah di depan. Gue mau cek ke depan buat lihat, tapi malah ditahan sama Zaky.

“Lo mau ke mana? Udah biarin aja kali. Palingan tuh tong sampah depan kesenggol kucing. Sifat kepo lo kumat lagi.”

“Elah, Zak. Mending gue cuman sifat kepo yang kumat daripada lo dengan segala obsesi buat Sheila. Udah ah gue cabut. Jam istirahat mau beres.” gue beranjak dari studio berjalan ke pintu keluar.

Zaky mengumpat kesal karena perkataan gue yang menyinggung. Apa yang gue ucapin tadi bener kok. Saat membuka pintu gue dikagetkan dengan kehadiran Angga.

“Eh, Ga, ngapain lo di sini?” tanya gue heran.

“Dipanggil Zaky. Sebagai wakil ketua yang jarang dianggap. Ini kejadian langka bisa diandalkan ketua,” jawab Angga datar lalu masuk ke dalam studio. Sedikit menabrak bahu gue.

Gue hanya bisa bengong. Perkataan Angga tadi seperti telak nyindir gue. Gue ngerti kalau Zaky lebih sering mengandalkan gue dibanding Angga yang notabene-nya wakil ketua. Sedangkan gue hanya ketua divisi broadcast.

Gue melirik ke samping dan melihat tong sampah itu tergeletak jatuh. Sampahnya hanya sedikit sehingga gak berserakan. Gue langsung berdiriin tong sampah itu. Dibawahnya gue lihat ada gelang merah muda dengan simbol huruf A berwarna coklat. Sepertinya gue pernah lihat gelang ini dipake sama seseorang, tapi gue lupa orangnya. Gue gampang lupa. Semakin berusaha mengingat semakin pusing. Ya udahlah gue bawa dulu aja.

----------📷----------