Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. Penolakan (Lagi)

Hari Sabtu kemaren gue gagal jadi detektif dadakan lagi. Waktu mau menguntit Revi lagi, gue inget ada undangan buat ikut seminar ke SMA Pattimura. Daripada si Paketu ngambek lagi jadilah gue dateng ke sana.

“Stt, Fik.” gue panggil Fikri yang ada di kursi sebelah. Yap, kita semeja. Ada hal yang mau gue tanyain sama dia.

“Apaan, Vin? Lo gak lihat Pakum lagi ngajar. Ketahuan ngobrol habis lo sama dia,” tukas Fikri sambil fokus menghadap ke papan tulis yang dipenuhi angka-angka.

Gue perhatikan Pakum yang lagi ngajar di depan. Nama aslinya Deni Supriadi, tapi murid SMA Garuda sering panggil Pakum singkatan dari Pak Kumis. Tentu saja kami panggil begitu di belakang Pakum.

Pakum itu badannya tinggi kurus. Dengan ciri khas suka menggunakan peci warna putih untuk menutupi kepala bagian depannya yang sudah botak. Meskipun begitu otaknya sangat cerdas beberapa kali selalu memenangkan kompetensi.

Cara mengajarnya juga mudah dimengerti dengan metode penjelasan materi serta contoh soal. Namun, tetep aja soal latihan yang dikasih selalu bikin puyeng. Namanya juga Matematika levelnya seperti permainan ular yang ada diponsel jadul. Contoh soal mudah, latihan soal normal, dan ulangan sulit.

“Fik, gue mau nanya bentaran.” pertanyaan yang mau gue ajuin cukup buat penasaran. Gue gak sabar pengen tahu jawabannya.

Fikri tak membalas karena melihat Pakum sedang mencari mangsa untuk mengerjakan soal-soal Matematika yang sudah ada di papan tulis. Di situ sudah tertulis sepuluh soal.

“Fik, pacar lo ada yang namanya Nara kan? Dia sekolah di SMA mana?” tanya gue yang udah penasaran banget.

“Nara pacar gue yang mana, ya?” Fikri bingung sama pertanyaan gue terdengar dari nada bicaranya yang seperti berpikir.

"Itu lho Fik. Yang kata lo kemaren baru jadian," jelas gue. Yap, gue yakin yang waktu itu Fikri jelasin di kantin pasti dia.

“Oh, gue inget maksud lo Anara, bukan? Cuma dia yang namanya agak mirip sama yang lo bilang tadi.”

“Mungkin, Fik. Dia sekolah di mana?” tanya gue masih dalam keadaan berbisik-bisik. Gue kira waktu itu Fikri bilang Nara doang ternyata Anara. Bisa jadi nama panggilannya Anara itu adalah Nara.

“SMA Pattimura,” jawab Fikri singkat sambil pura-pura menulis. Salah satu teknik kalau gak mau dipanggil guru.

“Tuh kan bener.”

“Bener apa Alvin?” tanya Pakum menatap tajam gue. Perlu gue tegasin Pakum ini salah satu guru killer di SMA Garuda. Dan tadi gak sadar kalau volume suara gue terlalu keras.

“Itu pak ... eum ... bener ....” gue bingung mau jawab apaan. Gue pasti dapet masalah nih.

“Sekarang kalian berdua kerjakan soal ini masing-masing 5!" perintah Pakum galak sambil melempar dua spidol ke meja kami.

“Saya juga, Pak?” tanya Fikri menunjuk dirinya sendiri.

“Iya. Dari tadi Bapak perhatikan kalian berdua ngobrol terus. Cepat kerjakan!” perintah Pakum tegas untuk yang kedua kalinya

Kami berjalan ke depan. Fikri ngedumel karena gue dia pun kena imbasnya. Aduh mana gue gak perhatiin tadi Pakum jelasin apaan. Di depan papan tulis gue hanya bisa bengong sambil mikir harus digimanain. Matematika kenapa sih lo harus buat gue mikirin lo mati-matian.

-----Journalist-----


Jam istirahat pertama Anggun mengajak gue buat makan di kantin bareng sekaligus ada yang mau dibicarakan. Gue terima ajakannya karena sahabat gue lagi pada sibuk. Fikri makan bareng pacarnya, Tito kumpul OSIS/MPK, dan Angga sibuk edit artikel di studio. Daripada sendirian mending gabung Anggun ajalah.

“Vin, gimana kemaren video Revi berhasil direkam?” tanya Anggun memulai percakapan.

“Eum, berhasil kok tinggal edit. Nanti kita lanjut rekam pas dia lomba dan yang lainnya.” gue sengaja gak ngasih tahu Anggun tentang Revi yang masuk klub malam. Gue rasa masalah itu gak usah diumbar ke setiap orang.

“Oh, baguslah. Maaf ya Vin gue gak bantuin lo kemaren.”

“Gak masalah, santai ajalah.” gue cukup paham sama Anggun yang sibuk. Meskipun kemaren gue ragu sama alasannya.

Setelah percakapan itu makanan dan minuman yang udah dipesan tadi sampai. Kami fokus makan diselingi dengan beberapa obrolan ringan yang gak terlalu penting.

-----Journalist-----

“Revi!” gue panggil Revi yang lagi berjalan di depan sekolah mungkin akan ke halte.

“Ada apa lagi, Vin?” tanya Revi saat gue udah ada dihadapannya. Dari cara bicaranya gue tahu dia udah bosen berurusan lagi sama gue.

Rencana gue panggil mau bujuk dia lagi supaya mau kerja sama dalam pembuatan film pendek ini. Gue males kalau harus nguntit dia terus. Setidaknya gue gak usah takut ketahuan kalau lagi rekam kegiatannya.

“Rev, gue mohon sekali lagi lo mau ya ikut berperan dalam film pendek ini,” ucap gue memohon.

“Vin, aku tegaskan sekali lagi. Aku tidak mau bekerja sama denganmu.”

Revi beranjak pergi, tapi gue langsung menahan dengan memegang lengannya. “Ayolah, Rev. Mau gue sebar rahasia terbesar lo?”

“Rahasia? Aku tak menyimpan rahasia apapun,” sahutnya dengan raut wajah tanpa dosa. Dan dia pergi begitu aja.

Gue hanya bengong. Jadi ini ditolak lagi? Gue mengeluh, terpaksa harus jadi detektif dadakan lagi. Gue berharap gak akan terciduk. Revi berbeda dari yang dikira. Gue gak mau kena masalah sama Revi.

----------📷----------

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro