Jurnal 3: The Holy Serpent
Hari itu seingatku adalah hari yang cukup cerah, entah mengapa padahal berberapa waktu yang lalu aku yakin bahwa awan hujan telah turun, namun itu bukan urusanku. Hari itu adalah hari yang Kapten Quest katakn padaku ketika di perpustakaan, selama seminggu aku dan Tuan Creaz telah berkeliling mencari kebutuhan untukku menjadi seorang pelaut.
Aku merasa tidak enak dengan tuan Creaz, namun ia bersikeras untuk membantuku Bersiap, sepasang sepatu boot, rompi kulit, kemeja panjang dan kaos dengan bahan yang tidak aku ketahui, aku baru melihatnya sekarang.
Tuan Creaz juga berpesan padaku untuk terbiasa dengan panas matahari, karena di laut matahari lebih menyengat, dan aku harus bisa minum-minuman keras, jadi seminggu ini dihabiskan untuk mencoba dengan membiasakan diriku dengan minuman keras dan terik sinar matahari, agar ketika di kapal aku tidak kaget.
Jujur aku tidak terlalu menyukai rasa minuman itu, pahit dan sangat menyengat, entah mengapa orang – orang begitu menyukai minuman ini, dan kulitku mulai terbakar, perih, aku tau aku harus kuat menahan itu, harus terbiasa dengan kulit yang terbakar dan minuman keras, karena apa aku juga tidak tau.
3 hari menjelang keberangkatan Nyonya penjaga kasir datang ke tempat kami, ia memberiku satu dua kalimat yang tidak dapat aku ingat, aku hanya menangkap saat ia berkata “Kejayaan ada di depan mu”, karena ia datang untuk mabuk, dan yah, selanjutnya kurasa tidak perlu kutulis apa yang terjadi malam itu.
Aku merasa bersemangat, namun ada bagian lain dari diriku yang merasa tidak nyaman, apa yang akan terjadi selanjutnya, hidup ku akan berubah drstis, hidup tak akan sama diluar sana, aku sudah memiliki hidup yang damai disini, mengapa aku memutuskan untuk ikut quest ini?
Jawaban itu datang sehari sebelum hari keberangkatan, lewat mimpi tentu saja, aku bermimpi tentang Wanita itu lagi, Wanita yang tidak muncul entah berberapa lama, namun ia Kembali, dan apa yang ia kenakan di lehernya membuat bulu kuduk ku merinding.
Iya, jimat yang tercantum di perkamen itu, aku terbangun tepat ketika matahari terbit, aku tersenyum kecut, baiklah, kurasa sudah waktunya meninggalkan semua yang kumiliki, saatnya pergi.
….
Aku tak sempat berpamitan dengan semua orang, dan yang tau kepergianku mengikuti Kapten Quest hanyalah tuan Creaz dan Nyonya penjaga kasir, pagi itu aku tengah Bersiap mengemas barang ku ketika beliau datang ketempat kamu, ia memberiku pena dan tinta, berjaga – jagan jika aku membutuhkan cadangan, kurasa aku membutuhkan semua persediaan yang dapat kubawa, karena Quest ini akan berjalan sangat lama, entah kapan kami akan berlabuh di kota terdekat.
Barang ku tidak banyak, hanya sepasang kemeja dan kaos, pedang yang diberikan tuan Creaz, buku ini serta pena dan tinta, dan bandana berwarna putih, karena warna putih memantulkan panas sinar matahari. Aku tak pernah melihat tuan Creaz menangis seperti sekarang, ia memelukku erat, berpesan panjang lebar tentang keselamatanku dan berharap aku dapat pulang, melihat tuan Creaz seperti ini membuat mataku terasa panas.
Setelah perpisahan yang cukup dramatis, aku meninggalkan kediaman tuan Creaz, ia tak perlu ikut mengantar hingga Pelabuhan, menyusuri jalan setapak di pemakaman membuat bulu kuduk ku merinding, pemakaman ini sudah seperti rumahku, tanpa pernah ku pikirkan suatu hari nanti aku akan melangkah pergi meninggalkan semua ini, dua patung malaikat itu tetap menatapku dengan tatapan kosong mereka.
Jalan menuju dermaga entah mengapa saat ini dipenuhi dengan rasa seperti itu, rasa tak menyangka, hidup itu msiterius bukan? Aku ingat dulu aku pernah memiliki mimpi untuk menjelajah dunia, pergi ke tempat tempat hebat dan indah, apakah ini bagian dari doa ku? Entahlah, biar hidup yang menjawab.
Aku tiba di Pelabuhan, orang – orang mengantre untuk naik kapal mengerikan itu, aku baru sadar jika kapal itu bernama the holy serpent, aku mendengarnya dari orang di depan ku, berberapa kru berdiri depan balok kayu yang berfungsi sebagai tangga menuju kapal.
ketika giliranku tiba seorang kru menatapku dari atas ke bawah, pandanganya terhenti pada pedangku, sontak ia mencabut pedangku reflek membuatku mengambil Langkah mundur, ia mengamati pedangku dengan tatapan antusias, ia tidak menanyakan perkamen undangan (aku baru juga jika perkamen yang diberikan Kapten Quest pada Tuan Creaz bersifat sebagai undangan) seperti orang – orang lain, melainkan menanyakan pedang ku, jenis apa ini? Darimana aku mendapatkanya? Dan apakah aku bisa menggunakannya? Ia tersenyum ketika aku menjawab aku telah terbiasa menggunakan, ia berkata dia ingin melihatku memakainya jika ada kesempatan, dan ia mempersilahkan ku untuk naik ke kapal.
Pertama kali dalam hidupku, aku menginjakkan kaki di sebuah kapal, sebuah sensasi yang unik, begitu aku naik ke kapal, seorang kru mengarahkanku menuju kabin kru, tempat untuk beristirahat di malam hari, aku mengambil bagian kabin paling belakang karena aku suka tidur di pojok ruangan, memberiku rasa aman dan yah… karena kebiasaan, aku meletakkan barangku di boks penyimpanan, masih banyak ruangan tersisa namun aku yakin akan segera terisi begitu kami berangkat.
Aku datang terlalu awal kurasa, kesibukan di kapal mulai terjadi menjelang siang, orang – orang yang kurasa diundang oleh kapten Quest mulai berdatangan, mereka sibuk mengecek barang, sibuk menata dan sesekali ada perdebatan sengit antara orang yang diundang dengan kru the holy serpent (yang hampir membuat semua orang memukuli si pendatang), di tengah kesibukan itu aku iseng berkeliling menjelajahi kapal, mengenal lingkungan baruku.
Hal yang pertama ku datangi adalah kabin dapur dan bar, karena bau masakan yang membuatku tertarik, tungku menyala hangat seperti menghangatkan sesuatu, ada seorang koki yang kurasa bagian dari kru the holy serpent, seorang Wanita dengan rambut hitam kecoklatan yang tergerai bergelombang hingga sebahu, matanya berwarna biru buah beri juniper (beri yang sering kutemukan dekat pemakaman), ia menatapku tajam, entah apa arti tatapan itu, ia menyodorkan semangkuk bubur padaku, dan berkata bahwa hidangan utamanya untuk nanti malam, aku mencoba berterimakasih dan membawa bubur itu pergi.
Bubur yang koki itu berikan sungguh enak, aku belum pernah merasakan bubur seperti ini, kaya akan rasa dan tidak terlalu encer, jika memiliki kesempatak aku harus memujinya.
Perjalanan ku berlanjut menuju geladak, orang berlalu Lalang keluar masuk kabin dan kapal, angin laut berhembus membawa bau garam, aku terpaku melihat lautan yang begitu luas (meski belum berlayar), ada dua orang yang tengah berbicara di geladak, meski orang lalu Lalang mereka tidak ternganggu, kurasa itu kru the holy serpent, aku terkejut dengan anak kecil yang memegang Kompas, ia menunjuk berberapa titik yang dipegang oleh orang satunya, pada awalnya kupikir orang itu adalah Kapten Quest, ternyata bukan, dari yang baru saja kuketahui tadi malam, ia adalah wakil dari Kapten Quest, dan anak kecil itu adalah navigator dari kapal ini.
Kurasa kedua orang itu menyadari keberadaan ku dan menyuruhku mendekat, ia bertanya apa yang ku ketahui dari pet aini, aku menatap peta itu sejenak, menggeleng tidak tahu sekaligus mengakui bahwa ini perjalanan pertamaku keluar dari pulau, mereka berdua tertawa dan memberiku saran agar tidak terlalu gugup menghadapi perjalanan.
Selagi orang sibuk lalu Lalang, mereka memberi tahu ku bahwa peta yang mereka pegang adalah peta menuju tujuan selanjutnya, sementara pet aini yang menjadi patokan mereka, setelah kami tiba di pulau tujuan mereka akan memperbarui petanya.
Tak terasa hari menjelang sore, ketika semua orang yang menerima quest dari Kapten Quest dirasa telah naik, para kru the holy serpent menaikan jangkar, memanfaat angin sore untuk bergerak menuju tengah laut, aku memandang kota Rhea yang perlahan semakin kecil dan kemudian menghilang, matahari memberi efek senja yang cukup spektakuler, lebih indah dari senja yang biasa kulihat.
Tepat ketika matahari menghilang, kru the holy serpent menurunkan jangkar, aku sempat bertanya pada si navigator mengapa mereka menurunkan jangkar di tengah laut seperti ini, katanya dengan riang karena angin belum cukup kuat untuk berlayar, the holy serpent mengambil ancang ancang ditempat dimana angin akan berhembus kencang ketika malam hari, ia berkata sekali lagi bahwa aku tak perlu memikirkan hal itu malam ini, biarkan kru yang bertugas yang berfikir.
Malam itu seluruh orang yang mengajukan diri untuk ikut quest dikumpulkan di kabin makan, aku agak terkejut karena yang ikut quest ini berasal dari banyak golongan, kupikir hanya orang melarat dan miskin yang cukup putus asa untuk ikut quest ini (termasuk aku).
Wakil kapten yang sebelumnya kutemui di geladak naik ke atas meja, memberi satu dua kata sambutan sebelum memerintahkan para kru untuk mengeluarkan rum simpanan mereka, katanya hari ini adalah perayaan.
Kabin makan dipenuhi hingar binger sukacita, aku berusaha untuk tidak hilang focus ketika orang orang mulai mabuk, aku ingat apa yang dikatakan oleh tuan Creaz, aku harus makan sebelum minum rum dan sejenisnya, jadi aku mendekat menuju meja dapur dan mengambil seporsi daging kurasa, entah daging ap aitu, si koki sempat meliriku namun tidak peduli, aku mengambil tempat di pojokan sembari menyantap hidangan.
Tak lama berselang orang – orang undangan (istilahku untuk orang yang menerima quest dari kapten, bukan kru permanent) mulai tumbang, si wakil kapten tertawa terbahak – bahak melihat tak ada yang sanggup menjalani tantangannya, minum rum dengan gelas tertentu.
Lalu tatapan si wakil kapten jatuh kepadaku yang baru saja menghabiskan makanan ku, ia berteriak lantang menyuruhku mendekat, memberi pengumuman seperti komentator di arena Del brufe, kalau tidak salah ia berkata seperti ini “Sambutlah, penantang yang datang dari kuburan, sang penjaga kuburan, sambutlahhhh… ehm siapa namamu, oh iya OASISSS” aku berusaha untuk tidak tertawa mendengar teriakan lantang itu, ia mempersilahkan ku mengambil posisi di tengah, kru dan orang – orang undangan yang tersisa menyoraki ku, aku menarik nafas.
Aku ingat apa yang tuan Creaz ajarkan padaku, jika ingin minum banyak jangan dirasakan, baiklah saatnya praktek, begitu hitungan dari si wakil kapten mencapai tiga aku langsung menegak gelas pertama, gelas kedua, gelas ketiga dan seterusnya hingga aku tidak ingat apa apa lagi.
Berdasarkan apa kata saksi mata, aku menghabiskan dua puluh gelas dalam waktu singkat, lalu sempoyongan sebelum si wakil kapten berhenti tertawa dan hampir terjatuh kedalam tungku.
Itulah mengapa kemeja ku berbau arang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro