Chapter 6 (Dokter Gila)
Tatapan matanya, tingkah lakunya, perhatiannya, itu semua sudah menunjukan padamu kanaya, bahwa dia memang menyukai kamu!!
~Laura
💕💕💕💕💕
Aku terbangun mendengar lantunan ayat suci yang suaranya sudah hafal di telingaku.
Suara itu melantunkan surat Ar-rahman yang begitu menyejukan jiwa.
Aku berusaha bangkit dari tidurku, namun kenapa tubuhku terasa kaku, kepalaku tetasa berat dan pening melanda di puncak ubun-ubunku.
Aku memegang kepalaku, sepertinya ada sesuatu yang menempel di keningku. Ternyata benar ada sebuah handuk kecil yang menempel di keningku ini.
Apa sakitku kambuh lagi? Kenapa aku tak merasakannya?
"Kamu sudah bangun Nay, gimana sudah mendingan?" tanya Laura yang sudah berada di sampingku.
"Sakitku kambuh lagi ya?" tanyaku pada Laura.
Laura hanya menganggukan kepalanya.
"Maaf aku merepotkan kalian lagi," ucapku merasa bersalah.
Tubuhku ini memang terlalu rapuh,
dari kecil aku sudah tergantungan dengan obat-obatan dan vitamin.
Kalian berfikir aku sakit parahkan? Tidak.. Aku tidak sakit parah, namun memang imune di tubuhku terlalu rapuh, sehingga jika aku kelelahan, telat makan dan merasa tertekan tubuhku ini langsung berreaksi.
"Santai Nay, kita kan teman. Akan ada selalu untukmu, dalam suka maupun duka." ucap Dara dan di Angguki oleh yang lainnya.
"Lagian kita ngga kerepotan kok, wong yang jaga kamu semalaman mas Ragil." ucap Lisa membuat diriku berdesir begitu saja.
Apakah Lisa tak salah bicara, Ragil mana mungkin dia.
"Iya Nay, bang Ragil yang sudah merawatmu. Untung dia seorang Dokter, meski masih residen." jawab Laura.
"Iya keren banget mas Ragil, ternyata dia dokter residen di Harvard." puji Irene dengan bangga.
Ada rasa penasaran dengan sosok Ragil, kenapa semua seperti menyukai pria menyebalkan sepertinya,
Namun jujur ada rasa bahagia saat tahu Ragil yang merawatku semalaman. Apa aku telah salah menilai sosoknya.
"Cah Ayu udah sembuh? Nenek bawain bubur Ayam spesial buat kamu nak." tanya nenek yang sudah membawakan nampan berisi bubur ayam.
"Nenek bawain satu doang, buat kita-kita mana?" tanya Laura dengan manja.
"Makanan kalian sudah di meja makan, sana pada makan sudah di tunggu Kakek dan Ragil di meja makan. Biar neng ayu ini nenek yang jaga!" jawab nenek Ratna dengan menyentuh dagu panjangku.
Kini aku sedang berdua dengan nenek, aku melahap habis makanan yang tadi nenek Ratna bawa, rasanya sungguh memanjakan lidahku.
Padahal aku tak begitu suka dengan bubur Ayam.
"Nenek emang pandai memasak deh, Bubur Ayamnya sangat enaaaak," pujiku jujur pada nenek dengan mengacungkan dua jempol tanganku.
"Nenek tahu kok, dari caramu makan aja sudah tetlihat jelas, pasti kamu menikmati bubur ayam buatan Ragil ini." jawab nenek padaku.
Apa aku tak salah dengar perkataan nenek, jadi buryam ini buatan Ragil.
"Ragil Nek?" tanyaku memastikan.
"Iya, dari semalam Ragil tidak tidur, begadang nungguin dan merawatmu. Dan tadi pagi dia memasakkan Buryam ini khusus buat kamu," ucap nenek lagi.
"Kamu pasti herankan? Apalagi nenek. Sudah lama Ragil tidak menunjukan rasa empatinya pada seseorang yang bukan keluarganya, Bahkan saat ini nenek jadi sering melihat Ragil tersenyum kembali, semua ini berkat kamu ndo." ucap Nenek dengan bahagia.
"Aku nek? nenek salah, itu semua karena Irene. Aku sangat tahu dari tatapan Ragil yang memandang Irene. Berbeda sekali dengan aku nek, sepertinya Ragi membenciku, tatapan matanya begitu tajam saat melihatku nek, dan ucapannya sering menusuk hatiku!" keluhku pada nenek Ratna.
Aku lihat nenek hanya tertawa. Apa perkataanku tadi lucu?
"Suatu saat kamu akan tahu kenyataanya sayang." ucap nenek entah apa maksudnya.
🍁🍁🍁🍁
Keadaanku hari ini cukup membaik, rasa pusing yang aku rasakan semalam sudah sirna. Siang ini Aku dan yang lain berencana akan pergi ke Bukit Hud lalu lanjut ke Pantai Menganti. Tidak sabar rasanya aku ingin memanjakan mata dan tubuhku melihat betapa indahnya ciptaan tuhan.
"Kamu yakin Nay bisa pergi ke Bukit Hud hari ini? Kalau kamu masih sakit kita bisa tunda pergi besok kok," ucap Lisa dengan khawatir.
"Tenang, aku udah sehat kok. Kalian juga tahukan obat paling mujarat bagiku." kataku penuh semangat.
"Iyalah apal, Kanaya ngga keluar sehari dari Asrama juga udah uringan-uringan berasa seminggu ngga keluar." goda Nisa yang tahu kebiasaanku. Mendengar perkataan Nisa kami pun tertawa bersama.
"Nisa sama Kanaya itu mirip sama-sama ngga bisa diam di Asrama, bedanya Nisa keluar pacaran, kalau Naya keluar cuma nyari angin kosong haha." celutuk Wati yang membuat seisi ruangan tertawa.
"Ya udah yuk kita berangkat. Nay kalau kamu merasa pusing, Segera kasih tahu kita ya, Awas aja kalau enggak!!" ancam Dara, dan aku hanya menganggukan kepala.
Sebelum pergi kami berpamitan dengan Nenek Ratna dan Kakek Bagas.
Mereka sudah memberi wejanang kepada kita semua.
Saat akan pergi aku mencari sosok yang sudah hampir sehari ini tidak aku lihat, biasanya tanpa di harapkan dia selalu menampakan diri, namun kemana dia sekarang?
Bahkan liburan kali ini kita diantar oleh Mang Herman, kenapa rasanya ada sesuatu yang aneh dalam lubuk hatiku, harusnya aku merasa senang saat mengetahui bukan Ragil yang mengantarkan kami, bukankah moodku akan baik-baik saja.
~~~•••~~~
Di tengah perjalanan kali ini pikiranku masih memikirkan pria menyebalkan tadi, bahkan aku merasa tidak semangat, sampai tubuhku terhempas begitu saja kedepan.
"Aww!!" teriak kami serempak.
Ternyata Mang Herman mengerem mendadak, sehingga tubuh kami terhempas kedepan.
"Maaf Non, itu ada motor yang tiba-tiba menghalangi jalan." tunjuk mang Herman ke arah luar.
"Siapa si tuh cowo, Nyari mati apa!!" teriak Laura begitu saja.
"Jangan-jangan dia begal??" tuduh Nisa.
"Mana ada Begal sekeren dia, Lihat motor sportnya!!" timpal Irene.
"Jangan suudzon, mungkin dia seseorang yang nyari Alamat." ucap Dara lebih asal.
"Bukan Dar, tapi dia itu cowok yang lagi nyari jodoh!" Komen Sofi yang lebih Asal pula.
"Eh, kalian itu salah semua. Dia itu Bang Ragil." ucap Lisa yang membuat kami langsung melihat kearahnya.
"Iya bener kata neng Lisa, dia memang Den Ragil, bentar biar mamang yang keluar." jelas mang Herman, membuat diriku dan yang lain terheran.
Dalam hati aku bertanya-tanya untuk apa Ragil menghalangi perjalanan kami. Bukannya kata Laura, Ragil sedang ada seminar. Lalu kenapa dia ada di sini?
Aku mengamati Ragil yang sedang berbicara dengan Mang Herman, tidak lama kemudian ada Laura yang sudah berada di luar sana. Ragil terlihat marah ke arah Laura, begitu juga dengan Laura yang terlihat kesal.
"Ada apa dengan mereka?" tanyaku entah kepada siapa.
"Sepertinya mas Ragil lagi marah deh." jawab Nisa.
"Sepertinya, baru kali ini aku lihat wajah mas Ragil seseram itu!" timpal Irene.
Mendengar perkataan Nisa dan Irene membuat hatiku merasa bersalah, aku rasa ini semua gara-gara aku.
Di saat aku ingin keluar dari Mobil, Ragil sudah berjalan terlebih dahulu ke arah mobil, dan tatapan matanya seperti menuju ke arahku.
Dan benar saat ini Ragil berada tepat di sampingku, jarak kami hanya terhalang oleh pintu mobil saat ini. Dia menatap mataku begitu tajam, seolah-olah aku telah melakukan kesalahan yang fatal.
Ada apa sebenarnya ini? kenapa dia tiba-tiba menarikku keluar dengan kasar, dan tidak ada teman-temanku yang menolongku, termasuk juga laura yang hanya melihatku dengan pasrah.
"Sakit!! Lepasin, Kamu kenapa si!!" berontaku kepadanya.
Aku tak bisa melepaskan genggaman tangannya, tenaganya begitu kuat, hingga rasanya pergelangan tanganku yang bersembunyi di jaket tebalku memerah karena cengkramannya.
"Sakit!!! Lepasin!!" teriakku dengan keras.
Dia mulai mengendorkan pergelangan tanganku, setelah mobil yang di kendarai Mang Herman melaju begitu saja.
"Maaf," ucapnya dengan gamplang tanpa merasa bersalah.
"Maaf?? Kamu gila ya, gara-gara perbuatanmu, Aku ditinggal sama yang lain. Mau kamu apa si??" teriakku frustasi kepadanya.
Di saat aku marah dia malah pergi begitu saja ke arah motornya.
"Ayo naik!!"
Aku memilih diam dan berjalan kaki meninggalkannya.
"Kamu mau aku gendong atau naik sendiri ke atas motor!!" ucap Ragil yang mengikuti langkahku dengan motor.
Aku masih diam tanpa menengok kearahnya.
"Jadi kamu mau berjalan kaki saja, ya sudah, asal kamu tahu saja Nay daerah di sini sangat sepi, bahkan dari tadi tidak ada kendaraan yang lewat, katanya si banyak begal loh di daerah sepi gini atau binatang buas yang kelaparan mencari mangsa."
Perkataan Ragil barusan membuatku melihat ke arahnya, aku tahu Ragil pasti cuma mau menakut-nakutiku saja, namun jika perkataan Ragil benar bagaimana, belum lagi aku tak hapal dengan lingkungan daerah sini.
Akupun terpaksa ikut bersama Ragil, dia melajukan motornya secara perlahan. Aku tak tahu Ragil akan membawaku kemana, yang pasti aku yakin Ragil tidak akan membawaku ketempat yang buruk.
Kini aku sedang berada di sebuah desa yang sangat asri, bahkan pemandangan di sini sangat indah.
Motor yang di kendarai Ragil berhenti di depan sebuah bangunan tradisional yang cukup luas, sepertinya sedang ada suatu acara, terbukti banyak sekali warga yang sudah berkumpul di sini.
Salah satu warga datang menyambut kedatangan kami, maksudku kedatangan Ragil.
"Asalamualaikum pak." salam ragil kepada lelaki paruh baya di depan kami.
Mendengar percakapan mereka, aku sudah tahu bahwa beliau adalah kepala desa di sini. Dan kedatangan Ragil kesini adalah memberikan sebuah penyuluhan kesehatan kepada masyarakat di daerah sini.
"Dokter Ragil, siapa neng ayu ini?" tanya pak Kepdes dengan senyum ramah.
"Asistenku pak." jawab Ragil dengan Asal.
Sejak kapan aku menjadi Asistennya. Aku melirik ke arah Ragil dengan wajah kesal.
"Ya sudah mari masuk neng, Dok. Kita sudah di tunggu warga sejak tadi." ajak Pak Kepdes.
Aku tak tahu harus melakukan apa, aku hanya duduk di barisan terdepan dengan ibu-ibu PKK. Mereka terlihat serius mengamati apa yang sedang di bicarakan oleh Ragil. Akupun tanpa Sadar terhipnotis oleh pesona yang dia berikan, Senyumnya itu baru pernah aku lihat, Apalagi rona merah wajahnya saat salah satu Warga menggoda Dokter muda itu, dia seperti pria lain yang baru aku kenal.
"Mba, mba pacarnya Dokter Ragil ya?" tanya Ibu di sebelahku yang sepertinya sudah kepo dengan keberadaanku.
Sejenak aku berpikir sepertinya mengerjai Dokter menyebalkan itu mengasikan.
"Aku, calon istrinya bu." jawabku tersenyum licik ke arah Ragil.
"Wahhh, pantesan. baru kali ini loh Dokter Ragil mengajak teman ke sini, Sekali bawa ternyata tunangannya to?" Jawab Ibu tadi dengan Gembira. Aku hanya tersenyum menanggapinya.
Acara Sosialisasi telah selesai, wargapun banyak yang sudah pulang ke rumah masing-masing, kini tinggal panitia yang masih tersisa.
"Neng Naya kita foto bareng ya, buat kenang-kenangan kami bisa berfoto dengan calon istrinya Dokter Ragil," ajak Ibu tadi dengan suara lantang. Ragil yang mendengar ucapan ibu tadi tersedak minuman yang sedang dia minum. Aku yang melihatnya hanya tertawa mengejek.
"Dokter Ragil sampai keselek begitu mendengar perkataan Bu Galih," goda Pak Kepdes.
"Anak jaman sekarangkan, malu-malu pak, Makanya Dokter Ragil sampai merona gitu pipinya." ucap Ibu tadi yang ternyata bernama Ibu Galih.
Aku hanya tersenyum melihat Ragil yang sedang di goda oleh Warga, sungguh Lucu sekali, ah harusnya aku rekam moment ini.
Setelah berfota bersama kami pamitan dengan warga-warga di sini, mereka sangat antusias mendoakanku dan Ragil segera menuju kepelaminan, aah sungguh lucu sekali mereka, jika mereka tahu sesungguhnya hubunganku dengan Ragil yang tak pernah akur pasti mereka tak akan berkata seperti itu.
"Jadi kamu ngaku-ngaku sebagai tunangan saya? Kalau begitu kamu perlu tanggung jawab." ucap Ragil saat kita mau pulang.
"Tanggung jawab? maksudnya?" tanyaku pada Ragil.
🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Maafkan aku yang telat Upload, Sebagai gantinya aku buatin kalian cerita yang panjang.
Maaf kalau karya-karyaku ini receh semua,
Sebab Aku ngga punya ahli dalam bidang tulis menulis.
Aku hanya menulis dari dalam fikiranku saja.
Makannya sering Gajenya.
Maka dari itu aku butuh kritik dan saran dari kalian semua.
Jangan lupa vote dan Koment juga, Sarangheo💕💕💕💕😘😘😘😘😋😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro