Prolog
“Café Infamous, jam sembilan pagi. Teras belakang. Meja pojok kanan yang ditemani pagar tanaman rambat dengan hiasan bunga warna-warni sebagai aksennya.”
Secarik kertas remuk dicengkeram kuat. Berakhir di tempat sampah setelahnya. Langkah kaki masuk ke dalam Café. Sambutan hangat menyerang telinga.
“Selamat pagi.”
Langkah terhenti. Tatapan mata ditemani senyuman dibalas dengan lirikan mata tajam tanpa ekspresi. Seperti cahaya lampu sorot yang menerangi mulut goa. Mata coklat indah perempuan usia 20-an bertemu dengan mata hitam pekat remaja laki-laki usia belasan.
“Kopi hitam panas tanpa gula. Tidak peduli robusta atau arabica.”
Senyuman hilang. Berubah heran. Rasa dingin menyeruak seketika. kehangatan yang coba dilontarkan melalui sapaan, terpental sejauh puluhan kilometer sampai tidak terlihat lagi. Senyuman kembali untuk menyemangati diri. Protagonis pergi ke dapur membuat kopi, antagonis pergi menuju teras belakang bersama dengan awan salju di atas kepalanya.
Secara otomatis pandangan mata tertuju pada titik yang tertulis di kertas. Seorang pria paruh baya berpakaian formal dengan setelan jas, celana, dan dasi hitam disertai kemeja putih sebagai pemanis, tengah duduk menikmati secangkir kopi dan menatap sebatang gawai. Hanya perlu dua detik bagi pria itu untuk menyadari seseorang sedang menatapnya. Sejenak mata mereka beradu, sebelum pada akhirnya dia berjalan menghampiri meja.
Pria itu berdiri. Memosisikan diri saling berhadapan. Tangan kanannya mengulur ke depan, bermaksud untuk mengajak berjabat tangan. Etikad baiknya tidak disambut dengan ramah. Duduk begitu saja tanpa menyambut tangannya yang terbuka. Dia hanya bias tersenyum tipis dan kembali duduk seakan tidak terjadi apa-apa.
“Nama saya Agus Saktiawan Surawirdjo. Saya adalah utusan yang diperintahkan untuk datang ke sini menemui anda. Anda bisa panggil saya, ‘Pak Agus.’”
“Bukannya anda biasa dipangil, ‘Babeh?’”
Jantung Agus yang sudah tua seketika tersentak. Ini adalah pertemuan pertama dan mereka berdua juga tidak saling mengenal satu sama lain. Namun, laki-laki itu bisa mengetahui panggilan yang biasa digunakan orang-orang terdekatnya.
“Boleh saya memanggil anda dengan sebutan itu?”
Butuh proses dan waktu untuk sampai di titik panggilan itu boleh digunakan, namun Agus tidak mau mengambil risiko. Menjalin hubungan baik dengan pemuda yang ada di hadapannya saat ini juga merupakan tugas utama.
“Iya, silahkan saja. Saya tidak keberatan. Yang terpenting anda merasa nyaman saat menggunakannya.”
Kopi yang dipesan datang. Pelayan perempuan yang memberikannya mengucapkan beberapa kata sebagai bentuk etika penyajian makanan, namun keduanya seakan menjadi tuli untuk sementara waktu. Agus berusaha keras menjaga ketenangan. Tekanan yang diberikan pemuda itu lewat tatapan tajamnya cukup sulit untuk diatasi.
“Saya akan langsung bertanya ke intinya, Babeh. Apa yang harus dilakukan untuk membuat kehidupan saya jadi lebih berarti? Orang yang memberikan secarik kertas itu bilang, ‘Kau adalah orang yang tepat untuk menggantikanku. Hidupmu akan jadi jauh lebih berarti dibandingkan terus berdiam di kamar yang gelap tanpa melakukan apa pun.’ Namun, yang saya temui justru pria tua berbadan bagus yang merupakan pensiunan paspampres. Saya punya beberapa dugaan di kepala, tetapi tidak ada yang mendekati ketepatan sempurna. Yang jelas, apa yang pemerintah butuhkan dari remaja seperti saya?”
Lagi. Untuk kedua kalinya laki-laki itu mengejutkan Agus. Dia tidak pernah bilang pekerjaan yang dilakoninya sebelum duduk di kursi ini. Sekarang, dia mulai memahami kenapa ‘beliau’ memberikan peringatan mengenai betapa bahayanya orang yang akan ditemuinya.
“Untuk saat ini, saya belum bisa memberitahukan pekerjaan apa yang ditawarkan kepada anda. Karena beliau ingin anda melakukan tes terlebih dahulu.”
“Tes? Tes apa?”
“Jika anda berhasil melaluinya dan keluar dalam keadaan tidak waras, maka anda dinyatakan lolos.”
“Tidak waras?”
Rasa bingung yang sudah sangat lama tidak pernah terasa, kini memenuhi kepala. Hanya bisa diam dan berpikir dengan saksama. Menyatukan setiap kepingan kata untuk memahami tes macam apa yang harus dilaluinya.
“Jika anda setuju, mulai minggu depan anda akan hidup sebagai tahanan di dalam penjara selama tiga tahun, Tamariz Marlon Joseph.”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro