Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9. Egoisme Bermuatan Proton

Tidak perlu bertanya. Tanpa perlu dibicarakan Joseph sudah mengetahui maksud Safira menghunuskan pedang. Tujuannya untuk mengetahui seberapa kuat rekan yang akan diajak bekerja sama. Yang jadi permasalahannya sekarang adalah kegunaan Safira baginya.

“Panggilanmu apa?”

“Safira.”

“Salam kenal, Safira. Aku Joseph.”

“Aku sudah mengetahuinya. Aku membaca berkas tentangmu semalam.”

Jabat tangan berlangsung. Momen dalam hitungan detik itu menghadirkan debat kesan pertama di kepala masing-masing. Safira merasa kalau Joseph tidak semenyeramkan yang tertulis di berkas, sementara Joseph merasa sudah dimata-matai sejak lama dan merasa pertemuannya dengan Clarine bukanlah suatu kebetulan.

“Lalu, untuk apa kau datang ke sini? Kalau hanya untuk memperkenalkan diri, kau bisa melakukannya saat aku menjalani tugas pertama.”

“Aku di sini ingin menjelaskan secara rinci mengenai organisasi kami, tugas apa yang akan aku lakukan, dan beberapa peraturan yang harus dipatuhi.”

Joseph mundur satu langkah. Bermaksud untuk memberikan ruang agar Safira bisa masuk ke dalam apartemennya.

Sepatu telah dilepaskan. Penglihatannya berkeliling dengan cepat. Melihat setiap sudut ruangan dengan saksama dalam satu lirikan mata. Rapi dan bersih. Dalam hati Safira berharap kondisi itu tidak berubah seiring berjalannya waktu. Mengingat dirinya akan cukup sering datang berkunjung.

“Duduklah.”

Tamu duduk di kursi meja makan bagian selatan, sementara pemilik apartemen mengambil sebotol air mineral dari dalam kulkas dan meletakkannya di atas meja. Joseph uduk kembali di kursi dan menyuruput kopi yang belum habis. Tawaran sudah diberikan lewat isyarat mata, namun ditolak dengan cara yang sopan. Mungkin Safira bukan penyuka kopi.

“Mulailah menjelaskan. Aku akan mendengarkan dengan baik.”

Dengan posisi seperti ini, terasa lebih nyaman bagi Joseph. Saat berdiri tadi dia melihat Safira seperti kembaran Agus. Cara berpakaian mereka sama, formal serba hitam dengan aksen kemeja putih. Yang membedakan hanya postur tubuh dan rupa dari leher ke atas. Jika duduk, fokus matanya hanya pada wajah Safira saja.

“Candra.”

Sebuah lubang hitam seukuran tiga kali bola sepak muncul tepat di sebelah kiri Safira. Pedang yang sejak tadi di genggamannya, dimasukkan ke dalam. Tumpukan kertas menggantikannya. Seperti bertukar tempat dalam hitungan detik.

Candra adalah ruang hampa yang berisi berbagai macam barang. Barang-barang di sana biasanya berisi barang hasil pertukaran setara. Tempat penyimpanan milik Djinn yang bernama Candramawa. Jika perempuan itu punya akses, artinya dia menjalin kerja sama dengan kucing hitam serakah itu.

Tidak seperti sebelumnya Moz mau menjelaskan tanpa diberi imbalan. Suasana hatinya yang sedang baik, bisa jadi adalah alasannya menjelaskan dengan cuma-cuma.

Tumpukan kertas menjadi pemandangan. Bersamaan dengan sebuah pulpen yang berbaring di atasnya. Joseph langsung mengetahui apa yang harus dilakukannya.

“Aku hanya perlu tanda tangan kontrak?”

“Iya, hanya itu. Tetapi, sebaiknya kau baca terlebih dahulu dengan saksama. Baru setelah itu tanda tangan kontraknya. Apa aku bisa sambil menjelaskan saat kau membacanya?”

Anggukkan kepala dan isyarat tangan. Gestur itu sengaja diberikan Joseph untuk diberikan kepada Safira dan Moz. Dia mempersilahkan Safira berbicara dan meminta Moz untuk mendengarkan. Dengan begitu, dia bisa fokus membaca dan menyerap setiap isi kontrak dengan baik.

“Pertama, aku ingin memperingatkanmu untuk lebih rutin memeriksa ponsel. Pak Andrian sudah memberitahu soal kedatanganku lewat pesan singkat semalam, namun sepertinya kau tidak membaca pesan tersebut. Memeriksa ponsel sangatlah penting, karena tugas yang diberikan padamu akan dikirim ke sana.

“Kedua, kami adalah OPMA, Organisasi Pemberatasan Makhluk Astral. Berada di bawah payung Menteri Pertahanan. Bergerak secara rahasia dan memiliki kantor pusat yang selalu berpindah satu bulan sekali. Tugas kami adalah memberantas makhluk astral yang bertindak di luar perjanjian. Membahayakan nyawa manusia, membuat kekacauan yang merugikan, serta mengusik kedamaian yang ada.

“Ketiga, tugasku adalah mengurus segala sesuatu yang merepotkan bagimu. Seperti membuat laporan, membersihkan TKP, menjadi tenaga pendukung untuk menopang tugasmu, dan berbagai hal lainnya yang akan sangat panjang jika dijelaskan. Yang jelas, aku tidak akan menjadi beban dan sangat berguna untukmu.

“Terakhir, ada tiga aturan yang sangat wajib kau patuhi. Kita tidak boleh melukai manusia apa pun kejadiannya. Tidak membuat kekacauan yang dapat menimbulkan kepanikan. Semua pekerjaan harus diselesaikan dengan cara yang tentram dan sunyi. Kalaupun harus menggunakan cara yang kasar, minimalisirlah kerusakan yang mungkin terjadi. Dan yang terpenting, jangan sampai tertangkap polisi. Tertangkap sama dengan dikeluarkan. Sampai sini apa ada pertanyaan?”

Penjelasan panjang lebar selesai bersamaan dengan kegiatan membaca kontrak. Safira hanya menjelaskan hal yang penting, begitu juga dengan Joseph yang hanya membaca poin-poin pentingnya saja. Hal yang terjadi selanjutnya adalah Joseph menandatangani kontraknya tanpa mengajukan pertanyan apa pun.

“Kau yakin tidak ingin bertanya terlebih dahulu sebelum menandatangani kontraknya? Setelah tanda tangan, kau tidak bisa protes dengan ketentuan yang sudah ditentukan organisasi di dalam kontrak.”

“Bagiku, tidak ada masalah dengan kontraknya.”

Hanya satu kedipan mata kontrak tak lagi ada di hadapan Joseph. Safira merebutnya tanpa meminta izin. Lembar demi lembar dibukanya dengan cepat dan kasar. Meleset sedikit saja, kertas akan robek. Safira bisa kena denda yang sangat besar karena telah merusak fisik suatu kontrak yang punya kekuatan hukum.

“Lihat! Coba baca poin ini baik-baik.”

Menunjuk salah satu bait dan memutar kontrak seratus delapan puluh derajat. Safira ingin Joseph menyadari satu hal penting sebelum menyesal di kemudian hari seperti yang dirinya rasakan. Dia bahkan membacakannya dengan lantang.

“Pihak kedua harus bersedia menjalankan tugas yang bersifat genting di luar jam kerja. Coba kau pikirkan lagi dengan saksama. Tugas yang diberikan selalu bersifat genting karena membahayakan nyawa manusia. Karena poin ini, kau tidak akan lagi memiliki waktu libur yang tentram dan nyaman.”

Kini, Joseph akhirnya mengerti alasan kenapa sejak tadi dirinya mencium aroma ilusi yang cukup kuat. Setelah diperhatikan lebih jelih, mata Safira terlihat sangat kelelahan. Ilusi itu bertujuan untuk menutupi wajah yang lusuh akibat pekerjaan tiada habisnya. Sayang, ilusinya jadi tidak berguna lagi karena dirinya secara terang-terangan mencurahkan hati lewat peringatan yang baru saja terucap.

“Kau baru saja menghancurkan karaktermu sendiri.”

Seketika kedua tangannya menjauh dari kontrak. Tenggorokannya berdeham. Safira mencoba mengembalikan karakter serius yang sudah dibangunnya sebelum datang bertamu. Terlalu sulit. Sudah terlanjur terbuka selebar itu. Hampir mustahil untuk menutupnya kembali dan menganggap tidak pernah terjadi. Ditambah rasa malu yang ikut menyusahkan untuk ditutupi.

“Jika kau memang butuh liburan dan waktu istirahat, abaikan saja panggilan yang menyerang ponselmu bertubi-tubi. Menjadi egois sesekali bukan masalah yang besar. Teguran dan amarah yang kau hadapi nantinya akan dilalui dalam keadaan tubuhmu yang sudah puas beristirahat. Hatimu terluka dan fisikmu siap menerima. Hati yang terluka dalam keadaan fisik tidak bugar sangatlah menyakitkan.”

Mata kembali berkaca-kaca. Air mata sudah mengantre untuk keluar, namun sekuat tenaga Safira menahannya. Suara Joseph yang terdengar hangat dan nyaman benar-benar menyentuh hati. Rasa lelah yang dirasakannya cukup terobati. Dukungan semacam itulah yang memang dibutuhkannya saat ini.

Saat kau menandatangani kontrak, aku mengecek pesan dari Pak Andrian di ponselmu. Setelah menjelaskan segala sesuatunya, Safira akan membawamu ke lokasi tugas pertama kita. Aku sudah menghafal semua isinya, jadi kita bisa berangkat setelah kau selesai bersiap-siap.” 

Tanpa perlu diperintah, Moz menjalankan hal yang sejak tadi ada di pikirannya. Fleksibel dan tidak beretika di saat yang bersamaan. 

“Beristirahatlah di sofa, sementara aku bersiap-siap.”

“Terima kasih, Joseph.”

Joseph bangkit dari kursi setelah mengangguk merespon ucapann Safira. Berjalan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.

Hanya tinggal dirinya seorang. Karena sudah mendapatkan izin, Safira pun berbaring di sofa dan menutup kedua matanya dengan lengan. Mengistirahatkan mata yang sejak satu jam lalu terus berontak ingin terlelap.

Tiga puluh menit berlalu. Joseph sudah mengenakan setelan khasnya. Jaket, kaos polos, dan celana jeans. Bernuansa warna gelap. Sangat tidak cocok untuk digunakan menerjang teriknya matahari.

Menit kelima akhirnya berakhir. Duduk bersila di lantai menghadap ke arah Safira yang tengah tertidur pulas adalah hal yang sedang Joseph lakukan.

Sudah lima menit. Waktunya kita pergi, Joseph. Aku sudah bosan menunggu perempuan ini bangun. Tinggalkan saja dia.

“Kau benar. Kita tinggalkan saja. Biarkan dia beristirahat dengan tenang.”

Kata-katamu terdengar seperti menghadiri upacara pemakamakan.

Kedua mata terpejam. Transfer ingatan berlangsung. Moz mengirimkan segala hal yang sudah dibacanya di ponsel ke otak Joseph. Layaknya mengirim rekaman video antar kartu memori. Alamat lengkap sudah didapat, yang perlu Joseph lakukan kini hanyalah berkonsetrasi penuh memusatkan pikirannya pada alamat tersebut.

“Inunaki.”

Tertarik portal dalam keadaan duduk bersila di lantai. Dengan harapan terlempar dalam posisi tinggi yang sama. Namun, tidak semua harapan dapat terkabul. Joseph terkirim lima meter di atas tanah. Sontak, kedua kakinya tegak lurus ke bawah bersiap melakukan pendaratan darurat. Lututnya langsung menekuk sesaat setelah menapak di aspal untuk meminimalisir beban yang harus ditanggung.

Sepertinya menggunakan portal itu tidak semudah yang kau pikirkan.

Pelajaran penting didapatkan. Berkonsentrasi penuh hanya pada alamatnya saja, ternyata sesuatu yang salah. Sepersekian detik setelah portal terbuka, dia seperti melihat gambaran tempat yang tujuannya. Di saat itulah tampaknya waktu yang tepat untuk memilih tempat pendaratan.

Joseph berdiri kembali. Memeriksa kedaan sekitar dengan teliti. Tidak ada siapa pun di gang kecil yang cukup panjang itu. Hal yang wajar. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Anak-anak berada di sekolah, ayah pergi bekerja, dan ibu sedang menjalani tugasnya di dapur. Jari telunjuk dan ibu jarinya mencubit gagang kunci slot. Menggerakkannya ke depan-belakang, sehingga suara nyaring dari besi yang berbenturan tercipta. 

“Permisi, apa ada orang? Permisi, permisi.”

Kau yakin dengan cara sesederhana itu bisa menyelesaikan tugas ini? Bagaimana jika caramu ini gagal?

“Tidak perlu khawatir. Buat saja keberadaanmu tidak bisa dirasakan sama sekali. Buat aku terlihat seperti manusia biasa.”

Iya, terserah kau saja.

Pintu depan akhirnya terbuka. Respon yang sangat ditunggu. Seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun keluar dari rumah dan berjalan menghampiri pagar di mana Joseph berada.

“Ada urusan apa?”

Sinis. Joseph bisa memakluminya. Tergambar sangat jelas ekspresi tidak suka di wajah laki-laki itu. Seakan tidak tahan ingin mengusirnya sekarang juga.

“Apa benar ini rumah Anton Galih Meranthi?”

“Iya, benar. Dia anak laki-lakiku. Ada urusan apa dengannya?”

“Aku dengar dari salah seorang dukun yang merupakan temanku, anak laki-lakimu kerasukan Djinn yang sangat kuat.”

Eskpresi wajah terkejut dan panik seketika mengganti wajah yang risih. Pintu pagar langsung terbuka dengan lebar.

“Masuklah. Kau datang untuk menawarkan bantuan, bukan? Berapa pun akan aku bayar asalkan kau bisa menyelamatkannya.”

Jika seorang ayah sudah berkata seperti itu, artinya dia sudah tidak kuat lagi melihat penderitaan yang anaknya rasakan. Panik, pasrah, dan linglung. Mungkin dia juga sudah kehilangan kewarasannya. Masuk ke dalam sambil mendengarkan ceritanya merupakan cara terbaik untuk meringankan bebannya. Joseph memilih mengikuti arus sebelum bergerak mengambil keputusan.

Kondisi rumah yang mengenaskan. Berantakan seperti kapal pecah. Sampai Joseph merasa malas untuk melangkah  dengan hati-hati. Terlalu banyak benda berserakan di lantai. Melangkah seperti biasa tanpa peduli apa yang diinjaknya.

“Saat kelas lima SD, dia mengikuti darmawisata ke sebuah curug. Saat berangkat, dia masih terlihat seperti anakku. Namun saat pulang, dia benar-benar sangat berbeda. Lebih emosional, nafsu makannya besar, dan sering mencuri. Ibunya pergi dari rumah karena tidak tahan lagi mengurusnya. Aku juga sudah pergi ke berbagai tempat selama satu tahun terakhir, namun tidak ada satu pun yang bisa mengusir makhluk yang merasuki tubuh anakku.”

Tidak salah jika anaknya dirasuki. Berkunjung ke rumah makhluk astral adalah sebuah perjudian. Pulang dengan jiwa yang tenang atau pulang dengan jiwa yang dirasuki. Kesimpulan sederhananya seperti itu.

Pintu kayu yang unik. Banyak bekas cakaran di daunnya. Terdapat juga bekas bolongan paku di sisi samping kusen. Menandakan betapa seringnya kunci slot yang terpasang hancur karena didobrak paksa.

“Ini kamarnya. Anakku ada di dalam. Maaf, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku, Jauhari.”

“Tunggulah di ruang tamu, Pak Jauhari. Biar aku tangani dari sini.”

Jauhari pergi. Joseph membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Sesosok anak laki-laki yang berbaring di tempat tidur langsung terbangun dan duduk meringkuk memeluk kedua kakinya di pojok. Badannya bergetar dan terlihat ketakutan, meski dia tidak menunjukkan sosok Moz.

Keadaan yang berbanding terbalik. Kamar anak itu justru sangat rapi. Semua benda tertata di tempat yang semestinya. Ada juga kamar mandi berukuran kecil di sisi pojok kiri. Pakaian yang dikenakan anak itu pun masih bagus. Yang membuat ruangan itu tidak enak dipandang adalah rantai besi yang mengekang kaki.

“Tidak perlu takut. Aku datang hanya untuk bicara denganmu, Anton.”

Joseph duduk di atas tempat tidur dan Anton melepaskan pelukan pada kakinya. Tidak ada lagi ketakutan yang tergambar di wajahnya.

“Aku ingin bertanya padamu, Anton. Apa kau tahu sudah berapa lama ayahmu dirasuki Djinn?”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro