24. Kisah yang Menyentuh
Safira sulit menjaga ritme detak jatung. Berkali-kali menarik dan membuang napas dengan perlahan, namun tetap saja rasa berdebar tak kunjung hilang. Bagaimana tidak? Joseph tiba-tiba saja ingin mampir ke apartemen miliknya. Tujuannya agar lokasi itu bisa diingat di kepala dan digunakan sebagai tempat tujuan teknik Oust jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Dengan alasan semacam itu, jelas tidak ada cara apa pun untuk menolak.
Yang jadi permasalahannya adalah kondisi kamar yang tidak kondusif. Karena pulang selalu dalam keadaan kelelahan, Safira hampir tidak pernah membersihkan apartemennya sendiri. Pakaian yang bertebaran di mana-mana, cucian piring yang menumpuk di wastafel, serta lantai yang kotor karena tidak disapu. Semua itu bisa menjadi pemandangan yang merusak mata Joseph.
Pintu apartemen sudah di hadapan. Sudah tidak ada lagi cara halus yang bisa dipakai untuk meminta Joseph menunggu. Safira terpaksa harus jujur apa adanya.
“Tunggu di sini. Sepuluh menit, tidak, dua puluh. Aku ingin membersihkan apartemenku terlebih dahulu karena sedikit berantakan.”
“Tidak apa. Aku tidak merasa keberatan akan hal itu. Apartemenku juga cukup berantakan.”
Spontan kedua tangan Safira menggenggam erat lengan atas Joseph. Memberikan tatapan tajam dan ekspresi serius.
“Tunggu di sini. Jangan ke mana-mana.”
Joseph mengangguk cepat, Safira tersenyum. Masuk ke dalam apertemen dan mengunci pintu. Suara langkah kaki berlari terdengar bersama dengan suara berisik lainnya. Siapa pun akan mengetahui apa yang sedang terjadi di dalam.
Tidak tahu harus melakukan apa selagi menunggu. Joseph bersandar pada tembok di sisi kanan pintu dan memasukkan kedua tangan ke kantong jaket. Mencoba berbincang dengan teman bicara yang selalu menemaninya selama ini.
“Kau masih belum mau menunjukkan diri, Moz? Sampai kapan kau mau terus bersembunyi seperti ini?”
Tidak ada jawaban. Joseph dan Moz memang berbagi hampir dalam segala hal. Hanya saja Joseph tidak bisa melihat isi pikiran Moz, sementara Moz bisa melihat isi pikirannya. Sesuatu yang tidak adil, namun Joseph menerimanya. Dia sendiri tidak bisa membayangkan jika pikiran Djinn seperti Moz bisa dilihat olehnya setiap saat. Tidak terbayang seberapa mengerikannya hal itu.
“Apa yang membuatmu menghindar dari Pak Rizky, laki-laki yang telah menolong Clarine? Apa terjadi sesuatu dengan kalian di masa lalu? Apa kau masih belum bisa menerima kematiannya? Dan yang terpenting, apa yang membuatku terlihat sama dengannya, sehingga kau memilihku sebagai wadah yang baru? Apa dia juga memiliki masa lalu yang kelam?”
Masih tidak ada jawaban. Setidaknya, Joseph sudah merasa lega karena semua pertanyaan yang memenuhi kepala sudah sirna. Mendapatkan jawaban pada akhirnya atau tidak, bukan merupakan sesuatu yang penting sekarang.
Bagi Joseph, ini bukan pertama kalinya Moz menghilang cukup lama. Namun, baru kali ini Moz menghilang karena menghindari sesuatu. Biasanya dia menghilang karena memang tidak ada hal menarik yang dilakukan olehnya. Jelas menjadi sebuah tanda tanya besar yang sepertinya akan sulit ditemukan jawabannya.
Dua puluh menit berlalu. Safira belum menunjukkan batang hidungnya. Penasaran, Joseph menempelkan telinga ke pintu untuk mendengarkan keadaan di dalam. Tidak ada suara. Hening seperti tidak ada kehidupan.
Menjauhkan telinga dan menopang dagu. Joseph berpikir sejenak untuk mencari tahu situasi yang terjadi.
“Dia tidak mungkin pingsan, ‘kan? Membersihkan apartemen memang hal yang melelahkan, namun membasmi dua makhluk astral dalam satu hari jauh lebih melelahkan. Apa aku masuk saja? Tetapi, pintunya dikunci.”
Pasrah. Joseph menurunkan tangan dan kembali bersandar. Mengetuk pintu bisa saja dilakukan, namun itu akan membuatnya terkesan seperti orang yang tidak sabar. Sebagai laki-laki jelas hal itu tidak sepatutnya dilakukan.
Sepuluh, lima belas, dan dua puluh menit pun berlalu. Total empat puluh menit sudah Joseph menunggu. Waktu yang hampir sama dengan mengantre di wahana taman bermain di akhir pekan.
Ceklak! Pintu akhirnya terbuka. Sosok Safira muncul di hadapan Joseph dalam kondisi yang berbeda. Pakaian berubah, terlihat lebih segar, dan baunya sangat harum.
“Maaf sudah membuatmu lama menunggu, Joseph.”
“Kau mandi?”
“Ah? Tidak. Aku hanya cuci muka saja. Ayo, masuk.”
Baru pertama kali dalam hidupnya Joseph bertemu dengan orang yang hanya cuci muka, namun bau harumnya tercium dari ujung kaki sampai kepala. Menurut dugaannya, Safira mungkin saja menggunakan sabun muka yang sangat berkualitas. Kalau ada kesempatan, dia ingin bertanya sabun apa yang digunakannya.
Tidak ada yang spesial. Seperti tempat tinggal perempuan pada umumnya. Interior yang berwarna cerah, pajangan di dinding yang terlihat menggemaskan, serta cermin berbagai ukuran di berbagai tempat.
“Duduklah, Joseph.”
Menganggukkan kepala dan duduk di sofa sesuai arahan yang ditunjukkan tangan Safira. Joseph masih memperhatikan sekitar untuk memastikan tidak ada keberadaan makhluk astral.
“Kau mau minum apa, Joseph? Kopi?”
“Iya. Kopi hitam kalau ada. Jangan pakai gula.”
Safira membuat simbol lingkaran dengan telunjuk dan ibu jari. Mengirimkan jawaban bahwa minuman yang dipesan bisa dipenuhi.
Sejauh mata memandang, tidak ada satu pun pedang yang tertangkap mata Joseph. Padahal, beberapa kali dia melihat Safira membawa pedang yang berbeda-beda saat menjalankan tugas. Mungkin saja pedang-pedang itu disimpan olehnya di dalam Candra. Lebih baik jikalau seperti itu.
Mendaratkan secangkir kopi panas di atas meja. Safira duduk di sisi ujung sofa lainnya. Menciptakan jarak antara dirinya dengan Joseph selebar lima puluh sentimeter. Tidak sanggup lebih dekat lagi dari itu.
“Silahkan diminum, Joseph.”
“Terima kasih.”
Joseph tidak bisa mengalihkan pandangan dari jepit rambut berwarna merah yang digunakan Safira. Aksesoris yang dipadukan dengan wajah penuh senyuman itu seakan pernah dilihatnya. Terasa tidak asing.
Menatap dan membayangkan setiap kata yang diucapkan oleh Joseph tadi siang. Berapa kali pun mengingatnya, Safira tetap tidak bisa mengelak dari perasaan yang mendebarkan. Meskipun sebenarnya dia memahami kemungkinan besar Joseph hanya berusaha menjalin hubungan baik dengannya sebagai rekan kerja.
Saling tatap berlangsung selama sepuluh detik. Ketika detik ke sebelas, keduanya sama-sama sadar telah menatap terlalu lama dan memalingkan wajah ke arah meja. Joseph menyeruput kopi dan Safira berdeham. Sudut kiri terlihat biasa saja, sementara sudut kanan merasa malu dan pipi sedikit memerah.
Pembahasan harus segera dibuat guna menghilangkan suasana canggung. Mereka berdua memikirkan dan juga menemukan pembahasan di waktu yang sama. Sehingga ucapan yang terlontar dari mulut bertabrakan di udara.
“Aku ingin bertanya sesuatu padamu.”
“Bagaimana cara kerja teknik Oust?
Sempat saling menatap, keduanya mengalihkan pandangan kembali. Sebagai laki-laki, yang wajib Joseph lakukan adalah mengalah.
“Biar aku jawab terlebih dahulu pertanyaanmu, karena jawabannya cukup sederhana dan tidak panjang.”
“Baiklah kalau begitu.”
Satu sisi, Safira merasa senang dengan sikap mau mengalah yang Joseph perlihatkan. Di sisi lain, dia juga menyadari bahwa Joseph ingin melayangkan sebuah pertanyaan yang sepertinya membutuhkan penjelasan rinci.
“Teknik Oust bisa digunakan selama aku pernah ada di tempat tersebut. Aku hanya perlu membayangkan karakteristik tempatnya seperti apa, menyilangkan telunjuk dan jari tengah, kemudian mengucapkan namanya. Sebagai bayarannya, Oust memakan daya magisku. Semakin jauh posisiku dari lokasi tujuan, semakin banyak yang dia makan. Jika tempat tujuan diberi penghalang seperti teknik milik Mayatri, maka aku tidak bisa berpindah ke sana.”
Djinn yang bernama Oust sebenarnya sudah sejak lama diketahui oleh Safira. Dia pernah membacanya di buku ensiklopedia Djinn yang dimiliki OPMA. Tujuannya bertanya adalah untuk mengetahui informasi yang lebih rinci dan mungkin saja dibutuhkan di masa mendatang.
Melihat Safira mengangguk pelan, Joseph merasa penjelasannya dapat dimengerti dengan baik. Namun, dia rasa tidak ada salahnya untuk memastikan.
"Apa ada pertanyaan tambahan mengenai teknik Oust?”
“Tidak ada. Aku sudah memahaminya. Sekarang giliranmu untuk bertanya.”
Dugaannya tepat. Izin juga sudah diterima. Tidak ada halangan lagi untuk Joseph bergantian bertanya kepada Safira.
“Aku pernah bertemu dengan seseorang di masa lalu. Dia memperingatkanku tentang tiga iblis terbuang. Dia bilang, dua di antara mereka bekerja sama dengan paranormal yang bekerja untuk pemerintah. Kemungkinan besar yang dia maksud adalah OPMA. Yang jadi pertanyaanku, siapa satu iblis lain yang bekerja sama dengan OPMA?”
Bukan tanpa alasan Joseph menanyakan hal itu. Dia ingin mengetahui apakah Be Sick bisa dipercaya atau tidak. Perlu atau tidaknya menggali lebih dalam perihal sosok pendahulu yang dirasuki Moz bergantung pada jawaban dari pertanyaan tersebut. Terus tidak saling bicara dengan Moz seperti ini cukup menyulitkan pekerjaannya sebagai penjaga. Meski tetap bisa menggunakan kemampuan Djinn yang sudah dimakan Moz, dia masih membutuhkan saran darinya. Hanya Djinn yang bisa memahami tingkah laku Djinn lain.
Pertanyaan yang sebenarnya mudah untuk dijawab, namun Safira tidak bisa tidak terkejut. Sosok yang memberitahu Joseph mengenai hal itulah yang menjadi penyebabnya. Pertanda bahwa Joseph sebenarnya sudah dipantau sejak lama oleh OPMA, jauh sebelum Clarine datang. Sebuah informasi yang baru diketahuinya. Tidak mau menciptakan rasa tidak nyaman karena menjawab pertanyaan dengan pertanyaan, dia memutuskan untuk menyembunyikan rasa herannya lebih dahulu.
“Satu iblis lain yang bekerja sama dengan OPMA adalah Sandekala.”
Ratusan kata yang tersusun rapi seketika menyebar ke segala arah. Seperti kaca jendela yang dilempar batu besar. Perkataan yang diucapkan Be Sick saat itu menciptakan berbagai macam praduga di kepala Joseph. Berisi sebab dan akibat kenapa dirinya tidak boleh mempercayai OPMA sepenuhnya. Jika pada dasarnya perkataan Be Sick tidak bisa dipercaya, maka dia tidak perlu menggali lebih dalam mengenai sosok Rizky. Kalaupun tahu pada akhirnya, dia rasa laki-laki itu punya alasan yang masuk akal menurunkan Moz kepadanya.
“Siapa yang menjalin kontrak dengannya?”
“Pak Andrian.”
“Pak Andrian?”
Bertanya untuk memastikan. Anggukkan kepala Safira menghilangkan tuduhan pada telinganya ysng sempat dianggap salah mendengar. Joseph sekarang mengerti kenapa Clarine patuh dengan Andrian. Bukan karena Andrian pemimpin OPMA, namun karena kekuatannya yang bisa jadi lebih kuat dari Clarine.
“Sandekala adalah iblis yang bisa mati dan hidup kembali. Menurut buku ensiklopedia makhluk astral yang dimiliki OPMA, Sandekala akan terlahir kembali sesuai dengan keinginan makhluk yang membunuhnya. Dia memili banyak sekali kehidupan, sehingga mematikan perasaannya sedikit demi sedikit. Kisah terakhir kehidupannya membuatku tersentuh.”
Fokus Joseph kini teralihkan pada kisah Sandekala. Ekspresi haru yang sempat terlihat di wajah Safira telah membuatnya penasaran. Kisah macam apa yang telah membuatnya bisa menunjukkan ekspresi semacam itu.
“Memangnya, seperti apa kisahnya?”
Safira mengubah posisi duduk menghadap ke arah Joseph. Menaikkan kaki kiri ke atas sofa dan mendekap bantal kecil yang bersemayam di atas kakinya.
“Dengar, ya? Aku yakin kau pun juga pasti akan terharu.”
“Aku tidak yakin dengan hal itu, namun aku akan tetap mendengarkan.”
Rasa malu seketika sirna begitu saja. Tergantikan oleh rasa tidak sabar untuk berbagi sebuah kisah yang sangat dikagumi. Perubahan suasana hati Safira benar-benar di luar nalar.
“Ada seorang perempuan bernama Ayu. Sejak lahir, dia memiliki jantung yang lemah. Sehingga, kehidupannya lebih sering dihabiskan di atas tempat tidur. Suatu hari ketika sedang melihat keluar jendela, dia dikejutkan dengan sosok laki-laki yang tiba-tiba saja duduk di jendelanya. Hawa keberadannya menyeramkan, tatapan matanya tajam, dan terlihat memiliki niat buruk terhadapnya. Memperkenalkan dirinya sebagai iblis yang bernama Sandekala.
“Setelah memperkenalkan diri Sandekala berkata, ‘Aku merasakan bau kehidupan yang sangat tipis, namun tidak ada rasa putus asa yang menyertainya. Baru kali ini aku melihat manusia yang lemah secara fisik, tetapi mentalnya sangat kuat. Bagaimana caramu melakukannya?’ Dalam keadaan takut, Ayu menjawab pertanyaannya dengan senyuman. Sejak saat itu, dia terus datang setiap hari menanyakan hal yang sama. Tidak pernah berhenti, meski jawaban yang selalu diterima hanyalah senyuman.
“Sampai suatu ketika Ayu akhirnya menjawab, ‘Aku akan memberitahukanmu apa rahasianya, tetapi aku punya dua syarat. Jadilah sahabatku dan selalu datang ke sini setiap hari untuk mengunjungiku. Apa kau bersedia?’ Sandekala menganggukan kepala. Dia akhirnya mengerti kenapa pertanyaannya tidak pernah jawab. Gadis itu tidak mau dia berhenti datang mengunjunginya.
“Sejak saat itu, mereka menjadi sahabat yang tidak terpisahkan. Sandekala membawa berbagai macam hal agar Ayu dapat melihat bagaimana indahnya dunia luar. Senyuman Ayu sudah menjadi sesuatu yang wajib dilihat oleh Sandekala setiap hari. Dan hari yang ditakutkan Sandekala akhirnya tiba. Tidak bisa melihat lagi senyuman perempuan yang selama ini ditemuinya.
“Ayu yang terbujur kaku di dalam peti mati, membuat Sandekala menyadari hal penting yang dilupakannya. Manusia tidaklah abadi. Ayu meninggal sebelum dia memahami rasa macam apa yang menyelimuti dirinya semenjak mereka berdua bertemu. Untuk mengetahuinya, dia bertekad untuk membangkitkan Ayu kembali. Namun, OPMA berhasil mencium niat kejamnya dan mengirim Pak Rizky untuk mencegahnya melakukan hal yang sangat dilarang itu.
“Singkat cerita, Pak Rizky berhasil mengalahkannya. Sandekala terbunuh dan Pak Rizky menginginkannya terlahir kembali sebagai senjata paling kuat untuk membasmi makhluk astral. Sandekala pun menjadi sebuah sabit dengan tongkat yang panjang dan bilah pisau melengkung yang bisa memotong makhluk astral yang sagat kuat sekali pun. Pak Andrian lah yang kini memilikinya setelah Pak Rizky meninggal. Kisah yang menyentuh, bukan?”
Kehilangan orang yang berharga memang bisa membuat siapa pun menjadi gila dan tak terkendali. Joseph sangat tahu bagaimana rasanya. Dia sendiri hampir melakukan hal yang sama.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro