23. Badai Tanpa Nama
Bersandar pada besi panjang di atas tembok pembatas balkon. Menumpu pipi pada punggung ruas jari tangan yang mengepal. Menatap pemandangan kota dari lantai tiga belas sebuah apartemen. Joseph memikirkan apa yang terjadi padanya dua jam lalu. Sosok Bima mengajaknya berbincang dan hilang begitu saja seperti tidak pernah ada. Alasan pria itu bekerja demi uang juga membuatnya sedikit penasaran.
Laporan telah selesai diberikan lewat ponsel. Safira mencari keberadaan Joseph yang sejak sepuluh menit terakhir tidak terlihat. Apartemen hanya dipenuhi orang-orang dari Divisi Pembersih yang tengah menjalankan tugasnya pasca pertarungan singkat antara Joseph dan target pertamanya hari ini. Hanya satu tempat yang tersisa. Tangan kanan membuka gorden yang menutupi pintu balkon. Orang yang dicari akhirnya bisa ditemukan.
“Aku sudah selesai memberikan laporan. Memakan waktu cukup lama, karena ada banyak rekaman di komputernya. Sulit bagiku menahan diri untuk tidak muntah. Aku paling benci berhadapan dengan Djinn mesum.”
Safira ikut bersandar. Menatap dan melayangkan senyuman. Respon tatapan datar tanpa ekspresi diterima. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, Joseph terlihat lebih diam hari ini. Terlihat jelas ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Ingin bertanya secara langsung, namun takut mendapatkan balasan yang tidak diinginkan. Memilih untuk ikut menatap pemandangan yang sama.
“Mahendra Bima itu seperti apa orangnya, Safira?”
Sedikit terkejut. Safira tidak menyangka Joseph menanyakan sesuatu yang tidak ada dalam prediksinya. Terlalu sulit menebak hubungan antara diamnya Joseph dengan Bima, yang pada kenyataan tidak pernah saling bertemu.
“Pak Bim? Dia adalah penjaga yang paling tua saat ini. Sangat dihormati penjaga-penjaga lain. Dikenal ramah dan mudah diajak bicara. Waktu pertama kali masuk kerja, dia langsung menemuiku dan mengajakku minum kopi. Aku mendapatkan banyak saran darinya. Semuanya berguna sejauh ini.”
“Apa kau tahu penyebab luka yang membentang di lehernya?”
Hanya orang yang pernah bertemu dengan Bima secara langsung saja yang mengetahuinya. Safira menyimpulkan kalau keduanya sudah pernah bertemu.
“Orang-orang yang mengetahui penyebabnya sudah lama meninggal. Mereka adalah para penjaga terdahulu yang merupakan senior Pak Bim. Menurut kabar burung yang beredar, luka itu diterimanya sejak masih remaja. Bertengkar dengan teman sekolahnya sendiri. Namun, hal itu pun belum bisa dipastikan kebenarannya. Karena Pak Bim juga tidak pernah menceritakannya.”
Wajah, luka, dan senyuman itu sungguh sesuatu yang tidak asing bagi Joseph. Samar-samar di ingatan, laki-laki itu pernah ditemui olehnya. Di sisi lain, dia juga merasa tidak pernah bertemu dengannya sama sekali.
“Saat Mas Bim mene-,”
“Kau memanggilnya ‘Mas Bim’?”
“Iya. Memangnya kenapa?”
Terkejut dan bingung saling beradu. Safira lebih tua lima tahun dari Joseph dan memanggil Bima dengan panggilan, ‘Pak.’ Jelas dia merasa terkejut saat mendengar Joseph menggunakan, ‘Mas.’
“Umur Pak Bim hampir lima puluh tahun. Dua kali lipat dari umurmu. Bukankah memanggilnya dengan sebutan, ‘Pak’ lebih sopan?”
“Dia dan aku posisinya sama. Hanya saja, dia jauh lebih tua dariku. Aku menggunakan, ‘Pak’ untung orang-orang yang jabatannya lebih tinggi. Lagipula, menggunakan ‘Mas’ bisa membuatnya merasa lebih muda, bukan?”
Ada benarnya. Safira tidak bisa sepenuhnya menyangkal alasan Joseph. Walaupun merasa sedikit terganggu, dia tidak bisa memaksakan kehendak. Biarlah Joseph bertahan pada pendiriannya.
Ekspresi wajah mengalah. Sudah lama Joseph tidak melihat ekspresi semacam itu. Terakhir kali melihatnya dari seorang perempuan yang muncul di dalam mimpi.
“Saat Mas Bim menemuimu pertama kali, apa kau bisa merasakan hawa keberadaannya?”
“Hmm … bisa.”
“Dia tidak menghilang secara tiba-tiba?”
“Tidak. Dia berpamitan dan kami berpisah di depan kedai kopi.”
Ada yang aneh. Pertanyaan Joseph semakin mencurigakan. Kesal, Safira mencengkeram lengan atas tangan kiri Joseph dan sedikit menariknya.
“Katakan padaku. Apa Pak Bim datang menemuimu?”
Joseph pada awalnya ingin menyembunyikan hal tersebut, karena merasa Bima menemuinya secara diam-diam agar tidak ada orang yang tahu. Namun, mengingat tidak pembicaraan serius di antara mereka, pada akhirnya dia memilih untuk jujur saja kepada Safira.
“Iya, Mas Bim menemuiku. Sebelum pertemuan kita di stasiun, aku berbincang dengannya sambil berjalan. Dia menghilang begitu saja saat kau datang.”
Melepaskan cengkeraman dan menurunkan tangan. Safiraa mulai suka dengan Joseph yang mudah dibuat untuk berkata jujur. Tidak perlu mencengkeram lebih kuat atau menggunakan cara yang lebih ekstrim lagi.
“Apa yang kalian berdua bicarakan?”
“Hanya perbincangan biasa. Dia hanya ingin sekedar menyapa.”
“Iya, seperti itulah Pak Bim. Suka menggunakan kemampuannya untuk hal-hal yang sebenarnya tidak perlu.”
“Kemampuan?”
Terjawab sudah kenapa Joseph tidak bisa merasakan hawa keberadaan Bima. Ternyata, memang ada suatu kemampuan khusus yang dimiliki olehnya. Bukan hanya sekedar bisa menghilang begitu saja tanpa jejak.
“Pak Bim punya Djinn yang bernama Uranosou. Dia bisa menciptakan tiruan dari dirinya sendiri. Aku tidak tahu berapa batasan tiruan yang bisa dibuatnya. Babeh pernah menjelaskan padaku, bahwa tiruan dari Pak Bim adalah hal yang semu. Singkatnya, kau akan tanpa sadar melupakan pertemuan yang terjadi tadi pagi. Itu sebabnya Babeh menyuruh kami, para asisten, untuk mencatat setiap hal yang diucapkan tiruan Pak Bim saat menemui kami.”
Masuk akal. Sesuatu yang semu atau tidak dianggap nyata biasanya bisa hilang dari ingatan seseorang dengan mudah. Seperti melihat hayalan yang tiba-tiba saja tebersit di kepala. Joseph mencoba untuk menanamkan beberapa hal penting yang terdapat dalam percakapan di antara mereka berdua sebelumnya.
Satu hal kecil yang mengusik kepala Joseph sudah bisa diatasi. Masih ada beberapa hal besar yang belum terjawab. Meski ragu Safira bisa membantunya menemukan jawaban, tidak ada salahnya untuk bertanya selagi senggang.
“Clarine mengatakan padaku kalau dirinya ditolong oleh salah seorang penjaga yang bekerja untuk OPMA. Apa kau tahu siapa orangnya?”
“Aku hanya tahu siapa orangnya, tetapi tidak mengetahui bagaimana kisah di antara mereka berdua. Ada banyak versi yang tersebar di kalangan para asisten di saat aku belum lama bekerja di sini.”
Joseph mendekat. Menghadap ke arah Safira dan bersandar ke samping sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.
“Siapa orangnya?”
Terkejut. Menelan saliva dan berdeham beberapa kali. Safira tidak berani menghadap balik ke arah Joseph. Memilih untuk bertahan dengan posisinya saat ini. Menoleh sedikit ke kiri karena takut warna kulit di pipinya tidak bisa diajak bekerja sama. Bisa malu setengah mati.
Dia lebih muda darimu, Safira. Mengucapkan kata-kata itu berulang kali agar merasa lebih tenang. Mengontrol reaksi diri sendiri ternyata tidak semudah yang Safira bayangkan.
“Orang yang menolong Clarine adalah Pak Rizky. Aku hanya pernah bertemu dengannya satu kali, karena enam bulan setelah aku bekerja dia meninggal dunia.”
Joseph refleks mendekatkan wajahnya karena mulai tertarik. Yang secara otomatis membuat Safira semakin tidak bisa menoleh ke kanan.
“Pak Andrian bilang dia meninggal karena komplikasi penyakit. Para pekerja lain sempat membicarakan penyebabnya, namun yang paling santer terdengar adalah kutukan. Ada banyak kutukan yang hinggap di tubuh Pak Rizky, sehingga aura magisnya tidak sanggup lagi menahannya. Menggerogoti tubuhnya secara perlahan. Tidak ada yang menyadari hal itu, sampai akhirnya dia tiba-tiba saja meninggal dunia.”
Perbedaan informasi. Clarine mengatakan orang yang menolongnya terlalu sering memakan kutukan, namun Safira mengatakan kalau Rizky dihinggapi banyak kutukan. Memakan dan hinggap adalah dua hal yang jauh berbeda. Semua manusia bisa dihinggapi kutukan, namun tidak ada satu pun yang bisa memakannya. Kondisi ini membuatnya bingung harus percaya dengan jawaban siapa.
Mengubah posisi. Berdiri membelakangi tembok pembatas. Bersandar sambil menekuk kedua tangan dan menumpu kedua siku pada besi panjang. Kepala mendongak ke atas sampai tidak bisa dinaikkan lagi. Memejamkan kedua mata agar bisa lebih fokus. Joseph ingin berpikir sejenak dengan saksama.
Sadar lawan bicaranya tak lagi di posisi yang terlalu dekat, Safira menatap ke depan kembali. Melirik sejenak ke kanan untuk melihat apa yang sedang Joseph lakukan saat ini. Ingin sekali membantu mengurangi beban pikirannya, namun dia tidak tahu bagaimana caranya. Hanya bisa terus mengatakan apa saja yang diketahuinya soal Rizky.
“Menurut cerita dari para asisten senior, Pak Rizky adalah penjaga terkuat yang pernah OPMA miliki. Ada banyak sekali Djinn yang dikontrak olehnya. Normalnya, manusia hanya bisa mengontrak tiga sampai lima saja. Mereka bilang, Pak Rizky mungkin punya seratus atau bahkan lebih dari itu.”
“Atau dia sebenarnya hanya mengontrak satu Djinn saja. Kemudian Djinn itu bisa menggunakan kemampuan atau menciptakan tubuh Djinn yang sudah dimakannya secara sempurna. Persis seperti yang aku miliki.”
Spontan menoleh ke kanan. Lupa terhadap rasa malu yang beberapa menit lalu menguasai diri. Safira perlahan memahami apa yang menjadi beban pikiran Joseph. Dia sudah membaca banyak buku tentang makhluk astral. Sangat memahami bagaimana karakteristik Djinn, Iblis, Roh, dan Kutukan.
Djinn dan Iblis bisa dikontrak secara bebas. Keduanya juga cukup mudah untuk ditemukan. Djinn memiliki bentuk dan rupa yang aneh, sementara iblis punya fisik yang mirip dengan manusia. Roh adalah makhluk penjaga alam. Keberadaan mereka tidak menganggu, selama wilayah teritori mereka tidak diusik. Mereka tidak bisa dikontrak oleh manusia, namun bisa diajak bekerja sama asalkan menghasilkan hal yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak.
Kutukan adalah makhluk yang tidak bisa dikontrol keberadaannya. Bisa muncul di mana saja. Disebabkan dari banyaknya hal buruk yang terjadi di sekitar mereka. Bisa menempel pada benda ataupun manusia. Hanya bisa dimusnahkan oleh makhluk astral lain. Punya efek negatif yang berbeda-beda, tergantung dari jenis dan penyebab munculnya.
“Aku memahami bagaimana konsep kontrak, Safira. Kontrak langsung berarti manusia bersedia dirasuki makhluk astral, sementara tidak langsung manusia hanya meminjam kemampuannya saja. Kau dan Mano adalah kontrak langsung, sementara kau dan Candramawa adalah kontrak tidak langsung. Kau bisa menggunakan kemampuan Mano seutuhnya, namun hanya bisa menggunakan ruang hampa milik Candramawa. Aku benar, ‘kan?”
Safira mengangguk, namun Joseph tetap memejamkan mata. Dia sudah tahu kalau tebakannya benar. Di pertarungan dengan Endor kemarin, Safira bisa saja menyeimbangi atau bahkan mengalahkan Endor jika memanggil Candramawa. Namun, hal itu tidak dilakukannya. Sudah dipastikan bahwa kontraknya dengan Candramawa adalah kontrak tidak langsung.
“Aku sudah tahu Mano menyerap darahmu sebagai balasan kontraknya. Lalu, apa yang kau berikan pada Candramawa?”
“Warna hijau.”
Kedua mata Joseph terbuka. Posisi badannya tetap sama. Hanya kepalanya yang bergerak menoleh ke arah Safira.
“Warna hijau?”
“Sebagai balasan menggunakan ruang hampa miliknya, dia meminta warna hijau yang bisa mataku lihat. Jadi, sekarang aku tidak bisa melihat warna hijau lagi.”
Di setiap sudut jalan selalu ada tanaman dan pohon yang besar. Joseph tidak bisa membayangkan bagaimana pemandangan yang Safira lihat selama ini. Sejak mengenal dan bekerja dengannya, dia juga sama sekali tidak terlihat terganggu sedikit pun. Seakan apa yang mereka lihat adalah hal yang sama.
Melirik dan tersenyum tipis. Safira menyadari Joseph tengah mengkhawatirkan kondisinya, meski ekspresinya datar. Tatapan yang Joseph berikan sama persis seperti saat mengucapkan nyawanya lebih berharga.
“Tidak perlu khawatir, aku sudah mulai terbiasa. Menurut informasi, Candramawa adalah Djinn yang buta warna. Mungkin saja dia ingin melihat bagaimana warna dunia dengan meminjam penglihatan manusia-manusia yang menjalin kontrak dengannya. Aku merasa beruntung karena dia hanya meminta satu warna saja, bukan semuanya. Setidaknya, aku masih bisa melihat indahnya matahari terbit dan terbenam.”
Safira melebarkan senyuman dan menatap balik Joseph. Berusaha menyampaikan padanya bahwa dia baik-baik saja. Joseph pun berpaling menatap ke atas kembali. Entah dia harus merasa senang atau tidak akan hal itu.
“Jika terlalu banyak pohon di sekitar kita dan kau merasa tidak nyaman untuk melihatnya, tatap aku saja. Tidak ada warna hijau di wajahku. Jika kau takut kehilangan kewaspadaan, tidak perlu khawatir. Aku tidak akan membiarkanmu terluka satu gores pun. Aku janji.”
Angin berembus kencang. Safira melihat rambut Joseph menari-nari. Tatapan mata yang tajam dan wajah tanpa ekspresi menambah keindahan pemandangannya. Dadanya terasa sesak seperti di tusuk pedang. Dia tidak memahami apa nama badai yang tengah mendera dirinya. Namun satu hal yang pasti, dia sudah terjebak dalam situasi di mana ingin selalu berada di sisi Joseph.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro