Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. Mawar Indah Bermata Biru

Mobil sedan hitam terparkir. Sosok pria paruh baya berpakaian formal keluar dari dalamnya. Dua orang perawat berkemeja putih dan celana hitam sudah menunggu di depan pintu masuk utama. Ketiganya bertegur sapa sebagaimana etika yang wajib diterapkan. Setelah basa-basi sejenak layaknya manusia normal, mereka berjalan bersama. Menelusuri lorong dengan pemandangan warna-warni. Lalu-lalang dokter dan kegiatan manusia berpakaian serba hijau yang rupa-rupa ragamnya.

Gedung yang terpisah dari bangunan utama. Hampir tidak ada siapa pun di gedung tersebut. Karena memang tempat itu diperuntukan bagi pasien yang kewarasannya sudah tidak bisa lagi diisi ulang. Hanya menunggu waktu sampai benar-benar hilang atau nyawanya yang hilang. Ruangan dengan dua buah daun pintu yang besar menjadi tempat tujuan utama.

“Ini kartu baru yang harus digunakan untuk membuka pintu.”

Salah seorang perawat mengulurkan sebuah kartu masuk ke hadapan pria paruh baya. Respon yang diberikan olehnya adalah heran. Untuk apa sebuah kartu baru untuk pintu yang sudah bertahun-tahun tidak berubah sama sekali? Seperti itulah isi pikirannya. Namun, bertanya dirasa tidak perlu. Hanya ada satu kesimpulan pasti kenapa dia diberikan kartu baru.

“Terima kasih.”

Kedua perawat pergi. Pria itu mengembuskan napas berat. Sekilas tatapan sinisnya melirik ke arah kamera pengawas di sudut kanan atas. Suara ‘Bip’ berbunyi serelah kartu digesekkkan. Pintu terbuka lebar dengan perlahan. Dia melangkah masuk dengan gerakan cepat karena telah mengetahui pintu akan segera tertutup otomatis begitu terbuka seutuhnya.

Ruangan serba hitam. Sembilan puluh persen hitam. Tempat tidur, lemari pakaian, rak buku beserta sampul-sampul bukunya, semua benda di kamar mandi berkaca transparan, dan horden yang tidak ada jendela di baliknya. Hanya empat lampu di bagian atap yang tidak. Jika semua lampu dimatikan, kegelapan sempurna akan tercipta.

“Apa kabar, Babeh? Sudah lama kita tidak bertemu. Enam bulan? Tujuh bulan? Atau delapan? Sembilan? Hmm … kapan ulang tahun putri bungsumu? Ah, sepuluh bulan. Aku yakin sudah sepuluh bulan kita tidak bertemu.”

Agus tidak mengindahkan perkataan perempuan yang tengah duduk bersila di lantai tepat dua meter di depannya. Dia mengangkat kartu di genggamannya setinggi wajah dan memasang ekspresi sedikit kesal.

“Apa yang kau lakukan kali ini, Clarine? Apa nasib yang menimpa kartu masuk sebelum ini?”

Dengan senyuman yang merekah dan penuh kebanggaan, Clarine mengambil sebuah kartu yang terhimpit di karet pinggang celananya dan menunjukkannya dengan cara yang sama seperti Agus.

“Aku mengambilnya karena mereka terlalu sering keluar-masuk untuk memeriksaku belakangan ini. Padahal, aku tidak melakukan sesuatu yang aneh. Persediaan di kamar mandi masih cukup untuk dua minggu lagi, sebagian besar buku belum aku baca, dan aku juga minum obat dengan teratur.”

Langkah kaki kilat. Kartu yang dipegang oleh Clarine direbut begitu saja. Agus memasukkannya ke dalam kantong di balik jas guna melindungi kartu tersebut dari kecepatan tangan Clarine. Semakin tersembunyi, semakin baik.

“Duduklah di depanku, Babeh. Aku lebih suka berbicara dengan nyaman dan santai. Kau juga sudah tua. Tidak baik untuk kesehatan tulang lututmu.”

Tangan Clarine terus menepuk bidak lantai di hadapannya. Senyumannya tak lepas sedikit pun kala wajahnya satu garis lurus dengan Agus.

Masih ada sedikit rasa kesal yang belum hilang, namun tidak bisa lebih lama lagi bagi Agus untuk memelihara rasa yang mengganggu. Duduk bersila di hadapan Clarine sesuai keinginannya bisa jadi adalah obat untuk menghilangkannya.

“Bagaimana? Di sisi sedekat ini kau pasti sudah menyadari potongan rambutku yang baru, bukan? Ini adalah potongan ‘wolf cut’ seorang perawat menyarankanku gaya ini. Jadi, begitu mereka memanggil tukang pangkas rambut ke sini beberapa hari lalu, aku memintanya memotong seperti ini. Bagus, ‘kan?”

Bagi Agus, tidak, bagi semua orang yang pernah melihat Clarine pasti memiliki pendapat yang sama. Gaya rambut apa pun pasti membuatnya selalu terlihat cantik. Wajah blasteran campuran dari Slovakia dan Jawa Timur membuatnya begitu menawan. Mata biru, rambut hitam berkilau, dan kulit putih bersinar. Tidak ada laki-laki yang tidak mencintai sosok luarnya.

“Bagus. Kau terlihat lebih segar dan bersemangat. Tadi, apa nama potongan rambutnya? Mungkin cocok juga untuk anakku.”

“Wolf cut.”

“Wool Cut?”

“W-O-L-F C-U-T. Wolf cut.”

“Wolf cut.”

Clarine mengangangkat dua ibu jari tangannya dan Agus terus mengucapkan dua kata itu berulang-ulang dengan suara pelan agar tidak melupakannya.

Pipi berpangku pada tangan kanan yang mengepal. Sikut bertumpu pada lutut, sehingga posisi wajah kini lebih rendah dari lawan bicaranya. Tujuan Clarine melakukan itu untuk membuat kesan santai seperti yang diinginkannya.

“Jadi, apa yang membuat mereka lebih rutin bolak-balik ke kamarku, Babeh? Apa yang terjadi di luar sana sampai mereka harus terus mengecek apa yang aku lakukan di kamar ini?”

Mulut Agus seketika berhenti merapal mantra pencegah lupa. Yang menjadi fokusnya saat ini hanyalah Clarine seorang. Meski tatapan yang lembut dan santai diberikan padanya, dia sama sekali tidak bisa membalas tatapan yang sama. Baginya, masalah ini terlalu serius untuk dibuat santai.

“Terjadi sesuatu di penjara.”

Seketika Clarine mengangkat kepala dan kembali menegakkan badan. Menurunkan tangan kanannya dan membuat seluruh jemari kedua tangannya saling berpelukan.

“Apa ada kaitannya dengan anak itu?”

“Belum diketahui secara pasti. Yang jelas, salah seorang tahanan ditemukan bunuh diri di dalam sel seminggu yang lalu. Dan kebetulan, selnya berhadapan langsung dengan sel milik Tamariz Marlon Joseph, anak laki-laki itu.”

Tawa kecil keluar. Gambaran pada wajah Clarine terlihat sangat jelas kalau dirinya langsung mengetahui apa yang terjadi. Tentu saja Agus dengan mudah menyadarinya.

“Apa kau tahu sesuatu, Clarine? Aku harus memberitahunya kepada atasan karena mereka berencana untuk melakukan penyelidikan.”

“Hmm … Babeh? Apa kau masih ingat apa yang terjadi saat kalian berdua bertemu pertama kali? Aku yakin kejadian itu masih segar di ingatanmu. Iya, ‘kan?”

Pandangan Agus terlempar seketika ke arah lain. Di saat yang sama, ingatannya mengenai kejadian tiga tahun yang lalu muncul kembali. Seakan baru saja terjadi kemarin.

Setelah memberitahu Joseph apa yang harus dilakukannya minggu depan kala itu, Agus melihat dengan mata kepalanya sendiri volume cairan kopi di cangkir Joseph berkurang sedikit demi sedikit. Samar-samar, bayangan hitam besar terlihat di belakangnya. Memberi tatapan seperti monster haus darah. Beruntung saat itu dia dalam keadaan bugar secara mental, jadi masih bisa menahan rasa takut dan bisa pergi secepat mungkin.

Tawa kecil Clarine kembali keluar. Melihat Agus menggetarkan badan sejenak, baginya adalah hal yang lucu. Terlihat jelas bahwa kejadian yang cukup menyeramkan itu masih belum bisa dilupakan oleh Agus seutuhnya.

“Saat pertama kali melihat sosok makhluk yang mengikutinya, aku dibuat tidak bisa bergerak. Baru kali itu aku melihat makhluk astral yang aura negatifnya sangat kuat. Aku hampir tidak diizinkan untuk mendekat. Untung saja makhluk itu masih bisa diajak bernegosiasi, sehingga aku bisa membisikkan sesuatu dan memberikan secarik kertas itu padanya. Syukurlah dia benar-benar datang.”

Teringat kembali raut wajah suram yang ditemuinya tiga tahun lalu. Depresi berat yang tergambar jelas membuat tatapan Clarine seketika tertuju pada sosok Joseph seorang. Namun saat makhluk itu menampakkan diri, alasannya berubah. Alam bawah sadarnya menampar dengan keras. Naluri membisikkan sesuatu bahwa anak itu lah yang selama ini dia cari.

Clarine dan Agus memang duduk saling berhadapan, namun kondisi cuaca di sisi masing-masing tampak berbanding terbalik. Cuaca cerah menyelimuti Clarine merepresentasi rasa gembiranya karena tak lama lagi akan bertemu langsung dengan Joseph. Sementara badai angin topan menyelimuti Agus merepresentasi rasa khawatir yang menggebu-gebu karena masih belum yakin kalau sosok Joseph cocok untuk diajak kerja sama.

“Kira-kira wajahnya akan berubah atau tidak, ya, Babeh? Setelah tiga tahun berlalu, aku harap dia terlihat semakin matang. Mengingat usianya sudah 21 tahun sekarang.”

“Bisa tidak letakkan rasa penasaranmu di tempat lain? Penyebab kematian tahanan yang berseberangan dengan selnya masih belum diketahui. Kenapa tidak beritahu aku terlebih dahulu kejadian itu, baru kau letakkan rasa penasaranmu di sana?”

Bibir Clarine melengkung ke atas. Jelas dia tidak senang dengan pembawaan Agus yang terlalu serius. Padahal sejak awal sudah ditekankan olehnya untuk bersikap santai.

“Hah … kau selalu saja tidak seru, Babeh. Kau terlalu kaku. Pantas saja putrimu tidak mau berlama-lama berbincang denganmu.”

Ingin marah, tetapi fakta. Menyangkal juga tidak bisa. Agus hanya bisa menerima. Memasang telinga dengan saksama adalah pilihan yang terbaik. Kemungkinan besar Clarine akan memberikan penjelasan mengenai apa yang terjadi setelah mengejeknya.

“Pak Andrian, atasan kesayangan kita semua, datang menemuiku setelah Joseph masuk ke dalam penjara. Dia memberikan seluruh data diri tahanan yang ada di sana, jadi aku tahu siapa saja yang ada di sekitar selnya. Secara rutin, anak buahnya juga datang menemuiku untuk memberi informasi keluar-masuknya tahanan di sana. Sepengetahuanku, tahanan yang ada di seberang Joseph baru masuk sekitar tiga bulan yang lalu. Divonis penjara seumur hidup karena melakukan pembunuhan berencana terhadap mantan istrinya.

“Kau sendiri mengetahui bagaimana kondisi penjara itu secara magis, meski tidak bisa melihatnya. Penjara yang dikhususkan untuk tahanan kelas berat pasti memberikan nuansa yang kelam. Orang-orang kejam seperti mereka punya ketahanan spiritual yang dangkal. Sudah pasti makhluk astral akan memanfaatkannya. Jadi, kesimpulannya adalah ada salah satu dari makhluk itu memanfaatkan sosok mendiang istri tahanan tersebut. Menakuti-nakuti untuk menyerap daya hidupnya.

“Kemudian … setelah susah payah menghadapi makhluk-makhluk yang mengganggu, dia harus berhadapan juga dengan aura negatif yang sangat pekat dari Joseph. Jujur, bisa bertahan selama tiga bulan saja sudah membuatku cukup salut padanya. Joseph tidak terlibat secara langsung karena mungkin menyadarinya, tetapi tidak bisa berbuat banyak. Yang tahu dia dimasukkan ke sana dengan sengaja hanya kita, Pak Andrian, Kepala Penjara, dan orang itu. Secara otomatis, dia diperlakukan sama dengan tahanan yang lain. Tidak bisa menolong orang lain, kalau dirinya saja terbelenggu di dalam sel.”

Ekspresi datar Clarine bagai duri pada bunga mawar. Yang akan langsung menusuk para korban dari pesona senyumannya yang bagai mahkota bunga.

Agus hanya mengetahui betapa menyeramkannya penjara itu dari cerita para sipir dan informasi rahasia milik pemerintah. Tidak benar-benar tahu bagaimana sensasi berada di dalamnya. Dia hanya mengantarkan Joseph sampai gerbang depan.

Di satu sisi, Agus menyadari hal kejam yang dilakukan oleh Clarine. Menguji anak remaja berusia 18 tahun untuk hidup di dalam penjara yang punya daya magis luar biasa selama tiga tahun. Tidak menunggu sampai Joseph setidaknya sedikit lebih dewasa. Saat mental dan pikirannya sudah matang. Di sisi lain, dia juga menyadari kalau waktu Clarine tidak banyak. Itu sebabnya dia terburu-buru dan memaksakan keinginan secara sepihak. Namun, ada satu hal yang masih membuatnya penasaran hingga kini.

“Aku ingin bertanya satu hal padamu, Clarine. Kau bersedia menjawabnya?”

“Tergantung apa pertanyaanmu.”

“Apa yang membuat Joseph bersedia menghabiskan tiga tahun di sana? Saat aku memberitahu apa yang harus dilakukannya, dia setuju tanpa mengatakan apa pun. Saat mengantarkannya ke penjara itu juga dia tidak mengeluh dan masuk ke dalam tanpa mengucapkan sepatahkata padaku. Aku yakin dia pasti menyadari betapa menyeramkan penjara itu, karena dia sama sepertimu. Punya kemampuan untuk melihat mereka.”

Clarine bangkit. Berjalan pergi menghampiri kamar mandi. Kecewa seketika mendera. Tidak mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang penting memang tidak pernah menyenangkan bagi siapa saja.

“Aku tidak bisa menjawabnya, karena lebih baik kau tidak mengetahuinya. Kalau penasaran ingin tahu jawabannya, bertanyalah pada Pak Andrian. Dia mungkin memberikan jawabannya. Kita sudahi pertemuan ini, aku ingin mandi untuk menyegarkan badan.”

Rasa kecewa sedikit terobati. Masih ada kesempatan bagi Agus untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut. Untuk saat ini, lebih baik dia pergi terlebih dahulu dari Rumah Sakit Jiwa Mawar Putih. Mambagikan senyuman kepada siapa pun yang ditemuinya dalam perjalanan menuju mobil.

Dering ponsel sedikit mengejutkan. Kaki kanan Agus yang sudah siap menginjak pedal gas urung mendarat. Begitu melihat siapa yang menelepon, dia segera mengangkatnya.

“Selamat pagi, Pak Andrian.”

Pak Agus ada di mana sekarang?

“Saya baru saja mengunjungi Clarine sesuai perintah bapak.”

Kalau begitu, jemput anak itu sekarang juga.

“Em … bukankah dia baru keluar tiga hari lagi?”

Kepala Penjara mendesak. Polisi mau menyelidiki lebih dalam soal kasus tahanan yang bunuh diri beberapa waktu lalu. Dia tidak mau ambil risiko. Bagaimanapun juga anak itu tidak punya dakwaan nyata yang bisa membuatnya ditahan di sana. Kalau polisi mengetahui perihal rekayasa kita, bisa terjadi hal yang menyusahkan kita semua. Jadi, menjemput anak itu lebih awal adalah pilihan yang tepat.

“Baik, Pak. Saya akan menjemput anak itu.”

Saya akan mengabari Kepala Penjara soal kedatanganmu.

Telepon tertutup. Keraguan untuk menginjak pedal gas menyelimuti Agus. Mentalnya masih belum siap menemui Joseph kembali. Dalam hati dia berharap kalau anak itu tidak berubah menjadi lebih menyeramkan dibandingkan tiga tahun lalu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro