14. Melakukan Segala Sesuatu Sendirian
"Aku akan mengajarkanmu bagaimana cara mengendalikannya. Tetapi untuk sekarang, gunakanlah gelang-gelang ini."
Gelang demi gelang melingkari lengan tangan kiri. Badan yang terasa ringan perlahan menjadi berat. Seperti sekumpulan udara masuk ke dalam pori-pori kulit.
"Coba sekarang angkat gelas di atas meja dengan menggenggam gagangnya menggunakan seluruh jari-jarimu."
"Aku pasti memecahkan gelasnya. Setelah kekuatanku terbangun, aku melakukan segala sesuatunya dengan sangat hati-hati. Aku menggenggam gelas dengan telunjuk dan ibu jariku."
"Coba saja."
Keraguan menghantui. Rasa ingin penasaran ingin mencoba menyertai. Anak laki-laki berusia belasan menatap dengan khawatir pria maskulin di hadapannya. Dibalas dengan senyuman dan anggukkan kepala.
Suntikan percaya diri yang diterima segera menggerakkan tangan kanan. Senti demi senti semakin dekat dengan tempat tujuan. Seluruh jari bergerak cepat mengganggam gagang. Menangkat gelas dan tidak ada yang terjadi. Tidak pecah seperti yang ketakutan terus ucapkan di kepalanya.
"Aku tidak memecahkannya. Aku sulit percaya dengan apa yang aku lihat."
"Gelang-gelang itu mengekang kekuatan magis yang terpancar keluar dari tubuhmu. Dengan begitu, kau bisa melakukan berbagai aktivitas secara normal lagi. Gelang itu juga tidak bisa basah, jadi gunakan saja saat kau mandi."
Anak laki-laki meminum cokelat panas yang ada di dalam gelas sampai habis tak tersisa. Meletakkan kembali gelas ke atas meja dengan selamat. Jemari tangannya menari-nari seperti menunjukkan kebahagiaan karena telah terbebas. Tidak perlu takut merusak barang-barang lagi.
"Ada satu hal lagi yang ingin aku berikan padamu."
"Apa itu?"
Tangan pria maskulin berjas hitam menggenggam pundak kiri anak laki-laki. Aura hitam pekat terpancar keluar dari telapak tangannya. Masuk ke dalam tubuh anak laki-laki sedikit demi sedikit. Ketika tidak ada lagi aura yang keluar, tangannya melepaskan diri.
"Dia akan menjagamu selama aku tidak ada."
"Apa maksudmu?"
"Tubuhmu nyaman juga, Bocah Kecil."
Suara berat yang menyeramkan tiba-tiba menyapa. Mengejutkan pemilik badan. Mata membelalak dan tangan memegangi kepala.
"Suara apa itu? Suaranya menyeramkan. Kau mendengarnya?"
"Nama pemilik suara menyeramkan itu adalah Moz. Djinn terkuat yang pernah ada dan gemar meminum kopi."
***
Guncangan kereta membangunkan kesadaran. Kepala terangkat dari sandaran kursi. Menatap ke sekeliling sejenak hanya untuk memastikan lokasi tempatnya berada belum berubah. Joseph terjebak kesialan yang tidak diprediksi. Tidak ada yang memberitahu kalau kalung pemberian Clarine hanya bisa digunakan selama dua minggu dan butuh waktu dua minggu untuk bisa digunakan lagi. Alhasil, dia dan Safira terpaksa menggunakan kereta.
Dua minggu telah berlalu. Setelah kejadian yang terjadi di sekolah, Joseph dan Safira kena teguran keras Andrian. Kegaduhan yang Joseph lakukan membuat Andrian terpaksa harus menemui kepala sekolah untuk menyelesaikannya. Permasalahan bisa teratasi, namun Joseph dilarang untuk bertindak sendirian lagi. Safira juga mendapatkan hukuman akibat kelalainnya tertidur di jam kerja. Namun, hanya sebatas tidak mendapatkan jatah makan siang selama satu minggu.
"Kau tidur cukup tadi malam, Safira?"
"Iya, tidurku cukup. Bagaimana denganmu, Joseph?"
"Lumayan."
Selama dua minggu pertanyaan itu selalu ditanyakan Joseph. Guna menghindari mereka dari masalah serupa. Dia menghormati waktu tidur seseorang, sehingga tidak tega membangunkan orang yang sedang tidur. Jika Safira tertidur lagi, pilihannya ada dua. Terjebak dalam lubang yang sama atau dimarahi karena terlambat menyelesaikan tugas.
Yang tidak Joseph ketahui adalah pengorbanan yang Safira lakukan. Selama dua minggu terakhir selalu tidur tepat jam sepuluh malam. Tidak peduli seberapa bagus drama seri yang tengah ditontonnya atau rekaman konser boyband kesukaannya berlangsung. Saat jam sepuluh tiba, dia otomatis tidur tanpa terkecuali.
"Apa Pak Andrian masih memberikan tugas di luar jam kerja kepadamu?"
"Sejak dua minggu lalu dia hanya memberikan dua pekerjaan dadakan. Keduanya hanya mengenai data saja, bukan pekerjaan berat. Biasanya, selama seminggu hampir setiap hari aku diminta jadi anggota pendukung."
Sesuatu yang tidak dimengerti. Selama dua minggu bekerja di OPMA, yang dilakukan Joseph hanya menjalankan setiap tugas yang diberikan tanpa banyak bertanya. Tidak mau tahu dengan hal di luar makhluk astral yang harus diurusnya. Bahkan, obrolan antara dirinya dan Safira juga sangat sedikit meskipun keduanya selalu bertemu dan menjalankan tugas bersama setiap hari.
"Anggota pendukung? Memangnya jumlah satpam sepertiku sedikit?"
"Dari waktu ke waktu jumlahnya terus berkurang. Bertambah dua dan kehilngan lima. Kehilangan nyawa adalah sesuatu yang wajar terjadi di OPMA."
"Berapa orang yang tersisa sekarang?"
Kepala tertundul. Memainkan kedua jari telunjuk. Ditambah dengan ekspresi murung. Terlalu mudah dibaca. Safira terlihat kesulitan menjawab dan merasakan kesedihan di waktu yang sama.
"Tiga orang sepertimu dan tiga asisten sepertiku. Mereka tersebar di tiga pulau berbeda. Clarine dan Pak Agus tidak masuk hitungan karena keduanya pemimpin. Clarine pemimpinmu, sementara Pak Agus pemimpinku."
Sekarang Joseph mengerti kenapa Andrian mengabaikan peringatannya. Ketika ditegur soal insiden sekolah, dia mengancam akan berhenti kalau Andrian terus memberikan tugas di luar jam kerja untuk Safira. Hal itu dilakukan karena merasakan kesal yang tak terbendung.
Joseph sudah mengatakan aroma kehidupan Safira hampir tidak bisa dicium. Kondisi semacam itu hanya terjadi pada manusia yang akan meninggal. Entah itu karena penyakit atau kelelahan. Andrian mengabaikan, sehingga mulutnya spontan mengucapkan ancaman itu. Sekarang dia bingung harus merasakan apa.
"Tiga pulau yang berbeda? Hmm ... hanya ada satu kemungkinan bagaimana asistenmu bisa pergi mendukung tim lain meski jarak meraka sangat jauh. Setiap asisten yang bekerja di OPMA menjalin perjanjian dengan Candramawa, sehingga bisa mengakses Candra, ruang hampa tak terbatas miliknya."
Masuk akal. Safira masuk ke dalam Candra, kemudian rekannya di pulau yang berbeda memanggil Candra agar Safira bisa keluar. Dengan teknik sederhana itu setiap asisten bisa menghampiri asisten lain untuk memberikan bantuan. Meski tempat tujuannya terbatas, setidaknya cukup praktis untuk diterapkan. Tidak seperti Inunaki dan Oust yang memiliki persyaratan.
Kantong celana bergetar. Safira segera mengambil ponsel dan melihat pesan singkat yang baru saja masuk. Sengaja memiringkan ponsel ke kanan agar Joseph juga bisa melihatnya
"Jawaban dari Divisi Informasi."
"Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga. Baca isinya Joseph, aku sudah tidak sabar lagi."
Mereka berdua membaca isi pesan bersama. Pesan berisi informasi mengenai sebuah kutukan yang sudah menyebabkan banyak malapetaka.
Kalimat demi kalimat, bait demi bait, menunjukkan betapa mengerikan isinya. Safira menelan saliva menahan rasa takut. Joseph diam tidak memberikan reaksi. Moz mengeluarkan suara seperti menyeruput air liur keluar dari mulut. Kedua manusia saling menatap setelah informasi selesai dibaca.
"Bagaimana? Apa yang akan kau lakukan setelah membaca ini, Joseph?"
Perlahan melihat ke atas bersamaan. Safira menyerah setelah tiga detik, sementara Joseph tetap mempetahankan pandangannya.
"Kenapa kau ingin mengetahui informasi kutukan itu, Moz? Bukankah kau sudah mengetahuinya?"
"Membaca ulang informasi yang sudah aku ketahui dapat menambahkan selera makan. Rasanya juga menjadi sepuluh kali lipat lebih enak."
Di langit-langit kereta terdapat pemandangan yang mengerikan. Anggota tubuh manusia saling menempel satu sama lain seperti corak pada karpet. Darah kental menjadi elemen yang menyatukan setiap bagian. Beberapa terus bergerak seakan ada otot-otot yang masih berfungsi.
"Kutukan potongan tubuh. Biasanya menempel pada kendaraan yang sering mengalami kecelakaan dan merenggut korban jiwa. Sudah lama aku tidak menemukannya."
"Cepat selesaikan, Moz. Dia tidak enak dipandang."
"Dengan senang hati."
Moz keluar dari tubuh Joseph. Mulai melakukan aktivitas makannya dari ujung gerbong. Melepaskan kutukan dari langit-langit seperti mencabut stiker. Memakan bagian demi bagian. Menikmati setiap gigitannya. Perlu sepuluh menit baginya untuk menghabiskan hidangan. Kembali masuk dalam keadaan kenyang.
"Terima kasih atas hidangannya. Aku benar-benar kenyang."
"Kau yang kenyang, aku yang harus membayar efek sampingnya."
Pandangan berubah menjadi hitam. Kondisi mata tetap dalam keadaan terbuka. Joseph menjadi buta seutuhnya. Tidak bisa melihat apa pun sama sekali.
"Menurut informasi yang diberikan, aku buta selama sepuluh menit. Aku mengandalkanmu, Safira."
"Aku mengerti."
Lirikan mata sejenak dan sedikit tertunduk. Safira selalu mengalami perasaan seperti ini setiap kali melihat Joseph mengatasi sebuah kutukan. Membereskan dan menerima konsekuensinya sendirian. Yang bisa dia lakukan hanya menonton dan memberi bantuan kecil.
"Aku suka penampilanmu hari ini."
"Hmm?"
Detak jantung berdegup kencang semakin cepat. Pisau menancap di dada. Membuat rasa sesak dadakan yang mengejutkan dan sulit diatasi. Pipi memerah karena malu. Safira bersyukur Joseph tidak bisa melihat bagaimana reaksianya.
Selama dua minggu terakhir, Safira selalu menggunakan pakaian formal dengan setelan jas, dasi, dan celana serba hitam. Sementara Joseph selalu menggunakan pakaian layaknya anak muda seusianya. Jaket, kaos polos, dan celana jeans. Sadar kalau pakaian mereka berdua terlihat kontras, akhirnya Safira berbaur dengan pakaian yang Joseph gunakan.
"Lebih baik berpakaian seperti itu. Kita berdua bekerja di lapangan. Ada baiknya berbaur dengan orang lain yang ada di sekitar."
"Iya, kau benar."
Belum ada izin yang didapatkan untuk menggunakan pakaian itu dari Andrian, namun Safira memberanikan diri untuk tampil berbeda. Tugasnya adalah menjalin hubungan baik dengan Joseph, dan hal itu salah satu upayanya.
Kereta tiba di stasiun tujuan. Efek buta sementara masih ada dua menit lagi. Safira menggandeng tangan Joseph. Menuntunnya untuk turun dan keluar dari stasiun bersama. Siapa pun yang melihatnya akan mengira mereka pasangan kekasih.
Aroma asap kendaraan mulai tercium. Bersamaan dengan penglihatan Joseph yang telah kembali. Gandengan tangan terlepas. Keduanya berjalan bersebelahan. Joseph memasukkan kedua tangan ke dalam kantong jaket. Safira mengecek ponsel untuk memastikan lokasi tujuan mereka.
"Lurus terus sejauh tiga ratus meter. Belok ke kiri dan berjalan lagi dua ratus meter. Lokasinya ada di seberang jalan. Kantor pusat PT Bulan Sabit."
"Setelah membaca seluruh infotmasi, bagaimana pendapatmu? Apa yang sebenarnya terjadi pada karyawan perempuan di sana?"
Ponsel bersemayam kembali di dalam kantong celana. Safira menatap fokus ke depan untuk mengingat kembali informasi yang semalam dibaca.
"Semua media sosial sudah diperiksa dan tidak ada keluhan apa pun yang mereka ungkapkan. Namun, setiap karyawan selalu mengalami sakit demam yang sama setiap satu bulan sekali dengan tanggal yang berbeda-beda. Demam itu juga selalu terjadi setelah masa menstruasi mereka berakhir.
"Kejadian janggal pertama kali diketahui oleh Divisi Penyidik, Dia bertemu dengan salah satu karyawan di sebuah kedai kopi. Melihat aura magisnya terhisap keluar dan mengalir menuju ke suatu tempat. Setelah diikuti, salurannya menuju tepat ke dalam kantor PT Bulan Sabit. Jujur, aku sama sekali tidak tahu apa yang terjadi. Aku harus melihatnya secara langsung terlebih dahulu, baru bisa memahaminya."
Makhluk astral menyerap jiwa manusia adalah sesuatu yang biasa terjadi, karena memang itulah salah satu makanan mereka. Namun, setiap makhluk astral punya selera masing-masing. Yang jika terpenuhi dan memuaskan akan membuat mereka menjadi jauh lebih kuat.
"Perlu kau ketahui, Joseph. Ada banyak Djinn yang lebih menyukai jiwa perempuan sebagai makanan. Namun, hanya ada satu yang menyukai jiwa perempuan dengan karakteristik seperti itu. Dan percayalah padaku, berurusan dengannya adalah sesuatu yang merepotkan."
"Merepotkan? Coba jelaskan secara rinci."
"Namanya Endor. Djinn yang berbentuk seperti burung hantu. Punya empat mata kanan dan empat mata kiri. Kedelapan matanya berwarna putih dan hitam selang-seling. Bulu-bulunya berwarna abu-abu. Biasa menempel di pundak kiri manusia yang dirasukinya. Dia bisa mengendalikan manusia dan makhluk astral lain yang menatap langsung matanya. Melakukan apa pun yang dia inginkan. Itulah sebabnya kenapa dia adalah lawan yang merepotkan."
Informasi yang membuat telinga gatal. Makhluk astral yang merepotkan merupakan lawan yang Joseph cari. Sejak bekerja di OPMA, dia tidak pernah benar-benar serius. Belum pernah sekali pun mencopot gelang pertama yang mengikat kekuatannya. Baru satu kali keseriusan muncul, yakni saat bertemu dengan Be Sick. Namun, pertemuan itu hanya menjadi perbincangan saja pada akhirnya.
Untuk menghilangkan rasa gatal di telinga, berbagi adalah jawabannya. Safira perlu mengetahui informasi yang baru saja Moz berikan. Namun, baru saja mulut Joseph terbuka untuk mulai bicara, ucapan Safira memotong niatnya.
"Kali ini, izinkan aku untuk mengatasinya sendiri."
Sangat serius. Kesungguhan yang terpancar di rona wajah Safira berhasil tersampaikan ke pandangan mata Joseph.
"Selama dua minggu aku cuma jadi penonton. Yang aku lakukan hanya menyimak dan membereskan sisa-sisa pertarunganmu dengan makhluk astral. Aku ingin mengasah kemampuan. Aku ingin menyeimbangkan diri denganmu."
Kedua tangan Safura yang terus berayun ke depan-belakang mengepal kuat. Melihat keseriusan semacam itu tidak ada yang bisa Joseph lakukan selain mengikuti kemauannya. Menolak sama dengan merendahkan.
"Baiklah. Hari ini aku bersedia jadi penonton. Aku akan mulai bergerak setelah situasimu membahayakan nyawa."
"Terima kasih sudah mau menuruti keegoisanku, Joseph."
"Sama-sama."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro