Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Apa yang Matanya Lihat

"Kenapa ...? Apa kesalahanku? Aku tidak melakukan apa pun."

Merah membara. Ruang tamu berubah menjadi oven yang menghanguskan segala benda di dalamnya. Hanya kobaraan api sejauh mata memandang. Perlahan, rupa pintu semakin terlihat. Langkah yang semula lambat, kini semakin cepat. Teriakan yang lantang dan keras terus berkumandang tanpa jeda. Mengiringi kaki yang berlari mengumpulkan momentum untuk menerjang pintu.

Suara teriakan terdengar setelah kerasnya suara pintu yang terhempas ke depan dan mendarat di tanah dengan kencang. Suara teriakan semakin ramai dan kian menjadi-jadi ketika semua mata melihatnya tengah berguling-guling berusaha memadamkan api yang membakar tubuh. Siraman air yang begitu dingin menghunjam dari segala arah. Kesadaran perlahan menghilang. Bulan sabit menjadi pemandangan terakhir yang tertangkap sebelum mata terpejam seutuhnya.

***

Joseph membuka mata dengan perlahan. Niatnya untuk mengistirahatkan mata beberapa saat, justru menjadi boomerang. Mau tidak mau dia harus menghadapi pemandangan mengerikan yang tersaji di hadapannya.

Jika menggunakan mata biasa, penjara itu terlihat biasa saja. Tetapi jika menggunakan matanya, terlihat seperti apartemen para makhluk astral. Mereka ada di mana-mana.

"Saya hanya bisa mengantarkan sampai di sini, Joseph. Ketika anda sudah menjalani kehidupan selama tiga tahun di sana, tidak ada yang bisa memberikan bantuan. Anda harus menjalaninya sendiri."

Di mata Agus, datarnya ekspresi wajah Joseph terlalu sulit diprediksi. Kembang-kempis di dadanya juga terlihat layaknya orang yang sangat tenang. Padahal secara logika, tempat ini terasa tidak nyaman bagi mereka yang bisa melihat keberadaan makhluk astral. Dia yang hanya bisa merasakan saja merinding bukan main, apa lagi Joseph.

"Kalau begitu, saya pamit."

Agus berjalan memutar ke sisi kanan depan mobil. Sebuah rasa yang mengganjal menghampiri di saat tangan kanannya baru saja menggenggam erat gagang pintu. Masih di tempat yang sama, Joseph belum beranjak.

"Apa ada yang anda ingin tanyakan atau bicarakan lagi pada saya, Joseph?"

Tangan kanan Joseph menurunkan tudung hoodie. Beberapa helai rambut hitamnya yang cukup panjang menari diterpa angin. Kepalanya menoleh ke kanan tiga puluh derajat. Hanya bagian pipinya saja yang bisa dilihat oleh Agus.

"Tidak perlu berbicara dengan formal lagi padaku. Setelah keluar dari sini, kita berdua akan sering bertemu. Tidak ada salahnya untuk menghentikan formalitas itu dari sekarang."

Nada suara yang berbeda. Tidak terasa kelam seperti pertama kali Agus bertemu dengannya. Terdengar gemerisik rumput dan harum bunga meski samar-samar. Pelajaran penting baru saja didapatkannya. Untuk memahami perasaan Joseph, cukup dengarkan saja bagaimana cara dirinya berbicara.

"Baik, aku tidak akan lagi berbicara formal kepadamu."

"Sampai jumpa tiga tahun lagi."

Agus menganggukkan kepala. Senyuman tipis diperlihatkannya, meski Joseph sama sekali tidak menoleh. Keduanya pun berpisah. Joseph berjalan menghampiri pintu gerbang, sementaraa Agus pergi bersama mobil sedannya.

Mata terfokus pada kamera pengawas di sudut kanan atas. Sosok Joseph yang terlihat mencurigakan, segera dihampiri oleh sipir yang sedang berjaga di pos.

"Apa yang sedang kau lakukan di sini? Kalau tidak segera pergi, kau bisa dianggap sebagai sebuah ancaman."

Kedua tatapan saling bertemu. Tangan kanan sipir bersiap mengambil senjata di pinggangnya. Telunjuknya bersiaga melepaskan pengaman yang terdapat pada sarung senjata.

"Aku Tamariz Marlon Joseph. Kepala Sipir pasti mengetahui siapa aku."

Sipir itu menurunkan tangan kanannya. Rasa curiga dan waspada tak lagi tergambar jelas pada tubuhnya. Dia segera menekan salah satu tombol walkie talkie yang tersemat di dada kiri. Memberikan laporan sambil sesekali menatap Joseph. Menjaga kewaspadaan tetap terjaga.

"Lapor, Penjaga Gerbang kepada Kepala Penjara."

"Diterima, ada apa?"

"Lapor, ada seorang pemuda yang terlihat masih berusia belasan berdiri di depan gerbang utama. Dia bilang namanya 'Tamariz Marlon Joseph', Pak Aji."

"Bawa dia ke kantorku. Perintahkan tiga orang sipir yang sedang berpatroli untuk menemaninya. Gunakan jalan belakang agar tidak terlihat tahanan lain."

"Siap, Pak Aji."

Perintah diterima. Sipir menghampiri sisi kiri gerbang. Menggesekkan kartu tanda pengenalnya pada sebuah alat yang tertanam di tembok dan menekan beberapa tombol angka yang tersedia. Gerbang terbuka tak berselang lama.

Joseph melangkah masuk dan berhenti setelah beberapa langkah. Ada yang mengusiknya sejak pertama kali melihat sipir itu dari dekat. Ada cairan hitam yang terus mengalir tanpa henti dari lengan atas tangan kanan. Membasahi daerah ujung lengan seragam tangan pendek sipir.

Pintu gerbang tertutup kembali. Sipir juga baru saja selesai memberi kabar kepada tiga rekannya untuk melalukan perintah yang diberikan Kepala Penjara. Begitu sipir itu berhenti melangkah dan berdiri tepat di sampingnya, tanpa basa-basi Joseph langsung bertanya.

"Apa pekerjaanmu sebelum menjadi sipir?"

"Hmm? Kenapa aku harus memberitahumu?"

Melayangkan pertanyaan balik dengan senyuman tipis. Merespon dengan santai, namun tidak disambut dengan wajah yang ramah. Sipir itu menyadari kalau candaannya tidak direspon dengan baik.

"Aku dahulu adalah seorang nelayan. Lalu, ditangkap karena menggunakan alat menangkap ikan yang dilarang. Dipenjara dua tahun, kemudian seorang sipir menawarkanku pelatihan khusus menjadi sipir setelah bebas. Aku menerimanya dan jadilah seperti diriku saat ini. Memangnya, apa alasanmu bertanya?"

"Coba gulung bagian lengan kanan bajumu. Aku ingin melihat otot tangan seorang nelayan."

Sipir itu tersenyum semringah. Memahami pada akhirnya maksud Joseph. Pertama kalinya dia dipuji seperti itu oleh orang lain yang belum dikenalnya.

"Kalau ingin mengagumi otot tanganku dari dekat, kenapa tidak bilang sejak tadi? Dengan senang hati aku akan menunjukkanya."

Lengan atas terlihat dengan jelas. Tidak ada lagi bagian seragam yang menghalangi. Kini, Joseph mengetahui dari mana cairan hitam itu berasal. Mulut ikan yang terbuka lebar menempel lekat. Gigi-giginya sangat tajam seperti jenis ikan laut dalam. Terbuka-tutup secara berulang-ulang dengan jeda waktu yang tak menentu.

"Apa tangan kananmu ini sering tertimpa sial?"

"Eh!? Dari mana kau tahu? Sudah tak terhitung berapa kali tangan kananku ini tertimpa sial. Menjatuhkan nasi padang di tanggal tua, tidak sengaja menyentuh area sensitif perempuan di kereta sampai membuatku ditampar sangat keras, menjatuhkan kartu tanda pengenalku ke sela-sela saluran air, dan masih banyak lagi. Aku sudah sangat pasrah dengan kesialannya."

Joseph menggenggam bagian belakang area di mana mulut ikan itu berada, sehingga membuat sipir itu sedikit terkejut.

"Aku bisa menghilangkan kesialanmu, tetapi ada timbal baliknya. Aku ingin kau memberikanku sebatang cokelat setidaknya sebulan sekali selama aku ada di sini."

Genggaman Joseph terlepas. Sipir itu menjauh dan mengusap bagian lengannya yang digenggam. Dia terlihat kesal dengan tawaran yang diberikan padanya.

"Tidak mungkin kau bisa menghilangkan kesialanku yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun ini. Aku sudah mendatangi banyak paranormal dan menghabiskan banyak uang untuk menghilangkannya. Jangan pikir kau bisa menipuku juga."

"Same."

Mulut hiu keluar dari dada Joseph dengan gerakan yang cepat. Terbuka lebar memperlihatkan susunan ratusan gigi yang tajam. Lingkaran hitam pekat yang menuju saluran pencernaan terpampang jelas di hadapan sipir itu. Dengan sekilas mata, mulut hiu menutup rapat. Menggigit mulut ikan yang tertempel dan membawanya masuk ke dalam badan Joseph. Sipir itu sama sekali tidak melihat apa yang baru saja terjadi.

"Jika dalam seminggu kesialan itu tidak mendatangi tangan kananmu lagi, berikan aku cokelat seperti perjanjian kita saat ini."

Ketiga orang sipir yang dipanggil akhirnya datang. Dua orang berdiri di sisi samping Joseph, sementara seorang lainnya berdiri di depan sebagai penunjuk jalan. Sipir penjaga gerbang hanya bisa melihat mereka pergi sampai tidak bisa terlihat lagi. Terdiam dengan kebingungan yang masih dibuntuti kekesalan.

Tidak ada perbincangan di antara mereka berempat. Masuk ke dalam penjara, di elevator, sampai tiba di depan ruangan Kepala Penjara begitu sunyi. Salah seorang sipir yang mempersilahkan Joseph masuk ke dalam ruangan juga tidak mengatakan apa pun. Hanya memberi isyarat tangan.

"Dua menit berpisah, aku sudah merindukan sipir yang menjaga gerbang tadi."

Baru mendorong pintu sekitar sepuluh sentimeter, Joseph tidak bisa bergerak. Aura ungu gelap yang keluar dari ruangan menusuk sekujur tubuh seperti hujan panah yang tidak berjeda. Dari sensasi itu, dia dapat memahami apa yang membuat ketiga sipir tadi begitu sunyi. Orang yang tidak punya kemampuan sepertinya juga bisa merasakan aura sejelas ini. Pertanyaannya sekarang, siapa penyebabnya.

Tangan kiri Joseph melepaskan diri dari gagang pintu. Tangan kanannya manarik lengan jaket bagian kiri. Memperlihatkan jajaran gelang dengan warna tali dan hiasan manik yang berbeda-beda. Gelang paling depan dilepaskan olehnya. Gelang bertali hitam dengan manik hitam dan putih selang-seling.

Gelang sudah bersemayam di dalam kantong depan jaket. Joseph kembali membuka ruangan di hadapannya. Tidak seperti tadi, dia membuka pintu dengan lancar tanpa hambatan. Meskipun aura yang sama masih menghunjamnya tanpa ampun.

"Selamat datang, Tamariz Marlon Joseph."

Joseph mematung. Bukan karena tidak bisa bergerak, namun terkesima dengan apa yang dilihatnya. Senyuman tipis keluar begitu saja tanpa diminta.

"Ada apa? Kenapa anda tiba-tiba tersenyum? Apa ada yang lucu dari saya?"

"Tidak, tidak ada apa-apa. Saya hanya terkesima melihat seorang Kepala Penjara yang masih muda seperti anda. Saya pikir akan bertemu pria tua yang karakternya dingin."

Penyebab telah ditemukan. Bukan Kepala Penjara, melainkan makhluk yang ada di belakangnya. Sesosok perempuan berbadan tinggi dengan rambut panjang menjuntai sampai ke pinggang. Bagian leher ke atas dan kedua tangannya terlihat seperti manusia, sedangkan sisanya seperti tumbuhan. Mata kirinya bolong. Jejak darah mengalir turun membasahi pipi. Seolah-olah matanya hilang karena dicongkel paksa.

Kedua tangan makhluk itu menggenggam dua sudut atas kursi yang diduduki Kepala Penjara. Kuku-kuku yang panjang dan tajam seakan bisa menusuk leher orang di depannya dengan mudah kapan saja. Jubah hitam transparan yang dikenakannya menunjukkan tubuh yang terbuat dari batang pohon meliuk yang saling berkaitan satu sama lain. Karena tertutup meja, Joseph tidak bisa melihat bagaiamana rupa kakinya.

"Silahkan duduk."

Adu tatap terus berlangsung. Bahkan, saat Joseph duduk pun tatapan matanya tidak teralihkan ke arah lain. Fokus pada makhluk mengerikan beraura busuk.

"Siapa namamu?"

"Nama saya? Bukankah anda sudah mengetahui nama saya dari Clarine? Tetapi, tak apa kalau memang anda lupa. Nama saya Aji Yudha. Biasa dipanggil di sini Pak Aji."

Pertanyaan Joseph tidak ditujukan untuk Kepala Penjara. Dia sengaja menggunakan bahasa yang tidak formal agar target pertanyaan yang asli memahami maksudnya.

"Mayatri ...."

Suara Mayatri berintonasi rendah dan berdesis seperti ular. Lembut dan menyeramkan dalam satu irama. Senyuman yang dikeluarkannya membuat senyuman di wajah Joseph menghilang. Makhluk astral yang bisa bicara bukan lawan yang menyenangkan. Tidak bisa diselesaikan dalam sekejap seperti mulut ikan yang menempel pada lengan sipir tadi.

"Namaku, Tamariz Marlon Joseph. Panggil aku, Joseph. Apa yang sedang kau lakukan di sini?"

"Hmm ... sudah jelas, bukan, Joseph? Saya Kepala Penjara tugasnya mengurus penjara."

Mayatri bungkam. Pertanyaan kedua tidak dipedulikannya. Pertanyaan itu bagi Joseph juga sebatas pancingan semata. Tanpa bertanya, dia sudah memahami apa yang dilakukan Mayatri di sini. Sama halnya dengan Aji, Mayatri juga mengurus penjara. Bedanya, Mayatri mengurus mereka yang tidak terlihat.

Bertanya langsung ke inti merupakan pilihan selanjutnya, meski Joseph harus berjudi dengan dua hal. Berhasil mendapatkan jawaban dan membuat Mayatri tersulut, atau tidak mendapatkan jawaban apa pun dan tidak akan bisa lagi berbincang dengannya.

"Kenapa makhluk sepertimu bisa berada di sini? Tempat ini terlalu kumuh untuk makhluk yang auranya bisa membuatku tidak bisa bergerak."

"Eh? Apa maksud pertanyaan anda, Joseph? Anda menyinggung saya?"

Raut wajah Aji yang mulai emosi tidak disadari oleh Joseph. Bukan karena tidak peduli, namun wajah Mayatri yang berukuran cukup besar berada tepat di hadapannya.

"Jaga bicaramu, Joseph. Kenapa dan untuk apa aku di sini bukanlah urusanmu. Aku akan terus mengawasimu selama ada di sini. Aku tidak bisa mengabaikan manusia yang bisa membuat seluruh pengikutku mundur dan menjaga jarak. Bahkan, untuk sekedar merasuki sipir dan mengajakmu bicara saja tidak bisa. Aku tidak tahu apa tujuanmu berada di sini. Yang jelas, aku tidak segan-segan membunuhmu jika berani berulah."

"Moz."

________

Notes: Same dibacanya same ya, bukan sem. Same adalah Bahasa Jepang dari Hiu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro