Arunya - Ha Ha Ha. Guyon :(
Berpisah tapi masih bersahabat. Apa mungkin?
Maksudku, memperlakukan seseorang yang pernah bertukar saliva ratusan kali denganmu sebagai sahabat nongkrong lagi. Obrolkan beberapa hal remeh-temeh. Nyengar-nyengir seolah nggak pernah wik wik bareng. Bakal wajar, atau awkward?
Kalaupun bisa, kurasa semuanya akan lebih rumit dan superhati-hati. Berjarak. Salah bicara, kenangan terbuka. Bersinggungan dengan topik sensitif, perang bisa saja terjadi.
Ibaratnya, kalian pernah menaiki gedung 12 lantai bersama. Di titik itu, kalian bisa melihat puncak bangunan sekitar. Terbiasa pandangi semuanya dari poros itu. Lalu harus turun ke lantai lima dan pura-pura hanya melihat tembok gedung sebelah. Itu munafik.
Kasus aku dan Gaga, setiap hari kami pasti akan bertemu di kantor. Bukan tidak mungkin keadaan memancing kami agar bicara layaknya dua orang dewasa profesional tanpa embel-embel urusan hati yang sedang pelik.
Gaga mungkin bisa profesional. Tidak denganku. Sejak dulu, aku nggak ahli berpura-pura. Kalau kesal, semuanya terbaca sampai ke jidat-jidat.
Sedang ingin memandikan Gaga dengan kopi panas. Karena mengabulkan permintaanku untuk turun di jalan pas lagi berantem di dalam mobil Lala menuju kantor.
Senewen tingkat tinggi. Nyolek=Garukan di muka sampai bedarah-darah.
Nafsu ingin hadiahi 8 kali tendangan berputar di leher Gaga. Karena nggak tegur-teguran seminggu. Dia masih marah. Sabtu kemarin kubuang Hp-nya di pekarangan gara-gara PUBG
Mau nangis dan bilang ke Gaga kalau aku benci lagu Indie! Tapi mereka terus menikmatinya berdua di ruangan Lala.
Pada akhirnya, suasana kantor jadi nggak menyenangkan karena aku nggak berbakat meng-handle emosi sendiri.
Kebimbangan itu kurasakan tiga bulan sebelum kalimat putus terlontar. Aku berusaha keras mencari jalan keluar untuk kami. Setidaknya, demi kenyamanan bersama. Jujur, kuingin berhubungain baik dengan Gaga. Sangat ingin. Sebab kami mulai hubungan ini dengan pertemanan. Akan sangat jahat bila kuposisikan dia bagai musuh. Tapi juga tidak masuk akal kalau aku bisa bersahabat dan terus ada di sekelilingnya seperti dulu.
Resign. Cari suasana baru. Kejar cinta-cita di tempat lain, yang tidak ada Gaga-nya. Semoga itu memang baik untuk kita.
***
Arunya: La. Maaf, ya. Aku masuk telat hari ini. Jam 12-an aku sampai. Nggak apa2, kan?
Lala: Oke, Nya :)
Salah satu keuntungan mempunyai bos yang berstatus sebagai teman baik: negosiasi bisa berjalan lebih mudah.
Arunya: Makasih yah, La. :*
Baru berencana memasukan ponsel, chat balasan kuterima.
Lala: Gaga msh sama kamu ya, Nya? Ponselnya nggak aktif.
Sejenak, aku menimbang-nimbang, apakah akan membalas pesan atau biarkan statusnya terbaca tanpa balasan. Lala tipe teman yang sangat jeli. Dia selalu pintar membaca situasi. Tebakannya soal reaksiku hampir tidak pernah meleset. Tempo lalu, dia tahu aku dan Gaga sudah lakukan ciuman pertama, cukup sekali lirik. Dan itu berlaku dalam beberapa moment spesial kami.
Lala juga yang paling pertama peka, kala aku dan Gaga sedang bertengkar. Sekalipun di depan semua orang, kami berusaha untuk tampil normal.
Lala... entah alasan apa yang dipakai Gaga sampai-sampai dia nggak curiga karena dua minggu penuh aku nggak berangkat kerja bareng mereka.
Lala: Dia nggak ikut kamu, ya?
Lala: Suruh jemput aku skarang dong, Nya :(
Lala: Mau minta ditemenin ke dokter gigi dulu.
Lala: udah janji sama Dr. Handoko jam sembilanan
Oke. Kuputuskan untuk menyimpan ponsel tanpa membalas.
Maaf yah, La. Aku enggak mau perburuk suasana hati. Nanti, wawancaraku kacau.
Meskipun sebenarnya suasana hatiku sudah buruk seburuk-buruknya.....
***
Helm ojek membuat rambutku kuyup oleh keringat. Langkah cepat adalah semprot parfum untuk hilangkan bau-bau tidak enak.
Di dalam ruangan, aku bertemu puluhan peserta wawancara. Kami diberi informasi tentang broadcasting development program dan bagian yang dibutuhkan.
Aku membaca slide show. Posisi yang dibutuhkan adalah reporter, creative. talent, lighting person dan camera person. Oke. Yang kuincar di sini adalah creative. Semoga pijar keberuntungan meyorotku.
Sambil menggiringku ke ruangan wawancara, Bu Nunik--salah satu staf HRD--infokan bahwa aku akan diwawancara oleh Kepala Departemen Produksi, Mas Mahesa. Sempat-sempatnya aku berpikir akan cinlok dengan mas mas Mahes ini---seperti beberapa cerita fiksi yang kubaca.
Ternyata, realita tak seindah angan. Mas Mahesa adalah bapak-bapak awal 40-an. Perawakannya kaku dan membuat perutku mual membayangkan berhadapan dengan.
"Pernah kerja di EO?" tanyanya membaca CV-ku.
"Iya."
Dia mengangguk. Kembali lanjutkan membaca. Beberapa saat kemudian alis Mas Mahesa meninggi. Pandangannya segera berpindah padaku. "Jadi kamu yang handle pesta pernikahan Raiso dan Damis Baut ya?"
Dengan bangga aku kembali mengangguk.
"Rapi anget sama Nagila juga?"
Iyes. Aku sudah terbiasa ciptakan inovasi-inovasi dan sumbangkan ide menarik dalam sebuah event sebesar pernikahan artis. Apalagi soal deal-deal budget dengan klien. Bukannya sombong, tapi kulihat Mas Mahesa mengangguk kagum.
"Track record kamu di EO cukup bagus. Kenapa ingin kerja di sini? Motivasi kamu, apa?"
Kataku, "Kerja di EO adalah nggak sengaja berujung nyaman. Sama seperti kebetulan menemukan pacar yang asyik. Tapi nggak cinta. Sedangkan, jadi bagian dari sebuah media sebesar Lux Media adalah separuh goal hidup. Sama seperti mengejar cinta seorang cowok yang ditaksir mati-matian dan akhirnya perasaan bersambut. Lalu jadian dan menikah."
Mas Mahesa tertawa. Aku harap itu tanda-tanda untuk awal yang baik.
***
Diantar Fritz, aku tiba di kantor tepat pukul satu. Tadi, begitu turun, dengan ekor mata kulihat mobil Lala baru masuk pekarangan. Jam segini mereka baru balik makan siang.
Tak mau terlibat obrolan, aku masuk lebih dulu.
"Nya, dianter siapa?" Gaga. Menaruh pantat di sisi kiri mejaku. Telunjukmya bermain di beberpaa miniatur yang kupajang sebagai hiasan.
"Temen."
"Aku kenal?"
Kutangkap nada penasaran di sana. Ini cukup menarik. Gaga---sepanjang yang kutahu---bukan pacar pecemburu. Jarang rempong soal pergaulanku dengan lawan jenis. Kubaca maksud sebenarnya pertanyaan "Aku kenal?" darinya adalah, "Kok aku baru lihat, ya?"
"Iyakali," jawabku sekadar.
Dia mengangguk. Ingin tahu lebih detil, "Temen latihan, ya? Siapa? Vian? Rafa?"
Diamku semoga dia artikan dengan baik. Bahwa aku nggak berkewajiban menjawab semua rasa penasarannya lagi.
Cabut dari hadapannya adalah bentuk lembut dari penolakan.
Cepat-cepat paham, yah, Ga!
***
Seminggu ini, ada satu kabar baik yang kuterima. Dan satu keputusan berat yang harus kuambil
Aku diterima di Lux Media.
Orang pertama yang kubuat syok dengan surat resign tentu saja Lala. Berulang kali dia tanyakan penyebab. Jelas, kupaparkan sedetail-detailnya alasan profesionalku. Dia tak puas tentu saja. Kenapa Lux Media? Sementara LALEO juga bisa membuatku terhubung dengan dunia entertainment. Nggak perlu repot berada di belakang layar kalau bisa tampil di Tivi dan bicara soal prestasi.
"Pengin cari suasana baru, La."
"Suasana baru?" Alisnya terhubung tanda bingung. "Enam bulan sekali kita bahkan ganti interior kantor!"
"No, no. Bukan itu, Sayang." Aku terkekeh. Tak menyangka, pemikirannya sesederhana itu. Mungkin Lala lupa, tema pernikahan Zombieland yang sempat viral tahun lalu, bahkan kupikirkan saat lagi di wc umum pasar. Di atas lubang kakus hitam penuh puntung rokok dan bekas eek ratusan orang.
Ini bukan tentang dekorasi kantor. Tapi siapa saja yang ada dalam kantor ini.
"Trus apa?"
"Lah?" Aku menatap Lala seolah dia baru saja melepas humor paling lucu abad ini. "Kan sudah aku bilang tadi alasannya. Ha ha. Lucu kamu!"
Rautnya belum berubah. Malah makin serius. Aku bisa rasakan tusukan matanya menembus sampai ke retinaku.
"Serius deh, Nya. Kamu ada masalah apa sama Gaga? Bilang! Kuhajar dia sampai geger otak kalau berani bikin sakit Nyayaku."
Ya, ampun. Aku sangat berterima kasih kalau Lala beramah-tamah wujudkan ucapannya.
"Kamu mau tau apa alasan sebenarnya?" Kutatap Lala, dua kali lebih dekat. "AKU MUAK LIAT PACARKU JALAN BARENG KAMU SETIAP HARI!! PUAS?"
Hening untuk beberapa saat.
Lala terdiam. Syok. Kulihat, air matanya berkumpul. Dan kulit lehernya bergerak karena paksa telan ludah.
"Hahahaha guyon!"
Pada akhirnya, kusemburkan tawaku. Lala nggak jadi menangis. Malah, mencari apa saja yang ada di meja untuk dilemparkan kepadaku.
Aku berhasil kabur. Masih dengan tawa keras hingga seisi kantor geleng-geleng dapati kelakuanku.
Sampai di pintu masuk toilet, semuanya hilang. Tawa itu cabut dari bibirku. Sekarang, mataku yang berkolam.
Guyon?
Ya. Dengan bubuhan emoticon sad di ujung.
Guyon :(
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro