Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Arunya - Done


"Mama. Ini nggak akan berhasil
Tolong suruh mereka berhenti," desahku putus asa.

Aku nggak peduli pada penata rias yang memajang wajah sebal karena polesan make up-nya kurusak dengan air mata. Ini percobaan terakhir. Sebelum semuanya terlambat. Sebelum laki-laki sialan itu datang dan sekali nafas, mensahkan aku sebagai istri.

Aku benci, ukiran inai di tanganku. Muak melihat dekorasi kamar pengantin sialan ini, sekaligus takut pada busana pengantin dan segala tetek bengeknya yang tergeletak tak jauh dariku. Jarum jam terus berbunyi di kepala, seolah menandakan sebentar lagi, hidupku akan berakhir di tangan Garandra.

"Aku nggak mau nikah sama Gaga, Ma. Demi Tuhan!"

Mama terlihat iba. Tapi aku tahu, sejak lamaran Gaga sebulan lalu diterima abangku, yang setelah Papa meninggal otomatis menjadi waliku, Mama nggak memiliki kemampuan untuk batalkan pergelaran besar ini.

Rumah sudah dihias sejak beberapa hari lalu. Walau pergelaran pernikahan nggak memakai adat Minang, tapi seluruh keluargaku tetap diundang. Itu bikin semua perlawananku jadi makin lemah. Kemarin, lihat ruangan untuk akad didekorasi dengan cantik, yang jadi buruk rupa justru hatiku. Dan hari ini, tepatnya dua atau tiga jam ke depan, aku resmi diperistri.

Aku nggak menyangka, niat baik bisa terlihat begitu buruk saat dieksekusi oleh bajingan.

Bukan sekali dua kali Gaga mampir di mimpiku sebagai orang yang mendampingiku di pelaminan. Itu masih indah dan bisa merangsang senyumku. Dulu. Karena memang dia yang kuinginkan berada di sana. Sekarang, saat terwujud, aku ingin kabur sejauh mungkin. Lari! Sampai dia nggak mampu lagi mengikatku.

"Ma, lakuin sesuatu," desakku lagi.

Mama berikan elusan di rambut dan menasihatku. Bahwa Gaga akan jadi laki-laki yang tanggung jawab. Terbukti, selama ini, dia bisa menjagaku di tanah perantaun.

Bukannya tenang, tangisku makin kencang. Kutepis tangan si penata rias sampai kuasnya jatuh ke pangkuanku. Keinginan menjambakku sampai botak terbaca di matanya. Aku nggak peduli. Bahkan setelah dia keluar dari kamar. Merajuk atau apalah itu. Malah lebih bagus kalau dia murah hati ciptakan insiden lain.

"Arunya!" Mama mencegatku yang hendak mengambil beberapa potong baju di lemari.

"Aku nggak bisa M---" Pintu terbuka. Penata rias masuk kembali kali ini ada abangku bersamanya.

Lututku langsung lemas. Meski nggak ada kata yang abangku ucapkan. Tapi sorot matanya menyuarakan "Jangan bikin Abang kecewa"

Detik itu aku tahu bahwa aku.... kalah. Aku nggak mungkin membantah pria yang sejak Papa meninggal, bermandi keringat hidupkan aku dan Mama. Sekolahkan aku sampai menjadi 'orang'. Yang rela menunda ibadah dan alihkan dana pernikahnya menjadi dana pendidikanku. Supaya aku masuk di kampus yang bagus di Ibukota.

Abang. Aku nggak bisa bikin dia kecewa.

Pada akhirnya, kududuk kembali di kursi. Patuh. Menatap kaca yang proyeksikan bayanganku. Saat kuas kembali bermain di pipiku, air mataku mengalir lagi. 

Aku menangis

Menangis.

Menangis

Menangis

Menangis

Menangis sampai mataku berpasir.

Menangis sampai kurasakan kasur yang kutiduri bergetar. Kemudian terbangun karena tersedak ludah sendiri. Butuh beberapa menit untuk pulihkan diri. Lalu cermati sekeliling. Sempat mengira ada gempa hebat. Salah! Badanku yang menggigil sampai tremornya terkirim ke ranjangku. Bergetar.

Aku... demam.

Aku masih di kostanku.

Dan aku cuma mimpi!

***

Meminjam seruan Netizen di kolom komentar, aku ingin berteriak besar, "Apa cuma gue, yang abis dilamar langsung sakit?"

Iya. Aku sakit.

Setelah insiden kabur itu, aku seperti kepompong yang bergulung-gulung di bawah selimut.  Kukerasakan musik hingga pelantang menggemuruh. Sengaja memang kubuat keributan untuk alihkan suara jantungku yang tawuran. Nggak jelas apa lagu yang terputar. Tapi cukup mampu mendistraksi pikiran. Sampai akhirnya aku tertidur dan mimpi laknat itu muncul.

Dilamar, ketakutan sampai jatuh sakit. Bahkan, mimpi yang seharusnya indah bergeser makna jadi sumber ketakutan. Kenapa semua jadi mengerikan? Garandra bukan lagi malaikat pelindung tapi ancaman.

Ya ampun. Separah itu kamu, Ga.

"Arunya. Kalau nggak sehat, kamu bisa pulang." Mas Tewa, sang Produser memerintah. "Soal tugasmu, ada Ando dan yang lain."

Ando sepakati, "Iya, Nya. Biar gue yang atur. Lo balik aja deh. Muka lo pucet gitu."

"Gue pesenin taksi, mau?" Giliran siska menawarkan.

Tadi, Mas Tewa perintahkan salah satu crew untuk membelikanku sarapan bahkan dibuatkan teh hangat oleh Siska. Betapa beruntungnya aku dikelilingi orang-orang baik dan perhatian.

"Nggak apa-apa, Mas. Biar aku di sini," tolakku lembut. Mereka nggak lagi memaksa.

Badanku memang butuh istirahat. Tapi kostan bukan tempat istirahat yang aman. Sial! Kenapa aku harus hidup seperti ini hanya karena seonggok mantan?

Aku tahu. Sangat tahu setelah ini pasti ada drama memohon lagi. Capek, ingin segera berakhir dengan orang itu. Lalu berhenti kenal. Begitu saja lebih baik.

***

Jelang sore, kudapatkan sebuah panggilan dari nomor asing. Duniaku mengharuskan aku terhubung dengan orang-orang baru. Tentu saja setiap telepon yang masuk nggak bisa seenaknya kutolak. Bisa jadi itu berhubungan dengan pekerjaan.

"Halo?"

Suara salamnya saja seperti menyetrum ototku. Aku menegang.

"Nya... bisa ketemu? Aku di depan kantor kamu."

Kupijat pelipis. Mendadak pusing. Muncul di Tv, artinya membuat pengumuman besar bahwa aku bekerja di mana. Jadi apa. Sekarang, kantor pun nggak bisa jadi markas bersembunyi. Sial!

"Garandra... Aku nggak bisa menikah. Tolong. Tolong banget. Jangan bikin aku takut dan menghindari kamu kayak pembunuh." Kujelaskan bahwa aku bisa berteman lagi dengannya. Bertemu satu-dua kali sebagai teman. Asal, dia mau menerima segala situasi saat ini. Dan berhenti ajak menikah. Itu negosiasi.

"Tapi kalau kamu ngotot, mohon maaf, aku hanya akan liat kamu sebagai psikopat. Bahkan, aku akan lapor polisi kalau kamu terus-terusan ganggu aku," ancamku.

Dia diam. Hanya suara latarnya yang kudengar.

"Ga. Kalau kamu sepakat, aku akan jadi orang baik untuk kamu. Kalian. Nggak perlu kamu datang nyari-nyari, aku yang akan ajak kalian ketemuan. Kita ngobrol. Layaknya teman. Tolong pahami. Yah, Ga? Demi kebaikan kita."

"Nya... Aku sedih kita jadi kayak gini hanya karena salah paham. Biarin aku jelasin letak permasalahannya. Supaya ini beres. Dan kita bisa fokus ke pernikahan kita. Ayo ketemuan, Nya."

Dia bebal luar biasa. Aku tutup hubungan teleponnya. Lalu mem-blacklist nomor itu. Oke, jadi dia lebih memilih kuposisikan sebagai predator. Baiklah, jangan menyesal kalau sewaktu-waktu kubuat dia digebuki massa karena terus menguntitku.

***

Seterusnya. Hidupku kesusahan. Menginap pindah-pindah. Kadang di rumah tanteku, kadang juga di rumah teman. Setiap hari, paling sedikit, ada dua nomor yang kublok. Entah Gaga meminjam nomor siapa untuk menghubungiku. Aku harus lebih giat membuat keras kepalanya surut. Semoga dia cepat capek. Karena aku sendiri sudah lelah bermain kucing-kucingan.

Di suatu malam, kudapati DM di Instagram dari aku fake.

Aku blm pernah setakut ini ditinggal orang, Nya. Tolong, jangan begini. Jangan kemana2. Tetap sama aku.

Nya.

Nya aku nggak ngapai-ngapain kamu. Aku cuma mau ketemu.

Nya.

Arunya aku kangen banget.

Nya, Mama tanyain kamu terus. Aku harus bilang apa?

Nya... Kamu bilang kalau laki-laki nangis itu banci. Aku barusan jadi banci, Nya...

Nya... Kalau nikah nanti, aku nggak akan bikin kamu nyium bau kaus kaki lagi. Aku bakal rajin ganti hoodie. Nggak akan curi stok es krim kamu, juga nggak ngeledekin kamu kalau lipstikmu keluar jalur. Sayang banget sama kamu, Nya. Ayo bicara!

Sebuah kesalahan membaca DM ini saat lagi PMS. Yang kurasakan adalah sudut mataku mendidih seperti ketel listrik. Garandra belum pernah seputus asa ini.

Dia jarang membujukku, kenapa sekarang dia arahkan seluruh kemampuannya untuk bermohon. Aku juga manusia. Perempuan. Gampan tersentuh perasannya. Separuh hatiku yang pernah mencintai Gaga, merasa kasihan. Tapi, separuh hati yang pernah dia sakiti, lantang mencemooh rasa ibaku ini. Ya, aku memang belum berniat mengubah keputusanku. Dan mungkin sampai mati akan seperti ini.

Aku takut banget nggak bisa sama-sama kamu lagi Nya.

Sudah, yah. Aku nggak sanggup lagi seperti ini. Kublokir akun itu lalu menarik selimut. Sisa malam ini sepertinya kulewati dengan menangis. Lagi....

***

Malam minggu kedua setelah mengasingkan diri, aku kembali ke tempat latihan memanah.

Dengar-dengar, Bang Nizar sedang di Taipei. Dia nggak mungkin menjadi informen soal keberadaanku pada Gaga. Kejadian kemarin nggak mungkin terulang lagi.

Aku pilih datang di atas jam 10 malam. Karena aku tahu tempat ini akan sepi. Ditinggal oleh kesibukan anggota club. Entah kencan atau sekadar jalan.

Rafa dan Vian kaget mendapatiku berlenggang masuk ke area lapangan. Mereka membembeng tas perlengkapan memanah. sepertinya akan bertolak pulang.

"Gila, Nya. Kita mau balik, lo baru datang," seru Rafa.

Aku terkekeh. Bersamalan a'la bro dengan keduanya.

"Nggak apa-apa. Latihan sendiri aja."

"Tapi Anggara sebentar lagi mau ke sini, kok. Kita temenin? Sampai dia datang?"

"Eh, nggak usah, Yan," tolakku. Lalu meyakinkan keduanya bahwa aku nggak masalah berlatih sendirian di sini. Toh memang itu yang aku butuhkan. Ketenangan.

Mereka akhirnya pergi setelah kuyakinkan berulang kali.

Aku sampai di lapangan. Berdiri sejenak lemaskan otot-otot. Tiba-tiba ingatan tentang pertengkaran terakhirku dengan Gaga di tempat ini melintas. Aku meringis miris. Apa harus berhenti dari club panahan dan juga ganti tempat latihan, supaya nggak terhubung lagi dengan Gaga? Walau sekadar tempat memorial?

Kemarin, lagi-lagi aku pindah kontrakan. Dan Gaga, nggak bisa sembarangan masuk ke kantorku karena ada security yang menahan. Aksesnya makin kecil. Aku kembali aman. Dan juga... sedikit merasa iba.

Sedikit. Nggak banyak. Dan juga belum berniat untuk luluh. Karena sedang menikmati masa pendekatan dengan Fritz. Juga, sedikit nakal membuat Oland penasaran.

Setelah memakai semua atribut keamanan, aku mulai latihan. Melubangi satu demi satu papan target dengan busurku. Nggak ada yang meleset. Aku seandal itu. Kalau sedang tenang.

Stok anak panahku habis. Aku melangkah ke arena papan target dan memungut semua busur yang tergeletak di rumput. Kuraskaan kehadiran orang lain di belakang. Sedang menuruni tangga menuju arena bermput. Pasti Anggara.

"Baru datang, Ngga," sapaku masih memungut anak panah terakhir. "Anak-anak baru aja bal---" Sial. Itu bukan Angga. Tapi, Gaga. Ekspresiku seperti melihat hantu.

Gaga melangkah pelan-pelan. Sebelah tangannya tersembunyi di saku celana. "Nya---"

"Berhenti!" seruku, antisipasi. Anak-anak panah sudah jatuh ke rumput. Tinggal busur di tanganku.

Dia mengabuli. "Nya... jangan gini. Aku nggak ngapai-ngapain kamu. Nggak perlu takut."

Bukan. Aku nggak takut soal tindakan kriminal yang mungkin dia lakukan. Ketakutanku lebih terarah ke sesuatu di balik sakunya. Aku nggak mau melihat cincin itu dan membuat memori baru. Tentang cincin yang pada akhirnya nggak akan pernah terpakai di jari manisku.

"Ajak nikah bukan solusi, Ga. Aku nggak mau jadi janda hanya karena ceraikan suamiku yang datang menghibur sahabatnya malam-malam."

Dia angkat kepala. Memejam. "Sekarang, kamu minta apa pun aku turutin, Nya. Termasuk... berhenti peduli pada Lala."

"Sudah terlambat, Ga. Aku nggak tergiur iming-iming itu."

Gaga menguras rambutnya. Kedapatan begitu merana. Aku senang melihatnya frustrasi. Tapi, saat dia keluarkan kotak merah itu dari dalam saku, aku kembali antisipasi

"Jangan tolak aku, Nya. Karena ini caraku memprioritaskan kamu. Buktiin kalau kamu satu-satunya."

"Tetap di situ," kataku, menarik busur panah. Karena Gaga tetap maju. "Aku bilang tetap di situ kalau nggak..."

Gaga memandangku tegas. Seperti menunggi konsekuensi apa yang dia dapat atas tindakannya.

"Kalau nggak... aku... aku panah kamu, Ga."

"Panah, Nya." Dia mengabuli. "Panah aku kalau kamu tolak."

Gaga menantangku balik. Dadaku seperti ditumbuk berkali-kali. Mulutku kering, pertanda gugup.

"Tapi, kalau aku sampai di situ dengan selamat, artinya, kamu terima aku." Dia mulai melangkah.

"Berhenti, Ga! Jangan buat pilihan kayak gitu!"

"Panah aku, Nya. Dan bilang kalau kamu tolak aku."

Aku sudah bilang berhenti. Ini lebih mudah, dibanding menolak sesuatu yang besar. Aku... ketakutan. Sekaligus gemetaran. Tapi, kutarik busur panahku dan mengarahkan padanya. Ini gertakan. Dan dia belum gentar. Malah, semakin yakin mendekatiku.

Gaga... terlalu yakin bahwa aku menerimanya karena aku nggak mungkin memanahnya. Tetapi, yang kulakukan di detik selanjutnya memupus segala harapannya. Kulonggarkan tarikan, arahkan mata busur ke bagian lengan lalu.... hitungan detik, benda itu terlepas dalam kecepatan penuh.

Yang kutahu, di detik selanjutnya, langkah Gaga terhenti. Dia pandangi anak panah yang menancap di pinggiran lengannya.

Darah berceceran. Baju birunya di bagian lengan penuh noda merah. Bahkan sampai menetes-netes ke rumput.

"Tancapan itu nggak dalam," kataku, tenang. "Karena kecepatannya sudah aku kurangi. Jadi, kamu hanya perlu waktu dua minggu untuk sembuh."

Kupungut anak-anak panahku. Gaga masih diam di tempat. Matanya berkolam. Aku menahan diri untuk nggak melakukan sesuatu yang memutus kesadisanku malam ini.

"Tapi, sekarang kamu tahu, kalau lamaranmu ditolak."

Aku memberesi semua barang-barang. Menyampirkan tas. Kami berdiri berseberangan. Aku nggak mau menoleh tapi kutahu mata Gaga tak putus menyorotiku.

"Tolong jadikan ini yang terakhir. Ke depan, bisa kan untuk lebih tahu diri?"

Nggak ada sahutan. Hanya napas Gaga yang kudengar.

"Makasih untuk malam ini. Dan kita selesai sampai di sini."

Setelah bilang begitu, kutinggalkan Gaga. Dia masih bungkam. Nggak ada lagi seruan-seruan namaku seperti biasannya.

Aku kuat-kuatkan diri sampai keluar gedung latihan. Nggak mau kembali. Nggak akan kembali.

Sudah. Aku dan Gaga selesai. Benar-benar selesai.

----

Kisah lajang pertama, done.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro