Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Arunya - Agfmpafhzhdydxz"@$!?!!!!

Dulu, aku yang lebih dulu jatuh cinta pada Gaga. Cara terhubung kami klise. Lala sahabat Gaga. Dan Lala juga temanku.

Sebenarnya, Lala itu senior satu tingkat yang mengulang semua mata kuliah semester lima karena pernah cuti. Kami akrab karena seleksi alam. Dunia tempatkan orang-orang nggak populer seperti kami di sudut-sudut kelas yang susah dijangkau mata minus dosen. Bersama sarang laba-laba, dan nyamuk Aedes Aegypti.

Gaga beda kampus. Tapi kami sering bertemu sesering aku bertemu Lala.

Kalau ditanya kenapa aku menyukai Gaga? Simple, dia punya banyak alasan untuk dicintai kok. Wajah dan kepribadiannya sama-sama tampan. Paling penting, laki-laki yang berhasil membuat orang introvert banyak bicara, kurasa itu menarik.

Bukan aku yang introvert. Tapi, Lala. Dia sangat tertutup pada orang lain. Dengan Gaga? Banyak bicara. Menarik, bukan?

Kami main bareng. Sampai lulus kuliah dan akhirnya satu tempat kerja juga.

Tentang perasaanku pada Gaga. Ini adalah jenis jatuh cinta yang santai. Diungkapkan, sukur. Nggak diungkapkan pun biasa saja. Nggak merana-merana amat. Aku nikmati gebukan jantungku setiap kali interaksi dengannya di kantor. Juga, sedikit cemburu lihat dia gonta-ganti pacar. Cemburu doang, nggak tersiksa sampai pengin mati kok.

Berdoa dia putus? Sering.

Bayangkan dibonceng dia ke mana-mana? Jangan ditanya, setiap hari!

Kesem-sem saat dia pakaikan jaket ke ceweknya? Banget! Dan berharap aku yang ada di posisi itu.

Itu harapan-harapan yang kutulis di dalam Blog pribadi dengan identitas rahasia. Di sana, aku selipkan nama Gaga. Hanya Gaga bukan nama asli. Ada beribu orang yang bernama Gaga bukan? Aku nggak perlu khawatir dibaca oleh orang-orang yang kebetulan mengenal kami.

Suatu hari, karena keteledoranku tinggalkan PC ke toilet tanpa mengaturnya ke mode sleep, Lala membaca isi blog-ku. Mula-mula, dia biasa saja seolah nggak tahu apa-apa. Lalu kabur dari kubikelku ke ruangannya.

Beberapa lama kemudian, aku menerima WhatsApp darinya berisi foto-foto tulisanku. Sial! Tak hanya membaca, dia juga mengabadikan. Tak lupa diselipkan pujian, "Ini manis banget, Nya! Aku bantu bilang ke Gaga?"

Di momen makan siang bareng, terang-terangan Lala menunjukkan itu ke Gaga. Sumpah, aku ingin pindah ke Piroxima B saat Gaga alihkan mata dari ponsel lalu menatapku sekejap. Dia bilang, "Makasih ya, Nya."

Aku malu mampus. Menarik diri dari Gaga dan Lala. Minimkan kebetulan bertemu lewat cara apa pun. Gaga biasa saja. Nggak menghindar, nggak juga tunjukan tanda-tanda kalau dia punya perasaan yang sama. Apalagi risih atas kehadiranku. Cuma aku yang nggak enak.

Setiap hari kita bertemu di kantor. Aku sering kabur kalau terlibat dalam satu frekuensi obrolan.

Berapa kali, Gaga datang ke tempatku berlatih memanah. Bukan sengaja. Bang Nizar, abangnya Gaga, adalah ketua club memanah sekaligus pemilik tempat itu.

Biasanya, Gaga akan menyapa, "Hai, Nya. Latihan?" Lalu kubalas dengan anggukan. Dia tersenyum. Lantas pamit pergi. Terus seperti itu.

Aku jadi saksi putusnya Gaga dengan beberapa cewek. Terakhir, Felisha. Setelah itu, berbulan-bulan dia nggak punya gandengan.

Sebulan sebelum ulang tahun, Gaga mulai bersikap aneh padaku. Dia kerap kali menggangguku saat belajar akulele bersama bang Nizar atau teman-teman dari club memanah lain.

Menyindirku dengan lagu-lagu gombalan.

Aku nggak bodoh-bodoh amat tentang urusan percintaan. Kutahu Gaga sedang mendekatiku. Fakta itu juga disampaikan Lala dengan pelukan sambil berbisik, "Nyaaa. Kayaknya Gaga mau nembak kamu deh. OMG, Nya! Aku seneng! Semoga kali ini, gak putus-putus lagi, yah. Kasian Gaga. Aku bosen liat dia patah hati terus" 

Ya. Prediksi Lala memang benar. Suatu malam. Beberapa jam sebelum aku ulang tahun ke-24, anak itu memberiku akulele dengan syarat aku mau jadi pacarnya.

Kami pacaran.

Dan sekarang, laki-laki itu sedang di depan kontrakanku dalam usaha mengambil hati atas kejadian di Pensi tadi.

"Nya, aku minta maaf. Karena maksa kamu datang ke Pensi dan dengar lagu-lagu Indie. Buka pintunya, please?"

"Pikiranmu yang harus dibuka, Ga!"

Itu kalimat terakhir sebelum aku tidur. Soal Gaga, terserah. Dia mau membangun perkemahan di depan pintu, atau membangun rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah malam ini dengan setan pun bukan urusanku. Yang penting, besok pagi, dia sudah harus pergi dari sini dan nggak boleh melihatku mengangkut barang-barang untuk pindah ke kontrakan baru.

Kontrakan baru, Ga! Jangan harap kamu punya akses untuk ketemu lagi.

***


Hari kesepuluh memakai seragam, adalah waktu dua minggu berhenti kerja di LALEO.

Sebentar, kutegaskan sekali lagi, aku memakai seragam! Ya Tuhan! Ini menyenangkan sekali. Sepatu delta, celana chino, dan seragam berwarna marun lengkap dengan bordir logo Lux Media di dada. Juga logo budge di pundak.

Seragam kerja kami ada dua. PDH itu pakaian dinas harian, kugunakan sehari-harinya di kantor. Dan Pakaian Dinas Lapangan saat bertugas di luar.

Aku terlihat keren dan beraura 'pekerja'.

"Eh, Arunya." Kepala Mbak Wira, Production Assistant menyembul dari ruangan yang digunakan tim inti untuk brainstorming. "Bintang tamunya udah dikasih tahu, kan? Jangan pakai warna hijau. Nanti tabrakan sama green screen."

"Sudah kok, Mbak."

Jempol Mbak Wira teracung.

Satu jam kemudian, setelah rundown sudah fix. Untuk pertama kali aku ditugaskan membuat script voice over. Senang sekali rasanya. Ini sedikit ringan dibanding script untuk host. Aku masih perlu belajar manajemen waktu dalam menulis dan kenali karakter host dalam acara yang kami handle. Supaya ke depan, nggak ada masalah-masalah yang muncul karena durasi.

"Nya, makan siang yuk."

Sudah pukul 1 saat Fritz mengajak. Kami  memilih kantin Studio dua agar dekat dengan lokasi aktivitas.

"Nya, kamu masih sama Gaga?"

Kunyahanku melamban. Kenapa harus Gaga yang dibahas sih? Padahal, Fritz nggak kenal-kenal banget. "Emang kenapa?"

"Ya, nanya aja. Kamu pelit informasi di medsos sih. Aku jadi nggak update."

Aku terkekeh. Fritz benar. Orang-orang nggak akan bisa mencomot informasi pribadiku lewat medsos. Siapa orangtuaku, berapa jumlah saudara, siapa pacar dan lain-lain, itu semua nggak kupublish di Instagram. Akunku adalah tempat sampah menampung potret-potret hasil gabut. Kalau ada yang kupost, mungkin hanya soal pekerjaan.

Soal Gaga, beberapa kali dia majeng di feeds Instagramku tapi beramai-ramai dengan anak kantor. Orang nggak mungkin tahu dia pacarku karena dalam tangkapan gambar itu, dia satu-satunya makhluk bertestis yang dkelilingi deretan perempuan-perempuan.

"Udah putus. Ada kali satu stengah bulan."

"Eh, serius? Kalian bukannya ada rencana nikah, ya?"

"Namanya juga orang pacaran, obrolan tentang masa depan pasti ada. Tapi belum ada ancang-ancang kok. Lagian, hubungan itu tuh udah toxic banget. Sayang lah, yah, dibawa jauh-jauh. Hehe. Sini aja cukup."

Fritz angguk-angguk. Sebagai mantan manusia yang "tersakiti" dalam hubungan, kurasa aku berguru padanya. Pacaran tiga tahun, persiapan nikah, sudah hantaran, trus spupuku putusin begitu saja. Alasannya, cinlok dengan teman kantor dan merasakan chemistry lebih kuat dengan cowok baru itu. Bangsat nggak tuh perempuan. Hanya tiga bulan berselang, sepupuku nikah sama tuh cowok. Sekarang, bahagia sih. Tapi aku berharap mereka kena karmanya.

Astaga. Harusnya Fritz yang dendam kesumat.

"Belum jodoh, Nya. Nggak apa-apa. Mungkin, setelah ini, dipertemukan dengan yang pas?"

Ah, benar juga. Lingkungan baru. Orbit pertemanan baru. Kesempatan bisa lebih lebar.

Di LALEO mana bisa cinlok dengan cowok lain? (Kecuali orang lapangan yang dicalling pas ada event) Semua karyawan tetapnya perempuan! Satu-satunya cowok cuma Gaga. Sudah pernah juga. Empat tahun. Mahabosan.

Kalau kata Ariana: Thank you, next.

***

"Perhatikan angle saat membidik, Nya!" aku memberi aba-aba pada diri sendiri. Mataku terpusat pada papan target bergambar wajah Gaga. Ya, untuk pertama kali kupakai hadiahnya. Malam ini, aku bernafsu memanahnya. Akan kupanah kepalanya yang kosong, nggak berisi otak buat berpikir. Akan kulubangi matanya yang nggak pernah fokus melihatku saja. Semua! Akan kubuat rusak malam ini.

"Nya. Chest guard-nya mana tuh?"

Seruan dari belakang. Aku terkejut. Bang Nizar masuk ke area memanah. Sial! Bagaimana kalau dia melihat muka adiknya yang kupakai sebagai target panahan?

"Aku lupa bawa, Bang," jawabku, berusaha alihkan perhatiannya.

"Oh. Kalau gitu, pinjam sama Anggara. Ingat, safety tetap nomor satu."

"Oke."

Cepat pergi. Cepat pergi. Jangan lihat ke sana. Jangan lihat ke sana. Jangan---sial! Bang Nizar memandangi papan targetku. Dia terkekeh.

"Berantem sama Gaga, ya?"

"Eng---iya, sedikit." Lebih baik begitu supaya dia cepat pergi.

"Pantas. Selama dua minggu kamu absen, dia ke sini mulu. Tanyain. Katanya, kalau ada kamu, tolong kabarin. Tadi abang sudah WA---"

"Bang Nizar kasih tau Gaga kalau aku ke di sini?"

Lelaki itu mengangguk tanpa dosa. Sungguh, sekarang, yang ingin kupanah justru jidatnya.

Dia enggak tahu, gimana ademnya aku selama dua minggu ini. Blokir nomor Gaga, Lala, dan semua yang berhubungan dengan dunia mereka. Nggak ada yang tahu alamat kontrakan baru. Absen datang ke tempat latihan memanah supaya Gaga bosan mencariku. Malam ini, Bang Nizar malah merusak usahaku.

Perasaanku jadi enggak enak. Seperti penghutang yang ketakutan didatangi rentenir. Sebentar lagi, Garandra pasti muncul di sini. Sial!!

"Arunya, Arunya..." Bang Nizar geleng-geleng. "Kalau berantem, ketemu lah. Ngomong apa kek. Jangan menghindar."

Baru saja ingin mendebat, ekor mataku menangkap bayangan di rumput lapangan. Bagus! Itu pasti Gaga. Apalagi, Bang Nizar sudah nyengir dan berlalu.

Aku menarik napas. Hitung dalam hati.

"Satu.... dua...."

"Arunya!"

Kan.

Aku pura-pura nggak mendengar, melangkah ke tepi lapangan untuk beres  alat-alat memanah.

"Dari mana aja kamu? Dua minggu nggak ada kabar? Pindah kontrakan nggak bilang-bilang. Kamu anggap apa aku ini, Arunya?!"

Jujur, selama pacaran, Gaga belum pernah berteriak seperti ini padaku.

"Ada, Ga. Kamu nggak perlu tahu lagi."

"Nggak perlu tau gimana!?"

Amarahnya belum berkurang. Yang ingin kulakukan adalah berteriak di telinga Gaga. Memintanya belajar peran baru sebagai mantan. Bukan lagi pacar. Di sini, porsi Gaga seharusnya dikurangi.


"Dengar yah, Ga," Kuatur emosiku agar tidak meledak. "Sekarang, kita nggak ada kewajiban untuk sharing dan minta pendapat satu sama lain. Aku mau ngapain saja terserah. Dan kamu sudah nggak ada hak untuk tanya-tanya! Tolong pahami itu!"

Gaga tarik lenganku, paksa agar aku memandangnya. "Siapa yang buat aturan macam itu?"

Nyaris saja aku menggampar kupingnya sampai semua kotorannya melompat keluar. Supaya dia bisa mendengar dengan baik bahwa aku... AKU! Baru saja membuat aturan. itu. Astaga, kenapa dia begitu bebal?

"Urusanmu, urusanku. Masalahmu, masalahku."

"Ga." Kutatap matanya lekat. "Kita. Sudah. Putus," tekanku lagi. Entah kata ini sudah kuulang dengan pelafalan dan tekanan beda-beda dalam sebulan ini. Apa aku harus mengaransemen kalimat ini jadi sebuah lagu? Tulis lirik, input not balok supaya mudah dipahami Gaga?

Gaga mengacak rambutnya. Terlihat begitu frustrasi. "Empat tahun, Nya!" jeritnya, merana. "Empat tahun itu bukan waktu singkat untuk bilang putus semena-mena! Ingat, apa yang kita lakuin sepanjang itu! Berapa banyak rencana yang kita punya? Hitung jumlah mimpi yang ingin kita wujudin berdua."

Semena-mena katanya. Aku tertawa dalam hati. Sebelum kalimat ini tercetus, jauh-jauh hari semua ini sudah kumasak di kepala. Dari rencana mentah sampai akhirnya jadi keputusan matang.

Enggak ada yang semena-mena. Butuh dua tahun untuk berpikir. Selama itu pula kubiarkan hatiku lebam-lebam. Lalu sembuh sendiri. Tak berapa lama, lebam lagi.

Gaga yang tolol enggak tahu, berapa kubik air mata yang kuhabiskan untuk menangisi ketidakpekaannya?

"Empat tahun," ulangku. "Dan kamu nggak ada perubahan. Apa aku harus menunggu 40 tahun lagi?!"

"Perubahan macam apa, ARUNYA?! BILANG!"

Kulihat mata Gaga memerah. Sama, kesabaranku berkurang sesuai jumlah huruf dalam kalimat Gaga. Hingga tersisa nol. Aku pergi. Gaga menahan lenganku. Kami saling tarik-menarik. Berteriak. Mengumpat. Tarik-menarik lagi. Berteriak. Mengumpat.

Aku bahkan sudah menangis sampai Bang Nizar dan beberapa teman club panahan datang melerai.

"Aku mau pulang, Bang!" Kuterpaksa melapor dengan tangisan. "Berlindung di belakang punggung Bang Nizar. Sementara Gaga masih berusaha menjangkau tanganku.

"Biarin, Bang. Jangan ikut campur urusanku!"

"Garandra!"

"Biar. Aku nggak ijinin dia pergi sebelum ngomong sampai selesai!"

"Sudah lah, Ga! Kamu jangan ngotot begitu! Besok masih bisa ngobrol lagi."

"Gimana mau ngomong? Demi Tuhan, dia block nomorku. Resign diam-diam, pindah kontrakan nggak bilang-bilang."

Bang Nizar melirikku. Mungkin, sudah bisa memaklumi ngototnya Gaga menahanku agar tidak pergi sebelum selesai bicara. "Kenapa gitu, Nya?"

Aku menahan napas. "Kita sudah putus, Bang. Dan---"

"Belum. Belum putus," bantah Gaga, tidak terima.

"Sudah putus, Astaga!" Aku menjerit frustrasi.

"Sejak kapan aku mengiyakan?"

"Ya makanya tinggal bilang IYA!"

"NGGAK AKAN!"

"IYA!!"

"HEI BISA BRENTI TERIAK NGGAK?" lerai Bang Nizar. Aku dan Gaga langsung terdiam. "Astaga... lama-lama aku yang stroke gara-gara kalian." Laki-laki itu melepas genggaman Gaga dari tanganku. Sekarang, Bang Nizar merangkulku menjauh. "Ga. Ngobrol di dalam. Jangan di sini. Nggak enak sama yang lain."

Meski masih kesal, kulihat Gaga membuntuti kami. Aku berharap, campur tangan Bang Nizar kali ini membawa hasil bagus. Semoga dia bisa membuat adiknya bisa menerima semua keputusanku.

Agh... kenapa hidupku se-Agfmpafhzhdydxz"@$!?! begini.....



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro