Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9 - Markona..

Di ruang rapat sebuah kantor.

Mata wanita itu terus memandang pria di hadapannya tanpa malu. Pria yang selalu ada selama dia pernah hidup lebih dari seperempat abad. Bisakah dia merelakan? Sepertinya sulit. Tapi, bagaimana caranya? Dia sendiri bingung selanjutnya ingin bertindak apa.

Dasar hati bebal. Sulit sekali dibuat senang. Mencoba menyamakan dengan kisah cinta bumi dan bulan? Mampukah?

Sosok raja dari bumi yang mampu melindungi Putri Bulan sekuat tenaga, tanpa meminta balasan yang terlalu sulit. Dia hanya meminta cinta tulus dari sang putri bulan. Tetapi sepertinya putri bulan takut untuk jatuh cinta kembali, takut jika kejadian lalu terulang. Takut jika merasakan cinta yang tersakiti.

Marsha terus menatap wajah Leo saat mereka sedang menghadiri rapat di sebuah ruangan besar. Tak peduli dipenuhi para investor dengan segala keseriusannya, Marsha mencoba nekat menatap sepuasanya sosok Leo. Sejak dulu selalu tampan, batin Marsha.

Ada rasa rindu karena beberapa hari ini Leo memang menghindarinya. Kalau boleh jujur, Marsha mulai merasakan rindu. Terbiasa diperhatikan, lalu tiba-tiba menjauh, jelas terasa berbeda. Marsha mencoba memaklumi, mungkin karena kehadiran sosok baru, Dalillah. Marsha tak heran, Dalillah layak diberikan perhatian lebih. Gadis itu memang cantik, memesona, dan juga punya daya tarik. Wajar kalau Leo ikut tertarik.

Marsha menghela napas. Sesekali dia kembali fokus, tapi arah mata memang tak bisa dibohongi. Tatapan Marsha kembali memilih sosok Leo sebagai pelabuhan indahnya.

Sayangnya Leo berusaha menghindar. Sadar sejak tadi ditatap Marsha, tapi sebisa mungkin dia tahan. Kali ini dia mulai sedikit lelah dengan segala penolakan Marsha. Mungkin memang sudah saat butuh pencerahan. Jika Dalillah tidak menerima, dia akan mencoba membuka diri dengan yang lain.

Lagi-lagi Leo juga melirik Marsha yang sedang menunduk kikuk. Mungkin Leo belum siap merelakan Marsha, tapi ide memberi hukuman ringan, termasuk ide yang menarik. Leo akan mengetes kadar keseriusan Marsha kepada dirinya. Jika selalu pasrah, Leo malas berjuang kembali.

Bip..

Satria : Tuan Muda Leonardo, adegan apa yang sedang aku lihat sekarang? Kalian sepertinya sedang bertengkar? Jangan membuatku seperti tukang gosip di tengah meeting seperti ini, Tuan.

Leo menatap sebal Satria yang memang duduk agak jauh berseberangan dengan dirinya. Posisi Satria memang pas menghadap Leo dan Marsha yang berhadapan dan saling menghindari kontak mata mereka. Setiap Marsha tertangkap basah menatap Leo, Marsha akan menghindar, pun sebaliknya. Sungguh pasangan bodoh.

Bip..

Satria : Kalian membuatku tertawa, awas saja kalau klien kali ini tidak bersedia join dengan kita. Aku bersumpah akan menyeret kalian ke KUA!!! Atau Marsha lo, buat gue 😎

Leo tetap tidak membalas candaan Satria yang sangat menyebalkan. Dia hanya menatap jengkel putra Sarha dengan tatapan sebal. Satria pun membalas tatapan itu dengan cengiran menggoda.

Mark dan Satria memang tidak ada bedanya. Leo menggeram dalam hati.

Meeting berjalan sempurna. Hasil kerjasama akan dilakukan secepatnya. Tak heran mereka sukses, karena Leo dan Satria menjadi tuan rumah yang sangat bisa menjamu tamu-tamu itu dengan sangat memuaskan.

"Hai, Le. Apa kabar? Sudah dua minggu ini kita enggak ketemu." Marsha menyapa Leo di depan ruangan saat mereka telah selesai bertemu dengan para tamu.

"Hai, Sha. Iya, aku sibuk dan sulit keluar kantor." Leo tersenyum ringan menatap wajah Marsha yang terlihat kikuk dengannya.

"Kamu menghindariku?" tanya Marsha pelan.

"Menghindar? Tanya dengan diri kamu sendiri, Sha! Hati dan jiwa siapa yang selalu menghindar?" Leo lalu pergi meninggalkan Marsha.

"Le, tunggu?" Marsha menahan tangan Leo.

"Kita makan siang bareng, ya?" Leo menggeleng dengan wajah datar dan tidak menatap Marsha.

"Aku sibuk dan sudah ada janji makan siang dengan seseorang, " jawabnya datar, lalu Leo pergi meninggalkan Marsha yang masih tampak diam. Menatap Leo menghilang dari balik pintu. Ini bukan Leo yang dia kenal, Marsha merutuki perbuatannya selama ini. Apakah dia menyesal? Mungkin Leo memang sudah lelah dengan dirinya, batin Marsha mencoba berfikir seperti itu.

"Sha?" Satria tersenyum manis menatap Marsha. Sebenarnya dia tadi hendak keluar ruangan, karena melihat sepasang manusia yang sedang dirudung masalah menghalangi jalannya, dia diam sejenak dan tanpa sengaja mendengarkan.

"Satriaaa." Marsha tersenyum malu, mungkin saja Satria mendengar perkataan Leo.

"Makan siang bareng, yuk, Sha?" Karena tidak sengaja mendengar penolakan Leo, Satria merasa kasihan dengan gadis cantik tersebut. Mungkin mengajak makan siang bersama akan sedikit menghibur hati gadis cantik tersebut. Biar bagaimanapun, mereka sudah kenal sejak kecil.

Selain itu, Satria memang sengaja pergi makan siang di luar kantor. Alasannya, jelas untuk menghindari seseorang.

Ingin tahu siapa? Sudah lebih dari satu minggu ini Rachel selalu datang dengan segala sifat riang dan cerianya. Datangan membawakan makan siang untuk Satria. Rachel dan segala sifatnya selalu mengganggu, bahkan hampir membuat goyah prinsipnya.

Sudah cukup bagi Satria sempat hilang kendali saat membawa Rachel ke ugd sebuah rumah sakit. Saat itu, dia bagai kekasih yang sangat perhatian untuk Rachel. Kejadian itu semakin membuat Rachel besar kepala. Buntutnya, Rachel menjadi lebih agresif dengan Satria.

Setiap hari Rachel datang dan tetap tidak bergeming dengan penolakan Satria. Dia hanya membawa makan siang dan pergi lagi, tidak ada sakit hati karena balasan Satria yang selalu ketus dan setiap kali mereka bertemu Satria selalu mengusir dan berkata tanpa menatap wajahnya.

Entah terbuat dari apa hati Si Pendek itu, batin Satria selalu dibuat bingung untuk bertingkah seperti apa. Kapan Rachel akan mundur dengan sendirinya.

Sejujurnya dia tidak tahan dan sangat merindukan Rachel untuk dia peluk. Terlebih masakan yang selalu diberikan Rachel selalu dia makan jika Rachel sudah pergi, dan kenyataan yang sebisa mungkin dia tutupi dari Rachel, tak bisa dia rahasiakan. Masakan Rachel sangat enak. Pas di lidahnya. Dia sangar menyukainya. Mirip masakan sang mama.

"Kamu mau traktik aku, Satria?"

Satria tersenyum dan mengangguk. Tidak ada salahnya menenami Marsha yang sedang kesepian dan merindukan seseorang.

"Aku traktir, kamu yang pilih mau makan di mana." Marsha tersenyum bahagia. "Yuk!" Satria menggandeng Marsha.

Mereka berjalan dengan tenang. Tidak ada rasa yang hinggap di tengah kedekatan mereka. Baik Marsha, maupun Satria saling menatap, lalu membalas senyum. Biasa saja. Tidak berdebar, apalagi gugup. Aneh.

Satria dan Marsha sama-sama bernapas lega. Setidaknya, mereka tak mau menambahi keruwetan jika mereka sampai terbawa bumbu asmara. Tidak, tidak akan terjadi.

"Leo mau kamu ajak?" goda Satria, Marsha menggeleng.

"Dia sudah pulang dan sepertinya sibuk tidak bisa diganggu." Satria tahu ada rasa kecewa saat Marsha mengatakan itu.

"Oke, pakai mobil aku aja, Sha. Tuan Putri mau makan apa?"

"Aku mau makan masakan Padang yang pedas," jawab Marsha antusias. Satria mengangguk dan hendak mengemudikan mobilnya.

"Oh, iya, Sat. Aku dengar Dalillah dijodohkan, yah?" Marsha bertanya dengan nada sepelan mungkin.

"Belum ada keputusan, Sha. Ini ulah para Oma yang merasa bersalah. Kalau tidak salah, dulu menolak perjodohan orangtuaku. Leo dan Dalillah yang jadi korban." Satria tersenyum menenangkan Marsha. Raut wajah Marsha cukup menjelaskan perasaan kecewa.

"Sha, aku kenal kalian dari kecil. Kalau boleh jujur, aku selalu melihat tatapan Leo itu penuh cinta dengan kamu. Kenapa kamu menolak dia, Sha? Hei, jangan samakan semua pria seperti kembaranmu! Leo tidak pernah main-mainz" Marsha melirik Satria dengan tatapan sebal.

"Mark itu sudah taubat, Satria.."

Marsha tertawa, sejenak dia berpikir biarlah kali ini dia bisa melupakan Leo dan menikmati candaan Satria. Toh, Satria juga dia anggap teman dekat dari masa kecilnya.

Satria mengantarkan Marsha ke kantornya setelah makan siang yang menyenangkan. Sejenak dia juga melupakan rasa terlarangnya untuk Rachel. Hari ini cukup tenang karena tidak ada hantu gentayangan di sekitar. Rachel maksudnya.

Dengan wajah riang, Satria segera balik ke kantornya untuk menyelesaikan pekerjaan.

"Si-siang, Pak.." Sekretarisnya tampak gugup dengan kehadiran Satria.

"Ada apa? Apa Nona Rachel tadi datang ke sini? Kamu bilang saya makan siang di luar, kan?" selidik Satria. Sekretaris itu mengangguk takut.

"Ehhmm, tadi saya sudah bilang begitu, Pak. Tapi Nona Rachel tetap memilih menunggu." Satria mengangguk. Dia sudah sedikit hafal dengan sifat Rachel yang tak akan pernah menyerah.

"Terus, tadi Bapak Abraham Sarha datang mencari Bapak, dan bertemu Nona Rachel.." Satria mengerutkan dahinya.

"Bapak Abraham malah menyuruh Nona Rachel menunggu Bapak di ruangan dalam." Sekretaris itu siap menunggu kemarahan sang bos. Satria memang dikenal cukup galak di kalangan anak buahnya.

"Apa?" teriak Satria kaget.

"Maaf, Pak, saya bingung mau berbuat apa." Satria hanya menghela napas. Terima saja nasib, jika dalam sehari, hidupnya selalu di isi oleh Rachel. Bagaimana mau dilupakan?

"Dari jam berapa?"

"Tadi Nona datang pukul sebelas, sekarang pukul empat belas. Saya juga belum melihat lagi di dalam ruangan Bapak. Maaf sekali lagi, Pak." Sekretaris itu menunduk takut.

"Ya sudah, tidak usah takut, kalau ada tamu katakan saya tidak ada." Satria hendak membuka pintu kantornya. Sejenak dia mengatur napas, bersiap berhadapan dengan Rachel. Terlebih dengan segala pesona Rachel yang memang mampu memperdaya seorang Satria. Keberuntungan, atau kesialan. Satria tak tahu.

Rachel gadis paling unik. Wanita yang pantang menyerah mendekati dirinya dengan lapang dada. Rachel seolah sudah kebal dengan sikap ketus Satria. Saat dia hendak membuka pintu, Satria sempat memejamkan matanya.

Menghindar kontak mata harus diupayakan, sudah lelah termakan wajah indah Rachel yang mampu merubuhkan pertahanan. Wajah riang dan bahagia yang mampu meluluh-lantahkan prinsip asmaranya. Jelas Rachel sosok berbahaya.

"Hadapi! Kamuseorang Sarha. Pria Sarha tidak mudah kalah," bisiknya pelan. Satria membuka pintu ruangannya, dia sempat menyipitkan matanya karena berpikir Rachel akan menerjangnya seperti yang sudah-sudah.

Tetapi hanya keheningan yang dia dapatkan. Di mana si biang ramai itu? Betapa terkejutnya, ketika melihat Rachel terduduk di kursi miliknya sedang menundukan kepala ke samping. Rachel tertidur, dengan posisi kepala ditundukkan ke arah pemandangan jendela. Rachel mirip murid yang tertidur di dalam kelas.

Satria mendekati Rachel dan mengelus rambut indah Rachel. Merapikan beberapa helai yang menutupi wajah putihnya, wajah kekanakkan yang mulai disukai Satria. Gadis yang sudah mampu membuat Satria hampir muda. Sulit menahan emosi jika berdekatan dengannya.

Satria menatap wajah cantik Rachel tanpa takut sipemiliknya terbangun. Mungkin ini kesempatan yang sangat tepat, karena dia dapat puas menatap wajah yang mampu menenangkan dirinya, sekalipun membuat kekacauan.

Satria menunduk dan tanpa sadar mengecupi pipi gadis riang tersebut. Hatinya melarang kuat untuk melakukan tindakan tersebut, tapi bahasa tubuhnya menentang dan memberontak. Tidak munafik, dia rindu gadis pendeknya. Perlahan Satria merapikan posisi tidurnya agar Rachel lebih nyaman. Reflek, Satria mengangkat tubuh Rachel untuk direbahkan di sofa yang lebih nyaman. Tidak ada penolakan dari Rachel, sepertinya gadis itu lelah dalam aktivitasnya.

Dengan lembut Satria merebahkan tubuh kecil Rachel. Satria membuka jas yang dia pakai untuk dijadikan selimut penghangat tubuh Rachel. Satria tersenyum menatap wajah Rachel yang semakin menikmati tidurnya. Sungguh manis. Andai bisa dia pajang di dalam kamar pribadinya.

Lagi-lagi Satria lepas kendali jika berdekatan dengan Rachel. Sudah kepalang tanggung, dengan berani Satria melepas alas kaki yang digunakan Rachel, agar leluasa mencari posisi yang nyaman. Rachel pun bergerak dan mencari posisi nyaman. Damai sekali.

Satria menatap dengan tenang, dia duduk di meja kayu di hadapan Rachel. Lama menatap Rachel. Berbagai pikiriannterus datang, terhanyut dengan perasaan campur aduk berbagai rasa. Sejujurnya, dia ingin sekali memiliki Rachel sebagai kekasih, tetapi gadis ini mengawali perkenalan mereka dengan berbohong. Itu harga mati bagi seorang Satria Sarha. Terlebih perjodohan adiknya dengan Leo masih belum ada kepastian gagal.

Satria menggelengkan kepalanya, dia lalu berdiri untuk berjalan ke meja, melanjutkan pekerjaanya. Membiarkan gadis itu menikmati tidur siangnya.

Gagal total niat sejak tadi pagi ingin menghindari Rachel. Akhirnya, gadis itu memilih tidur siang di kantornya. Satria harus fokus kembali ke urusan pekerjaan. Biarkan saja Rachel menikmati mimpi. Kalau kebetulan sampai malam tidak bangun, Satria akan menugaskan sekretarisnya menemani. Dia akan meninggalkan. Kacau kalau Satria ikut menungggu. Sama saja seperti menunggu Rachel yang sedang mengisi daya energi, lalu terbangun dengan kebangkitan tenaga Rachel yang bisa saja dua kali lebih besar dari sebelumnya. Tawa riang, ceria, berisik, agresif. Ah, Satria tak mau ada di suasana itu. Dia harus meninggalkan Rachel dengan orang yang tepat. Sekretarisnya termasuk pilihan paling aman. Ide bagus, sepertinya. Satria terus mencari cara agar terhindar dari Rachel.

"Mark..Mark.." Satria menatap terkejut saat gadis pendeknya bergumam memanggil nama Mark.

Menggeram kesal, Satria sungguh tak terima ranah teritorialnya dipakai Rachel untuk memimpikan orang lain. Mark, pula.

Satria berjalan menghampiri Rachel yang masih terlelap. "Markonaaa," panggil Rachel pelan.

Satria duduk di bawah, di samping sofa, wajahnya mendekat ke wajah Rachel perlahan. Spontan, mengecup bibir manis yang sangat dia rindukan. Satria baru beberapa kali menyentuh dan menikmati bibir itu, tetapi pemikiran sudah merasa memiliki dan menyatakan jika bibir manis itu hanya untuknya, terus menguasai.

Harapnya, hantu gentanyangan Mark bisa lenyap dari mimpi Rachel.

Rachel bergerak gelisah, karena lumatan lembut tersebut. Satria melepaskan tautan tersebut lalu membisikan sesuatu dengan pelan ke telinga Rachel. "Satria," bisiknya. Konyol, tapi Satria harus menyadarkan Rachel. Dia sungguh tak sopan, status meminjam tempat pria yang katanya dia sukai, tetapi memimpikan pria lain. Itu namanya gadis tidak tahu diri.

"Rrrrkkkkk..." Rachel mendengkur pelan yang disambut dengan senyuman geli oleh Satria. Dikecupnya lagi bibir itu. Sekali lagi dia membisikan nama 'Satria'di telinga Rachel.

Satria lalu beranjak berdiri dan duduk ke tempat semula. Dengan senyum, dia masih bisa merasakan rasa Rachel di bibirnya. Lumayan terobati. Dasar Rachel sialan. Senang sekali mengganggu prinsip orang lain.

"Satria." Betapa bahagianya hati Satria, saat namanya akhirnya  digumamkan Rachel dalam mimpi. Dia pun kembali mengerjakan pekerjaannya dengan cepat. Ditambah bersemangat, seolah mendapatkan suplemen alami untuk tubuhnya.

Biarkanlah Rachel menikmati tidur selama itu tidak mengganggu pekerjaan, batin Satria. Tanpa sadar, mereka terlarut dalam kesibukannya masing-masing, hingga matahari sudah hampir terbenam.

BUUGGHHH...

"Haduh, sakiiiit." Satria terlonjak kaget saat dia sedang membereskan berkas yang telah selesai dia periksa. Rachel berteriak kesakitan.

"Sakit." Satria bangun dan mendapati Rachel tertidur di lantai dengan posisi telungkup.

"Kamu enggak apa-apa, Chel? Haduh, ceroboh sekali, sih, Pendek." Satria membantu Rachel duduk kembali ke sofa. Rachel masih terlihat linglung, karena baru terbangun dan meringis kesakitan.

"Hidungku sakit." Rachel merengek kesakitan.

"Coba sini aku lihat." Satria menangkup wajah Rachel untuk dapat dia tatap dengan fokus. Mata Rachel terpejam dengan sendirinya, menikmati sentuhan Satria yang menurutnya perhatian.

"Sakit, Satria. Ini nyut-nyut rasanya..." Rachel masih merengek bak anak kecil jatuh. Satria melihat sedikit memar biru di ujung hidungnya. Sejenak dia tertawa Rachel terjatuh dari tidurnya. Dasar bodoh. Itu akibatnya bermimpi Si Tukang Sosor Mark.

"Duh,cengeng banget. Luka sedikit saja. Nakal, sih, tidur jangan keniatan, sampai pulas gitu di kantor orang," gerutu Satria sambil meraba pipi dan hidung Rachel dengan lembut.

"Tadi aku tungguin kamu untuk makan siang, kamunya enggak datang-datang, jadinya aku ngantuk. Terus aku mimpi kamu ciumin aku sampai aku jatuh," rajuk Rachel sambil mengerucutkan bibirnya.

"Yang suruh kamu tunggu, siapa? Lagi pula aku enggak minta kamu tiap hari kirim makan siang, Pendek," ketus Satria menutupi kegugupannya yang mencuri ciuman saat Rachel masih terlelap.

"Tapi, aku enggak mau kamu telat makan. Aku maunya tiap hari kamu makan masakanku," rajuk Rachel lebih manja yang sejujurnya mulai disukai Satria.

"Haduh, dasar keras kepala." Satria beranjak bangun.

"Hua, sakit, kepalaku pusing. Hidungku terasa ngilu ini. Apa jangan-jangan patah lagi hidung aku." Rachel merengek sekali lagi dan Satria langsung duduk kembali dan menangkup wajah Rachel dengan panik.

"Yang mana yang sakit?" tanya Satria lembut, Rachel menunjuk hidungnya. "Hidungku terasa nyeri, patah kali, yah?"

"Biru sedikit, nanti juga hilang kalau kamu pakai krim pereda. Muach." Satria mengecup hidung Rachel dengan sayang. Dia lalu menatap wajah Rachel yang terpejam menikmati,  lalu dia kecup kembali hidung Rachel.

"Hmm, bibirku juga sakit, Sat," cicit Rachel tanpa malu. Satria yang sadar, jika sebenarnya dia lagi-lagi lepas kendali, akhirnya menatap jengkel Rachel.

"Jangan mulai nakal, Pendek!" sinis Satria, dia kembali sadar harus menghindari Rachel.

"Sat, kenapa aku bisa tidur di sini? Terus ini jas kamu, kenapa ada di sini? Terus, ini aku kenapa jadi lepas sepatu? Kamu yang bukain, yah?" Rachel tampak bingung dengan situasi yang berubah sebelum dia tidur. Satria tampak bingung dan segera berdiri. Menghindari pertanyaan selanjutnya dari Rachel.

"Sudah, kamu pulang sana! Aku juga sudah mau pulang." Satria berdiri dan mengambil jas yang terjatuh di lantai. Sementara Rachel, masih duduk termenung memikirkan keanehan kenapa dia bisa tidur di sofa.

"Perasaan aku tadi lagi duduk di kursi itu. Ah, sudahlah." Tangan Rachel menunjuk kursi milik Satria.

"Cepat pulang sana! Aku mau ada urusan lagi," ketus Satria. Rachel hanya diam sambil memegangi perutnya, dia lalu membenahi dirinya yang terlihat berantakan.

"Aku lapar Satria." Satria berusaha tidak peduli, karena dipastikan dia bisa lepas kendali. Satria menahan keinginan untuk membantu Rachel. Sekila melirik, Rachel memang sedang memegang perutnya. Mungkinkah dia kelaparan akut? Bagaimana kalau dia sampai mati kelaparan? Satria menggeleng. Berusaha tidak terpancing. Rachel sudah besar, bisa menyelesaikan urusan perut kosongnya.

Drt.. Drt.. Drt..

"Pulang sana!"

"Iya, aku akan pulang," jawab Rachel tak sakit hati. Sepertinya sudah terbiasa. Rachel memilih bersiap berdiri, dan mengambil ponselnya yang berbunyi.

Rachel menerima panggilan saat dia hendak berdiri untuk pamit. Wajah cerianya terlihat ketika menatap layar ponsel.

"Halo, ada apa, Markona Sayang?" Seketika Satria membalikkan badannya, menatap wajah Rachel dengan garang. Terlebih wajah Rachel sangat ceria menerima panggilan tersebut.

"Apa? Kamu mau ketemu aku? Ada apa? Kencan? Pasti lagi ada maunya? Kebetulan aku laper, Mark. Jemput, dong! Aku enggak bawa mobil. Sekarang aku di kantor Sat..." Tiba-tiba Satria merebut ponsel milik Rachel dan mematikan sepihak.

"Kenapa dimatikan?" Rachel tampak bingung. Satria menarik tangan Rachel.

"Ayo, aku antarkan kamu! Katanya mau makan, bukan? Sekalian kita makan malam aja," jawab Satria datar, tapi tetap menarik tangan Rachel untuk mengikutinya.

"Aku mwu makan bareng Mark saja. Katanya kamu sibuk akan bertemu klien Satria.l," jawab Rachel tersenyum lembut. Dia tak masalah jika ditinggal Satria.

"Satria, aku tidak apa-apa kalau kamu tidak mau menemaniku. Mark mau mengajak aku makan di luar," jawab Rachel jujur, semenjak tahu Satria tidak suka dibohongi, sebisa mungkin Rachel akan berkata jujur tentang apa saja yang terjadi pada dirinya.

"Aku bilang sama kamu, ayo masuk!" titah Satria memang tidak terbantahkan. Sekarang mereka sedang berada di mobil. Setelah ditarik paksa oleh Satria dan Rachel ikut-ikut saja. Beruntung keadaan kantor sudah mulai sepi.

"Kamu mau makan apa?"

"Tadi kamu bilang ada pertemuan dengan klien? Kenapa sekarang kamu malah mau antar aku makan?"

"Dan membiarkan kamu pergi dengan pria lain?" ketus Satria.

"Mark itu kakakku juga," jawab Rachel santai

"Kakak kamu Leonardo," tegas Satria. Sejenak Rachel bepfikir. Apa Satria cemburu, yah?

"Kamu aneh, Satria," goda Rachel.

"Kamu yang aneh, Mark kamu anggap kakak," bela Satria sedikit ketus.

"Dia memang kakakku," cibir Rachel dengan nada menggoda.

"Kamu mau makan apa?" Satria berusaha tidak terpancing, sesungguhnya dia sudah terpancing.

"Mau makan kamu." Rachel tetap menggoda Satria.

Bip...Bip... Mark

•Markona : Sekutu abadiku, pasti kamu lagi sama Satria, yah? Jangan bilang dia yang mematikan panggilanku?

•Me : Hihihihi iyaaaaaaaa..

•Markona : Good, apa dia cemburu? Ibu tiri bodoh.

•Me : Cemburu? Aku enggak tahu Mark, tapi dia langsung mengajak aku makan dan sepertinya dia kesal dengan kamu.

•Markona : Buat dia cemburu dengan kamu, membicarakan pria lain atau kamu minta carikan dia pria untuk kamu ajak berkencan.

•Me : Oke... Mark sepertinya abang akan dinner sama Dalillah, tadi pagi aku dengar dari pembicaraan mereka ditelepon

•Markona : Thanks, sekutu abadiku. Muachh..

•Me : Tium donk xoxo.

"Hihihihi..." Rachel terkikik geli dengan kesibukannya membalas pesan dari Mark. Satria tampak risih dengan Rachel yang tidak memperdulikannya.

"Ngapain, sih, ketawa enggak jelas? Ada orang juga di sampingnya, malah sibuk sama dunia sendiri," ketus Satria. Sebenarnya dia penasaran dengan siapa Rachel tertawa.

"Enggak apa-apa, My Hero.." Satria melirik curiga wajah Rachel.

"Kamu mau makan apa?" tanya Satria mulai melembut.

"Hmmm, aku mau shabu-shabu. Satria mengangguk dan mencari restoran Jepang menuruti permintan Rachel. Kebetulan ada sebuah mall yang dekat dari jarak mereka berada. Mereka memasuki mall dengan tenang dan sampai di salah satu restoran Jepang dengan cepat. Tidak hanya Rachel yang kelaparan, Satria juga ternyata.

Saat mereka telah duduk di restoran Jepang itu. Mereka mulai sibuk mencari menu makanan yang akan dimasak. Restoran dengan konsep memasak sendiri makanan yang dipesan. Satria dengan telaten memasak dan memberikannya kepada Rachel, begitu juga dengan Rachel yang sangat perhatian terhadap Satria. Terlihat kompak.

"Makan daging ini, Pendek. Biar masa pertumbuhan kamu semakin meningkat!" Satria menyuapi daging panggang dengan sumpitnya. Rachel menikmati, sejenak mereka memang seperti sepasang kekasih.

"Makannya pelan-pelan, Pendek! Mulut kamu penuh makanan." Rachel mengembungkan mulutnya, sambil mengunyah semua makanan hasil pemberian terus menerus dari Satria.

"Kamu mau bikin aku keselek? Sejak tadi kamu kasih makanan tanpa henti. Uhuk.." Satria tersenyum dan memberikan Rachel minuman. Mereka terlihat sangat menikmati kebersamaan dan lagi-lagi Satria hilang kendali.

"Wow, jadi ini alasan kamu tidak menjawab telepon dari aku, Rachel kesayangan aku?" Akhirnya pengacau hidup Satria hadir di hadapan mereka. Rachel terlihat sedikit kesal dengan kehadiran Mark yang tidak tepat waktu. Kapan lagi menikmati perhatian Satria.

"Mark." Satria terlihat sebal dan salah tingkah dengan kehadiran Mark. Mengganggu. Belum lagi mulut tak sopannya. Dipastikan akan dijadikan bahan ledekan.

"Markona," cibir Rachel jengkel.

"Loh, Satria dan Achel lagi jalan berdua?" Ada lagi pengacau. Marsha datang dengan wajah terkejut. Rachel tersenyum malu-malu, sementara Satria terlihat kikuk. Jujur dia belum siap orang lain tahu jenis hubungan yang sedang dia jalani dengan Rachel. Sudah ada Mark, ditambah Marsha. Tidak sekalian saja orangtua mereka berdua.

"Ayo, jujur! Kalian sedang apa?" tegas Mark dengan nada menerka sok lugu.

"Hmmm, aku lagi minta bantuan sama Satria, Sha. Mau minta didesain kafe yang menarik. Aku mau rombak kafe ke konsep baru. Iya, kan, Sat?" Rachel mengedipkan matanya ke Satria dan dengan bodohnya Satria mengangguk setuju.

"Wah, keren juga gaya lo, Kakak Satria. Meeting dibumbui acara suap-suapan.." sindir Mark yang dibalas pukulan ringan di lengan oleh Satria.

"Ayo, makan bareng, Sha!" Satria mengajak Marsha duduk di kursi di sebelah dirinya. Kebetulan mejanya berbentuk bundar dengan alat kompor memasak dan memanggang berada di tengah meja tersebut. Mark dia acuhkan. Demi kebaikan bersama.

"Sikembar selalu jalan berdua? Akur, ya. Aku kira kembaran kamu sukanya jalan sama mainannya." Satria berusaha santai dengan keadaan. Marsha duduk di samping Satria, sementara Mark di samping Rachel.

"Aku diajak Mark." Marsha tersenyum melirik Mark.

Sementara Mark, sedang memberikan kode kepada Rachel. Berbisik lebih tepatnya. "Aku lagi ngikutin Dalillah sama Leo, mereka juga lagi ada di sini. Marsha di luar rencanaku. Kebetulan dia telepon minta dijemput," ucap Mark pelan ke Rachel. Satria tampak curiga dengan kedekatan mereka.

"Marsha jangan sampai tahu. Kasihan," balas Rachel. Itu juga yang sedang dipikirkan Mark.

"Mark, kamu mau apa biar aku ambilkan?" Marsha hendak mengambil beberapa bahan makanan yang akan mereka masak ditempat yang disediakan.

"Oke, aku ke situ." Mark berjalan santai, sempat memberikan senyum manis pula untuk Satria.

Satria mendekatkan wajahnya ke telinga gadis pendeknya saat mereka tinggal berdua. "Hubungan jenis apa yang kamu punya dengan Markona-mu itu?" bisik Satria tegas dengan aura kecemburuan.

"T-T-M mungkin," goda Rachel.

"Berani kamu?" ancam Satria, Rachel geleng-geleng sambil tertawa. Ingin rasanya Satria mencubit gemas pipi yang selalu tersenyum indah nan menggoda itu. Sayang di tempat umum. Sungguh, kenapa Satria mudah lepas kendali jika menyangkut Rachel.

"Kakak?"

"Rachel?"  Leo dan Dalillah tampak tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Satria lebih terkejut. Dia masih terlihat tidak siap sebenarnya, jika dihadapkan pertemuan mendadak seperti ini. Sementara Rachel, bersikap tenang dengan senyuman ceria.

"Abang." Leo dan Dalillah menghampiri kedua saudaranya tersebut penuh tanda tanya. Tadinya mereka ragu memperhatikan sosok kedua saudaranya di depan restoran. Kemudian akhirnya memutuskan untuk masuk. Ternyata benar.

"Lil, kenalkan ini adik aku, Rachel. Saat acara makan malam di rumah kamu, dia enggak bisa datang." Rachel tersenyum manis membalas salam perkenalan dengan calon adik iparnya, batin Rachel berkhayal.

"Hai, kamu pasti Dalillah, kan?" Rachel mengulurkan tangannya, Dalillah membalas dengan ramah. Sebenarnya dia sedikit heran dengan pertemuan yang bisa dibilang langka untuk dia saksikan.

Kakak jalan berdua dengan seorang wanita?

"Iya, Rachel, senang akhirnya bisa bertemu kamu." Dalillah tersenyum dan menatap wajah Rachel teliti. Kalau tidak salah, Rachel juga dianggap adik kecil tersayangnya Mark. Dalillah sedang bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah Rachel gadis yang belakangan ini membuat Satria aneh. Menarik juga. Kesempatan gagalnya perjodohan ini bisa berganti pasangan. Kakak Satria dengan Rachel, sementara dirinya bisa main-main dengan Mark. Dalillah menggeleng. Kenapa Mark harus masuk ke daftar kemungkinan untuk dirinya? Mimpi buruk.

"Kamu ngapain di sini, Dek? Sama Satria?" lirik Leo penuh selidik. Akhirnya dia sedikit yakin, ternyata benar yang adiknya bilang, kalau dia dekat dengan Satria. Permintaan Rachel untuk dikenalkan lebih dekat dengan Satria memang datang dari kemauan Rachel.

"Kami lagi makan bersama. Tuh, ada Marsha dan Mark juga." Satria menjawab lalu menunjuk si kembar yang sedang akur mengambil bahan makanan. Kebetulan yang menguntungkan.

"Mark?" Dalillah menatap tak percaya dengan kehadiran Mark.

"Hai, Manis, sedang apa kamu di sini?" Mark tampak santai melangkah mendekati mereka, bersama piring penuh dengan daging dan seafood mentah. "Yuk, makan bersama. Ini baru seru." Setidaknya niat awal membuntuti Leo dan Dalillah terlaksana tanpa bersembunyi. Situasi sekarang mendukung.

Dalillah merasa tak nyaman, sebenarnya. Sedikit merasa tidak enak dan bersalah karena jalan berdua dengan Leo. Tapi Mark tampak berusaha santai.

"Kita seperti reuni keluarga saja. Ayo, makan bersama aja!" Mark duduk kembali di samping Rachel. 

Marsha berjalan pelan ke arah mereka, ada rasa kecewa dengan kehadiran pasangan baru tersebut. Satria seolah mengerti, memanggil Marsha. "Sha, duduk di sini." Marsha tersenyum, lalu duduk di samping Satria.

Sementara Leo dengan reflek duduk di samping Marsha, Dalillah otomatis duduk di antara Leo dan Mark.

"Hai , Lilah? Apa kabar?" tanya Marsha tanpa menatap Leo di sampingnya.

"Baik, Sha. Tambah cantik kamu, Sha.." Marsha tersenyum sopan dengan Dalillah.

"Iya dong, cantik, kembarannya selalu menjaga dia dengan sangat baik dan bersahaja," balas Mark memecahkan keadaan yang sedikit tidak enak antara Marsha dan Leo.

"Ah, Markona bisa saja. Sebaliknya, Marsha itu batin kembaran sama kamu." Rachel membalas candaan Mark, dibalas senyuman oleh Dalillah.

"Markona? Panggilan yang sangat cocok." Dalillah tertawa mendengar nama panggilan Mark dari Rachel.

"Sweety Rabbit, jangan buka rahasia! Mau aku buka video itu yappphh..." Rachel membekap mulut Mark membuat semua mata bertanya-tanya.

"Video apa, Mark?" tanya Satria yang sejak tadi hatinya sudah sangat jengkel melihat kedekatan Mark dengan Rachel.

"Video CPR di dalam mobil." Mark mengedipkan matanya ke Satria yang tampak bingung.

"Ayo, makan! Nanti hangus ini dagingnya. Satria, masukin lagi, dong,dagingnya!" Rachel mengalihkan perhatian agar tidak membahas video tersebut. Mark hanya mempersembahkan cengiran maut ke Rachel.

"Hei, Manis. Selamat, ya, kudengar kamu dijodohkan dengan Leo," bisik Mark ke Dalillah. Ada rasa kecewa dalam diri Dalilah, ternyata Mark bersikap santai. Jadi, sejak kemarin, dia yang bodoh berpikir Mark akan kecewa?

"Tapi perjanjian kita tetap berjalan. Setiap minggu, kita harus jalan bersama, Manis. Jika tidak, aksi sosoranmu akan aku ceritakan ke Kakak Satria," bisik Mark tegas penuh penekanan. Dalillah hanya mengangguk dan tersenyum jengkel dengan Mark, walaupun hati kecilnya sedikit bahagia. Dengan Mark, dia merasa tertagtang.

"Sha, kamu mau udang? Ini enak, loh." Satria hendak memberikan udang panggang ke piring Marsha.

"Marsha alergi udang." Tiba-tiba Leo yang menjawab. Satria hanya terkekeh geli menatap Leo yang dari awal paling diam diantara semuanya. Wajah Marsha sedikit tersenyum ternyata Leo masih perhatian dengan dirinya.

"Haduh, Abang masih ingat saja Marsha alergi. Giliran aku alergi apa, enggak tahu," goda Rachel. Berharap hubungan Leo dengan Marsha kembali membaik. Dan hubungan dirinya dengan Satria bisa berjalan lancar. Lingkaran ini penuh konspirasi.

"Memang kamu alergi apa, Chel?" Dalillah berusaha tidak terpancing akan tindakan Leo. Biar bagaimanapun, dia akan menghormati keputusan Leo. Toh, dia belum memakai hati dengan Leo.

"Dia alergi CPR di dalam mobil," goda Mark sekali lagi. Rachel menatap garang wajah sekutu abadinya itu. Mark bertingkah super menyebalkan dengan niat membuat Satria cemburu.

"Apa, Mark? CPR di dalam mobil?" Satria menatap Rachel dengan tatapan meminta penjelasan.

"Dasar Markona," gerutu Rachel kesal. Tatapan Satria sungguh sarat makna. Satria pasti akan meminta penjelasan dari ucapan sialan Mark. Senang sekali Mark meruwetkan masalah.

***
Salam Ruwet
Mounalizza

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro