8 - Sekutu Abadi
Di ruang kerja Satria.
Sial, itulah yang dirasakan Satria saat ini. Memikirkan Rachel adalah kesialan yang tak bisa dia cegah. Benar-benar mengganggu konsentrasi dalam bekerja dan segala aktifitasnya.
Rachel Arga Rahadi, nama itu selalu bisa dan mampu menerobos masuk tanpa permisi ke otaknya. Mendorong, lalu menyingkirkan apa yang seharusnya tak boleh dimasuki.
Harus bagaimana lagi Satria mencoba menghilangkan bayangan wajah menggemaskan Rachel, tapi tetap tidak berhasil. Rachel mampu bersembunyi di sudut paling terpencil di otak Satria. Muncul sesuka hati, tanpa peduli waktu dan tempat dalam segala kondisi.
"Benar-benar sialan. Sudah lebih dari satu minggu aku enggak bisa hilangkan kamu dari pikiranku," bisik Satria di ruangan kantornya. Dia memejamkan mata sambil bersandar di kursi. Sesekali memijit pelipis, tanda lelah berpikir. Bahkan memejamkan mata sekilas saja, bisa terlihat wajah Rachel yang memesona bagi Satria.
Bip.. Satria menekan tombol jawab dari panggilan sekretarisnya.
"Maaf, Pak, ada yang mau bertemu dengan Bapak, tapi dia belum atur janji."
"Siapa?" jawab Satria sambil bersandar di kursi kebesarannya dengan menutup mata.
"Nona Rachel Arga Rahadi." Satria terlonjak kaget mendengar tamu yang datang ke kantornya di siang hari ini. Spontan, wajahnya membentuk senyuman bahagia.
"Suruh masuk! Dan tolong batalkan semua janji saya sampai sore. Buatkan minuman juga buat kami." Ada rasa bahagia menyambut kedatangan Rachel, setelah satu minggu ini Satria berusaha keras melupakan Rachel, faktanya gagal total.
Bagai penyelamat kegundahan, Satria berpikir, Rachel memang memahami kegalauan dirinya. Buktinya dia datang tanpa diundang. Itu namanya pengertia, kan?
Satria merapikan posisi duduknya. Mengumpulkan kekuatan agar tidak terperdaya atas kedatangan Rachel. Sebisa mungkin harus dia kuasai tingkah hati yang kadang suka seenaknya keluar batas.
Pintu terbuka, dan Satria sudah tahu siapa gerangan.
"Siang, Satriaaa." Rachel tersenyum lucu saat masuk membawa kantung plastik besar. Salahnya Satria memilih menatap Rachel. Bohong kalau Satria tidak terpancing. Gadis itu sangat cantik. Memakai topi bunga yang bertengger manis di kepala, rambutnya digerai sebahu, mengenakan rok selutut dengan motif bunga dan atasan polos warna baby pink. Semua terlihat kontras dengan rok yang dia pakai.
Rachel bagai gadis penjual bunga yang sangat cantik. Pipinya sengaja dipoles riasan segar berwarna merah muda. Satria tak tahu apa namanya, yang pasti Rachel terlihat amat segar. Matanya hitam tajam, bibirnya kecil yang memang menjadi bagian kesukaan Satria. Sempurna, itulah yang Satria rasakan saat ini.
Antara terpesona dan kesal. Satria berpikir, pasti sepanjang jalan, banyak pria memuji tampilan manis Rachel. Andai dia kekasih Satria, sudah pasti akan Satria larang merias diri seperti ini. Lebih baik berpenampilan gembel, agar mata pria tidak terlena. Rasanya Satria mau merias asal Rachel.
"Satriaaa," sapa Rachel sedikit manja. Dia masih berdiri di depan pintu, sementara Satria menatap Rachel dengan wajah tak bisa dibaca Rachel. Yang pasti, Rachel merindukan Satria. Butuh keberanian besar datang ke ranah pribadi Satria.
"Masuk, Chel, silahkan duduk." Rachel duduk di hadapan Satria yang sedang berpura-pura mengetik di laptop.
"Satria, aku ganggu kamu enggak sekarang?" Satria mengangguk tanpa menatap wajah Rachel, karena itu kelemahannya.
"Iya, ganggu. Aku sedikit sibuk, bisa tunggu sebentar, Chel? Aku sedang membalas pesan penting." Satria berusaha menahan rindu. Terlebih wangi harum Rachel saja dapat dia rasakan dari tempat duduknya. Andai Rachel bisa dia perintah, terlarang bagi Rachel memakai parfum sembarangan. Ini namanya memancing yang di dekatnya terpesona. Tersihir akan aroma sialan.
"Aku ke sini bawa makan siang untukmu," jawab Rachel riang.
"Aku sudah makan siang." Satria menjawab ketus. Tak lupa tetap berakting membaca sesuatu di laptop.
"Ya, kenapa enggak bilang? Setidaknya kamu tungguin aku," rengek Rachel manja. Inilah diri Rachel yang sebenarnya, pantang menyerah. Sudah cukup satu minggu kemarin dia ber-melow ria, dan sekarang saatnya berjuang mendapatkan Satria.
"Tadi aku lapar, Nona Rachel. Lagian, mana aku tahu kamu akan ke sini," sinis Satria tanpa menatap Rachel.
"Jadi aku tiap hari boleh ke sini?" tanya Rachel polos. Sebenarnya Satria hendak membalas boleh, bahkan akan dia izinkan menetap di kantornya. Berdiri di samping tanama hias di samping mejanya. Kalau perlu dia gantung di samping lukisan. Jadi, Satria bisa puas memandangi Rachel setiap hari.
Andai Satria bisa mengutarakan khayalan konyol itu. Andai.
"Kamu kira kantor ini arena bermain? Di sini tempat orang berkerja, Nona Rachel." Perlahan, sekuat tenaga Satria menatap wajah Rachel, lalu kembali lagi menatap laptop. Satria menahan napasnya pelan. Dia masih belum sanggup, ternyata.
Besok-besok, Satria harap, Rachel datang memakai topeng. Badut pembunuh pun tak masalah. Tidak terlalu membuat hatinya berdebar. Satria bisa mati sesak rindu.
Satria menahan segala rasa. Dia harus kembali fokus dengan pekerjaan.
"Kalau tidak ada keperluan lagi, aku mau lanjut kerja," ketus Satria. Berharap Rachel kecewa, lalu pergi meninggakan ruangan. Sebenarnya, Satria menahan diri agar tidak lepas kendali. Tangannya sudah mengepal, kakinya pun sudah bergerak gelisah. Ingin rasanya dia mendudukan Rachel di pangkuan, merengkuhnya dan mengeklaim Rachel miliknya.
"Oke, aku balik dulu, Sat. Maaf, ganggu kesibukan kamu. Ini bekal makan siang buat kamu. Enggak dimakan juga tidak apa-apa, yang penting aku sudah kasih ke kamu," jawab Rachel riang. Tidak memperlihatka nada kecewa.
Aneh, batin Satria. Kenapa dia bisa santai, sedangkan Satria tidak? Tidak adil, rasanya.
Satria tidak menanggapi. Dia masih gengsi, dan juga sedikit kecewa. Biar saja Rachel pergi, toh, kemauan sendiri.
Drt..Drt.. Rachel yang masih santai duduk di hadapan Satria, terlihat hendak menerima panggilan dari ponselnya. Satria mulai melirik penasaran. Sekalian mencuri pandangan.
"Iya, Abang, ada apa?"
"Kata Mama, tanganmu luka bakar? Perlu Abang antar ke dokter? Kamu hati-hati kalau sedang berurusan dengan oven panas!" Leo terdengar khawatir.
"Tanganku enggak apa-apa. Ini hanya luka bakar sedikit. Aku sudah biasa berteman dengan oven panas. Mama terlalu khawatir denganku. Abang tenang saja, pasti baik-baik saja." Mendengar Rachel berbicara tentang luka bakar, Satria langsung menatap tangan Rachel yang meruam merah terlihat jelas di tangan putihnya.
"Dasar ceroboh," bisik Satria yang langsung berdiri mendekati Rachel. Tanpa sadar, Satria duduk di meja kerjanya, berhadapan dengan Rachel, lalu memegang tangan Rachel yang terlihat merah melepuh. Dia mengusap lembut tangan itu, sesekali dia meniup-niup di sekitar luka tersebut, tanpa perduli si pemilik tangan sedang menerima panggilan telepon
"Iya, Abang aku masih bisa mengemudikan mobil. Sudah dulu, aku mau pergi." Rachel terlihat bingung dengan Satria yang tiba-tiba duduk di depannya, lalu meraih tangannya untuk dia genggam.
Cup. Tanpa pemberitahuan Satria mengecup sekilas luka tersebut dengan bibirnya. Satria mulai hilang kendali.
"Eishh shhh.." Rachel meringis menahan perih. Satria menatap wajah Rachel yang sedikit menyipit terlihat menahan sakit. Segera dia menarik tangan Rachel yang satu lagi, untuk melangkah keluar ruanhan.
"Ayo kita ke dokter! Kamu ini ceroboh sekali, Pendek. Menyusahkan aku saja." Dengan nada tegas, Satria menarik Rachel keluar ruangan dengan terburu-buru. Tanpa malu, dia menggandeng tangan Rachel di hadapan semua karyawannya. Banyak mata menatap heran, karena Satria terkenal tidak pernah membawa wanita spesial atau teman kencannya ke kantor. Ini langka, bagi mereka.
Satria sangat pandai menjaga privasi. Tapi tidak dengan Rachel. Lihat saja, gadis itu sudah mampu membuat dia hilang kendali seperti ini. Rachel hanya patuh mengikuti jalan cepat Satria yang tergesa-gesa.
"Aku enggak apa-apa, Satria. Luka seperti ini sudah sering aku alami." Satria berhenti di area basemen parkir khusus dewan direksi.
"Apa? Kamu bilang sering?" Kali ini Satria menatap jelas wajah Rachel tanpa kedip. Rachel tersenyum bingung, lalu mengangguk. Satria memeriksa k edua buku tangan Rachel dengan panik.
"Setiap hari temanku oven panas, jadi luka seperti ini sudah sering aku alami." Rachel menenangkan Satria yang terlihat panik.
"Yang mana lagi lukanya?" Satria memeriksa keseluruhan tubuh Rachel yang mampu dia perhatikan. Satria bahkan memutar tubuh Rachel 360 derajat, membuat Rachel terkikik geli. Benar kata Mark, pria ini sangat unik, batin Rachel menjerit bahagia. Melihat tingkah perhatian Satria yang sedikit berlebih, tentu saja Rachel menyambut suka.
"Udah sembuh, cuma yang ini masih melepuh nanti juga kering sendiri," jawab Rachel sedikit meringis karena Satria menyentuh lukanya lagi. Dengan bodohnya, lagi-lagi Satria meniup lembut luka di tangan Rachel beberapa kali. Satria jelas hilang kendali jika berhadapan dengan situasi seperti ini. Baginya, ini mengkhawatirkan.
"Ayo, masuk ke mobil! Kita ke UGD atau ke dokter bedah plastik!" Rachel memekik kaget.
"Apa? Aku enggak apa-apa, Satria. Ini berlebihan."
"Masuk dan diam, Pendek! Jangan menyusahkan aku terus." Satria memotong pembicaraan Rachel, lalu segera mendorong Rachel masuk ke mobilnya. Wajah Satria terlihat sangat panik. Sadar dia sudah lepas kendali, dia tak peduli. Keselamatan tangan Rachel lebih utama. Satria bahkan sudah membayangkan, apa jadinya kalau Rachel menjadi korban ledakan oven, lalu Rachel terbakar hidup-hidup.
Andai Rachel kekasihnya, sudah pasti terlarang bagi Rachel untuk bermain dengan oven. Rachel akan dia wajibkan menjaga jarak setiap harinya dengan oven. Minimal, radius lima ratus meter dari kaki Rachel berpijak. Rachel harus mengganti profesinya. Jangan berurusan dengan oven dan alat masak berbahaya. Satria akan memberikan masukan profesi untuk Rachel. Sepertinya melukis lebih aman.
***
Di sebuah mini market.
"Hai." Akhirnya Mark berhasil bertemu Dalillah, setelah satu minggu kemarin Dalillah terkesan menghindari semua panggilan dan pesan singkat darinya. Saat ini Mark memang mengikuti Dalilah ke mini market, dekat dengan rumah Dalillah.
"Hai.." Dalilah menjawab datar, lalu pergi meninggalkan Mark. Dengan tenang membawa keranjang barang pilihannya untuk segera dibayar ke kasir.
"Kamu kenapa enggak pernah ngejawab sms aku, Manis?" tanya Mark lembut mengekori Dalillah dekat kasir. Mark mengambil minuman dingin, lalu dengan santainya diletakkan di keranjang Dalillah yang sudah berisi aneka camilan makanan.
"Biar aku yang traktir kamu." Dalillah tetap diam, bahian memilih memasang wajah muram tak bersahabat. Meskipun tetap berdiri di depan kasir, tetapi tubuhnya jelas membelakangi Mark saat penjaga kasir mengambil satu persatu barang di keranjang tersebut.
"Nih, pakai punya aku aja!" Mark memberikan kartu atm untuk Dalillah.
"Nggak perlu," ketus Dalillah.
"Tapi di sini ada minumanku, Manis." Mark tahu ada Ya sudah kalau begitu sekali-kali ditraktir minuman sama gadis maniss si boleh juga, sungguh anugerah.." Mark berkata lembut menggoda. Sebagian hatinya sedang berpikir melihat perubahan mendadak Dalillah. Mereka memang tidak saling kenal dekat sebelumnya, hanya saja, gelagat Dalillah jelas menghindarinya.
Dalillah pura-pura mencari permen di sekitar depan meja kasir tersebut. Wajahnya terlihat bingung mencari permen dan cokelat yang hendak dia pilih. Jelas saja dia gugup, hatinya sedang berusaha tak terpancing keadaan sekitar. Keberadaan Mark, lebih tepatnya.
"Apa aku membuat kesalahan? Kenapa kamu menghindariku?" tanya Mark lembut. Kali ini Dalillah menatap cemberut ke wajah Mark.
"Tidak ada masalah." Dalilah membuang mukanya lagi sambil menatap penjaga kasir tersebut. Mark menganguk dan berdiri di samping Dalillah dengan senyuman paling manis. Sesekali dia memperhatikan gerak tangan Dalillah yang membuat gemas. Mark tidak bodoh, Dalillah berusaha keras menghindarinya.
"Hihihihi..." Mark tiba-tiba terkikik geli, Dalilah menatap risih Mark yang seperti sedang menahan tawa. Dalillah tetap memasang wajah cemberut, Mark sempat menutup mulutnya dengan tangan dia sendiri.
Lihat, kan! Menyebalkan, batin Dalillah ingin berteriak.
"Mbak, maaf, itu alat kontrasepsinya jadi mau dibeli?" Dalillah tampak bingung dengan pertanyaan penjaga kasir tersebut.
"Hah?" penjaga kasir tersebut menunjuk arah matanya ke tangan Dalillah yang ternyata sedang memegang sekotak alat kontrasepsi rasa stroberi yang memang bertengger tepat di depan Dalillah, berdampingan dengan permen-permen dan juga aneka cokelat batangan kecil.
Wajah Dalillah mendadak merah padam, bahkan terlihat seperti sedang sauna. Ini sangat memalukan. Dia masih perawan dan dengan polosnya memegang alat kontrasepsi. Apa kata dunia? Ada saja kebodohan yang dia lalukan jika Mark berada di radius terdekat dirinya.
"Jadi dong, Mbak." Mark mengambil kotak kontrasepsi tersebut, lalu menyerahkan kepada kasir. Tanpa malu Mark merangkul pinggang Dalillah, tak lupa memberikan atm miliknya.
"Kami masih pengantin baru," jelas Mark kepada penjaga kasir tersebut yang tersenyum mengangguk.
"Wah, selamat. Serasi. Pasti kalau punya keturunan anaknya pasti dan ganteng," goda penjaga kasir tersebut.
"Iya, sayang istri saya masih mau berduaan terus. Cintanya masih belum mau dibagi dengan kehadiran anak," jelas Mark lagi sambil mengeratkan rangkulan, Dalilah hanya diam tersenyum kikuk. Dia sudah sangat malu, rasanya ingin melawan tak ada daya.
"Kamu mau rasa stoberi aja? Enggak mau rasa pisang? Enak juga." Andai Dalillah tokoh kartun, bisa dipastikan wajah Dalillah berubah garang dengan mata berkobar api, lalu gigi taring yang siap menerkam Mark hidup-hidup. Mengigit habis wajah Mark hingga setengah badan terkoyak. Andai Dalillah bisa berubah wujud.
Akhirnya, Dalillah hanya bisa menyikut pinggang Mark. Penjaga kasir dan beberapa pengantri tersenyum dengan tingkah pengantin baru palsu tersebut.
"Kalo Ibu, mending rasa alami suami sendiri, lebih yahud. Enak-enak gimana gitu." Mark dan Dalillah menoleh ke belakang, menatap ibu-ibu yang ikut mendengar dan menimpali pembicaraan suami istri gadungan tersebut.
"Dia masih malu-malu, Bu," bisik Mark pelan dengan nada menggoda sambil mengedipkan matanya ke arah Dalilah. Senyum kemenangan jelas terlihat di wajah Mark.
"Dek dicoba dulu, nanti ketagihan pasti. Apalagi suaminya kece badai begini." Dalillah tersenyum kikuk malu-malu dihadapan ibu-ibu tersebut. Ini perbincangan yang sangat memalukan. Sumpah serapah terus saja dia teriakan dalam hati. Dalillah masih punya kesabaran untuk kali ini.
"Ini sudah semuanya. Terima kasih, selamat datang kembali." Mark menenteng tiga kantong plastik barang belanjaan Dalillah dengan riang. Dalillah hanya diam tidak berusaha membantu Mark.
"Mari Ibu, kami duluan," izin Mark sopan, Dalillah mengekori di belakang Mark. Kali ini, Mark boleh berbangga hati. Tapi setelah ini? Lihat saja.
Hingga sampai di depan tempat parkir.
"Ini minuman kamu," ketus Dalillah memberikan minuman dingin yang tadi Mark beli. Dalillah lalu membuka pintu mobil, menaruh barang belanjaannya di mobil kursi belakang.
"Sekalian, aku ganti. Aku enggak suka berhutang. Terus ini ambil sekalian, siapa tahu kamu lebih perlu dengan pacar-pacar kamu," ketus Dalilah sambil memberikan beberapa lembar uang ratusan dan dua kotak alat kontrasepsi. Mark hanya tertawa.
"Antarkan aku saja ke tempat kerjaku. Tadi aku diantar orang bengkel," jawab Mark lembut. Mark berjalan ke arah pintu mobil penumpang, lalu membuka pintu tanpa menunggu Dalillah setuju atau tidak. Dalillah mendengus sebal dan masuk ke mobilnya.
"Ini pengalaman pertama aku naik mobil dengan sopir seperti bidadari." Dalillah tetap diam, lalu memilih bersabar dengan menghidupkan mesin mobil.
"Antarkan aku ke bengkel, ya," pinta Mark sopan.
"Hmm," balas Dalillah acuh.
Selama perjalanan Mark memang sengaja mendiamkan Dalillah, dia hanya menjelaskan alamat bengkel miliknya. Dalillah pura-pura tidak hafal alamat yang diberikan. Untuk apa dia mengingat alamat sialan itu. Dalillah masih tak lupa kunjungannya ke sana berakhir kekecewaan. Masih dia ingat Mark memeluk seorang wanita dan saling bermesraan. Adegan norak.
"Sudah sampai turun di sini aja," ketus Dalilah. Mark tertawa menatap wajah Dalillah. Padahal Mark memberitahukan alamatnya sedikit salah, tapi sang sopir melajukan alamat bengkelnya dengan tepat.
Mark lansung bisa menebak kejanggalan akan tingkah Dalillah. Mark tidak bodoh. Dia memang sedang mencari tahu siapa tamu misterius yang ingin bertamu dengannya satu minggu lalu di bengkel. Rasanya, sekarang Mark tahu siapa gerangan. Anak buahnya hanya mengatakan tamu tersebut menatap dirinya dan Rachel dengan raut kecewa.
"Enggak mau masuk dulu? Aku punya taman yang nyaman untuk menikmati sore yang indah ini." Dalillah menggeleng dan tetap memasang wajah cemberut. Dikiranya dia mau dijadikan wanita-wanita mainan Mark? Dalillah cukup sadar untuk tak terbawa. Tak mau dijadikan salah satu mainan Mark.
"Ya sudah kalau tidak berminat." Mark mendekati Dalillah, tapi Dalillah tetap tidak bergeming dengan posisinya menatap garang Mark. Kali ini dia tidak akan memejamkan matanya lagi. Mark senang wanita di sampingnya ini perlahan tidak takut dekat dengan dirinya.
"Wanita yang kamu lihat di taman bersamaku itu namanya Rachel, adiknya Leo. Sekadar info, dia adikku juga, Manis." Mark berbisik lembut di telinga Dalillah.
"Aku pergi dulu. Terima kasih tumpangannya manis." Tiba-tiba Dalillah menahan lengan Mark.
"Benar itu bukan pacar atau mainan kamu?" Mark takjub mendengar pertanyaan Dalillah, dengan wajah polos dan penuh selidik Dalilah bertanya tanpa menghindar. Wanita yang unik, batin Mark.
"Eh.." Dengan gerakan cepat, Mark tidak menjawab pertanyaan Dalillah. Dia lebih memilih menarik tubuh Dalillah dan langsung menyatukan bibir mereka. Mark mengecup permukaan bibir Dalillah yang lembut.
"Masih ingat cara ciuman yang pernah aku ajarkan manis?" Mark bertanya dengan lembut, menatap manik mata Dalillah yang sangat dekat dengan wajahnya. Dalilah mulai tersihir, akhirnya mengangguk dengan deru nafas memburu.
"Good, Manis." Mark memperdalam ciumannya dan Dalilah entah setan apa yang merasuki, membalas segala aktifitas Mark dengan pasrah.Pertahanannya runtuh karena pesona montir menyebalkan. Tebar pesona Mark ternyata mampu meluluhkan Dalillah, yang memang belum memiliki pengalaman menghadapi pria. Beruntunglah, Mark.
***
Di rumah keluarga Leo.
"Leo bisa kita bicara?"
"Ada ada apa, Dalillah?"
"Kamu setuju dengan perjodohan kita? Aku takut kita berdua sama-sama saling menyakiti. Bahkan bukan hanya kita yang tersakiti."
"Kamu benar, Lil, tapi untuk sekarang biarkan seperti ini dulu. Aku belum bisa berpikir jernih."
"Iya Leo, aku juga sama, tapi.."
"Lil, kalau kamu butuh bantuan aku, kamu bisa hubungi aku kapan saja, oke."
"Oke, Leonardo. Bye.."
Malam yang dingin sedingin hati Leo menatap bulan di kejauhan. Bulannya tertutup awan hitam. Seolah paham, jika putri bulan milik Leo juga tertutup kabut yang sulit dihilangkan.
"Marsha, kenapa kamu begitu takut dengan hubungan kita? Status kita begitu samar." Leo berbisik pelan. Dia sedang merebahkan diri dibalkon atas lantai dua rumahnya. Menatap bulan dan bintang menghiasi bumi. Memikirkan putri bulannya yang enggan menerima pangeran dari bumi.
Leo terkikik sendiri. Khayalan kisahnya terlalu berlebihan. Marsha sejak dulu memang menyukai kisah cinta itu.
Princess Serenity begitu rapuh mempertahankan cinta Prince Endymion. Tapi Leo tidak akan pernah patah semangat, rasa ini abadi dan selamanya. Cinta kedua orangtuanya selalu menjadi tolak ukur dirinya berani melangkah untuk Marsha.
Samar-samar Leo mendengar suara dari tangga menuju lantai yang sama. Leo semakin yakin itu suara sang adik bersama mama.
"Ayo, dong, Ma. Tolong aku. Kali ini aku bersedia dijodohkan dengan pria mapan, kalau boleh request, aku mau Satria anaknya Tante Rahma dan Om Ibra. Kopi darat aja dulu, minta tolong Oma yang atur. Yah, yah!"
"Achel Sayang, bukanya Mama tidak izinkan kamu sama anaknya Tante Rahma, tapi kamu enggak bisa minta seenaknya lamar anak orang. Hei, kamu ini perempuan, Sayang.."
"Ma, zaman, kan, sudah berubah. Sudah tidak masalah siapa lamar siapa."
"Lagi pula, kamu memangnya tidak dengar kabar?
"Kabar apa, Ma?"
"Oma kamu jodohkan Abang Leo sama Dalillah anak perempuannya Tante Rahma?"
"Hah, Mama jangan bercanda. Terus aku sama Satria gimana?"
"Mana Mama tahu. Setahu Mama, mereka tidak membicarakan Satria dengan kamu. Memangnya kalian punya hubungan?" Rachel tak menjawab pertanyaan sang mama. Dia langsung berlari mendekati Leo yang memang terlihat sedang menatap langit malam.
"Abaang." Leo tersenyum geli mendengar teriakan yang semakin mendekat ke arahnya.
"Abang, memang benar sudah dijodohkan dengan adiknya Satria?" Leo menyelidik heran.
"Kamu ada apa memangnya dengan Satria? Jangan-jangan keanehan kamu akhir-akhir ini karena Satria?" tanya Leo tegas. Rachel dengan bangganya mengangguk. Rachel tak akan malu. Cukup dengan Satria saja dia pernah gugup.
"Makanya Abang batalkan ide Oma! Terus, Princess Serenity mau dikemanain? Ada lagi yang harus Abang ketahui, Markona suka sama adiknya Satria. Kalau Abang lanjutkan, betapa banyaknya hati yang tersakiti," jelas Rachel dengan nada dramatis. Leo hanya melirik sebal dan mengacak rambut adiknya.
"Lebai." Leo kembali merenung. Sepertinya ide bertahan dengan perjodohan akan berdampak pada sekitar mereka. Tapi dia perlu cara agar Marsha mau membuka diri.
"Bang, ayo batalkan. Atau Abang minta tukar posisi. Bilang sama Oma, aku saja yang dijodohkan dengan anak Tante Rahma."
***
Sekarang di ruang keluarga rumah Mark.
"Mark, kamu sudah makan belum?" Marsha bertanya kepada kembarannya yang baru sampai dengan wajah sangat bahagia dan cerah. Marsha dilanda penasaran, di tengah malam yang membosankan baginya.
Seminggu setelah Leo lagi-lagi menyatakan cinta, mereka tidak bertemu. Marsha sedikit heran, biasanya Leo tidak bergeming dengan penolakannya. Tapi kali ini, mungkin Leo sudah mulai lelah. Marsha sedikit menyesali tingkahnya yang egois dengan Leo.
Dia mencintai Leo sepenuh hati, tapi dia sangat takut jika Leo menduakannya lagi, sama saat mereka masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Masih teringat jelas betapa Leo banyak mempunyai pengagum wanita dan Marsha harus menahan cemburu di setiap situasi. Dahulu, Leo memiliki sahabat perempuan yang sangat cantik. Pendiam dengan semua orang, tetapi bisa bercerita hanya dengan Leo. Satu sekolah seolah tahu kedekatan mereka berbeda. Semua orang tahu, termasuk dirinya.
Tapi sejak dulu, Marsha memilih diam. Toh, Leo tak mempermasalahkan. Tak menganggap bersahabat dengan lain jenis adalah sebuah bumerang bagi sebuah hubungan. Puncaknya, saat Marsha memergoki keduanya berciuman. Wajah, kan, kalau peristiwa itu selalu dia jadikan pegangan untuk selalu berhati-hati? Hati kecilnya masih tak mudah percaya.
"Sa, kenapa diam? Kamu tadi tanya aku sudah makan apa, belum?" Marsha mengangguk pelan. Lebih baik dia bercengkerama dengan saudara kembarnya. Lupakan masa lalu. Kisah asmara saat hati masih polos.
"Aku sudah makan dengan pencuci mulut yang sangat enak sedunia." Mark menjelaskan. Marsha hanya mendengarkan sebal. Dia tahu, sepertinya saudaranya menikmati kencannya kali ini. Selalu bahagia. Menyebalkan.
"Hidup itu indah kalau kita menikmatinya dengan tulus." Mark tetap berkicau.
Marsha terlihat geli dengan tingkah kembarannya. Tak lama Livi datang dan hendak duduk bersama kedua anaknya untuk menikmati tayangan televisi.
"Kasih tempat, Sha. Ada manusia paling paling cantik sedunia." Mark menyambut Livi, memeluk erat dan memutar badan wanita yang melahirknnya itu dengan bahagia.
Mark sedang berbunga-bunga.
Marsha menatap heran dengan wajah kembarannya yang teramat menyebalkan di tengah hatinya yang sedang galau. Hanya berkencan, bisa membuat hati terlena.
"Kamu lagi kenapa, Mark?"
"Mom, aku minta permohonan, boleh?" Mark menarik Livi duduk di sampingnya.
"Apa?" Mark menatap Marsha terlebih dahulu lalu balik menatap wanita yang sangat dia hormati.
"Tolong lamarkan aku seorang gadis!" Livi dan Marsha terkejut mendengar permintaan Mark yang lain dari biasanya.
"HAH!" Dua wanita tersebut berteriak bersamaan. Mark mengangguk.
"Hari ini aku sedang berubah pikiran dalam menyikapi hidup. Enggak tahu kalau besok." Mark tertawa geli sendiri. Mungkin dia sedang mabuk, tapi tak ada salahnya mengungkapkan isi hati. Tidak dapat izin pun, tak masalah.
"Mommy, rayu Daddy untuk melamar Dalillah, putri Om Ibra. Aku mau dia jadi jodoh aku, Mom." Marsha melirik heran dengan tingkah kembarannya.
"Enggak bisa, Sayang. Kamu enggak bisa sama dia," jawab Livi pelan.
"Kenapa, Mom?" Livi menatap sekilas wajah Marsha. Karena dia juga seorang ibu, dia sangat tahu perasaan Marsha dan Leo berbeda.
"Dalillah sudah dijodohkan dengan Leo. Om mereka yang mengatur perjodohan itu."
"APA?" Mark sangat terkejut mendengarnya, tetapi dia lebih memilih menatap wajah Marsha. Pasti berakibat berbeda di hati Marsha mendengar kabar berita ini. Biar bagaimanapun, kembarannya ini punya kisah dengan Leo.
Mark bisa melihat tatapan pasrah Marsha. Tidak, tidak boleh saudaranya itu menerima dengan mudah. Mark mungkin bisa menerima, tapi jangan dengan Marsha. Harapan Marsha bersama Leo sudah terlalu lama dibiarkan begitu saja. Tentu saja tidak adil jika tak dituntaskan.
"Mark, memangnya kamu mau menikah?"
"Enggak, hanya iseng saja. Siapa tahu diterima." Mark langsung bisa menguasai situasi. Hatinya tidak penting, kali ini. Tapi Marsha yang sedang dia pikirkan.
"Sok tahu. Sudahlah, Mommy mau siapkan makan malam." Livi meninggalkan kedua anaknya yang masih diam dengan pikiran masing-masing.
Mark duduk mendekati Marsha. "Kamu harus berjuang, Sha. Jangan sampai Leo lelah dengan dirimu. Kamu berhak bahagia." Mark memeluk erat kembarannya dengan sayang, Marsha membalas erat kembarannya seolah jiwa mereka bersatu. Mereka pernah berbagi tempat yang sama selama sembilan bulan dan batin mereka mengerti satu sama lain jika diantara mereka menderita.
"Mungkin Leo memang sudah lelah denganku, Mark." Mark hanya diam menggeleng.
"Dasar Pasangan Bodoh."
Mark terus saja berpikir. Jika dia tidak berjodoh dengan Dalillah, itu bukan masalah. Tapi Leo? Setidaknya dia harus mempertanggung jawabkan hati Marsha untuknya.
Pasangan bodoh ini memang tidak bisa diandalkan. Mark menyeringai sejenak. Dia tahu siapa orang yang bisa diandalkan menggagalkan perjodohan konyol itu.
"Sekutu abadiku, Rachel," ucap Mark dalam hati. "Kita harus bertindak secepatnya, Achel Sayang."
***
Salam Ruwet
Mounalizza
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro