7 - Endymion & Serenity
Masih di Cafe Amor
"Jadi, kita mau dijodohkan?" Leo bertanya sopan kepada Dalillah. Sekarang dia sedang duduk berdua di Cafe Amor. Oma-oma mereka sudah pergi meninggalkan mereka berdua. Siasat menyebalkan ala-ala orangtua.
"Sekarang pendekatan! Kami tidak akan menganggu. Nanti enggak bisa bebas lagi, kalau ada kita". Leo hanya geleng kepala jika mengingat candaan para wanita yang sudah berambut putih tersebut. Benar-benar membuat telinga yang mendengar memerah menahan malu.
"Oma kita berdua curang, kita dijadikan kambing hitam." Dalillah tersenyum menatap Leo. Dalillah baru sadar, Leo tak kalah tampan dari Mark. Bahkan Leo terlihat lebih manis. Tutur katanya juga sopan. Setiap Dalillah berbicara, Leo akan menanggapi dengan lembut. Tapi Mark bisa membuat dia bebas berekspresi. Setidaknya dia tidak perlu sibuk menjaga sikap. Dengan Mark, Dalillah bisa lebih leluasa bersikap, karena Mark membawa suasana santai.
"Lilah. Jujur, aku belum siap untuk menerima hal ini." Dalillah mengangguk setuju dengan pernyataan sopan Leo.
"Oma Hani termasuk orang yang fleksibel dalam mengambil keputusan. Berbeda dengan yang satu lagi. Oma Tiara, dia berbeda. Semakin aku menolak, semakin dia berusaha. Jadi lebih baik kita bekerja sama, kamu mau?" Dalillah bingung dengan penjelasan Leo.
"Oma kamu pasti memaksa juga kita untuk dekat, kan?" Dalillah menggangguk.
"Percuma untuk kita membantah. Bagaimana kalau kita ikuti saja alur yang dibuat mereka? Setidaknya mereka tidak meneror kita lagi." Ide Leo diterima Dalillah dengan anggukan setuju, tapi akhirnya dia berpikir ulang lagi.
"Maksudnya kamu setuju sama perjodohan ini? Aku belum siap, Leo. Maaf." Leo tertawa dan menggeleng. Tampan dan menggiurkan, tapi Dalillah tak bisa merasakan hal lain, seperti nyaman saat bersama Mark.
Lagi-lagi nama Mark berkeliaran di atas kepala.
"Aku tahu Dalillah, kita sama-sama belum siap. Tapi, menolak juga bukan solusi. Jadi kita jalani saja. Seolah kita setuju. Nanti, pada saat yang tepat, kita berkata jujur, kalau kita tidak bisa bersama." Ada rasa lega dan kecewa dalam hati Dalillah mendengar penjelasan Leo.
"Jadi, kamu memang tidak setuju kalau kita dijodohin?" Leo terlihat bingung, jawaban apa yang tepat agar Dalillah tidak merasa sakit hati.
"Kamu cantik, Dalillah. Aku yakin kepribadian kamu lebih cantik dari yang terlihat. Bodoh kalau aku mengabaikan kamu. Tapi aku tahu, kita berdua ini korban ide aneh oma-oma kita. Aku yakin, jika kita berjodoh kita pasti dipertemukan lagi." Dalillah tersenyum kikuk, walaupun sebenarnya dia juga tidak setuju dengan ide ini. Tapi, dia harus bisa memilah kenyataan, bisa saja Leo memiliki kisah dengan yang lain. Akan sangat jahat kalau dia yang bukan siapa-siapa sebelumnya di hidup Leo, datang dan merampas kisah Leo dengan yang lain.
Hasil pertemuan makan malam kemarin, sedikit membuat Dalillah sadar akan satu hal. "Kamu sudah punya wanita di hati kamu, ya? Aku tahuc pasti Marsha?" goda Dalilah, dia berusaha santai dengan pria tampan di hadapannya. Leo hanya tersenyum penuh arti. Senyuman yang membuat yakin jawabannya adalah benar. Senyum wajahnya berbinar dengan taburan bunga cinta saat nama Marsha disebutkan. Dalillah tahu, Leo pasti mempunyai kisah dengan Marsha.
"Jadi kita sekarang mau bohongin para oma? Lalu, orangtua kita?" Leo tampak berpikir.
"Untuk sementara, kita seperti ini saja dulu. Aku juga belum mau berpikir yang aneh-aneh. Maaf, apa kamu marah dengan ideku ini?" Leo berkata sangat sopan, membuat hati Dalillah sedikit terlena. Dia pria yang sopan dalam berbicara, dia bukan tukang gombal seperti Mark.
"Menolak pun malah tambah ruwet. Aku pusing berurusan dengan Oma mengenai perjodohan. Cukup Kakak yang selalu dibuat pusing dicarikan jodoh oleh Oma, aku enggak mau seperti Kakak.." Leo tertawa mendengar Dalillah berkata jujur.
"Jadi sebelumnya Satria yang dipaksa menikah?" Dalillah tertawa jika mengingat betapa gencarnya oma mencarikan calon menantu untuk Satria.
"Iya, kencan sudah seperti obat terapi setiap minggu bagi Kakak. Aku sebenarnya kasihan sama wanita yang dipertemukan dengan ibu tiri jadi-jadian itu.." Leo tertawa dengan perkataan Dalillah. Dia juga sangat tahu sifat Satria yang sedikit temperamen dan galak, walaupun dengan wanita.
"Satria pasti pura-pura tampil aneh dan galak, ya?" tanya Leo.
"Bukan pura-pura, dasarnya memang dia galak ditambah judes." Dalillah sejenak bisa menikmati komunikasi dengan Leo, tetapi ada yang aneh, dia merasa tidak bisa apa adanya. Dia seperti diharuskan untuk tenang, karena Leo pria yang sangat sopan.
Berbeda dengan Abang Montir.
"Oke, kamu aku antar pulang. Ingat yang tadi aku bilang. Jawab iya, kalau Oma bertanya. Nanti aku yang mengulur waktu sampai saatnya tiba." Dalillah menatap lagi Leo, kemudian mengangguk setuju.
"Lalu, bagaimana dengan yang lain?" Sekilas Dalilah teringat Mark, bagaimana reaksinya jika dia tahu dirinya akan dijodohkan dengan Leo. Cepat atau lambat, berita ini pasti akan sampai ke telinga Mark.
Kenapa Dalillah harus memikirkan perasaan Mark? Tadi saja Mark terlihat biasa saja saat berpisah.
"Kamu tenang saja, Mark biar aku yang kasih tahu." Dalillah tiba-tiba merona karena Leo bisa membaca pikirannya.
"Aku enggak perduli sama dia." Dalillah tampak serba-salah.
"Yang benar? Lilah, tadi diparkiran aku lihat kamu turun dari mobil siapa, ya?" Leo menggoda Dalillah. Kenapa ruwet sekali jalan hidup Dalillah?
"Tadi itu aku lagi balas budi karena Mark pernah.." Dalillah berhenti berbicara dan menutup mulutnya.
Hampir saja dia kelepasan.
"Pernah apa?" goda Leo.
"Kamu mau antarkan aku pulang, enggak? Kalau enggak, aku naik taksi saja," potong Dalillah mengalihkan pembicaraan.
"Galak, mirip Satria," goda Leo lagi. "Tak heran Mark suka menggoda kamu. Ayo, aku antar pulang!" Leo berdiri dan berjalan berdampingan dengan Dalillah.
***
Di rumah keluarga Dalilah.
"Ma, kan, mobil Mama pernah rusak, ya?" Dalillah tengah memeluk Rahma dari belakang.
"Lilah, Mama lagi masak, jangan peluk-peluk seperti ini."
"Jawab dulu pertanyaanku?" rajuk Dalilah.
"Iya, Mark yang tolongin. Kenapa, mobil kamu rusak, juga?"
"Hmm," jawab Dalillah ambigu.
"Alamat bengkelnya kamu tanya sopir saja, Mama lupa lebih jelasnya di mana." Dalillah mengangguk. Perlahan melepaskan pelukan, tersenyum penuh arti.
"Kalau tidak parah, tanya Kakak saja. Siapa tahu tidak perlu di bawa ke bengkel."
"Jangan-jangan. Sebenarnya, tidak rusak. Hanya mau diservis, biar enak jalannya."
"Terserah kamu." Dalilla nyengir senang.
"Sayang, hasil kemarin ajang pendekatan dengan Leo seru, enggak?" selidik Rahma.
"Lumayan, Ma." Rahma menatap curiga. "Jangan dipaksakan jika kamu tidak setuju! Mama dan apapa tidak memaksa, jika kalian tidak saling suka." Dalillah mengangguk dan segera mencium pipi Rahma. Mamanya memang paling mengerti isi hati anaknya.
"Ma, Kakak mana? Sudah berangkat kerja?" Dalilah duduk di bangku untuk menikmati sarapan paginya.
"Sudah berangkat di pagi-pagi. Ada yang beda sama dia, Lil. Sejak kemarin, Mama lihat dia lebih pendiam. Kemarin, saat kamu belum pulang saja, dia tidak repot menghubungi kamu." Dalilah juga sependapat. Aneh sekali.
"Bagus, Ma. Aku juga jadi sedikit bebas."
***
Di kantornya Marsha.
"Siang, Ibu Marshaaa." Marsha tersenyum melihat sesosok pria tampan dan berwibawa masuk ke dalam ruangannya.
"Siang juga, Bapak Satriaa."
"Sori, aku langsung masuk, enggak ada orang di depan." Satria langsung duduk di sofa diikuti Marsha juga.
"Iya, jam makan siang. Kamu sudah makan?" Satria mengangguk santai.
"Sudah, tadi pas jalan ke sini." Marsha berdiri ke arah mejanya lagi, dia lalu mengambil kotak kue. "Ini ada kue dari teman aku, biasa dia selalu kasih aku tester menu baru di kafenya. Gimana kalau kamu juga bantuin aku ngetes rasanya? Aku enggak akan mampu menghabiskan kue ini sendiri." Satria tersenyum dan hanya mengangguk.
"Boleh juga, aku lagi butuh yang manis-manis. Oh iya, tadi aku sudah bilang sama bagian lapangan kalau besok kita mau ke sana. Kalau kamu risih, biar aku yang gantiin kamu." Marsha menggeleng sambil menyiapkan kue untuk Satria.
"Tidak masalah, besok aku ikut kamu. Kamu jemput aku, atau kita ketemuan di sana?" goda Marsha. "Aku jemput kamu aja.."
"Cobain dulu kuenya, urusan kerjaan belakangan." Marsha memberikan kuenya.
"Kenapa buru-buru?"
"Yang buat menunggu jawaban rasanya." Satria mencicipi Truffel Cake Chocolate in jar dan Gateau African. Dengan lahap, dia menghabiskan kedua kue tersebut. Marsha tertawa melihatnya.
"Kamu doyan, apa lapar?"
"Ini enak, Sha. Aku jamin, pasti laku. Raasanya sempurna," jelas Satria antusias.
"Iya, kamu benar. Ini enak banget, semua rasa dan teksturnya pas. Terima kasih bantuin aku kasih nilai. Kadang, aku enggak bisa nilai tepat, mungkin karena menurutku setiap yang dia buat dengan tangannya pasti enak." Satria mengangguk tersenyum.
"Tapi ini enak, Sha. Aku saja mau lagi, mungkin kalau temanmu sudah menjualnya, aku orang pertama yang selalu menjadi pelanggan setianya," jawab Satria jujur karena kue yang dia cicipi memang sangat lezat.
Pintu terbuka dan Leo terlihat mengerutkan wajahnya menatap kehadiran Satria di kantor Marsha. "Masuk Le, Satria mau menjelaskan proyeknya sama kita, sebelum diturunkan kelapangan." Marsha menjelaskan kehadiran Satria di ruangannya.
"Hai, Sat." Leo duduk di samping Satria dan meletakkan berkas yang dia bawa di atas meja.
"Leonardo," jawab Satria datar.
"Kamu sudah makan, Le?" Leo tersenyum menatap wajah cantik Marsha. Wajah yang tak pernah bosan dia tatap.
"Sudah, aku beli paket bento di kantor. Kue-kue Rachel membuat aku mual. Kalau nanti dia tanya, aku sudah menghabiskannya, ya! Tadi sebagian aku kasih sekretaris untuk dinikmati. Rachel sudah gila, memberikan aku kue semanis itu. Dia mau membuat aku diabetes diusia din,." keluh Leo tentang adiknya. Satria mematung mendengar Leo bercerita tentang kenyataan perihal 'kue Rachel'.
"Aku saja minta bantuan Satria untuk ikut mencicipi dan menilai kue buatan Rachel. Dia membuat kue ini semalaman, ya, Le?" Marsha geleng-geleng kepala. Leo mengangguk sambil duduk bersandar di sofa dengan santai.
Satria semakin jelas mendengarkan kenyataan. Kue yang baru saja dia nikmati itu buatan Rachel. Wanita pembohong berukuran pendek.
Bagaimana dia mau melupakan, di mimpi semalak saja keras kepala sulit diusir, dan sekarang dia mengisi amunisi pemanit mulut yang dibuat oleh Rachel. Ini akan sulit dilupakan.
"Enak enggak, Sat, kue buatan adik gue?" Satria ingin menjawab, tapi ada rasa kikuk dalam dirinya. Apa yang harus dia jawab jika pembuat kue ini benar-benar mampu mengganggu tidur Satria semalaman?
"Enak banget, sempurna," jawab Satria tenang, di tengah hatinya yang bergemuruh menikmati rasa Rachel di kue tersebut. Bolehkah Satria jujur, bahwa sebagian hatinya sudah rindu dengan Rachel?
"Serius aku mau tanya, Sha. Rachel lagi kenapa, ya? Semalaman dia tidak tidur, buat kue-kue ini di dapur. Aku tahu jika dia tiba-tiba aktif seperti ini, pasti sedang melampiaskan masalahnya," kata-kata Leo membuat hati Satria sedikit merasa bersalah. Tidak menutup kemungkinan, dia ikut andil dari perubahan sikap Rachel.
"Sama, aku juga lagi curiga. Sementara ini kita biarkan saja. Rachel wanita ceria yang tegar. Makanya, kamu carikan dia pacar, biar dia punya sandaran hati."
Ingin rasanya Satria berteriak melarang ide konyol mencarikan teman spesial, tapi Satria tak punya hak.
"Kamu juga, Sha, seharusnya sekarang sudah punya sandaran hidup. Jangan menunggu yang tidak pasti." Leo menatap heran dengan Satria yang berbicara setengah menggoda Marsha.
"Marsha punya aku, pelindungnya!" jawab Leo tenang yang dibalas senyuman licik Satria.
"Oke, aku keluar sebentar, asistenku sepertinya tidak pulang dari jam makan siang." Marsha berusaha menghindar, dengan alasan tidak jelas dia pergi keluar meninggalkan Leo dan Satria. Pintu tertutup,tersisa dua pria aneh di ruangan Marsha.
"Oke, Leonardo, gue harap lo jangan mempermainkan Dalillah, jika lo enggak mau menerima perjodohan ini. Adik gue masih polos, sebagai kakak, gue enggak mau ngelihat dia kecewa." Satria berbicara langsung tanpa berbasa-basi. Kebetulan ada Leo, dan dia akan memberitahukan cara dia menjaga sang adik.
"Lo tenang aja Sat, gue dan Dalillah hanya mengulur waktu." Satria terlihat meminta penjelasan lebih dengan pernyataan Leo yang ambigu. Leo tertawa.
"Tenang, Brader. Jangan marah dulu. Hei, kita sama-sama punya Oma dengan semangat juang 45 untuk menjodohkan cucunya. Daripada menolak dan berlanjut ke perjodohan selanjutnya, belum jelas jiga siapa sosoknya. Karena itu, gue dan Dalillah sepakat untuk pura-pura setuju dulu. Gue rasa lo paham kenapa kita berbuat itu." Satria menatap lekap Leo dengan tatapan tajam.
"Oke. Gue cuma enggak mau adik gue tersakiti nantinya dan dia yang jadi korban," tegas Satria.
"Tenang, Satriaa. Gue juga punya adik perempuan yang sangat gue sayang. Tidak beda sama lo, gue tahu rasanya jika ada orang yang kita sayang disakiti begitu saja. Gue akan jadi pembela yang terdepan, buat meladenin pria-pria berengsek yang hancurin kebahagiaan adik gue, sama seperti lo." Mendengar penjelasan Leo seperti itu, Satria sedikit tersinggung, tapi juga merasa bersalah.
Dia jadi ingat sikap menolaknya pada Rachel.
"Oke, gue harap secepatnya lo selesaikan masalah ini. Jangan sampai kedua orang tua kita terbawa." Leo mengangguk setuju, dia juga memikirkan itu sejujurnya.
"Dan satu lagi, Tuan Leonardo? Kalau lo enggak mau berusaha jujur dengan Marsha, gue yang akan coba dekati Marsha," sindir Satria dengan nada menggoda yang dibalas pukulan di lengan Satria. Disaat yang sama Marsha masuk ke dalam ruangan.
"Masih berdebat kalian?" Leo dan Satria tertawa.
"Enggak, Sha, aku cuma lagi minta izin. Mau ajak kamu nonton, tapi Leo tidak kasih izin. Dia bilang, dia yang mau ajak kamu nonton," jawab Satria asal, Leo terlihat bingung dengan candaan Satria. Benar-benar menyebalkan.
"Kamu mau ajak aku nonton, Le?" tanya Marsha penuh harap, Leo tampak bingung, entah kenapa hatinya bisa gugup jika dekat dengan Marsha, tapi tidak mau berjauhan.
"Iya, tadi dia bilang dia mau ajak kamu nonton film tentang gempa bumi. Soalnya hati dia juga terkena gempa bumi karena kamu, Sha." Leo menatap sinis Satria yang tetap tersenyum dengan memberikan tanda damai dikedua jarinya.
Ternyata tidak hanya adiknya, Rachel, yang bertingkah aneh. Leo juga merasa ada yang berbeda dari Satria. Tapi, apa?
"Benar, Le?" Leo mengangguk pasrah. Ada saja kelakuan Satria.
"Nanti, setelah pulang kantor, kamu bareng aku aja, ya?" ajak Leo mencoba menguasai ulah usil Satria.
"Oke." Marsha tersenyum malu.
"Kasih tahu, Mark, ah." Lagi-lagi Satria menggoda pasangan bodoh ini.
***
Di bengkel Mark.
Sementara Mark sedang duduk di taman kecil di dalam bengkel miliknya. Taman itu jalan penghubung dari bengkel, menuju kantor pribadi. Taman yang dia desain khusus sebagai tempat menenangkan pikiran, dari rasa penat dalam bengkel.
Mark duduk menikmati kolam ikan yang sengaja dia hias. Sesekali, Mark menghirup udara di bawah rindang pohon. Sambil menutup mata, Mark mulai fokus mendengarkan suara gemerecik air dari kolam ikan. Mark benar-benar menyukai suara alam. Hingga sebuah suara mengganggu kesendiriannya.
"Markonaaa." Mark tidak perlu berbalik badan. Dia cukup hapal suara wanita yang memanggilnya seperti itu.
"Markonaa." Wanita pemilik suara itu langsung duduk di samping Mark. Seenaknya langsung menghempaskan kepalanya di pundak Mark, sebagai sandaran. Mark dengan segera merangkul pinggang wanita itu. Tidak ada rasa risih, atau bahkan kaku di antara mereka berdua. Mark sudah menganggap Rachel adik kecilnya.
"Ada apa, My sweety rabbit? Membutuhkan bantuan?" Mark bertanya lembut kepada Rachel tanpa menatap. Rachel mengangguk, mereka berdua diam dengan posisi mata menatap ke depan ke arah ikan-ikan berenang.
"Aku butuh bantuan kamu, Markona." Mark sudah menduga, dalam waktu dekat, Rachel pasti meminta bantuan dirinya.
Mark tertawa disaat seperti ini, Rachel pasti akan sangat manja dengannya. Dia tidak akan berani berkata jujur dengan Leo sang kakak.
"Kenapa? Satria galak sama kamu?" Rachel terkejut mendengar nama Satria diucapkan Mark. Bingung, karena dia belum bercerita kepada siapapun, selain Zara, kakak sepupunya.
"Kamu tahu?" Mark mengangguk tersenyum geli menatap Rachel.
"Jangan remehkan Markona, Rabbiiit..." Wajah Rachel merah padam.
"Tapi kamu aneh juga. Aku heran, manusia aneh macam Satria bisa buat kamu luluh."
"Aku enggak luluh sama dia," bohong Rachel cepat. Mark menaikkan alisnya.
"Dia yang cium kamu minggu kemarin, kan? Waktu aku, Leo dan Marsha jemput kamu?" Rachel mengangguk malu.
"Iya, Mark. Kamu tahu dari mana?"
"Selain di sana. Kalian juga berciuman di basemen kantor," jelas Mark santai. Rachel semakin serba salah.
"Siapa yang kasih tahu, Mark?"
"Adegan ciuman kalian berdua mungkin masih tersimpan di cctv parkir. Untung saja kalian beradegan di mobil," goda Mark, Rachel menutup matanya karena malu.
"Abang Leo tahu?" Mark menggeleng.
"Belum. Cuma aku saja yang tahu. Rekamannnya juga belum aku sebar. Sejauh ini, Markona menyimpan di tempat yang aman." Rachel tak bisa berkata-kata mendengar penjelasan Mark.
Rekaman?
"Mark tolong aku! Dia marah sama aku, karena dari awal, aku enggak jujur tentang siapa aku," rengek Rachel dengan manja sambil menarik lengan Mark.
"Oh, pantas dia kurang peka setiap aku sindir perihal kamu. Ternyata begitu." Rachel menggembungkan pipinya dan mengangguk frustasi.
"Jika menyangkut urusan bohong sama Satria, aku angkat tangan, Chel." Mark mengangkat tangannya tanda menyerah.
"Kenapa?" rajuk Rachel.
"Satria itu paling benci dibohongi. Sekecil apapun ada yang membohongi dia, jangan harap bisa mendapatkan kepercayaan dari dia lagi." Rachel merunung mendengar ucapan Mark.
"Yakin kamu, Mark?"
"Aku pernah tinggal di apartemen dia saat di LA dua bulan. Saat itu, aku sedang ikut tur automotif. Keseharian Satria adalah pribadi yang jujur, apa adanya. Dia orang yang tidak suka bertele-tele, sangat membenci basa-basi." Rachel memang menyukai Satria karena sifatnya yang langsung apa adanya. Sejenak dia tersenyum dalam hati, betapa dia mengingat ketegasan Satria saat mengatakan kepemilikan.
"Kenapa kamu berbohong, Chel?"
"Keterusan.." Mark mencubit hidung Rachel.
"Kamu sudah membuat dia hilang kepercayaan." Rachel mengangguk lesu.
"Tapi aku harus berusaha. Enak saja dia sudah datang tiba-tiba di hati aku, terus dengan mudahnya dia pergi? Aku hanya tidak sengaja mengawali hubungan kami dengan kebohongan," bela Rachel dengan nada berapi-api. Inilah Rachel yang sesungguhnya, dia pantang menyerah.
"Tapi salut sama kamu. Setahuku, Satria anti menjalin asmara. Dia punya sifat cemburu parah, dia sadar itu kelemahannya. Dia akan serius dengan pilihannya jika dia sudah siap. Karena itu, aku sedikit kaget waktu kamu bermesraan dengan dia. Bagiku,itu masuk tahap serius untuk seorang Satria. Pria yang paling ahli membentengi dirinya dari jalinan asmara. Kamu hebat juga, ya." Mark mengakhiri penjelasannya dengan nada menggoda.
"Markona, bantuin aku, kali ini." Rachel kembali bersandar di pundak Mark dengan manja. Mark mengeluarkan ponselnya. Lalu menunjukan layar ponselnya kepada Rachel.
"Mau lihat video skandal?" Wajah Rachel memerah, menatap dengan jelas siapa pemeran ciuman panas di dalam mobil tersebut. Rachel mencubit habis pinggang Mark.
"Ampun-ampun. Aku cuma enggak percaya saja, Satria benar-benar tukang sosor yang handal." Mark tertawa dan menahan tangan Rachel lalu kembali merangkul Rachel dalam pelukannya.
"Kamu harusnya jangan hanya mengalungkan tangan kamu. Adegannya akan semakin hot, kalau kamu menjambak rambutnya. Dasar amatir!" Rachel tanpa malu menonton adegan yang dia lakukan dengan Satria. Sejenak rasa sedih akan penolakan Satria terobati.
"Kirimin aku video ini!" Rachel meminta tanpa malu. Mark menggeleng sambil menggoda dengan tawa bahagia.
"Markona," manja Rachel yang mulai berdebar menyaksikan adegan yang dilakoni dirinya dengan Satria.
"Jangan sampai Satria tahu! Di bisa marah besar denganku. Bisa ditutup akses aku untuk mendekati Dalillah."
"Kamu suka sama adiknya? Oh, aku ingat, kamu yang cium dia waktu masih bayi, kan?" Mark mengangguk.
"Aku pernah dikasih lihat waktu itu fotonya sama Mommy. Kata Mommy, kamu lagi cium anaknya Tante Rahma." Mark menatap kaget Rachel, lalu senyum licik terbit di wajah Mark.
"Jangan bilang kamu punya rencana licik, Markona," sindirr Rachel tahu arah tatapan licik Mark.
"Diam, Rabbit! Mau aku sebar video skandal ini ke Leo?" Mendengar ancaman Mark, Rachel menanggapinya sangat antusias.
"Disebar juga enggak masalah. Siapa tahu berefek samping pemaksaan menikah oleh keluarga." Mark geleng-geleng kepala, lalu merangkul sayang adik kecil kesayangannya.
"Masih kecil sudah berpikiran menikah?"
"Aku sudah besar, Mark." Rachel pun membalas pelukan Mark. Bagi Rachel, Mark seperti Leo.
"Sweety rabbit, jika Satria membuat kamu menangis, aku tidak akan tinggal diam," jelas Mark kalem, penuh penekanan.
"Terima kasih, Markona Sayang."
"Adik kecil ku sekarang sudah besar. Sudah pandai berciuman," goda Mark yang dibalas cekikikan Rachel.
"Kirim videonya, Mark!!" tawa mereka begitu terdengar di sekitar taman indah tersebut. Di kejauhan, Dalillah menatap kecewa Mark yang sedang berpelukan dengan wanita lain.
Dalillah belum pernah bertemu Rachel, dan saat ini dia hanya melihat tubuh bagian belakang Rachel, karena wajah Rachel bersandar di dada Mark.
"Loh, Mbak katanya mau bertemu Bos Mark. Itu di sana?" Dengan senyum dipaksakan, Dalillah menjawab pegawai di bengkel tersebut.
"Sudah, saya sudah bertemu Bos kamu. Terima kasih saya, pergi dulu." Secepat kilat Dalillah pergi dengan hati kecewa. Rasanya sakit memperhatikan di kejauhan sikap manis Mark sedang merangkul wanita lain. Mark punya kehidupan, dan bukan kapasitas Dalillah merecoki dunianya.
***
Di dalam mobil Leo.
"Udah sampai, Sha." Leo tersenyum lembut menatap wajah Marsha. Sejak dulu, Leo selalu memuja Marsha dalam diam. Entah mengapa ada rasa harus memiliki wanita tersebut, tanpa perlu meresmikan dengan lisan. Tindakan dan kasih sayang antara mereka seolah menjadi bukti, bahwa hubungan mereka resmi terjalin spesial.
"Kamu mau masuk, Le?" Leo menggeleng dan menahan tangan Marsha lembut.
"Bisa kita bicara?"
"Bicara apa, Le?"
"Hubungan kita." Leo menatap lekat wajah Marsha yang sedikit canggung dan gelisah.
"Kenapa dengan hubungan kita?"
"Aku mencintai kamu, Sha." Leo dengan tegas memberikan pernyataan cinta tersebut. Sejenak Marsha terdiam, lalu dia tersenyum menatap Leo.
"Ada apa, Le?"
"Jawab pernyataanku!"
"Kenapa?"
"Please, agar aku bisa memilih keputusan yang terbaik untuk semua." Raut wajah Leo jelas sangat serius dengan arah pembicaraan ini.
"Aku takut, Le." Leo sangat tahu Marsha punya pengalaman buruk dalam urusan asmara. Marsha pernah kecewa dengan Leo.
"Aku serius, Sha."
"Maaf, Le.." Marsha tertunduk, dia memang wanita lemah yang tidak mau berurusan dengan cinta, walaupun hati kecilnya berkata pria di sampingnya ini paling spesial. Leo itu pangeran yang selalu ada untuknya, baik suka dan duka.
"Aku masuk dulu, ya." Marsha menatap wajah Leo yang terus menatap lurus wajahnya. Perlahan Leo mendekat, lalu menarik lembut tengkuk Marsha. Dengan berani, Leo menyentuh bibir Marsha, menyatukan bibir mereka. Sensasi yang berbeda mereka rasakan. Ciumannya begitu lembut tanpa paksaan. Leo terlalu lembut menyecap bibir wanita yang selalu dia lindungi dari kecil.
Marsha membalas lembut ciuman Leo. Ini bukan pertama kali Leo menyatukan bibirnya ke bibir Marsha. Tapi selalu indah saat melakukannya.
"Bagiku kamu tetap Serenity, Marsha."
Dan kamu Endymion, ucap Marsha dalam hati.
Ya kisah Putri Serenity dari negeri bulan, mempunyai kekasih Pangeran Endymion. Tapi dahulu kisah cinta antara dua insan ini terpisah karena perang antara bulan dan bumi, membuat keduanya kebingungan akan kisah cintanya. Berbeda dengan mereka, selamanya mereka saling mencintai.
"Dahulu aku pernah salah, lebih tepatnya kamu salah paham denganku, Marsha. Lupakan itu semua, mulai dengan yang baru bersamaku." Leo mengecup lagi bibir Marsha. Berharap Marsha luluh dengan permintaannya.
"Hmm, sekarang giliran pasangan bodoh ini yang beradegan mesra.." Mark menatap kesal di dalam mobilnya, kenapa lagi-lagi memergoki adegan seperti ini dalam seminggu.
"Pasangan bodoh. Perang bulan dan bumi sudah selesai, tapi mereka belum bersatu. Bodoh."
Marsha mendorong wajah Leo, karena sekilas dia melihat kilatan lampu mobil yang menganggu aktifitas mereka dari dalam mobil. Mobil Mark melewati mobil mereka dan menghilang masuk ke dalam pintu gerbang rumah. "Itu tadi Mark, Le. Mungkin melihat kita berciuman, Le." Marsha panik sambil membenahi sudut bibirnya yang sedikit berantankan karena sapuan bibir Leo. Marsha merapikan dengan tisu sisa lipstik yang melebar ke sekitar bibirnya. Leo diam menyaksikan Marsha.
"Ini pakai tisu bibir kamu jugaharus bersih. Hapus bekas lipstik ku, Le." Leo diam tidak menjawab, dia lebih memilih menatap lekat wanita di depannya ini. Marsha yang sadar, terlihat tenang membersihkan diri lalu dengan berani membersihkan sudut bibir Leo dengan tisu.
"Aku mencintaimu, Marsha." Sekali lagi Leo mengutarakan cintanya. Marsha tetap tak bergeming, fokus membasuh bibir Leo dengan tisu.
"Aku masuk dulu, Le." Marsha tersenyum manis yang dibalas tatapan datar Leo. Marsha keluar dan segera berjalan cepat tanpa menoleh ke belakang.
"Kenapa kamu takut mengakui bahwa kita sama-sama mencintai, Sha? Apa aku harus hilang ingatan seperti Endymion, agar kamu yang menyembuhkan ingatanku?" Leo tertunduk di sekitar lingkaran kemudi mobilnya.
"Aku harus bagaimana sekarang, Serenity?" Leo terlihat bimbang.
Drt.. Drt.. Drt.. Dalillah
"Halo, Dalillah.."
"Leo, bisa kita bertemu?
***
Mari kita ruwet bersama-sama
Mounalizza
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro