6 - Si Manis & Abang Montir
Kelemahan diriku adalah kelebihan sahabatku. Kelebihan dariku adalah bagian dari kehebatan sahabatku. Karena kita selalu bersama, terima kasih sahabat.
Kebersamaan begitu terasa diantara tiga pasang suami istri yang sudah berumur hampir setengah abad ini. Ibra, Biyan dan Rama memang tetap akrab hingga usia semakin menua. Tidak ada batasan usia bagi mereka, untuk tetap menjalinkan hubungan persahabatan hingga seperti saudara.
Bahkan Biyan dan Rama yang memang bersahabat dari mereka masih dalam kandungan, berbagi panggilan sayang untuk anak-anak mereka. Bukan rahasia lagi, kalau anak-anak mereka memanggil panggilan yang sama. Mereka akan memangil Mama dan Papa untuk Biyan dan Sarah, begitu juga kepada Rama dan Livi mereka sama-sama memanggil Mommy dan Daddy.
"Rasanya sudah lama sekali kita tidak kumpul seperti sekarang. Dan anak-anak sudah beranjak dewasa." Rama sedang merenung memikirkan kehidupan.
"Bisa juga kamu merenung." Sarah tetaplah Sarah, usia tidak memengaruhi sifatnya yang usil dan berbicara santai dengan Rama.
"Dan pastinya Nyonya Biyan tidak akan pernah berubah." Rama menggeleng heran.
"Itulah yang membuat Biyan bertekuk lutut." Ibra ikut menggoda sahabatnya, Biyan menerima ledekan itu dengan senang. Dia memang sangat mencintai istrinya.
"Usia bukan menjadi penghalang."
"Rahma apalagi, tidak pernah membosankan." Tanpa malu Ibra memeluk Rahma.
"Gimana kalau kita menjodohkan salah satu anak kita?" Biyan memberikan ide.
"Memangnya Kakak tidak tahu? Kalau akan ada ajang perkenalan?" Biyan menggeleng mendengar ucapan istrinya.
"Mamaku, Mama Tiara dan Tante Nadira sepertinya masih punya rasa bersalah dimasa lalu, mereka mau cucu-cucunya yang membalas perjodohan itu." Sarah menjelaskan.
"Karena Satria masih fokus dengan urusan pekerjaan, Mama mendesak Dalillah yang menjadi perwakilan keluarga, siapa tahu berjodoh." Rahma juga menimpali.
"Aku terserah anak-anak, jika Leo setuju kita bisa meneruskan ke jenjang pernikahan." Sarah memang tidak akan memaksa anaknya dalam hal perjodohan.
"Kita nggak masalah, tapi Madam Tiara tidak akan tinggal diam." Biyan ikut menimpali.
"Iya, masih ingat dipikiranku Madam mendesak aku menikahi Si Begeng di sampingku ini." Livi terlihat sebal dengan candaan suaminya.
"Aku sudah tidak begeng lagi sekarang," ketus Livi.
"Iya sekarang mirip kulkas dua pintu," goda Rama lagi.
"Kamu masih enggak berubah, Ram, senang menggoda Livi." Rahma tersenyum geli melihat suami- istri ini dari dulu, mereka terlihat tidak pernah akur, tapi kekuatan cintanya begitu kuat terlihat.
"Aduh, Mbak, sekarang tambah lagi yang seperti dia, Mark menurunkan sifat usilnya." Livi geleng-geleng kepala.
"Lihat saja sekarang, sepertinya Dalillah sedang digoda sama Mark." Sarah menunjuk tempat di mana anak-anaknya sedang menikmati makan malam bersama.
-
"Besok aku jemput kamu di rumah, kita kencan berdua!" bisik Mark ke Dalilah yang sedang duduk mengisi minuman dingin.
"Ketemuan aja, aku bisa bawa mobil sendiri!" ketus Dalilah
"Terus gimana kita bisa dekatnya, Manis. Kau di sana, aku di sini, satu rasa dalam hati. Kenapa aku jadi bersenandung?" Mark senang sekali melihat wajah cemberut Dalillah.
"Sinting, mau jadi Afgan enggak kesampaian." Dalillah semakin sinis.
"Hmm, kasih kode, ya?!"
"Kode apaan? Situ percaya diri terlalu."
"Situ kasih kode, jodoh pasti bertemu, kan? Simanis bisa aja."
"Aku enggak niat dekat sama kamu, Pencuri Kecil, apalagi berjodoh? Mimpi buruk," sinis Dalilah.
"Nanti dicatat kita berjodoh." Mark meledek Dalillah, pelan tapi mengandung arti.
"Kamu pencuri ciuman pertamaku, tidak akan aku lupakan itu," tegas Dalilah sinis.
"Ya, sudah, aku bilang ke ibu tiri kamu, ah. Kemarin, ada wanita yang sosor aku tiba-tiba. Si Gadis Toilet, pencuri ciuman aku juga." Mark mencoba mengancam Dalillah sambil menggoda.
"Hobi ancaman!" Dalillah mencibir.
"Demi mendapatkan kamu."
"Enggak akan bisa!" tegas Dalilah.
"Pasti bisaaa." Mark lebih tegas lagi.
"Sok tahu kamu, Play boy jelek."
"Terima kasih, Manis."
"Jangan panggil aku Manis," emosi Dalillah benar-benar diuji.
"Tapi kamu enggak pahit. Bagaimana, dong? Kalau panggil kamu asem, enggak bagus juga, kan? Pokoknya besok, aku jemput jam sembilan pagi!" suara Mark melembut, tapi penuh penekanan.
"Kepagian, aku mau istirahat dulu," protes Dallilah, membuat Mark tak pernah bosan menggodanya.
"Ketemu aku pasti hilang lelahnya."
"Yang ada tambah stres."
"Manisku unyu-unyu."
"Wah, Dalillah sama Mark akur, ya? Dari tadi sepertinya seru sekali. Kirain enggak akan diizinkan sama Satria." Sarah menggoda Satria yang berada di sampingnya. Satria hanya tersenyum malu, karena sikap over protektif terhadap Dalillah sudah menjadi rahasia umum.
"Mama Sarah tahu aja, Satria kakak paling bijak sedunia.m." Lagi-lagi Satria terlihat risih dengan kedipan mata Mark untuk dirinya. Satria menghampiri Mark dan memukul pelan perut Mark sambil tertawa.
"Satria kembaranku jangan dipukul, dong. Kamu galak banget sama Mark." Marsha berdiri di samping Satria.
"Kembaran kamu gemesin bikin gregetan, sih." Satria berusaha santai dengan Marsha, mereka duduk di antara Mark dan Dalillah.
"Tapi kasihan, Dalillah bilang dong sama kakak kamu." Dalillah hanya tertawa.
"Tapi, Mark memang gemesin, Sha.. Aku aja mau ikut cubit-cubitin," sindir Dalillah sambil mencibir Mark.
"Ah, bilang aja mau pegang aku, Manis." Dalillah pura-pura tidak mendengar.
"Kembaran aku memang menggemaskan." Marsha memeluk kembarannya dengan sayang.
"Kalo Leo gemesin enggak, Sha?" Sekarang giliran Marsha yang digoda Satria, pipi Marsha merona malu.
"Jangan bawa-bawa gue!" Leo pun tak segan memukul perut Satria sambil tertawa. Mereka memang sudah dekat dari kecil. Tertawa, bertengkar, sudah menjadi makanan mereka dari dulu.
"Coba kalian sering bertemu begini, jadi tambah dekat lagi. Sayang, semua sibuk dengan urusan dunia." Ibra bahagia menatap anak-anaknya meneruskan persahabatan dirinya dengan Biyan dan Rama.
"Iya, Om Ibra, sayangnya Rachel enggak bisa datang. Mungkin Satria lupa undang kali? Duh, Kakak, gimana, sih." Mark menyindir Satria, sayangnya Satria tidak paham dengan sindiran Mark.
"Sori, Leo gue pikir lo pasti kabarin adik lo, siapa namanya? Rachel.." Satria merasa tidak enak dengan Leo.
"Enggak apa-apa, Rachel memang lagi di rumah saudara gue. Sepertinya liburan berenam ide bagus, nih?" Leo terlihat antusias begitu juga dengan yang lain.
"Ah, Leo kalau mau ajak Marsha enggak usah ajak orang-orang." Satria tetap menggoda Marsha yang kikuk.
"Sialan lo, Sat."
"Kakak Brader benar." Mark merangkul Satria.
"Jangan peluk-peluk gue, Mark! Leo, lo kuat banget ngadepin makhluk yang satu ini."
"Lele sama seperti aku, paling sabar menghadapi Mark.."
"Hmmm Marsha punya panggilan sayang. Aku jadi iri." Akhirnya Dalillah ikut bersuara. Sejak tadi dia hanya memperhatikan tingkah di sekitarnya.
"Kalau kamu panggilannya, Manis." Mark melirik Dalilah.
"Jangan ganggu Dalillah, Mark!" Satria kembali jengkel dengan Mark.
"Curang lo, bisa ganggu adik kecil gue. Giliran gue, dilaranh. Benar kata Dalillah, kamu ibu tiri." Mark berakting sedih, Satria menatap adiknya dengan tatapan jengkel. Dan malam itu pun dipenuhi dengan canda tawa dan tak lupa pertengkaran-pertengkaran dan tiada akhir.
"Sering-sering kita kumpul kayak gini lagi, ya?" ide Mark bahagia.
"No, sama saja mempercepat ajal," balas Satria jengkel.
"Haduh, kapan damainya kalian?" Leo pusing sendiri. Marsha dan Dalillah menggeleng kepalanya.
-
Sementara di suatu kamar, terlihat Rachel termenung hingga menjelang dini hari. Dia memang belum siap bertemu dengan Satria. Ada alasan yang dia sendiri tak bisa jelaskan, hanya saja, membutuhkan kesiapan hati lebih bijak.
"Belum tidur, Chel?" Rachel duduk dari tidurnya, menggeleng lemah menatap kakak sepupunya, Zahara.
"Belum Mbak, Alvina sudah tidur?"
"Sudah, ketemu papanya langsung reda demamnya." Zara duduk di samping Rachel. Perihal kisah pertemuannya dengan Satria, Zara sudah diceritakan oleh Rachel.
"Mbak saranin, kamu jujur sama Satria. Pria itu enggak suka dibohongi, apa pun alasannya."
Rachel diam berpikir. "Aku takut jika dia tahu siapa aku, dia akan menghindar."
"Sebaliknya, kalau kamu berbohong seperti ini, dia akan menghindar, Sayang. Lagi pula, apa yang kamu sembunyikan? Kamu bukan anak pembunuh. Kenapa malu?"
"Aku bukannya malu. Aku takut dia mundur, karena dia temannya Abang Leo." Zara tertawa.
"Yang jelas Mbak salut sama Satria, dia bisa merubah Rachel Arga Rahadi yang energik menjadi kura-kura begini." Rachel tersenyum serba salah.
"Aku juga enggak tahu kenapa bisa begini, rasanya beda. Aku jadi hilang arah."
"Besok kamu ketemu sama Satria, bilang kalau kamu anaknya Biyan Arga Rahadi. Urusan selanjutnya, terserah waktu yang menghakimi." Rachel mengangguk.
"Semangat, Mbak tahu, kamu bukan wanita lemah. Mbak tidur dulu, ya." Rachel tersenyum dan menatap pintu itu dengan pikiran melayang.
Dia mengambil ponselnya dan mengetik pesan singkat untuk Satria.
My hero : Satria ini aku Achel, disave no hp aku, besok sore ketemu di cafe pertama kita ketemu. Kafe saat aku tampar kamu yah 😅.
"Racheel, kamu harus bangkit seperti dulu kala. Ceria," ucapnya sendiri. Aneh memang hati ini, seolah sedang berusaha mencari tempat baru dan memulai adaptasi dengan benar. Inikah yang namanya permainan asmara?
Drt.. Drt.. Drt.. My hero
"Haduh, Satria langsung telepon..Tenang Rachel, jangan grogi! Sambut dengan suara bahagia." Inilah saatnya dia mencoba kembali dengan sifat ceria.
"Halo..."
"Aku pikir kamu udah lupain aku, Pendek.." suara Satria kecewa di seberang sana. Rachel harus bisa menguasai kegugupan.
"Sori, aku sibuk dari kemarin, kamu belum tidur, Satria?"
"Aku baru mandi, tadi ada acara makan malam di rumah."
"Wah, seru dong?" Rachel pura-pura menimpali.
"Enggak seru, enggak ada kamu!" Napas Rachel hampir tercekat mendengarnya. Jangan-jangan Satriasudah tahu siapa dirinya?
"Ko-ko, bisa gitu?" cicit Rachel.
"Iya, aku kepikiran kamu terus. Besok aku jemput aja di rumah kamu, gimana? Sms alamat rumah kamu, yah!"
"Hmm, ketemu di sana aja, orangtua aku galak," ucap Rachel cepat.
"Oke, jam makan siang aja, ya? Kamu jangan bawa mobil, nanti pulangnya bareng aku."
"Gimana, ya?"
"Harus mau!"
"Oke, siap." Rachel memang bodoh, terpesona mendengar titah Satria. Asmara memang aneh.
"Sekarang kamu tidur! Mimpi indah, Pendek," suara Satria melembut, membuat Rachel luluh dan semakin merasakan bunga-bunga dihatinya. Padahal menghina, tapi yang ditangkap Rachel berbeda.
"Bye, Satriaa." Rachel menutup sambungan dengan wajah bahagia. Satria benar-benar mampu membuat perasaannya jungkir balik tidak karuan.
"Satria, My Hero." Akhirnya Rachel idur dengan senyuman, sungguh seperti remaja dimabuk cinta.
***
Keesokan paginya. Masih di rumah keluarga Satria.
"Ma, bukannya aku tidak setuju, tapi biar Dalillah sendiri yang memutuskan. Aku enggak mau anakku terpaksa mengikuti perjodohan ini." Satria yang baru turun dari kamar, tidak sengaja mendengar perbincangan orangtuanya dengan Oma Nadira. Rahma sang menantu hanya mendengarkan.
"Iya, tapi Mama yakin, Dalillah suka dengan Leo." Nadira tampak bersikeras. Satria yang sudah terlihat rapi dibuat heran dengan perkataan neneknya.
"Nah, ini Satria. Oma mau tanya sama kamu." Satria duduk di samping Oma Nadira dengan wajah bingung.
"Ada apa, Oma?"
"Kamu kenal Leonardo Rahadi, kan?" Satria mengangguk.
"Kenal, kami berteman cukup dekat, kenapa?"
"Oma mau menjodohkan Dalillah dengan Leo?"
"Apa?" Satria tampak terkejut.
"Kenapa? Apa ada yang salah?"
Bukan salah, Oma. Tapi Leo itu dengan Marshaa. Ah, bagaimana bilangnya? Aku tahu dari tatapan mereka berbeda.
"Enggak ada yang salah," jawab Satria asal. Tak mau ikut campur, lebih tepatnya.
"Karena kamu menolak dijodohkan. Sebenarnya Oma lebih suka kamu dulu yang menikah," gerutu Nadira kepada Satria.
"Oma mau kenalin aku sama wanita seperti Amber lagi? Operasi di mana-mana wajahnya, enggak ada yang alami," sindir Satria.
"Bukan dengan Amber, tapi dengan adiknya Leo. Dia pintar memasak, sekarang meneruskan bakatnya di dunia kuliner."
"Iya, Ma, putrinya Sarah sangat berbakat dalam dunia kuliner. Aku sering memakai jasa katering kafe yang dia kelola." Satria hanya mendengarkan tanpa perduli, dan sekarang Mamanya juga ikut mempromosikan wanita pilihan Nadira.
"Oma kasih lihat orangnya. Kemarin aoma bertemu dengan dia, kebetulan dia sedang membantu sepupunya mengurus anaknya yang sedang sakit. Oma terpesona sekali. Dia terlihat masih remaja, tapi Oma suka sekali menatap wajahnya."
"Oma aja yang nikah sama dia." Nadira menjewer telinga Satria.
"Kamu ini, kalau dikasih tahu pasti begini. Nih, liat di ponsel Oma!" Nadira memberikan ponselnya kepada Satria. "Nih, dia putrinya Biyan Rahadi."
"Asyel?"
"Nah, tuh kamu kenal sama Rachel." Satria menatap foto itu dengan mata melebar tanda tak percaya. Perlahan isi kepalanya mulai berpikir. Jadi..
Rahangnya mulai mengeras. Mulutnya menyatu membentuk ekspresi wajah kesal. "Jadi dia benar Rachel adiknya Leo?"
"Memang dia adik siapa lagi? Anaknya Biyan hanya dua." Nadira masih bersuara. "Oma suka lihat wajahnya. Lugu."
"Iya, Ma, Achel memang sangat cantik dan manis. Dia jelmaan Sarah saat masih muda. Tidak heran, Mama dulu mau meminang Sarah untuk Ibra," goda Rahma di samping Ibra.
"Rahma, kamu tidak tergantikan sebagai menantu Mama, tidak dengan yang lain, Sayang."
"Iya jodoh sudah diatur, dan Sarah berjodoh dengan Biyan, tidak denganku."
"Hei, Satria, kamu mau kemana rapi begini? Jangan bilang kamu mau merecoki Dalillah yang sedang jalan?"
"Enggak, Ma, aku ada janji sama teman."
***
Di dalam mobil Mark.
"Hai, Manis, jangan cemberut. Kan, kita mau kencan." Mark tersenyum bahagia menatap Dalillah berada di dalam mobilnya. Mimpi apa dia mendapat kesempatan langka. Selama ini, Dalillah selalu dilarang berseliweran di sekitar hidupnya.
Dalillah tampak cantik mengenakan baju santai, celana jeans dengan kaus lengan pendek karakter kartun Hulk. Mark tertawa dengan pemilihan baju Dalillah, terlihat santai untuk acara berkencan. Dengan dirinya pula. Dia, kan, istimewa.
Mark tak masalah, karena itulah yang membuat Dalillah terlihat unik dan berbeda dari wanita lain. Dia apa adanya.
"Mula kamu ditekuk aja, mirip Hulk mau berubah." Dalilah tetap tidak bergeming, dia diam dan memalingkan wajahnya.
"Ya sudah, kalau enggak mau ngomong, kita ke toko buku dulu. Aku ada perlu mau beli buku automotif."
"Terserah," ketus Dalillah. Mark tertawa dan mengemudikan mobil dengan tenang, tanpa mengganggu Dalillqh.
Drt... Drt.. Drt.. Mark terlihat ingin mengangkat panggilan di ponselnya.
"Halo.." sapa Mark sopan. Dalillah masih diam tak memedulikan.
"Hai, Darling, apa kabar? Long time no see. Aku tidak akan pernah bisa melupakan dirimu. Apa? Sekarang? Wah, enggak bisa, Darling, sibuk sekali hari ini." Dalillah menahan kekesalan mendengar suara Mark yang terlalu lembut membalas sapaan seseorang di sambungan telepon. Mustahil kalau tidak dekat. Buktinya, dibuat-buat. Penuh kepalsuan. Dasar buaya.
Mark sadar gelagat Dalillah yang tak bisa ditutupi. Ingin rasanya Mark tertawa, tapi mengganggu emosi Dalillah sepertinya menjadi mainan baru yang menyenangkan.
Andai Dalillah tahu siapa yang menghubunginya.
"Ye, sibuk ya, Cyin? Eke mau tanya, masnya Eke mau rombak mobilnya lagi dan dia percaya sama Ye, Si Tampan yang katanya tanpa cela."
"Ah, apa-apa kamu bilang? Aku tampan tanpa cela? Andai ada di sini, sudah aku hadiahi pelukan hangat." Mark tertawa menggoda temannya di sambungan telepon.
"Darling, aku akan menunggumu besok di bengkel, karena kamu paling spesial." Mark mengatakannya dengan sengaja, lalu melirik Dalillah yang sudah mengepalkan kedua tangan.
"Iyaa, Darling, besok kita bertemu. Kamu mau ke bengkel jam berapa? Siap, ditunggu."
Cukup sudah, Lil, ayo bertindak!
"I miss you, Darl.." Dengan tiba-tiba Dalillah mengambil alih ponsel Mark, lalu menatap cemberut ke wajah Mark yang masih tersenyum manis, semanis gula. Gula biang yang berbahaya bagi tubuh. Sumber penyakit.
"Kenapa diputusin panggilannya?"
"Kamu mau kencan sama aku atau enggak, sih? Kenapa merayu wanita lain di depan aku? Kamu kira aku patung toko yang dipajang di mobil kamu?" Mark tertawa mendengar Dalillah marah. Andai dia tahu yang menghubungi adalah teman dengan orientasi berbeda.
"Iya, tapi kasihan temanku. Dia lagi ada perlu sama aku," goda Mark membuat Dalillah semakin cemberut.
Ada apa sama gue? Terserah dia mau terima panggilan siapa, tapi jangan sambil sayang-sayangan! Dikira gue patung baju yang enggak bisa dengar. Kesel, dasar enggak peka.
"Iya, maaf. Aku enggak akan terima panggilan, hari ini buat kamu seorang." Mark merayu Dalillah.
"Bagus kalau kamu sadar," ketus Dalilah dengan berani menatap Mark.
Kenapa gue jadi cemburu?
"Tapi, kamu juga jangan diam aja. Sejak tadi aku ngomong sama kaca. Lebih enak sama kamu. Kan, wajahnya melebihi kaca yang bening, tembus ke hatiku." Dalillah sedikit tersenyum mendengar rayuan gombal yang terdengar sangat kampungan, batin Dalilah.
Ayo, senyum, Gadis Toilet!
"Nah, kan, cantik kalau senyum. Wah, gawat. Aku harus hati-hati, nanti pasukan semut bisa menyerbu kamu, karena kamu terlalu manis." Dalillah semakin tersenyum, entah kenapa rayuan kampungan Mark begitu membuat hatinya gembira.
Jangan panggil Mark kalau tidak paham akan tipe-tipe wanita. Tipe wanita seperti Dalillah sudah sangat dihafal Mark. Dia wanita polos yang sepertinya haus akan rayuan dari pria. Terlebih kisah asmaranya selalu diatur oleh sang kakak. Mark tertawa sendiri, mengingat dialah penyebab Dalillah memiliki ibu tiri dalam hal asmara.
"Kenapa tertawa sendiri? Kamu gila?" sindir Dalillah yang menatap heran Mark.
"Senyuman kamu menebar virus bahagia kepada siapa saja yang menyaksikannya.." Dalilah tersenyum malu kembali. Sialan pria ini, gombalan norak mampu merasuki jiwanya yang haus rayuan.
"Gombal," cibir Dalillah.
Tenang Mark. Dia berharga untuk sekadar kamu permainkan. Kamu harus kembali mencuri hatinya seperti dulu, saat kamu mencuri ciuman pertamanya. Apapun yang terjadi, dia harus jadi milikku selamanya. Aku akan jadi pencuri hatinya .
Drt.. Drt.. Drt.. Oma
"Siapa yang telepon? Kalau Satria, biar aku yang jawab!" Dalillah menggeleng, ada perasaan tidak nyaman di hatinya kalau dia menerima panggilan dari sang oma.
"Oma aku."
"Angkat, Lil, siapa tahu penting." Dalillah mengangguk.
"Iya, Oma?"
"Nanti sore ketemuan sama Oma di Cafe Amor. Alamat Oma kasih tahu nanti di sms, jam empat, jangan sampai telat, oke?" jelas Nadira dengan perintah mutlak.
"Kenapa?" Mark bingung dengan wajah Dalillah yang tampak lesu.
"Nanti jam empat sore aku ada janji sama Oma, ketemuan sama Oma di kafe."
"Oke, enggak masalah. Kita bisa lain waktu jalan seharian, besok-besok, ya?" Dalillah melirik Mark dengan wajah bingung.
"Percaya diri sekali Anda? Siapa juga yang mau seharian jalan sama kamu, Abang Montir?" Mark tertawa mendengar panggilan Dalillah untuk dirinya.
"Si Abang Montir ini terima bengkel hati yang mogok, loh. Terutama Hulk yang enggak bisa berubah. Bisa aku rombak jadi barbie."
Duh, kenapa di dekat Mark hati gue dipaksa tertawa terus? Gue bisa santai dekat dengan dia, tanpa harus berakting lembut. Dalillah yang apa adanya, bisa keluar begitu saja kalau dekat dia. Tahan Lilah, dia play boy. Baru aja dia darling-darlingan sama wanita mainan dia. Jangan terpancing.
Tapi ko dia nggak berusaha cium gue, ya? Lilah, kenapa lo jadi mesum gini? Ciumannya benar-benar bikin gue pengen lagi. Bibir gue kangen sama sentuhannya. Wuih, kejadian di depan toilet waktu itu nggak bisa gue lupain. Dasar pencuri sialan!
Mark menatap Dalillah yang melamun menatap jalan sambil memegangi bibirnya. Terkadang dia tersenyum sendiri sambil meraba bibirnya. Mark penasaran. "Kamu kenapa, Lil, kenapa meraba bibir kamu? Sariawan?" selidik Mark sambil menyetir mobil.
"Cium aku lagi ,dong!" suaranya nyaris berbisik tetapi Mark mendengar dengan jelas. Dalillah menutup mulut karena tidak sengaja mengeluarkan isi hatinya. Dia lepas kendali.
Mendengar Dalilah berkata seperti itu Mark menepikan mobilnya, tertawa dengan sangat keras, bahkan bertambah gaya sambil memegangi perutnya. Dalillah tampak malu, wajahnya merah padam. Memalukan.
Tapi Dalillah tidak bisa dia saja. Dia harus bisa mengahadapi kebodohannya sekarang juga.
"Jangan ke-ge-er-ran!" Dalillah mencubit lengan Mark gemas. "Aduh..Iya-iya, sori. Jadi, kamu mau aku cium?" Mark memegang tangan Dalillah. Kembali lagi getaran aneh Dalillah rasakan. Semua karena dia jarang, bahkan tidak pernah berinteraksi dengan lawan jenis. Semua karena peraturan berlebihan sang kakak.
"Lilah, kenapa diam lagi? Mau aku cium?" Mark mendekati wajahnya ke wajah Dalillah, entah sihir apa yang hinggap, Dalillah memejamkan mata.
Mark tersenyum menatap wajah lugu Dalillah, tampak gugup, tetapi berusaha dihadapi. Cantik, sangat cantik, batin Mark. Bibirnya begitu menggoda untuk dirasakan.
Ingin rasanya Mark melumat habis-habisan bibir itu, tetapi Mark bukan play boy berengsek, terlebih ini Dalillah. Untuk sampai di fase ini saja butuh dua puluh tahun mendapatkan tanda tangan setuju dari Satria. Mark tidak mau gegabah.
Dia tidak akan berbuat konyol, demi nafsu sesaat. Mark menempelkan kedua jarinya, seperti tanda peace di bibir Dalillah. Sengaja menekan kedua jarinya di bibir Dalilah. Janjinya, sesuatu yang lunak ini akan menjadi miliknya mutlak pada saat waktu yang sudah tepat.
"Aku akan cium kamu, kalau perasaan kamu sudah tidak takut lagi. Bukan karena penasaran, tapi karena hati kamu rindu sama dan membutuhkan aku, Manis," bisik Mark di telinga Dalillah, hembusan napas Mark begitu terasa di sekitar pipi Dalillah.
Mark sialan.
***
Di kafe awal Rachel bertemu Satria.
Senyuman terukir indah di wajah Rachel, baru pernah merasakan gelisah tak kunjung usai, rasa rindu yang tak pernah habis semua menjadi satu. Hari ini dia akan jujur dengan Satria. Dia harus menjelaskan kenapa kemarin sedikit berbohong. Terkadang, jika sedang gugup, bicara melantur suka seenaknya.
Satria menatap dari jauh wajah wanita yang akhir-akhir ini mampu meluluhkan hatinya, dengan Rachel, sikap kaku perlahan hilang. Mampu membuka benteng pertahanan hati Satria yang sengaja dikokohkan sekuat tenaga, agar tidak terbuai sesuatu yang berhubungan dengan asmara. Tapi Rachel berhasil merubuhkan benteng itu.
Dikejauhan, dia menatap wanita itu tampak berseri mengenakan dress cantik putih. Semakin memperlihatkan wajah cerahnya, nyaris tanpa cela. Bibir indahnya terlihat sangat menggoda Satria, dia sadar itu kelemahannya menghadapi Si Gadis Mungil. Tapi Satria harus menyelesaikan kebohongan Rachel. Dia akan mengetes sampai di mana Rachel mengajak dirinya main-main.
"Hai, Asyel sudah nunggu lama?" Satria tersenyum datar menatap Rachel.
"Enggak, baru sepuluh menit aku di sini."
"Kamu sudah pesan?" Rachel menggeleng.
"Aku tunggu kamu." Satria mengangguk dan mereka memesan makanan. Mereka menikmati makan siang dengan santai. Rachel sudah terlihat tidak malu lagi, dia berusaha santai.
Satria sendiri menahan pertanyaanya untuk Rachel perihal identitas. Dia mau Rachel yang jujur sendiri tentang siapa dirinya.
"Es krim ini rasanya enak, kamu mau?" Satria menggeleng, dia lebih memilih menatap wajah cantik itu tersenyum. Menyenangkan menatap Rachel menikmati makanan penutup. Sebelum hari ini akan dia tutup dengan kebenaran yang sedang ditutupi Rachel. Karena akan sangat penting untuk sikap Satria ke Rachel selanjutnya.
"Asyel, kemarin di kantor Rahadi Grup mau ketemu siapa, sih?" selidik Satria dengan wajah tenang.
"Saudaraku."
"Siapa?"
"Kenapa memangnya?" tanya Rachel heran.
"Enggak apa-apa, aku kenal dekat sama Bapak Leonardo Arga Rahadi, dan juga ayahnya." Rachel diam, sejujurnya dia takut berbicara jujur. Risiko kalau tahu, nanti kedekatan mereka akan memudar.
"Aku hanya kenal sama pegawai kantornya aja," cicit Rachel. Dalam hati, Rachel merutuki lagi kenapa dengan mudah berbohong. Mau diralat, sepertinya akan tampak bodoh.
Satria mengangguk dan menatap lekat wajah Rachel, wajah yang seminggu ini berhasil menguasai otak Satria. Menghancurkan prinsip Satria. Hampir menghancurkan, batin Satria menegaskan.
"Kamu bilang orangtua kamu galak?" selidik Satria yang tak lepas menatap wajah Rachel.
"Iya, galak." Rachel jawab terbata. "Kamu punya kakak?" Rachel menggeleng bingung.
Rachel mau lo apa ,sih? Ayo, jujur lo anaknya Biyan Arga Rahadi!!!
Satria menahan napas, perlahan memegang tangan lembut Rachel. Dia akan menyelesaikan semuanya. Sekali berbohong, akan terus berbohong. Satria sedikit mengambil kesempatan terakhir, memperhatikan wajah manis Rachel, lalu mengalihkan pandangan. Dia tak mau luluh oleh tatapan seolah lugu itu. Selain itu, kalau dia meneruskan, situasi yang terjalin akan terlihat kacau. Karena kalau tidak salah, Dalillah akan dikenalkan lebih dekat dengan Leo. Harapan untuk dirinya dan Rachel sudah lenyap. Satria harus bisa menerima. Kebetulan yang menyakitkan, ditambah kebohongan kecil Rachel yang baginya fatal.
Satria tak suka dibohongi.
"Satriaa sebenarnya.."
"Maaf, sebaiknya kita tidak berhubungan lagi, Nona Rachel Arga Rahadi." Satria memotong pembicaraan Rachel.
"Apa?" Rachel kaget mendengar namanya disebut dengan lengkap oleh Satria.
"Kenapa kamu bohong dari awal sama aku? Apa susahnya bilang, kalau kamu salah satu anak pemilik Rahadi Grup? Dan bukan itu saja, kamu adik Leonardo?" sinis Satria menyemburkan kekecewaan.
"Ini aku baru mau jujur," cicit Rachel menunduk takut. Merutuki kebodohan kecilnya, ternyata berujung kekecewaan. Dan sepertinya Satria marah besar, Rachel benar-benar menyesal.
"Jadi benar, kan, kamu berbohong?" Satria anti kebohongan, walaupun itu hal kecil.
"Maaf, aku takut."
"Takut kenapa? Takut aku mirip lelaki hidung belang yang mau menguras hartamu?" kata-kata Satria telak membuat Rachel merasa bersalah.
"Bu-bukan begitu.."
"Nona Rachel, terima kasih seminggu ini berhasil mengisi otak aku. Membuat aku gelisah. Tapi sekarang, aku akan berusaha melupakan." Satria berkata pelan dan tidak menatap wajah Rachel.
"Kenapa? Maaf, kalau aku mengawalinya dengan kebohongan, tapi tadi aku berani sumpah, aku mau jujur sama kamu." Rachel sedikit gemetar menyelesaikan pembelaannya.
"Lagi pula bukan kita yang dijodohkan," ucap Satria pelan, Rachel semakin bingung.
"Apa?" Rachel merasa dia butuh penjelasan.
"Aku pergi dulu. Maaf, kalau sebelumnya aku mengeklaim kamu milik aku." Satria sekilas memperhatikan tatapan panik Rachel.
"Aku harap kita bisa berhubungan dengan baik. Apalagi orangtua kita berteman dan akan semakin mempererat tali kekeluargaan antara dua keluarga." Satria menyentuh pipi Rachel yang hampir sudah menjadi bagian miliknya untuk disentuh.
"Maaf." Rachel menatap Satria bingung. Sesakit hati itukah Satria terhadap dirinya? Dan kenapa hatinya terasa nyeri saat Satria berbicara seolah mereka tidak bisa menjalin hubungan? Bahkan hubungan mereka belum diresmikan. Ini tidak adil.
Satria berdiri, perlahan mendekati Rachel lalu mengecup kening Rachel. "Kita berteman saja." Satria lalu pergi meninggalkan Rachel seorang diri, saat membayar pun, Satria berusaha tak terpancing menatap Rachel.
Rachel sendiri masih mematung menatap Satria yang pergi dari hadapannya. Hingga beberapa menit bergulir, Rachel segera berdiri. Dia tidak bisa menerima semua ini. Terlalu konyol, batin Rachel. Dengan tergesa-gesa Rachel mengejar Satria yang masih berada di parkiran sepi menuju mobil Satria.
"Kenapa kamu seperti ini Satria? Sebegitu salahkah aku? Ini aneh, Satria." Rachel menahan tubuh Satria yang hendak masuk menuju mobilnya. Rupanya Satria berjalan pelan sampai bisa sampai ke mobil.
"Satria," panggil Rachel lagi.
"Berbohong butuh kecerdasan, tapi melakukannya adalah kebodohan," jawab Satria datar menatap wajah Rachel yang sedikit memerah menahan emosi, mungkin.
"Kamu marah sama aku? Aku minta maaf Satria. Aku manusia normal yang bisa berbuar kesalahan. Maaf, sekali lagi." Wajah Rachel begitu memelas, ingin rasanya Satria merengkuh tubuh menggemaskan itu. Tapi sekali lagi, Satria lelaki yang punya prinsip. Dia anti kebohongan.
Satria merapikan rambut Rachel yang sedikit menutupi wajah indahnya. Wajah yang mampu membuat Satria lepas kendali. Satria tersenyum menatap wajah Rachel. Menarik diri Rachel yang menghalangi jalannya untuk menjalankan mobil.
"Sekarang ini, aku enggak marah karena kamu berbohong, tapi aku kesal pada diriku sendiri, karena aku enggak bisa lagi memercayai kamu. Maaf, ini prinsipku." Rachel terdiam menatap kepergian Satria begitu saja. Dia tidak menangis, karena dia bukan seorang wanita lemah. Dia Rachel Arga Rahadi, wanita kuat dan optimis dalam memperjuangkan apa yang sudah akan menjadi kebahagaiaannya.
"Semangat. Tunggu aku, Satria. Kamu belum kenal siapa Rachel yang sesungguhnya. Kamu sudah berhasil menguasai jalan pikiranku, lalu semudah itu berhenti berjalan meraih hatiku? Tidak akan pernah kubiarkan kamu kabur," janji Rachel penuh percaya diri.
***
Kembali di mobilnya Mark.
"Kamu yakin, janjian sama Oma kamu di Cafe Amor?" Dalillah mengangguk.
"Kafe ini milik Rachel, adiknya Leo."
Dalillah hanya mengangguk, sejujurnya dia berat berpisah dengan Mark. Entah kenapa, rasa nyaman dekat dengan pria humoris di sampingnya terus menyeruak. Satu-satunya pria yang seenaknya merampas kisah ciuman pertama.
"Hei, kenapa melamun? Minta dicium?" goda Mark lagi.
"Apaan, sih." Dalillah mencubit pinggang Mark. Sekarang sudah berani memperlihatkan ekspresi lebih. Mark bukan pria yang kaku seperti sang kakak. Dalillah merasa tidak takut.
"Terima kasih untuk hari ini. Kamu sudah bersedia kencan sama aku!" Dalillah mengangguk tersenyum. Manis sekali suara Mark memberikan ucapan. Rasanya Dalillah masih mau menikmati hari bersama Mark. Lagi-lagi halangan datang, dia sudah terlanjur berjanji dengan sang oma. Dan harus ditepati.
Pikiran Dalillah lalu berkelana lebih jauh. Khawatir kalau saat ini adalah pertemuan terakhir. Mungkin saja Mark hanya puas satu kali berkencan, mungkin saja. Dalillah terus berpikir, bagaimana caranya biar mereka bisa berkencan lagi. Seolah haus dengan makna perjumpaan seperti kencan, Dalillah tak mau pergi begitu saja. Tapi bagaimana menjelaskannya? Tidak mungkin dia menawarkan pertemuan kembali. Gengsi. Bisa Dalillah bayangian ledekan menyebalkan Mark kalau dia mengajak kembali berkencan
"Hei., kenapa diam lagi? Mikirin apa, Manis?" Mark cekikikan melihat Dalilah yang lagi-lagi melamun. Ekspresi Dalillah mudah terbaca.
"Terima kasih juga untuk hari ini." Dalillah tersenyum manis untuk Mark. Lebih baik dia segera keluar dari mobil Mark. Toh, kalau memang dia diperbolehkan bertemu dengan Mark kembali, waktu tidak akan jahat dengannya. Walaupun ada rasa sedikit kecewa, karena Mark membiarkan Dalillah pergi begitu saja. Dalillah harus bisa menerima.
Menghalau rasa kecewa karena mobil Mark pergi begitu saja, Dalillah memasuki kafe tersebut dengan pelan. Tak jauh dari pintu masuk, Dalillah melihat sang nenek sedang melambaikan tangan ke arahnya. Lupakan sikap Mark yang biasa saja, nikmati perjumpaan dengan sang nenek.
"Maaf Oma, aku datang terlambat."
"Tidak apa-apa, Sayang. Ayo, sini duduk! Oma mau kenalkan kamu dengan teman-teman Oma." Dalillah duduk di sebelah Oma Nadira.
"Kenalkan, ini Oma Tiara dan Hani teman, mereka akan jadi Oma kamu juga, nantinya." Dalillah terlihat bingung tetapi dia lebih memilih tersenyum lalu bersalaman dan menyapa sopan.
"Sore, Oma."
"Duh, cucu kamu cantik sekali." Tiara mengelus pipi Dalillah dengan sayang."
"Maaf, Oma aku telat."
"Ah, ini cucuku juga sudah datang." Hani berdiri menyambut cucu tersayang.
"Leo?" Dalillah tersenyum tak percaya menatap Leo, dia mempunyai firasat aneh.
"Hai, Dalillah." Leo tersenyum ramah.
"Loh, kalian sudah saling kenal?"
***
Salam Ruwet
Mounalizza
Revisi cerita ini tuh cukup bikin mata ruwet.
Tiap part diatas 3500 kata. Part ini aja 4600 kata. Jadi revisi typo, eyd dll juga bikin otak aku ruwet..😅
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro