4 - Si Pendek
Di cerita ini, memang Imajinasi saya lumayan bandel sih. Jadi, harap maklum sama tiap adegan yg sedikit menjurus. Dua tahun terakhir gaya tulisan saya memang kian berubah. Entahlah, setiap ide cerita selalu sy sisipkan tujuan. Dan di seri ruwet, memang sedikit liar. Hahahah Nakal nakal pemerannya..
Terus ada yg bilang, karakter Rachel kok pede bgt jd cewek, ato Dalilah yg gampangan. (Namanya juga imajinasi, harus variasi.)
Bicara mengenai karakter nakal, selama saya menulis, kayaknya paling nakal dan berbeda dr biasanya itu Malika sebagai cewek (Let it flow-3). Terus kalau yg pria, itu Rezky (Bonus Palsu.)
Kalau mau yg lebih 'nakal' lagi, nanti di cerita baru saya. Ada dua. Tp masih lama. Hahah ini dulu deh.
***
Di rumah keluarga Rachel.
"Pelan-pelan, Achel." Leo tampak mengernyit dalam posisi tengkurap di tengah ranjangnya. Tubuh bagian atasnya polos, terpampang otot kekar lengan di kanan dan kirinya. Setiap mata hawa yang memandang pasti akan terkagum.
"Iya, Abang bawel dari tadi. Apa kata dunia, pemimpin hotel bintang lima keluarga Rahadi masuk angin, minta dikerik? Malu-maluin," keluh Rachel yang memang selalu dijadikan tempat pengobatan Leo, jika merasa tubuhnya tidak sehat.
"Kamu adikku diberikan anugerah dengan tangan yang hangat, Achel Sayang." Rachel tetap cemberut.
Sebenarnya Rachel sudah ada janji dengan temannnya. Niatnya mau kembali singgah ke kafe tempat bertemu dengan pria yang sudah tiga hari ini menghantui jalan pikirannya.
Satria. Entah itu rasa apa, tapi pria tersebut berhasil membuat jalan pikiran Rachel dirudung gelisah. Kisah ciuman pertamanya diambil dan diperankan oleh pria yang sama sekali tidak dia kenal. Anehnya dia masih merasa menikmati kejadian tersebut. Rachel termenung dalam lamunan akan rasa bibir Satria, bibir dan sentuhan yang dilakukan Satria sulit terupakan.
Sekarang saja, dia lupa sedang melakukan jasa pemulihan kesehatan untuk sang kakak, sampai ditegur. "Dek, kamu niat enggak, sih, kerikin Abang? Ini namanya diusap-usap." Rusak dunia khayal Rachel, lalu dia segera mempercepat kerikan dipunggung sang kakak tanpa pertimbangan.
"Sakit, Chel," teriak Leo. Rachel berdecak sebal. "Lagian, Abang bawel banget, sih."
"Kamu lagi kenapa sih, Chel?" Leo melirik adiknya heran. Adiknya memang kerap bertingkah aneh sejak kemarin.
"Kenapa apanya? Gimana-gimana?"
"Tuh,kan, ngomongnya aja aneh. Jujur kamu lagi kenapa? Marsha bilang kamu banyak melamun dan diam terus? Kamu diganggu seorang pria? Atau terlilit hutang? Bilang sama Abang, masa adik kecil satu-satunya Abang tertutup. Abang kamu anggap apa?" Rachel tersenyum, walaupun terlihat Leo tak perhatian dengannya tapi dia percaya abangnya ini selalu memantau dirinya.
"Enggak, Bang, aku cuma lagi mau diam. Salah, ya?" Rachel tersenyum menenangkan Leo. Apa jadinya jika dia berkata jujur, jika ada seorang pria yang mencium dirinya. Apalagi sosok itu membawa virus entah bernama apa, yang pasti, virus itu mewabah dan menular keseluruh sendi dalam tubuhnya. Bisa dikatakan sangat susah dihilangkan.
"Bukan salah, kamu itu pecicilan enggak karuan. Mirip kelinci loncat-loncat. Tiba-tiba diam mirip kura-kura, jelas mencurigakan." Rachel menghadiahi Leo kerikan kasar ditulang keringnya. "Sakit.. "
Drt..Drt..Drt.
Leo menatap bunyi ponselnya yang berada disampingnya. Satria Sarha.
Leo segera menggulir layar. Rachel tetap berada pada posisi di belakang Leo.
"Malam Tuan Leonardo Arga Rahadi," suara Satria di seberang sana terdengar lembut menyapa.
"Malam juga, Bos. Seorang Tuan Satria Abraham Sarha menghubungi gue?" Mendengar sang kakak menyebut nama Satria Abraham Sarha, membuat jantung Rachel hampir berhenti. Dia mematung di belakang punggung sang kakak, memilih diam mendengarkan pembicaraan sang kakak. Terlebih Leo menerima panggilan dengan mode loudspeaker. Bolehkah Rachel sudah merasakan rindu?
"Tiga hari lagi orang tua gue ngundang lo sekeluarga dan Om Rama makan malam di rumah. Gue harap lo juga datang, yah!"
Rachel ingat suara ini. Hanya saja, intonasi suara lebih lembut.
"Oh, oke, gue pasti datang. Wah, Mark sudah dapat surat izin bertamu ke rumah lo?"
"Biasa aja," ketus Satria di seberang sana. Rachel tersenyum. Nyatanya, suara ketus itu mampu membuat isi hatinya bergejolak.
"Jangan khawatir, Marsha juga gue undang." Bahkan ada nada meledek yang bisa Rachel terka dari suara Satria. Itu artinya, Satria mengenal lebih pribadi kakaknya.
Leo sendiri juga terdengar akrab berbicara dengan Satria, Rachel jadi bingung dan penasaran. Rachel terus menguping pembicaraan mereka. Membicarakan pekerjaan dan beberapa kerjasama dengan santai dan bahasa yang tidak formal. Leo berkali-kali meledek Satria yang semakin membuat Rachel heran, dia tidak pernah mendengar nama Satria dalam daftar teman sang kakak.
"Oke-oke siap Tuan Satria, gue pasti datang ke rumah lo, bye." Leo menutup sambungan ponselnya dan kembali menundukan wajahnya menanti Rachel melanjutkan kerikannya.
"Ayo, lanjut lagi, Achel Sayang."
"Tadi siapa yang telepone, Kak?" tanya Rachel pelan sepelan mungkin. Leo hendak menjawab, tapi tiba-tiba pintu terbuka terlihat seoarang wanita kesayangan mereka selamanya, Sarah sang Mama.
"Maaa.." Leo tersenyum menatap mamanya.
"Kamu kenapa, Leo? Telat makan pasti? Makan dijaga." Sarah menghampiri kedua anaknya. Leo berusaha duduk.
"Dijaga!" tegas Sarah sekali lagi.
"Iya, Mama."
"Ma, tadi Satria telepon, katanya kita sekeluarga diundang Om Ibra dan Tante Rahma makan malam di rumahnya?" Sarah mengangguk.
"Iya, Tante Rahma juga telepon Mama, sudah lama sekali kita tidak kumpul. Apalagi anak mereka yang kecil baru pulang dari LA. Satria juga sudah menetap di sini." Rachel tambah bingung, kenapa hanya dia yang tidak mengenal Satria. Bahkan orangtuanya juga mengenal Satria.
Memangnya mereka beda planet?
"Ma, Tante Rahma emang punya anak, ya? Perasaan setiap aku ketemu sama Tante Rahma atau Om Ibra anaknya enggak pernah ada." Rachel mulai mencari tahu.
"Mereka lama di LA, Sayang. Satria dan Dalillah dari kecil sudah kenal kita. Memang sama kamu enggak sedekat dengan Leo, Mark dan Marsha. Saat kamu lahir, waktunya hampir berdekatan ketika mereka mau pindah ke LA." Rachel mengangguk. Pantas saja.
"Pantas," ucap Rachel pelan.
"Pantas apa?" tanya Leo.
"Ah, enggak. Pantas ini merah. Abang masuk angin," kilah Rachel kembali mengerik punggung Leo.
"Leo, kalau masih sakit, ke dokter ya! Biar Achel yang antar." Leo menggeleng.
"Tangannya Achel antibiotik, Ma.." rayuan Leo dibalas dengan cibiran Rachel.
"Kampungan, udah zaman keren begini masih aja minta dikerikin. Malu sama muka Abang.." celetuk Rachel. Leo hanya tertawa, sementara Sarah duduk di samping mereka sambil menggelengkan kepalanya.
Tak lama mereka dikagetkan dengan kehadiran seoarang wanita yang sudah menginjak usia senja menatap mereka dengan seksama.
"Wah, Leo kamu kenapa, Sayang?" panik sang nenek, Tiara. Ibu dari ayah mereka.
"Madam Oma.." Rachel terlonjak kaget dan langsung berlari memeluk Oma tersayang
"Achel kesayangnya Oma, kamu jangan ngikutin Papa kamu manggil Oma dengan embel-embel Madam." Rachel memeluk oma tersayangnya.
"Oma, Madam kita semua." Rachel tetap meledek.
"Mama apa kabar?" Sarah menghampiri ibu mertuanya memberikan salam dengan memeluk erat karena bukan rahasia lagi jika Tiara sangat menyayangi menantunya ini seperti putri yang tidak pernah ia miliki. "Baik, Sayang." Tiara tersenyum.
"Leo, kamu kenapa?" Tiara mendekati Leo yang sedang memakai baju santai.
"Enggak apa-apa, Madam Oma, cuma lagi kangen aja sama tangan Achel." Leo memeluk omanya.
"Ah, bohong, Abang sakit karena enggak ada yang urus." Rachel mencibir, dia bersembunyi di balik tubuh Sarah, Leo hanya memberikan tatapan garang, menandakan sebal dengan aksi mulut adiknya.
"Dia telat makan, Ma. Terlalu sibuk bekerja." Sarah menjelaskan.
"Oma sudah bilang, umur kamu sudah pas untuk menikah." Leo menundu, dia tahu omanya ini sedang berniat mencarikan istri untuknya.
"Iya, Oma, carikan saja Abang calon istri! Lumayan, berkurang tugas aku." Rachel tertawa bersembunyi di dekapan Sarah.
"Ayo ,keluar! Temani Oma minum teh, kangen kue buatan menantu.." Leo memeluk Tiara dengan sayang dan Sarah mengekori di belakangnya. Sementara Rachel, diam di kamar Leo menatap ponsel yang tadi sempat berbunyi.
Aku harus mendapatkan nomor ponsel Satria. Semangat, Rachel.
Rachel memegang ponsel Leo, mulai mencari kontak atas nama Satria Sarha. Senyum terulas di wajah manisnya. Tanpa perhitungan, Rachel segera menyimpan nomor ponsel Satria.
Sementara di luar ruangan, tepatnya di ruang keluarga Biyan Arga Rahadi, Tiara sedang merayu cucu pertamanya untuk segera menerima niat perjodohan yang sudah direncanakan.
"Coba aja dulu, ini cucu temannya Oma. Dia punya cucu perempuan yang sangat cantik. Kamu tahu, Oma Hani bilang, dulu teman Mama ini mau melamar mamamu sebagai menantunya. Tapi untungnya Oma dengan cepat langsung melamar mamamu." Hani adalah ibu Sarah.
"Ya, terus apa hubungannya sama aku?" keluh Leo sedikit kesal.
"Ini sebagai bentuk rasa bersalah Oma dan Oma Hani. Bersyukur, teman Oma itu juga tetap mau mengikat pertemanan kita dengan menjodohkan cucu-cucu."
"Tapi Oma, aku tidak mau dijodohkan." Leo tampak kesal dengan ide memaksa ini. Dia hafal betul sifat omanya yang tetap akan memaksa.
"Kamu dikasih yang enak, enggaj mau. Oma jamin, wanita ini sangat cantik. Papamu dulu nurut sama Oma waktu mau dijodohkan. Padahal, papamu belum pernah melihat calon istrinya." Leo menatap Sarah meminta pembenaran dari kata-kata tersebut. Sarah mengangguk tersenyum.
"Mama bertemu Papa tepat dihari kami bertunangan." Leo terlihat kaget dengan kisah cinta orang tuanya. Semula dia mengira orangtuanya adalah sepasang kekasih yang mengalami proses pacaran panjang dan akhirnya menikah.
"Mama enggak pacaran dulu sama papa?" Sarah menggeleng dengan bangga.
"Papamu yang pertama." Sarah mengatakannya dengan wajah merona, dia pun masih tidak menyangka jika hubungannya dengan Biyan bertahan hingga mereka sudah mempunyai anak. Sekarang sudah seperempat abad mereka bersama.
"Kenapa Papa bisa langsung mau?"
"Papamu itu patuh dan percaya sama Oma. Pilihan Oma tidak akan pernah salah. Kamu lihat mamamu, ini pilihan Oma, salah tidak?"
"Kalau salah, masa Leo ada di sini." Tiara menjewer telinga Leo.
"Kamu ini dikasih tahu, malah jawab yang aneh. Kenalan dulu yah!"
"Aku pikir-pikir dulu, Ooma."
"Kamu enggak kasihan sama Oma? Mungkin usia Oma tidak akan lama lagi. Hiks.." Leo sangat tahu jika sang oma berakting. Leo mengangguk setuju dengan malas. Mau tak mau.
"Papamu dulu juga seperti kamu, tapi dia patuh. Dan sampai sekarang selalu berterima kasih sama Oma. Jangan ragukan pilihan orangtua. Kami pandai memilih, sepaket dari cantik, seksi, rajin, dan mudah dicintai." Tiara tertawa, membuat Leo sebal. Sarah tertawa malu dengan kata-kata mertuanya yang memang terkenal dengan sifat santai dan terkadang cuek berbicara. Sifat ibu mertuanya ini menular dalam diri putri kecilnya, Rachel.
"Cinta bisa datang saat kalian sudah menikah, entar juga begitu seranjang langsung jatuh cinta kamu sama dia. Palingan kamunya yang enggak kuat. Tenang, Oma bisa hadiahkan kamu lingerie sekardus, kalau kamu mau.." goda sang Madam Tiara.
"Oma, apaan, sih." Leo tampak risih mendengar omanya berbicara hal yang menurut dia tabu dikatakan oleh omanya sendiri.
Cintaku hanya untuk dia, selamanya hanya untuk dia. Andai Oma tahu, kalau hatiku hanya untuk Marsha.
"Rachel mana, Sar?"
"Rachel..." Sarah berdiri mendekati tangga arah ke lantai dua, dia berteriak memanggil Rachel yang mungkin masih di kamarnya.
Rachel sendiri sedang duduk gugup di dalam kamarnya. Bagai remaja labil yang baru jatuh cinta, hendak menekan tombol call ke nomor pria yang sudah mengganggu jalan pikirannya akhir-akhir ini.
My Hero, dia menulis nama Satria dalam data kontaknya.
"Lebai enggak sih, tiba-tiba telepon? Enggak kenal pula, tapi dia pencuri hatiku. Dia harus kenal aku. Bodo, ah, aku cuma mau dengar suara judesnya." Rachel menekan tombol hijau tanda panggilan keluar sedang dijalankan. Dengan perasaan berdebar, Rachel menunggu panggilannya dijawab. Sungguh dia menggangap tingkahnya sangat labil.
Semangat! Aku harus mendapatkan dia, biar dia menolak tapi bukan Rachel namanya kalau nggak bisa raih yang aku mau. Berjuang dengan kekuatan cinta dan bulan.
Rachel tertawa gugup dalam hati, cuma Satria yang bisa membuat dia seperti ini. Pencuri Hatiku, harus jadi milikku.
Tuttt...tuuuutt..
"Halo.." Rachel terkejut mendengar suara Satria di seberang sana. Ini Suaranya. Haduh, deg-deg-an gini, Mama anakmu kenapa jadi norak begini.
"HALO..." suara Satria semakin meninggi.
Kenapa suara galaknya membuat aku berdebar? Aku harus jawab apa? Bodoh kau Rachel, nekat menghubungi pria galak tanpa persiapan.
"HALO, siapa ini?" Satria terdengar kesal menunggu.
"Nnnggg, ini- iniii Satria, bukan?" tanya Rachel terbata-bata. Jantungnya berdebar kencang. Suara ini berasal dari Satria, Rachel kau fix gila.
"Iya, ini Satria, ini siapa yah?" suara Satria perlahan melembut. Betapa bahagia hati Rachel saat Satria menjawab pertanyaannya.
"Nnggg itu..." Rachel terdengar gugup. Satria menjawab datar.
" Iya, kenapa itu maaf kurang jelas?"
Aduh jawab apa dong! Mama tolong Acheel.
"Nnggg itu ituu AC kamar saya rusak, bisa datang tidak ke rumah untuk service AC?" Aduh Rachel, bego lo ngomong? Kenapa alasan tukang service ac, ah bego..
Rachel duduk sambil menghentakkan kaki, merutuki mulut bodohnya. Terdengar suara helaan napas dari Satria. Sedetik kemudian Satria menjawab.
"SALAH SAMBUUUNG." Rachel memekik kaget dengan teriakan Satria. Dia menyesal bertindak asal. Wajar jika Satria marah.
"Enggak ada alasan yang lebih keren selain alasan tukang ac? Huuff, gimana ini?" Rachel berbicara sendiri. Melempar asal ponselnya di kasur, lalu berjalan ke bawah, ke arah suara yang memanggilnya.
"Iya, Ma, tadi aku ke toilet sebentar." Rachel menghampiri Sarah dan mulai bercengkrama dengan keluarga. Mendengarkan petuah sang nenek mengenai perjodohan kakaknya.
Sementara di tempat terpisah, di ruang keluarga, terlihat Satria memasang wajah jengkel mendapati telepon dari orang tidak dikenal. Bermaksud menghindar dari ceramahan sang nenek Nadira Sarha, dengan alesan menerima telepon, ternyata semakin membuat dia kesal karena orang tersebut mengira dirinya tukang servis ac.
Orang gila, masa nomor gue ketuker sama nomor tukang service ac. Mana namanya sama. Tapi suaranya kenapa ngingetin gue sama si pendek, yah? Ah, sialan sipendek, kenapa dia enggak hilang-jilang dipikiran gue? Awas kalo sekali lagi ketemu, gue ketok martil, biar kependem enggak nongol-nongol lagi. Tapi, mukanya imut dan cantik, belum lagi bibirnya yang lembut dan rasanya bikin nagih. Daripada dipendam, mending gue kurung di kamar. Haduh, kenapa jadi mesum, dasar pendek sialan.
"Kamu kenapa Satria, diam-diam cemberut?" Oma Nadira yang baru sehari datang dari Lombok terlihat kesal, sepertinya tidak didengarkan oleh dua cucunya yang melamun bersama.
"Lagi sakit gigi, Oma," jawab Satria datar, paling susah menolak kemauan omanya ini.
"Kamu juga Dalillah, kenapa diam saja?" Mereka menatap malas omanya. Kali ini mereka merasa senasib karena ajang perjodohan ternyata sudah melebar ke sang adik Dalilah.
"Oma, katanya Kakak dulu yang mau nikah? Kenapa aku sekarang ikut dijodohin, sih?" rajuk Dalillah manja.
"Tidak perlu umain tunggu-tungguan! Siapa yang datang duluan jodohnya, ya diterima. Oma heran sama kalian, disuruh nikah kenapa ketakutan? Orang dulu semua taat sama orang tuanya," cerocos panjang omanya yang hanya diangguki oleh mereka berdua. Kebetulan Rahma dan Ibra sedang pergi entah kemana.
"Tapi, aku belum kenalan Oma. Semua butuh proses. Kalau kami tidak saling mencintai, gimana?" bela Dalilah. Satria mengangguki.
"Karena itu kenalan saja dulu. Oma yakin kamu suka sama dia. Cucu temannya Oma ini konon katanya ganteng.."
Konon katanya? Ga banget sih, Oma bahasanya. Ah, ini gara-gara Kakak selalu tolak perjodohan.
"Kakak dulu, deh, yang kemarin Kakak ajak ketemuan terima aja." Usulan asal, mendengar sang adik melakukan manuver licik untuk dirinya, Satria terlihat kesal.
"Oh iya, kemarin kenapa dengan kencanmu? Si Amber kamu apakan sampai menolak?"
Karena si pendek fitnah aku, Oma. Katanya, aku hamilin dia, dan aku meng-iyakan. Si pendek lagi yang gue pikirin.
"Hmm, kami enggak ada kecocokan dan dia sadar sendiri," jawab Satria asal. Nadira tampak memikirkan sesuatu.
"Oke, sekarang gilitan kamu Dalillah. Kenalan saja dulu, seperti kakakmu. Kalau tidak cocok juga kalian sadar sendiri." Mendengar titah sang oma, Dalilah hanya diam. Ditolak pun tetap Beliau akan bersikeras memaksa.
***
Di kantor keluarga Rahadi.
Suasana kantor Leonardo kali ini terlihat ramai dengan kehadiran Rachel, datang tiba-tiba membawa makan siang untuk sang kakak. Leo mengernyit bingung dengan tingkah sang adik.
"Jujur sama Abang, kamu mau minta bantuan apa?" lirik Leo bingung.
"Aku cuma takut aja Abang lupa makan. Enggak ingat kemarin Abang sakit?" sindir Rachel.
"Iya, tapi Abang mau ke tempat seseorang, sudah ada janji," jawab Leo tak enak hati sebenarnya. Dia belum bisa jujur dengan adiknya.
Rachel sendiri tahu, sang kakak pasti hendak bertemu Marsha cinta diam-diam sejak kecil. Tapi dia sangat paham jika sang kakak bukan pria yang dengan mudahnya mengumbar kata cinta, apalagi belum resmi berkomitmen. Terlebih Marsha juga sama seperti Leo, mereka diam tidak berusaha jujur satu sama lain.
"Maafin Abang, mau pergi dulu. Kamu kalau mau di sini enggak apa-apa, istirahat saja dulu." Rachel mengangguk mengerti.
"Hati-hati, salam sama Marsha." Mendengar kata Marsha diucapkan, Leo salah tingkah sendiri.
"Abang enggak ketemu dia." Leo menjawab terbata. Rachel melirik tanda tak percaya.
"Iya- iya bukan Marsha." Leo memeluk dan mengecup kening Rachel, kemudian menghilang dari pintu ruangan kantornya sendiri tanpa menampik alasan.
Rachel berdiri mematung sambil memegang plastik makan berisi makanan yang dia buat untuk Leo. Walaupun terlihat manja, tapi sejak kecil dia sudah terbiasa memasak. Wanita-wanita dari keluarga sag mama memang dikaruniai keahlian memasak.
Rachel sendiri mewarisi bisnis kuliner yang diberikan oleh sang mama, Cafe Amor milik sang mama yang sekarang mempunyai banyak cabang hampir di seluruh kota besar Indonesia. Belum lagi keahlian Rachel yang bisa membuat inovasi yang brilian, membuat Cafe Amor semakin diminati dan tetap bertahan di tengah banyaknya saingan di bisnis tersebut.
Saat Rachel sedang berjalan menuju basemen tempat dia memarkir mobil, tiba-tiba tarikan sebuah tangan membuat Rachel terkejut tak percaya. Tersangka yang seenaknya menarik tangannya adalah pria yang seharian, bahkan sejak kemarin terus dia ucapkan di hati.
Satria Abraham Sarha.
"Kamu ngapain di sini, Pendek?" Wajah Satria berada dekat dengannya, membuat Rachel semakin tak percaya. Mimpi, kah? Wajar, terlalu banyak memikirkan Satria hingga berkhayal pria itu hadir di depan wajahnya sekarang ini. Di sekitar basemen kantor milik keluarganya?
"Kamu Si Pendek yang tampar aku, kan?" Rupanya Satria juga belum yakin kalau si pendek yang dia sebut memang Rachel. Wanita yang menampar dan memfitnah dirinya, bahkan menyebut dia penyuka sesama jenis.
"Hei, Pendek, gue lagi ngomong sama lo?"
Rachel halusinasi lo keterlaluan. Satria ga mungkin ada di sini. Tapi ini wajah dia, terus kenapa warnanya burem,yah? Kenapa tiba-tiba hitam...
"Hei, hei Pendek. Haduh nyusahin banget. Diajak ngobrol aja pingsan." Satria dengan sigap menggendong tubuh Rachel, membawa masuk ke dalam mobil miliknya. Satria memang baru parkir di dekat tempat mereka berdiri.
Satria meletakkan Rachel di kursi penumpang di samping kursi supir. Dia lalu mengambil tas dan kantong makanan milik Rachel yang terjauh, lalu diletakkan di kursi belakang. Satria menyalakan ac, memegang tangan Rachel. Lalu menepuk-nepuk pundak Rachel.
No no no! Jangan pingsan. Nyusahin bener. Apa dia sakit, yah? Wajahnya pucat, ya iyalah orang sekarang dia ga sadar. Apa yang harus gue lakukan? Cium dia? Ah, memang dia putri salju.
CPR bodoh.
Oh iya-iya.
Satria mendekati wajahnya ke wajah Rachel, dia terdiam menatap wajah Rachel yang putih pucat. Dipandangi dengan teliti setiap jengkal wajah Rachel.
Iya dia Si Pendek yang kemarin. Ngapain dia ada di gedung ini? Apa dia kerja di sini? Rahadi Grup terima anak kecil kayak dia? Kenapa gue jadi mikirin dia kerja apa kaga. Cium dia sekarang! Tapi nanti dia ganggu ketenangan hidup gue. Yang kemarin aja masih ga bisa dilupain. Tapi sekarang beda, niat tolongin dia. Ini kenapa gue jadi kebanyakan mikir.
CIUM aja susah amat. Oke, sekarang.
Satria mendekatkan wajahnya, jarak mereka sudah sangat dekat. Bahkan hidung mereka sudah bersentuhan. Satria mengecup singkat bibir Rachel, lalu menatap lagi bibir Rachel.
Ah, mana ada CPR cuma dikecup, rasanya masih sama, dia Si Pendek milik gue. Ngomong apa Satria, dia lagi ga sadar, tapi lo malah mikir bibir ini milik lo.
CIUM lagi! Dilumat apa dijilat, yah? CPR bodoh, tarik nafasnya. KEBURU MATI SATRIA ANAK ORANG!
Satria terus berperang dengan lamunannya. Dia lalu menganggukkan kepala. Setidaknya dia harus fokus dengan pertolongan pertama. Tahan nafas dan melumat bibir Rachel dengan lembut dan dilepas kembali.
Ah, kenapa gue jadi lepas kendali gini, mau lo apa sih, Pendek? Oke, pegang dadanya.
Satria menekan dadanya, ternyata masih terasa detak jantungnya. Dia menekan di antara tonjolan di sekitar dada Rachel yang semakin membuat Satria gugup.
NO NO NO. Tahan Satria, lo bukan pria berengsek. Oh, mimpi apa gue semalam? Tapi semalam gue memamg mimpi lo, Pendek. Dasar pengganggu. Oke, sekarang tutup hidungnya, cium dia berikan satu atau dua napas.
Satria mendekatkan lagi wajahnya, menutup hidung Rachel, perlahan melumat bibir Rachel, memberikan satu napas dari mulut Satria sendiri.
Rachel mulai bereaksi. Matanya terbuka, lalu mendorong tubuh Satria dari wajahnya. Wajahnya panik antara percaya dan ragu dia berada dekat dengan Satria. Pria yang akhir-akhir ini mengganggu jalan pikirannya.
"Kamu?" Rachel masih tak percaya, dia sendiri masih belum menyadari keberadaannya di dalam mobil Satria.
"Iya, Pendek ini gue. Sekarang diam, jangan panik! Sudah merasa lebih baik? Mungkin lo kurang cairan." Dengan wajah bingung, Rachel mengangguk.
Satria tersenyum licik, entah setan apa yang merasuki Satria, dia kembali mendekatkan wajahnya ke arah Rachel, menatap bibir mungil Rachel yang menggoda.
"Tidak mau pingsang lagi?" Rachel dengan bodohnya kembali mengangguk. Siapa juga yang mau tidak sadarkan diri. Tadi, dia terkejut.
"Bagus.." Tanpa malu dan meminta izin Satria melumat lembut bibir Rachel, tidak ada penolakan dari Rachel, karena merasa seperti mimpi.
"Buka mulutmu, Pendek!" Rachel menurut membuka mulutnya karena bisikan Satria yang menyihir dirinya.
Apa ini Satria?
Bibir Satria berhasil masuk menjelajah bagian dalam bibir lembut Rachel. Lenguhan terdengar di tengah sepinya suasanya di dalam mobil tersebut. Satria bagai pria yang lupa akal sehatnya. Dirinya lepas kontrol berhadapan dengan Rachel, wanita yang sama sekali tidak dia kenal, tetapi mampu mengganggu jalan pikirannya beberapa hari terakhir.
"Lepasin..." Rachel menggeleng, tangan Rachel lalu ikut bereaksi. "Lepas!"
Rachel menampar Satria. Mereka saling menatap dengan ekspresi yang berbeda hanya deru nafas panjang yang menyamakan kondisi mereka. "Kenapa kamu seenaknya cium aku lagi? Belum cukup kemarin kamu ambil ciuman pertamaku?" teriak Rachel. Satria menatap lekat bibir Rachel. Dia mendekat lagi, dan dengan sendirinya Rachel menutup mata dengan wajah takut. Satria tersenyum. Kali ini dia tidak akan terbawa emosi karena tamparan yang tidak terlalu sakit dari Rachel. Buktinya, Rachel kembali menutup mata. Satria pikir, Rachel hanya belum siap.
"Ciuman sama kamu ternyata membuat aku lupa diri." Satria melumat kembali bibir Rachel.
"Balas ciumanku!" Satria mengecup sekilas bibir Rachel, entah setan apa yang membuat Rachel dengan patuh mengangguk dan menerima dengan sukarela rasa Satria dibibirnya. Bahkan Satria sudah menarik pinggang Rachel dalam pelukannya.
Uniknya lagi Satria mengangkat kedua tangan Rachel agar dikalungkan di leher. Rachel pun menerima arahan Satria, seperti murid patuh dengan gurunya. Mereka saling melumat dan memberikan rasa satu sama lain, seolah membalas rasa rindu yang entah kapan pernah mereka janjikan. Aneh, tidak saling mengenal, tapi merasa saling memiliki.
Mereka tidak menyadari tepat di depan mobil Satria terparkir, seseorang tengah duduk di dalam mobil. Menikmati adegan mesra antara mereka berdua. Mark Andhika, dalam senyum, Mark menatap dua insan itu beradegan mesra.
"Sweety Rabbit dan Satria Sarha?" Mark tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Tak lupa ia mengabadikan adegan tersebut dalam ponselnya.
***
Salam Ruwet
Mounalizza.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro