Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

39 - Raja-Rafa-Razi

           

Di kamar Marsha.

"Kenapa belum tidur?" Leo memeluk perut besar istrinya dari dari belakang. Malam sudah sangat larut dan Marsha masih belum bisa tertidur dengan nyenyak. Kondisi kehamilannya yang sudah memasuki bulan kedelapan memang sudah membuat dirinya mulai kesusahan mencari posisi yang nyaman.

Leo mengelus pelan perut Marsha bahkan memijat sekitar pelipis Marsha agar bisa tertidur.

"Mau aku pijat pelan dengan minyak zaitun di sekitar punggung kamu?" Marsha menggeleng. Ia lebih memilih merebahkan kepalanya di lengan Leo. Menjadikan bantalan yang membuat ia nyaman.

"Aku susah mencari posisi yang nyaman." desah Marsha serba salah.

"Entah kenapa aku merasa gelisah Le.." Leo membelai lembut lengan Marsha. Menghirup feromon istrinya yang selalu ia sukai.

"Kamu lapar?" Marsha menggeleng.

"Mau minum?" Marsha menggeleng.

"Mau menonton tv?" Marsha tetap menggeleng.

"Kamu kangen sama Mark yah?" tanya Leo langsung. Marsha mengangguk dan hanya diam tidak berani menoleh ke arah belakangnya. Hembusan nafas panas dari suaminya sangat terasa di sekitar leher jenjang miliknya.

Leo tersenyum. "Mereka kan sedang honeymoon. Biarkanlah mereka puas menikmati masa-masa berdua. Sebelum akhirnya Dalilah menyusul kamu dan Achel." Marsha menggenggam tangan kanan Leo yang masih betah bersandar di perut bulat dirinya.

"Aku kangen Mark..." rengek Marsha manja. Leo hanya bisa tertawa dengan kontak batin istrinya dengan saudara kembarnya. Mark pun tak kalah sama nya dengan Marsha. Mark setiap harinya selalu menghubungi Marsha atau bertanya kabar Marsha kepada Leo. Kedekatan mereka memang sulit untuk dijauhkan.

"Ssshh..." Marsha meringis karena tendangan berasal dari perutnya membuat ia tidak nyaman dengan posisinya sekarang.

"Ke sini berbalik love." Marsha perlahan membalikan posisinya menjadi telentang. Leo menyanggah kepalanya dengan tangan kirinya yang sebelumnya menjadi bantalan kepala Marsha. Wajah senyum manis suaminya menyambut Marhsa.

"Dia juga rindu paman ruwetnya ternyata." goda Leo sambil mengelus perut Marsha.

"Aku berdoa semoga Lilah segera hamil." Marsha berkata pelan dan penuh harap.

"Jangan membebani mereka. Biarkan waktu berjalan dan memilih yang terbaik love." Marsha mengangguk.

"Apa kamar pangeran kecil kita sudah selesai?" Marsha mengangguk ceria.

"Aku sampai bingung karena mama dan mommy benar-benar mengurusi kamar itu dengan antusias. Bahkan semua ide dari mereka." Leo tahu kedua orangtuanya sangat antusias menyambut kelahiran putra pertamanya. Terlebih Biyan sang ayah. Karena jelas putra ini akan menerusi keturunan keluarga Rahadi.

Hasil usg memang menjelaskan jika jenis kelamin calon anak mereka adalah laki-laki. Kebahagian sangat terasa dari kedua keluarga baik Biyan dan Rama karena mereka akan segera mempunyai cucu bersama. Terlebih Biyan yang akan mendapatkan dua jagoan cucu dari kedua anaknya.

"Di rumah mama nuansa kamarnya biru dan orange." Leo mengernyit bingung.

"Orange kan warna kesukaan papa Biyan." Leo mengangguk tersadar. Sang papa memang menyukai warna penuh semangat itu.

"Di rumah mommy?" tanya Leo sambil menunjuk arah kamar sebelahnya. Mereka memang sedang menginap di rumah Marsha.

"Dominasi merah dan mobil." cicit Marsha pelan.

"Car Mcqueen?" Marsha mengangguk sambil merapatkan dirinya ke arah Leo. Mengendus leher suaminya.

"Ini permintaan Mark. Dia mau keponakannya menyukai dunia automotive." Leo hanya pasrah karena calon putranya sudah sangat disayang oleh orang sekitar.

"Benar-benar pangeran kecil kita ini sudah sangat di sayang oleh semuanya." Marsha terkikik geli karena memang seluruh keluarga sangat menanti kehadiran putra mereka ke dunia.

"Kamu tahu Oma Hani bahkan sudah mempersiapkan perlengkapan baby dari hasil belanja oma-oma dan mama. Kata oma cucu pertama laki-laki biasanya wajib yang membelikan dari pihak ibu mertua. Aku hanya menerima." Leo sudah tidak heran lagi dengan kegiatan-kegiatan oma-omanya yang senang sekali mengganggu keruwetan para cucunya.

"Achel juga kemarin Tante Rahma yang membelikan perlengkapannya untuk baby Raja. Raja Satria Sarha." jelas Marsha mendesah. Hingga detik ini mereka belum menemukan nama yang pas untuk pangeran kecilnya.

"Achel bagaimana keadaannya? Kata Satria tadi dia sempat sakit di bagian perutnya?" Marsha mendongak menatap Leo.

"Tadi saat aku meeting dengan Satria tiba-tiba Achel telephone lalu Satria segera pulang. Tapi Satria bilang jangan tersebar ke seluruh orangtua." Marsha duduk secara perlahan Leo ikut membantu Marsha yang ingin bersandar di kepala tempat tidur.

"Rumah barunya sudah rapi kan? Apa mungkin Achel kelelahan?" tanya Marsha sedikit khawatir.

"Semua sudah rapi. Satria sudah mempersiapkan rumah itu dari jauh hari. Jadi saat mereka sudah tinggal di sana mereka hanya tinggal membawa diri m saja. Satria tidak mau membuat Achel lelah." Leo masih betah mengelus perut Marsha.

Satria akhirnya berhasil merayu para orangtua untuk tinggal di rumah sendiri. Walaupun penuh perjuangan akhirnya para orangtua setuju melepaskan mereka. Sarah dan Rahma bahkan secara bergantian menjenguk Rachel di rumah barunya. Mereka tidak puas jika Rachel hanya ditemani dengan pembantu rumah tangga dan penjaga keamanan. Seolah belum cukup Satria memperkejakan mereka. Bahkan demi kenyamanan istrinya Satria sudah mempersiapkan supir jikalau istrinya ingin berpergian.

"Sebaiknya kamu menghubungi Satria. Aku khawatir dengan Achel. Ini minggu prediksi kelahirannya. Meskipun kehamilan Achel benar-benar tidak membuat dirinya susah tetapi tetap saja ini pertama bagi dirinya." Leo mengambil ponsel yang berada di nakas di sampingnya.

Drt.. Drt.. Drt.. Satria

"Panjang umur.." Leo memperlihatkan nama panggilan di layar ponselnya.

"Hallo.."

"Leo gue di rumah sakit sama Achel, mulas-mulasnya semakin meningkat.." terdengar suara Satria terbata menjelaskan keberadaanya.

"Oke gue sekarang ke sana. Lo tenang aja yah. Ada yang bisa gue bantu? Lo butuh apa?" tanya Leo sedikit khawatir. Ini pengalaman pertama juga bagi dirinya.

"Nggak ada semua sudah siap. Tinggal para orangtua yang belum satupun gue kasih kabar. Rachel dan gue sepakat akan memberitahu mereka setelah proses persalinan selesai. Tetapi gue merasa lo berhak tahu." Leo mendengarkan alasan Satria. Ia memaklumi karena para orangtua sangat overprotektif terhadap Rachel. Hal itu membuat Satria sulit memberikan keputusan sebagai suami jika para orangtua ikut andil.

"Oke gue akan ke sana. Achel sekarang bagaimana keadaannya?" Marsha menatap Leo dengan nada penasaran.

"Achel sudah di ruang bersalin. Tekanan darahnya tadi sempat meningkat. Tetapi sekarang kembali berangsur turun. Lo tenang aja gue selalu di sampingnya." jawab Satria tenang. Leo segera berdiri. Jelas ia sangat khawatir adik kesayangannya akan berjuang antara hidup dan mati. Jika kedua orangtuanya tidak diberitahu untuk sementara waktu setidaknya ia sebagai kakak wajib menemani.

"Gue kesana sekarang." jelas Leo sekali lagi sebelum mematikan ponselnya. Ia berdiri dan langsung berganti pakaian di kamar ganti. Marsha mengikuti suaminya.

"Achel sudah waktunya yah?" Leo mengangguk dan langsung membuka bajunya.

"Aku ikut yah?" pinta Marsha pelan.

"Tapi ini sudah malam Sha. Kamu juga harus istirahat. Para orangtua belum diberitahu. Satria dan Achel melarang. Nanti jika sudah lahir akan diberitahukan." Leo mendekati Marsha yang mengerucutkan bibirnya lucu.

"Tapi jika aku kamu tinggalkan sendiri percuma saja. Toh aku juga tidak bisa tidur. Aku ikut yah yah.." rajuk Marsha sangat memohon.

Leo mendesah dan pada akhirnya mengangguk. "Ayo ganti baju kamu yang tertutup. Aku tidak mau kamu kedinginan." Marsha mengangguk girang.

"Kalau ditanya bilang kita mau cari makanan yah." Marsha sekali lagi mengangguk dan segera bersiap.

***

Di rumah Sakit Bersalin.

"Satriaa..." suara Rachel mulai melemah karena kelelahan. Satria mengusap peluh keringat yang membasahi sekitar wajah istrinya dengan perasaan haru dan bahagia. Rachel baru saja berjuang antara hidup dan mati.

Rachel baru saja melahirkan putra pertama benih cintanya dengan Satria Abraham Sarha.

Raja Putra Satria. Itulah nama yang sudah mereka persiapkan. Rachel mengalami proses persalinan normal. Setelah mengalami mulas-mulas dari siang dan dengan sabarnya mereka hanya berdua menghadapi proses yang sangat menegangkan itu.

Keduanya memang sudah berkomitmen tidak mau memberitahukan sampai putranya terlahir. Mereka mau merasakan proses itu berdua. Sebenarnya Satria sempat tidak tega karena rintihan Rachel yang sangat memilukan. Rachel pasti mau sang mama berada di sampingnya di saat seperti itu tetapi dengan lapang dada Rachel melarang Satria. Ia ingin menjadi dewasa dan benar-benar menjadi seorang istri dan calon ibu utuh di mata Satria.

"Satriaaa.. Anak kita bagaimana?" tanya Rachel berbaring lemah. Rachel masih diberikan waktu sebentar sebelum proses jahitan pra melahirkan dan Satria sedang menunggu sang bayi yang juga sedang dibersihkan di sampingnya.

"Sabar sayang anak kita sedang dibersihkan. Kamu tidak dengar teriakan tangisnya sangat kencang." Satria mengecup sayang istrinya dan menunjuk arah putranya berada. Rachel tertawa lemah.

"Dia berisik seperti kamu.." jelas Rachel lemah. Satria tertawa sambil terus mengecupi kening Rachel.

"Kamu wanita paling berharga dalam hidupku sayang. Aku sangat berterima kasih kamu melahirkan anaku. Anak kita." Satria terus saja mengucap syukur. Istrinya sangat tangguh dan sangat kuat. Jelas proses melahirkan itu tidak mudah. Dan beresiko taruhan nyawa dirinya sendiri.

"Selamat ibu bapak. Putranya lahir sempurna berat badannya 3,7 kg. Panjang badannya 50cm. Teriakannya juga sangat kencang." suster itu membawa putra mereka kehadapan mereka. Satria begitu takjub dengan kehadiran putranya.

"Ini anakku. Raja sayangnya mama." Rachel menerima putranya di atas dadanya. Seketika rasa lelah dan sakitnya hilang. Anugerah terindahnya ada di dekat dirinya.

"Raja Putra Satria." Satria mengadzani tepat di telinga Raja. Dengan hati bergetar ia menyentuh tangan putranya. Tangan selembut kapas ini sungguh akan menjadi putra tersayang yang akan selalu ia lindungi.

"Anak kita Satriaaa..." wajah Rachel sangat bahagia. Pancaran kebahagiaan jelas ada di sana.

"Baik ibu putranya akan di hangatkan terlebih dahulu. Sementara ibu juga akan dirawat."

suster mengambil putra mereka.

"Satria temani Raja. Aku tidak apa-apa di sini sendiri." pinta Rachel memohon. Satria mengangguk lalu mengecup bibir Rachel sekilas.

"Aku akan balik secepatnya.." Rachel tersenyum. Satria pun segera mengikuti suster itu dan melihat sang putra aman di ruang bayi yang berada tidak jauh dari kamar yang sudah mereka pesan. Sambil menunggu Rachel selesai dibersihkan Satria duduk di ruang tunggu yang tak jauh dari ruang bersalin.

Waktu menunjukan pukul dua dini hari. Ia berfikir bukan waktu yang tepat memberikan kabar kelahiran. Ia yakin para orangtua pasti sedang terlelap tidur.

"Satriaaa..." suara Marsha membuyarkan lamunannya. Satria melirik dan berdiri menyambut Leo dan Marsha.

"Achel dimana? Bagaimana keadaanya?" tanya Marsha cemas.

"Achel sedang dibersihkan. Raja sedang dihangatkan terlebih dahulu." jawaban Satria membuat Leo terlonjak bahagia. Ia memeluk Satria erat.

"Brader selamat..." Marsha pun tanpa sungkan memeluk Satria.

"Achel bagaimana?" tanya Leo.

"Adik lo sangat kuat. Dua jam proses melahirkannya. Tidak terlalu sulit." Leo dan Marsha memeluk satu sama lain.

"Dari awal Achel memang santai menghadapi kehamilannya. Aku sangat bangga sama dia." Leo mengangguk dengan penuturan Marsha.

"Kakaaaaakk..." teriakan Dalilah mengagetkan Satria dan yang lainnya. Dalilah berlari kencang dan langsung memeluk Satria. Dengan nafas tersengal dan wajah lelah menatap Satria yang tak bisa melenyapkan senyuman bahagianya.

"Apa keponakanku sudah lahir?" tanya Dalilah dengan deru nafas cepat. Satria mengangguk bahagia.

"Raja sedang dihangatkan." Satria menunjuk ruang bayi di sebelah kirinya. Dalilah memeluk erat Satria begitu juga dengan Satria. Ia membalas sayang pelukan sang adik.

"Setelah ini kakak berdoa kamu segera hamil yah." bisik Satria tulus. Dalilah mengangguk.

"Mark mana Lil?" tanya Marsha pelan. Dalilah melepas pelukannya dan memeluk Marsha.

"Marsha.. Leo..." tak lupa ia mengusap perut bulat Marsha.

"Mark mana?" tanya Marsha sekali lagi. Dalilah tertawa.

"Tadi aku buru-buru baru pulang dan sampai di rumah. Mark sedang memarkirkan mobil. Aku tadi turun di lobi." Marsha mengangguk dan menoleh ke berbagai arah. Ia mencari Mark.

"Kamu tahu dari mana kita di sini?" Satria sedikit bingung.

"Tadi Mark telephone gue kebetulan kita lagi menuju ke rumah sakit." Leo menjawab.

"Mark...." Marsha tersenyum bahagia melihat saudara kembarnya. Tanpa malu ia memeluk erat Mark layaknya saudara tak berjumpa lama.

"Aku kangen kamu Mark.." manja Marsha. Semenjak mengandung tingkah Marsha memang berubah sedikit manja.

"Dasar manjaaa kamu.." Mark mengecup perut bulat Marsha.

"Kembar memang tidak bisa dipisahkan. Percaya Le, selama honeymoon Mark juga memikirkan Marsha..." jelas Dalilah membuat Leo tertawa.

"Braderrr...." Mark menghampiri Satria dan memeluk erat.

"Raja sudah lahir?" Satria mengangguk bangga.

"Gue tunggu jagoan lo lahir juga."

"Oh tenang saja selama honeymoon gue sudah sangat rapi dan mempraktekkannya dengan benar." Dalilah mencubit pinggang Mark.

"Bahkan dari merayu sopan hingga pemaksaan gue coba semua..." Mark semakin tertawa dengan perkataannya.

"Marrrkkk...." wajah Dalilah merah padam menahan malu. Sementara yang lain hanya tertawa dan menggeleng dengan tingkah Mark.

"Oke oke sekarang tolong bantu gue. Bagaimana caranya memberitahukan para orangtua? Sejak satu minggu yang lalu mereka mau ikut stanby sebenarnya menunggu proses kelahiran." jelas Satria bingung.

"Lo sih ketengilan nggak ajak-ajak mereka? Gila lo Sat ini kan kelahiran untuk pertama kalinya Achel. Dia pasti takut tadi." protes Mark membuat Satria mengangguki kesalahannya.

"Tadinya gue juga mau mengabari para orangtua tetapi Achel melarang.." Satria duduk menutup matanya. Sejujurnya ia juga sangat lelah.

"Nanti biar gue yang bantu. Sekarang ayo kita lihat Achel dan Raja, Sat sebaiknya lo istirahat nanti Achel gue yang temani." Satria menggeleng.

"Nggak gue kuat ko." Satria kembali berdiri, Mark menahan.

"Mata lo pejamkan sebentar. Besok pagi lo akan menghadapi para orangtua karena aksi nekat lo. Lo tunggu di kamar aja nanti Achel juga ke sana. Mata lo kelihatan 5 watt itu, redup." sadar fisiknya kelelahan akhirnya Satria hanya mengangguk dan mengikuti saran dari dua saudaranya. Ternyata memang benar di saat seperti ini keluarga sangat dibutuhkan. Dia bisa istirahat dengan tenang meninggalkan istri dan anaknya.

Hingga pagi menjelang Satria masih tertidur di kamar untuk Rachel di rumah sakit itu. Satria sengaja memesan kamar yang sedikit besar karena ia tahu para keluarga pasti akan menjenguk Rachel. Sayup-sayup ia mendengar orang-orang tertawa bahagia. Kebetulan kasur untuk keluarga pasien menghadap ke arah jendela, sedikit berjauhan dari tempat tidur pasien. Dengan kesadaran belum sempurna Satria duduk dan mengucek kedua matanya. Gerakan alami khas orang bangun tidur.

"Eh papa Satria sudah bangun..."

Degh.. Suara papa..

Dengan berat hati Satria menoleh ke arah suara itu bermula dan mendapati seluruh keluarga menatap dirinya. Para orang tua menyipitkan matanya menatap Satria terlebih Ibra sang ayah. Lalu Nadira lebih memasang wajah tak percaya sambil menggeleng begitu juga para oma dan opa yang lain. Zahara dan Dipta tertawa ringan sama halnya dengan Leo dan Marsha terlihat cekikikan terlebih Mark memasang wajah tengilnya. Satria tahu wajah tengil Mark itu berarti apa. Hanya sang istri Rachel yang memasang wajah senyum tanda cinta untuk dirinya.

"Bagus yah cucu oma ini. Berita sepenting ini tidak kamu kasih tahu sama kita." Nadira mendekati Satria yang masih mengumpulkan nyawanya agar sadar dari alam mimpinya.

"Oma...?" tanya Satria dengan bodohnya.

"Sudah Nadira kasihan mantu dia pasti lelah semalaman sendiri menjaga Achel." Hani membela Satria.

"Oma semua di sini?" tanya Satria bingung karena ia belum sempat memberitahukan keluarga. Mungkin Leo yang memberitahu.

"Iya ini oma, kamu kira istri kamu?" sindir Nadira membuat Satria semakin sadar. Dengan cepat ia berdiri dan menatap wajah Rachel yang sedang tersenyum menatap dirinya. Tanpa sadar Satria menghampiri Rachel tanpa melihat semua keluarga memperhatikan gerak-geriknya.

"Achel kamu sudah sadar? Apa masih sakit? Mana anak kita?" sebelum Satria memberondong pertanyaan Ibra menepuk pundak anaknya.

"Makanya libatkan keluarga disaat seperti semalam. Papa semalam telephone kamu tapi kamu tidak memberitahukan Rachel sudah mulai mulas. Padahal dari siang dia sudah ada tanda-tanda." Satria hanya diam tak berkutik.

"Selamat anakku akhirnya kamu memberikan penerus keluarga Sarha." Ibra memeluk erat putranya. Disusul Biyan.

"Selamat anakku kamu menjadi suami siaga untuk putri tersayang papa." Satria tersenyum sopan.

"Kalau bukan Achel yang membela kamu tentang semalam kamu sudah mama kurung di kamar karena menutupi berita bahagia ini." Rahma menjewer putranya. Tetapi Satria membalas dengan pelukan erat.

"Maafkan aku ma selama ini. Mama jalan menuju surgaku dan semalam aku melihat Achel berjuang sama seperti dulu mama berjuang melahirkan aku." Ibra menatap istrinya dengan senyum. Sekilas ia mengingat hari saat Satria dilahirkan. Hari yang sangat membuat Ibra bimbang dalam hidupnya. Ia juga melihat istrinya berjuang antara hidup dan mati saat itu.

"Kamu memang penerus Sarha Satria. Opa bangga dengan kamu." hati Satria mendesah lega karena seluruh keluarga tidak terlalu kecewa karena Satria menutupi proses kelahiran Rachel.

"Ini dia Raja Putra Satria sudah datang..." Dalilah dan Zahara datang dibantu suster membawa kereta dorong di mana Raja sedang tertidur. Seluruh keluarga membuka jalan agar Raja masuk dekat dengan mereka.

"Dia besar juga. Bibirnya mirip Achel. Hidungnya mirip Satria.." seluruh keluarga mengitari Raja yang tampak tenang terlelap.

"Aku neneknya yang pertama yang akan menggendong." Rahma mengambil alih cucu nya dari kereta dorong itu.

"Gantian aku ya mba.." Sarah juga tak mau kalah berdiri di samping Rahma.

"Satria dulu lahir lebih besar dari ini. Beratnya lebih dari 4 kg." cerita Rahma antusias. Dan seisi tamu yang berada di kamar itu secara bergantian menggendong bahkan menciumi kelahiran keluarga baru mereka. Satria duduk di samping Rachel sambil menggenggam jari tangan Rachel.

"Pokoknya mama mau menginap di rumah kalian. Mama dan mama Sarah sudah niat akan menunggui Rachel selama 40 hari pertama." tegas Rahma menatap Satria.

"Iya sudah seharusnya Rachel ditemani orangtuanya. Tapi karena kalian mau belajar mandiri mama akan selalu mendukung." Sarah gantian menggendong Raja.

"Wah setiap pagi kita bisa sarapan di rumah mereka. Aku mau setiap hari menatap wajah cucuku." Biyan mengusap kepala Raja dengan sayang.

"Aku juga akan datang setiap pagi." Ibra juga ikut menimpali.

"Mereka tidak menghiraukan kita." Rachel mengangguk sambil mencibir lucu.

"Kapan kita bisa mandiri jika setiap hari mereka akan datang ke rumah. Aku juga mau menikmati pagi indahku dengan keluarga kecil kita." gerutu Satria setengah tak terima dengan ide-ide orangtuanya. Rachel tertawa melihat suaminya. Sudah resiko mempunyai orangtua yang sayang kepada anak dan cucu barunya. Mereka tidak akan pernah mau jauh. Sejatinya sebuah keluarga selalu berdampingan.

"Kamu mandi sana ini sudah hampir siang." Satria menepuk wajahnya saat melihat waktu menunjukan pukul sebelas. Berapa lama dia tertidur? Batinnya merutuki keadaan fisiknya yang tidak tahu waktu beristirahat.

"Mark Lilah.." Tiara menarik Mark dan Dalilah di dekat sofa di kamar itu.

"Lil kamu nanti curi popok Raja yah!" bisik Tiara pelan. Mark dan Dalilah mengerurkan alisnya bingung mereka saling berpandangan. Apa lagi sih maunya Madam Tiara ini batin Mark bertanya-tanya.

"Buat apa oma?"

"Mark kalau kata orang dulu konon curi popok bisa menularkan kehamilan. Nanti saat kamu dinyatakan positif hamil kamu kembalikan lagi." Mark mencibir ide Tiara. Sementara Dalilah hanya tertawa. Oma Nadira sebelumnya juga sudah memberikan ide itu tetapi tidak ia hiraukan.

"Apa nggak sekalian oma aku curi popok-popok bayi yang ada di rumah sakit ini? Siapa tahu semakin banyak semakin berhasil." jelas Mark asal. Tiara menjewer telinga Mark.

"Dasar cucu bandel dikasih tahu malah bercanda. Oh iya bagaimana honeymoon kalian?" bisik Tiara sambil menarik duduk Mark di sofa ruangan itu. Dalilah mengernyit bingung. Sementara keluarga yang lain masih sibuk memperebutkan Raja untuk digendong.

"Super duper top yang oma berikan. Dalilah seperti kuda betina hihihi." jelas Mark tanpa malu.

"Tapi oma jangan bilang yah ini rahasia kita berdua. Oma memang partner sejati walaupun tukang ruwet." Mark memeluk erat Tiara.

"Ruwet apa oma?" tanya Dalilah penasaran.

"Mau tahu aja apa mau tahu banget?" goda Tiara membuat Dalilah bingung. Mark terkikik geli mendengar oma gaulnya menggoda istrinya.

"Ayo duduk kamu dari semalam kurang istirahat kan.." Hani menarik Marsha untuk duduk di sofa. Kehamilan Marsha memang sudah besar. Marsha duduk di samping Tiara.

"Sha nanti jangan lupa yah saat kamu di ruang bersalin jangan lupa kamu memanggil nama Dalilah. Biar Lilah cepat menyusul hamil." lagi-lagi Mark dibuat tertawa dengan usulan-usulan Tiara.

"Oma ini aneh-aneh aja. Yang penting aku dan Dalilah selalu berperang di ranjang. Bukan melakukan aneh-aneh." celoteh Mark sambil tertawa. Dalilah manahan malu, wajahnya memerah.

"Kamu itu daritadi selalu menyela omongan oma." Hani ikut mengangguk. Marsha hanya menahan tawa.

"Bukan begitu oma, percuma aku jadi pencuri popok bayi atau Marsha teriak-teriak memanggil nama Lilah. Percuma kalau aku tidak rajin memompa Dalilah." seketika Dalilah mencubit Mark karena ucapan Mark yang frontal tanpa tahu malu.

"Hahahah sakit sayang..." tawa super tengil Mark tetap tak bisa hilang.

"Wah kalau begitu ramuan-ramuan yang oma berikan jangan diputus yah. Kamu harus kembali lagi mengkomsumsi toge." seketika tawa Mark berhenti.

"Wah kalau toge jangan oma. Cukup aku nikmati dengan tahu isi aja. Aku tidak mau lebih dari itu." pinta Mark dengan wajah memohon.

"Udah turutin aja kemauan oma." Leo datang dan langsung ikut berbicara. Mark melirik sebal karena mungkin saja para oma akan kembali menjejali aneka ramuan penyubur kandungan kepada mereka berdua.

"Leonardo sebaiknya jangan ngurusin gue lo urus aja Marsha yang sebentar lagi lahiran.." sindir Mark.

"Tenang aja gue akan standby kaya Satria diminggu yang sudah diperkirakan." jelas Leo sombong.

"Kali ini papa benar-benar akan memantau menantu papa yang lain." Biyan berdiri di samping Leo dan menepuk pundaknya sambil menatap Marsha.

"Papa tenang saja. Aku akan menjaga Marsha." Biyan menggeleng dan Rama menyusul di samping Biyan.

"Tidak kali ini. Kamu tahu Leo daddy sudah menyaksikan kelahiran kamu, Dalilah dan kedua anak daddy saat dulu.." Leo menggaruk kepalanya khawatir akan campur tangan para orangtua. Satria yang baru keluar dari kamar mandi hanya bisa tertawa melihat wajah Leo. Ia tahu Leo akan menghadapi segerombolan orang ruwet yang tidak bisa dibantah.

"Oke dari sekarang Ram kita atur jadwal. Bagaimana nantinya Marsha melahirkan. Apa perlu persiapan kamar dari sekarang. Bukankah mereka sama satu dokter." ajak Biyan penuh semangat.

"Haduh bapak-bapak Leo itu sudah besar. Kalian ini duduk manis saja di ruang tunggu." cela Livi membuat Leo mendesah lega.

"Tidak bisa, aku juga mau menunggu kelahiran putra mahkota keluarga Rahadi. Penerus keluarga." sekarang giliran Opa Rahadi yang angkat bicara.

"Iya aku saja kecewa karena Satria tidak melibatkan opanya." Fatah Sarha menimpali. Satria menghembuskan nafas pelan, heran akan alasan opanya.

"Opa seperti apa ceritanya jika di ruang bersalin aku mengajak opa menunggu istriku lahiran. Aku masih normal sebagai cucu." bela Satria. Fatah hanya melirik sebal cucu kesayangannya.

"Tapi Satria ada benarnya Om Biyan. Aku masih ingat saat melahirkan Alvina ruang tunggu sangat ramai dengan kehadiran keluarga." kali ini Zahara membantu Leo.

"Pokoknya saat Marsha mau melahirkan kami mau ada di rumah sakit. Kami juga mau merasakan tegang dan bahagia bersama." tegas Rama menatap Leo yang hanya bisa mengangguk tanpa pembelaan. Karena dirasa percuma.

"Itulah sebabnya semalam gue ambil tindakan nekat hanya berdua dengan Achel. Daripada menghadapi mereka?" bisikan Satria diangguki oleh Leo.

"Ruwet..." desis Leo frustasi.

Dan....

Hari yang ditunggu pun terjadi. Tepatnya sebulan setelah Rachel melahirkan. Marsha pun akan segera menghadapi prosesnya.

"Ini benar nggak mau lahiran?" tanya Mark saat sudah sampai di ruang tunggu rumah sakit, wajah Mark sedikit jengkel karena Rama menyuruhnya secara paksa ke rumah sakit. Segera.

"Sepertinya kali ini benar." jawab Livi di samping Rama.

"Kemarin juga seperti itu." Mark duduk di sofa ruang tunggu. Seluruh keluarga sudah berkumpul. Bahkan Ibra dan Rahma ikut datang menemani yang lainnya. Hanya Rachel dan Satria yang tidak datang. Satria tidak hadir karena memang sedang sibuk dengan urusan kantor sementara Rachel tidak diperbolehkan keluar rumah sebelum tiga bulan pertama. Nadira dan Fatah Sarha yang menemani Rachel di rumah milik cucunya.

"Mbak Zara kali ini si Marsha serius mau lahiran nggak? Aku ada janji pameran mobil.." keluh Mark sebal.

"Kali ini benar Mark. Marsha sudah pembukaan delapan.." jelas Zahara di samping Mark.

"Akhirnya mau keluar juga tuh anak..." Zahara tertawa mendengar desahan Mark. Proses Marsha melahirkan ini memang sungguh membuat pusing orang sekitar. Terhitung dari dua minggu sebelumnya Marsha sudah 4 kali bolak-balik ke rumah sakit karena mulas di sekitar perutnya. Entah karena para orangtua yang sangat overprotektif berlebihan atau memang sang bayi yang berniat mengerjai orangtuanya. Yang jelas cukup membuat pusing seluruh keluarga. Marsha sempat dua kali menginap semalaman dan dua kali rawat jalan hanya sampai menunggu di ruang bersalin sebentar. Karena kondisinya yang masih aman Marsha diperbolehkan pulang.

Tapi tidak dengan tadi pagi saat mulasnya semakin bertambah parah. Kebetulan Marsha sedang menginap di rumah Leo praktis Biyan dan Sarah sibuk membawa menantunya ke rumah sakit.

"Yang di dalam siapa?" tanya Mark sekali lagi kepada Zahara yang datang sendiri. Dipta juga sedang sibuk di kantor. Sementara Alvina berada di rumah Rachel.

"Om Rama dan Leo. Dalilah juga sempat masuk karena para oma mengingatkan Marsha agar berteriak memanggil namanya." Zahara tertawa jika mengingat wajah Leo yang pusing karena semua keluarga ingin menemani Marsha. Beruntung kepala suster mengusir mereka dengan sopan.

Drt.. Drt.. Drt.. Satria

"Hallo kakak ipar merindukanku?" tanya Mark menjawab panggilan Satria.

"Dimana lo?" jawab Satria datar.

"Di rumah sakit. Anaknya si Leo kali ini benar-benar mau lahir. Kali ini dia nggak ngerjain kita lagi. Untung siang nggak malam-malam seperti yang kemarin." jelas Mark masih sedikit jengkel. Saat Marsha masuk rumah sakit yang ke tiga itu terjadi pada pukul dua dini hari dan Mark di wajibkan datang.

"Apa gue perlu ke sana?" tanya Satria.

"Mau ngapain ke sini? Mau kocok arisan? Di sini sudah penuh orang. Nanti aja kalau si Rafa udah lahir. Sempit-sempitin aja lo kesini." jawab Mark asal. Zahara menahan tawanya. Ia tahu Mark berbicara dengan siapa.

Tuuttt...

Mark menatap layar ponselnya menahan tawa. "Dimatiin..."

"Kamu tuh sama Satria mirip Tom and Jerry. Ada berantem, nggak ada di cari. Tapi kalau diantara kalian bermasalah saling bantu membantu. Ingat umur Markonaah..." Zahara geleng-geleng kepala karena tingkah adik-adiknya yang selalu bertengkar tanpa alasan yang jelas.

Hanya mereka yang tahu jenis hubungan seperti apa dan betapa kompaknya mereka saling bantu membantu. Hanya mereka yang tahu.

"Abis gemes mba sama Satria." Mark bersandar santai di sofa. Tak lama Dalilah datang menghampiri dengan wajah sedikit tegang.

"Ada apa?" tanya Mark penasaran.

"Nggak ada apa-apa. Aku cuma kasihan melihat Leo. Dia sangat tegang. Sudah terlambat menghindari para orangtua." Dalilah duduk di samping Mark.

"Hahahah biarkanlah. Pasangan ruwet sudah seharunya di ajak ruwet."

"Kalian berdua masih ikut program hamil ala oma-oma?" tanya Zahara. Mereka berdua mengangguk.

"Mau saran dari mbak?" Zahara menaikkan alisnya.

"Apa mbak? Please jangan sodorkan kami aneka jamu dan semangkok toge. Aku muak dengan mereka." Zahara menggeleng.

"Mbak dan Mas Dipta setiap hari setiap siang selalu memakan gado-gado dan satu jenis minuman yang sangat segar." Dalilah dan Mark saling berpandangan.

"Mbak lebih aneh dari para oma ternyata." ledek Mark.

"Dengarkan dulu. Resep itu berhasil sama mba. Mark kamu kan tahu sendiri berapa tahun mbak tidak juga kunjung hamil." Mark hanya mengangguk. Ia tahu bagaimana perasaan Zahara saat menanti kepastian hamil.

"Oke beli di mana gado-gadonya?"   tanya Mark pasrah.

"Nanti mbak kasih tahu alamatnya." Zahara mengedipkan matanya lucu.

"Rafaaa sudah lahirr..." Livi dan para orangtua yang lain datang menuju ruang tunggu. Mereka semua baru saja menunggu di depan ruang bersalin.

"Akhirnyaaa keluar juga ponakan ku yang bandel itu..." lega hati Mark mendengarnya. Mereka pun ikut bergabung dengan para orangtua berbagi kebahagiaan. Sungguh Mark sempat iri kapan waktu dirinya akan terjadi.

Saat dirinya menemani Dalilah di dalam ruangan itu. Ia berharap secepatnya.

Hingga malam Mark dan Dalilah masih betah berada di rumah sakit. Setelah para orangtua pulang menyisahkan Mark dan Dalilah di dalam kamar rumah sakit. Leo duduk di samping Marsha. Rafa baru saja belajar menyusui dan sedang tertidur di dada Marsha. Sungguh pemandangan yang membuat Mark dan Dalilah iri.

"Lil tadi aku berteriak memanggil namamu berulang kali. Aku berdoa setelah ini kamu segera menyusul." Marsha berkata pelan dengan wajah sangat bahagia.

"Iya Sha tahun depan giliran kita. Tapi dari sekarang aku akan bersiap menghadapi para orang-orang ruwet yang mau ikut andil. Mereka harus aku tenangkan terlebih dahulu." janji Mark pasti.

"Benar-benar tadi itu aku dibuat ruwet sama daddy. Jelas dia sangat berpengalaman menemani ibu hamil mau melahirkan..." cerita Leo dengan tawa pelan. Sungguh hari yang sangat bahagia karena Rafa Leonardo Rahadi hadir sebagai bukti cinta tulusnya untuk Marsha seorang.

***

10 bulan kemudian. Di kamar Mark.

Pagi yang indah selalu disambut oleh Mark dengan tawa bahagia. Tak lupa ia selalu mengucap syukur karena rumah tangganya dengan Dalilah berlangsung bahagia. Seperti pagi ini dan pagi-pagi sebelumnya. Kecupan-kecupan yang setiap pagi ia terima dari sang istri selalu saja menjadikan dirinya semangat melakukan aktifitasnya. Semangat mencari rezeki dan nafkah untuk keluarganya.

Kecupan pagi ini terasa berbeda dari hari-hari sebelumnya. Kecupan basah yang sangat berbeda dari istrinya Dalilah yang mampu membangkitkan libidonya sebagai seorang suami.

"Bangun Uncle Mark.." Dalilah meniru suara anak-anak. Perlahan Mark mengendus wangi-wangi mirip aroma telon dan sejenisnya. Ditambah suara cekikikan khas anak bayi. Belum lagi liur yang menetas dengan seenaknya di sekitar wajah Mark.

Mark masih menduga-duga siapa pelakunya.

"Hihihihihi..." Mark masih belum sadar sempurna. Suara bayi-bayi ini dekat dengan dirinya.

"Uncle Mark bangun kami kangen, kita main yuk.." sekali lagi Mark mendengar tawa lucu balita berjarak sangat dekat dengan dirinya.

Perlahan Mark membuka matanya. Mark sudah menebak siapa pemilik dua kepala besar di depannya. Dua kepala balita gembul dengan wajah yang sangat mirip dengan para biangnya. Mereka berdua adalah jelmaan Satria dan Leo.

"Pagi Uncle.." lagi-lagi suara Dalilah meniru suara ala balita.

"Raja dan Rafa.." Mark menarik kedua balita gembul itu agar lebih dekat dalam pelukannya. Mereka sengaja didudukan bahkan setengah memeluk Mark oleh Dalilah.

Raja dan Rafa terlihat antusias karena godaan paman tersayang.

"Ini hari sabtu Lilah dan kamu mengundang mereka." Mark berbicara sambil membalikan badan. Sekarang posisi dua balita gembul itu telentang berdampingan sedangkan Mark setengah menunduk di atas mereka. Mark memang sangat hobby menggangu wajah-wajah gembul menggemaskan keduanya dengan bulu-bulu di sekitar wajahnya. Mark berhasil membuat mereka tertawa geli.

"Aku kangen mereka Mark..." rengek Dalilah manja. Mark menyipitkan matanya menatap Dalilah.

"Tiga hari yang lalu kamu baru saja menculik mereka." sindir Mark. Dalilah memang sangat mencintai dan sayang terhadap Raja dan Rafa.

"Iya tapi Razi yang meminta..." dengan manja Dalilah memegang perut bulatnya. Perut itu membesar seiring waktu berjalan.

Dalilah sudah hamil tujuh bulan.

"Hufftt. Entah apa yang ada di pikiran calon putraku. Masih di dalam kandungan saja sudah berusaha dekat dengan para gembul ini..." Mark menggelitiki kedua balita yang berbadan gempal yang sangat berisi.

Wajah Raja sangat mirip dengan Satria. Tidak terlalu putih dengan tatapan mata sayu dan bibir mungil sedikit tebal. Pipinya sangat tembam karena Rachel sangat memperhatikan gizi putranya. Satria junior ini sangat mirip seperti Satria disetiap bentuk wajahnya. Belum lagi belahan di dagunya semakin memperjelas dia putra Satria. Bedanya Raja sangat murah senyum. Sifat riangnya jelas diambil dari Rachel.

Lain Raja lain Rafa. Wajahnya benar-benar wajah Leonardo saat masih kecil. Begitulah yang dikatakan Sarah dan Biyan. Rafa berkulit putih dan hampir menyamai berat badannya dengan Raja.

Terlebih kedua orangtuanya yang sama tinggi. Jelas Rafa mengikuti keturunan kedua orangtuanya. Senyum Rafa sangat mirip dengan Leo, bibir tipis dan mata sedikit sipit sungguh perpaduan yang sangat pas. Wajah Rafa terlihat wajah penyabar. Jelas itu menuruni kedua orangtuanya yang dikenal penyabar dengan pembawaan tenang.

"Kemana perginya papa mama kalian..?" Mark merebahkan dirinya di samping Raja sementara Dalilah juga ikut merebahkan diri di samping Rafa. Mereka berdua menjadi pembatas dua balita yang sedang telentang memainkan mainan berbahan kain bantal.

"Kakak dan Achel katanya mau pergi ke Bandung. Sedangkan Leo dan Marsha pergi ke Pulau Seribu. Mereka bilang besok malam akan menjemput Rafa dan Raja. Kamu tenang saja persediaan logistik untuk keduanya sudah dipersiapkan rapi oleh bunda-bunda mereka." jelas Dalilah riang sambil menatap dua keponakan tersayang.

"Tunggu Razi yah nanti kita akan bermain bersama." Mark sangat gemas menatap istrinya. Dalilah baru saja berkata dengan suara mirip anak kecil. Rupanya Dalilah mengumpamakan dirinya sebagai Razi calon anak mereka.

Hasil usg memang menyatakan jenis kelamin anak yang Dalilah kandung laki-laki. Dalilah menjalani kehamilan tidak terlalu payah. Sungguh bahagia Mark dan Dalilah saat tahu kabar jika mereka akan segera diberikan tanggung jawab seperti saudara mereka yang lain.

Rupanya tips dari Zahara berhasil terlaksana. Entah memang karena sudah saatnya tapi yang jelas Mark dan Dalilah sangat berterimakasih kepada Zahara.

Ada yang unik dalam masa kehamilan Dalilah. Ia tidak mau jauh dari kedua balita dihadapannya. Ya Dalilah akan sangat gelisah jika sehari saja tidak bertemu Raja dan Rafa. Rasa lelah bahkan mual yang dihadapi Dalilah bisa hilang seketika jika bertemu dua balita ini.

Setiap harinya Dalilah akan bertamu ke rumah mereka masing-masing. Terkadang Dalilah main ke rumah Satria dan Rachel hanya untuk tidur siang di samping Raja. Bahkan Rafa setiap malamnya bisa dipaksa tidur di kamar Mark dan Dalilah jika Marsha sedang menginap di rumah kedua orangtuanya.

"Enak sekali mereka..." gerutu Mark sambil memeluk Raja dan mengganggunya bermain.

"Ini kemauan Razi anak kita Mark. Mereka bersaudara dan tak akan pernah terpisahkan." Dalilah mengusap perutnya lalu mengecupi satu persatu kedua keponakannya.

"Raja berarti harapan. Rafa berarti kebahagiaan. Sedangkan Razi adalah kebaikan. Mereka akan menjadi anak yang selalu kita banggakan kelak." Dalilah mengusap perutnya kembali. Mark selalu luluh dengan perkataan istrinya. Razi akan sangat ditunggu oleh mereka dan juga seluruh keluarga.

"Jadi weekend ini kita akan kencan dengan Raja, Rafa dan Razi...?" Dalilah mengangguk antusias. Dan suara tawa lucu dan menggemaskan menggema di kamar milik mereka.

"Raja Rafa dan Razi selamanya anak kita..." jelas Dalilah riang.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro