30 - Pasangan Ruwet
Di Pantai Area Resort SAR
Suasana sore itu begitu indah. Tampak sepasang pengantin berdiri berdampingan dengan raut wajah bahagia yang tak bisa disembunyikan.
Selamat kepada kedua mempelai Leonardo Arga Rahadi dengan Marsha Rama Andhika. Mereka baru saja meresmikan janji suci pernikahan di hadapan lautan luas yang membentang tiada batas pemisah dua benua.
Leonardo memberikan mahar cincin mas putih dan macam perhiasan lainnya yang sangat mewah dan begitu mempesona. Betapa cantik dan serasinya saat Leo memakaikan semua pemberiannya kepada Marsha. Binar kebahagian jelas melekat di diri mereka berdua.
Tidak ada panita khusus dalam acara itu. Hanya persiapan dari KUA setempat, beberapa surat yang harus diberikan kepada pihak KUA yang ternyata sudah dipersiapkan matang-matang oleh Leo sendiri. Sementara urusan baju pengantin dan mahar pernikahan Leo menyerahkan tanggung jawab itu kepada sang mama Sarah begitu juga Livi sang ibu mertua.
Marsha tampak cantik mengenakan gaun putih sederhana, tatanan rambut hanya ia jepit sederhana dengan jepit berbalut mas putih pemberian sang pengantin pria. Tidak ada kemewahan yang berarti dalam acara tersebut. Mereka benar-benar memamfaatkan fasilitas resort yang sudah seharusnya seperti itu. Tidak ada jamuan khusus.
Hanya kedua pengantin yang memancarkan aura kemewahan hatinya karena hati mereka bersatu sempurna. Menjadi satu kesatuan.
Para keluarga terdekat terlihat hadir dari kedua belah pihak. Undangan tidak sampai seratus orang, itu memang yang diinginkan kedua mempelai. Terutama Leo, ia memang tidak mau pernikahannya diketahui khalayak ramai. Terlebih keduanya memang terlibat satu pekerjaan. Bagi mereka urusan pribadi tidak perlu disangkut pautkan dengan acara terpenting dalam hidupnya.
"Akhirnyaaa...." Leo menatap Marsha bahagia. Perjuangan ia sangat lama untuk mendapatkan cinta Marsha. Mereka sama-sama mencintai dalam kesunyian. Sejatinya Bumi dan Bulan memang menyatu dalam keheningan malam.
"Aku seperti bermimpi Lee hari ini terjadi. Maafkan aku selama ini yang selalu pasrah akan kisah kita. Ajari aku untuk selalu berjuang yah..." Leo mengangguk bahagia.
"Selamat Abaaang..." Rachel dan Satria menghampiri kedua mempelai yang sedang asyik duduk menyaksikan pertunjukan dari band acoustic pesanan hotel.
"Brader selamat yah. Selamat datang di dunia yang penuh dengan keruwetan..." Rachel terkikik mendengar ucapan aneh dari sang suami.
"Shaa selamat yah.. Akhirnya kamu dan Abang bersatu."' Rachel memeluk erat Marsha.
"Iya Chel.. Ini juga atas bantuan suami kamu. Nggak akan aku lupakan ocehan-ocehan yang selalu ia informasikan padaku setiap harinya tentang Leo. Telingaku sampai panas mendengarnya. Tapi itu berhasil hahahah." Satria memeluk Marsha sebagai ucapan selamat.
"Kalau nggak digituin kamu nggak akan membuka diri." kedipan Satria sangat menggoda.
"Terus gimana sama Dalilah sama Mark. Kenapa jadi ruwet begini sih?" Marsha melirik kedua manusia yang duduk saling berjauhan itu dengan rasa bersalah.
"Jangan khawatirkan mereka. Kali ini Mark memang harus berjuang keras jika ia memang mencintai adikku." penjelasan Satria diangguki oleh Leo dan Rachel yang sedang berangkulan sayang.
"Iya untuk sementara hanya kita yang tahu kalau mereka berpisah sementara. Orangtua jangan sampai tahu. Aku yakin cepat atau lambat mereka bersatu kembali. Aku yakin mereka sebenarnya saling mencintai hanya saja sebuah kata bukanlah sesuatu yang bisa mereka ucapkan dengan mudah." Leo menjelaskan sambil menatap dua manusia yang sibuk dengan dirinya masing-masing.
Mark tampak sibuk duduk dengan Dipta dan juga para orangtua lainnya. Sementara Dalilah terlihat asyik memangku sikecil Alvina bersama Zahara.
Flashback sehari sebelumnya.
"Leoooo...." Mark menghampiri Leo dan Marsha yang baru saja tiba di resort SAR. Mereka terlihat bahagia dengan satu sama lain merangkul mesra.
"Kenapa lo main ambil keputusan aja mau nikah? Kita kan belum kasih keputusan. Sha?" Mark menyecar kepada dua pasang yang terus saja menampilkan senyum bahagia kepada semuanya.
Rachel, Dalilah dan Satria menyusul dari belakang Mark.
"Maaf kami tidak bisa menunggu lagi. Mark kami sama-sama mencintai. Tidakkah kamu mau mengalah denganku." Marsha menarik Mark mendekat dengannya. Leo dan yang lainnya hanya melihat tingkah saudara kembar yang sedang saling merajuk.
"Iya tapi kan aku juga mau menikah Sha. Kita belum ada keputusan adil. Tetapi kalian berdua langsung mengambil start terlebih dahulu." Mark berbicara pelan dengan Marsha.
"Mark gue cinta sama Marsha, lo pun tahu itu. Gue nggak mau kehadiran Kim yang dasarnya bagian dari masalalu gue malah membuat hubungan gue dan Marsha balik lagi menjauh. Karena kedepannya nggak menutup kemungkinan pertemuan gue dengan Kim atau Marsha dengan Kim terjadi. Terlebih kita sedang menjalin hubungan kerja." jelas Leo setenang mungkin.
"Aku janji dipernikahanmu dan Dalilah aku akan sepenuhnya membantu Mark. Aku mencintaimu Mark. Tapi aku juga mencintai Leo sebagai pria yang akan menemani kisah hidupku. Bahkan aku dan dia akan menciptakan kisah hidup bahagia bersama karena kami saling mencintai." Mark diam mendengarkan rayuan Marsha.
"Kamu menginzinkan tidak jika pernikahan kami berdua dilaksanakan?" tanya Marsha pelan. Mark tetap diam menatap saudara kembarnya. Saat Mark hendak mengangguk tiba-tiba Dalilah memberikan jawaban.
"Iya Sha kamu dan Leo lebih pantas menikah duluan. Akan sangat jahat jika aku melarang kalian. Kalian saling mencintai sejak lama. Kalian berbeda sama kami. Kami hanya bermain-main selama ini..." Mark menoleh terkejut atas perkataan Dalilah.
"Main-main apa maksudmu Lil?" tidak hanya Mark yang terkejut. Leo, Marsha, Satria dan Rachelpun tampak menunggu penjelasan Dalilah.
"Kamu nggak pernah mencintaiku Mark!!!" Mark diam menatap Dalilah. Saat Mark ingin berbicara tangan Dalilah melarangnya. Dalilah ingin melanjutkan perkataanya.
"Sudah sejak lama aku merenung Mark, aku memang buta akan cinta dan jalinan kasih. Tapi aku tidak bodoh. Aku menginginkan kekasihku berkata mencintaiku. Aku menginginkan seorang pria berjuang mendapatkan hatiku. Tetapi itu semua tidak kurasakan. Seolah segala sesuatu sangat mudah kita dapatkan. Tanpa ada perjuangan." nada suara Dalilah bergetar. Ia menatap tajam mata Mark.
"Kamu mau aku berjuang? Apa selama ini kita tidak berjuang. Harusnya kamu bersyukur kalau hubungan kita direstui oleh semua. Bahkan keadaan memihak kita Lil.." Dalilah menggeleng mendengar perkataan Mark.
"Apa kamu mencintaiku Mark?" tanya Dalilah dengan suara berbisik. Sesungguhnya ia malu bertanya hal ini dihadapan empat orang yang sedang menyaksikan mereka. Mark hanya diam menatap Dalilah. Sejenak Dalilah tertawa menahan tangisnya.
"Kamu bahkan tidak bisa mengakuinya.." Dalilah tertawa sumbang.
"Aku kan sudah bilang sebuah kata tidak penting. Yang terpenting adalah aku nyaman sama kamu. Aku nyaman dengan sifat kesederhanaan kamu yang mampu mengisi hari-hariku." jelas Mark sambil berjalan mendekati Dalilah.
"Kalau begitu aku mau kita pisah dulu. Sebaiknya kita sama-sama yakini dulu isi hati kita masing-masing..." Dalilah perlahan mundur dan berbalik lari dari tempat itu. Meninggalkan berbagai tanda tanya kepada siapa saja yang melihatnya. Semua terlihat terkejut khususnya Mark yang hanya bisa mematung mencerna kalimat yang dikatakan kekasihnya.
"Tenang Mark, mungkin dia terbawa suasana biar gue susul adik gue." Satria menepuk pundak Mark dan berlari mengejar sang adik. Mark hanya diam menatap kepergian Dalilah yang mengejutkan. Deru nafasnya terdengar tak beraturan.
"Mark...." Marsha tanpa basa-basi memeluk erat saudara kembarnya dengan sayang. Mark membalas tanpa berkata-kata.
"Apa aku harus mengakatan 'aku cinta padamu' agar ia percaya. Aku tidak percaya kata itu dalam kamus aku. Bukan berarti aku manusia anti menjalin kasih." jelas Mark disela pelukan hangat Marsha. Leo dan Rachel hanya diam.
"Kamu nggak kenal wanita berarti Mark. Kamu ini playboy tapi untuk mengenal Dalilah aja masa nggak faham.." Marsha berusaha menggoda kembarannya.
"Mark intinya Dalilah itu minta lo berjuang akan cintanya." Leo berbicara.
"Tapi sekarang dia udah mutusin sepihak.." Leo tertawa dengan kata-kata yang diucapkan Mark.
"Ini bukan Mark yang gue kenal. Ayo kita tenangkan dulu pikiran. Jangan ada yang tahu masalah ini. Chel susul Satria.." Rachel mengangguk dan mendekati Mark yang sudah dirangkul Leo.
"Markona jangan pesimis. Dalilah itu pasti mau kepastian cintanya terbalas atau tidak. Wanita itu mudah sebenarnya dipahami. Jika kalian para pria mau membuka hatinya sama kita.." Rachel memeluk Mark.
"Aku pasti akan membantu kamu Mark. Karena kita sekutu abadi..." Rachel lalu pergi mencari Satria berada.
"Sebaiknya kita batalkan saja Sha pernikahan kita. Kamu tidak masalah kan Sha?" Marsha tersenyum dan menggeleng dengan permintaan Leo.
"Jangan Le. Brengsek banget gue gagalin pernikahan orang yang gue sayang gara-gara keegoisan sepihak. Besok tetap dilaksanakan. Harus!!!!" jelas Mark pasti sambil berjalan memeluk erat Marsha.
"Gue nggak sangka aja ternyata Dalilah menagih kata cinta." Marsha mencubit pinggang Mark.
"Setiap wanita itu butuh kepastian. Kata cinta itu memang biasa saja menurut sebagian kaum pria tapi itu sangat penting bagi kami para wanita." jelas Marsha tegas.
Mereka pun berjalan menuju tempat dimana para orangtua berkumpul untuk makan malam. Mark sudah berjanji akan diam dan mengikuti kemauan Dalilah saat ini. Demi berlangsungnya acara besok Mark akan diam dan mengalah.
Dilain tempat tepatnya disebuah gazebo kecil berhadapan dengan pantai Satria sedang menemani adik kecilnya yang sedang bersedih. Satria memang tegas dengan adiknya tapi ia akan sangat terpukul jika kesedihan melanda sang adik. Ia merasa sebagai pelindung telah gagal dan sia-sia bagi adiknya.
"Kakak nggak usah temenin aku. Maafkan aku jika tadi aku seperti anak kecil, menambah masalah disaat semua orang sedang menyambut kebahagiaan. Aku membuat ruwet keadaan yah?" jelas Dalilah parau. Ia tidak menangis hanya terisak pelan. Bahkan tidak bersuara tetapi linangan air mata itu membuat hati Satria sedih.
"Kakak tidak perduli acara itu jika kamu bersedih sendiri disini. Kakak mau sama kamu." dengan lembut Satria merangkul sang adik. Memeluk dengan kehangatan yang ia punya. Sejujurnya Dalilah merindukan pelukan hangat sang kakak. Ia merindukan perlakuan hangat dari sang kakak yang sedikit berkurang akhir-akhir ini.
"Aku hanya sedang kecewa kak. Sudah cukup lama aku ingin mengeluarkan isi hatiku seperti tadi. Tapi aku takut hal buruk terjadi. Aku takut kenyataan yang akan membuat aku kecewa." Dalilah akhirnya mengeluarkan isi hatinya. Dalam dekapan Satria ia terus bergumam perih. Satria mendengarkannya.
"Kenyataan apa? Mark tidak mencintai kamu?" Dalilah mengangguk dalam dada Satria.
"Kamu salah kalau menduga Mark tidak mencintai kamu. Mark itu tipe pria yang tidak suka berkata cinta disetiap gombalannya. Dia memang perayu bahkan ahlinya membuat wanita terpesona tapi dia akan sangat hati-hati dalam menggunakan kata sakral itu." Satria menepuk pundak Dalilah dengan lembut.
"Itu artinya dia memang belum mencintaiku kak. Buktinya dia tidak pernah berkata cinta." bela Dalilah. Satria tertawa pelan.
"Lilah.. Mark memang tidak pernah berkata cinta tapi dari bahasa tubuhnya dia mencintai kamu. Dia tidak pernah marah jika kakak sinis bahkan berlaku jahat sama dia. Dia selalu membantu kakak saat kakak mengalami keruwetan dengan para oma saat kakak akan menikhah, semua dia lakukan tulus sama kakak. Kamu tahu kenapa? Karena kamu. Karena dia rela melakukan apa saja asal kamu ada disampingnya." Dalilah diam mendengarkan.
"Belum lagi dengan tulusnya dia menikmati segala hasil eksperimen kamu di dapur dengan sukarela tanpa kamu tahu. Kakak tahu perasaan dia saat menikmati masakan kamu. Tapi dia ikhlas menelan semua makanan kamu asal kamu tersenyum." Dalilah tetap diam.
"Kalau kamu bilang Mark kurang perjuangan, tidak semua bentuk perjuangan cinta harus selalu diawali berurai airmata. Kamu mau hidup kamu berjalan seperti sinetron. Kisah hidup orang berbeda-beda. Kamu seharusnya bersyukur kisah kamu dipermudah." Satria mencubit pipi Dalilah. Lalu memaksa Dalilah menatap wajahnya.
"Dan yang terpenting. Dia menutup semua akses tentang dirinya kepada semua wanita yang selalu memujanya. Dia benar-benar berhenti bermain dengan wanita Lil. Kakak berani sumpah semenjak kehadiran kamu dihidupnya, dia benar-benar menutup bahkan menghapus sifat playboynya. Kamu tahu kenapa? Karena dia nyaman bersama kamu." Dalilah menatap sang kakak.
"Dia pernah bilang cinta bagi dia adalah kenyamanan." jelas Dalilah pelan.
"Mark itu cinta sama kamu. Hanya saja kamu merasa kisah kamu dengan dia tidak semenarik kisah Marsha, atau kisah aku dan pria kaku disampingmu ini Lil..." Rachel datang dan langsung ikut berbicara. Dalilah beralih memeluk Rachel manja. Memeluk kakak iparnya yang usianya lebih muda dari dirinya.
"Kamu bicara baik-baik yah sama Mark. Jangan ambil keputusan disaat emosi kamu masih labil. Ini menyangkut dua keluarga. Untuk sementara hanya kita aja yang tahu. Para orangtua nggak perlu tahu." Dalilah mengangguk dengan perkataan lembut Rachel.
"Kamu tahu kakak kamu itu kaku. Bahkan tidak pernah mengatakan hal yang romantis. Galak? iya. Judes? apalagi. Kaku? jangan ditanya. Uniknya jika dia bersikap romantis aku malah takut sendiri. Karena aneh..hihihi..tapi aku percaya dia mencintaiku. Aku percaya aku tidak butuh ia berkata 'cinta'." Satria menaikkan alisnya menatap sang istri.
"Penjelasan macam apa itu pendek?" ejek Satria yang dibalas juluran lidah Rachel.
"Andai kamu tahu kakak kamu akan berkata cinta padaku saaattt..." Rachel melirik Satria yang sedang menginstruksikan sang istri untuk diam.
"Saat apa?" Rachel bingung apa Dalilah akan kaget jika diberitahu sang kakak akan berkata cinta saat ia sedang menyelesaikan pelepasan gairahnya didalam Rachel.
Satria mengatakan kata cinta selalu dalam posisi wajahnya berada dicekungan leher Rachel. Selebihnya hampir tidak pernah Satria menyatakan cinta dikondisi yang berbeda.
"Pendekk sttt !!!" ancam Satria.
"Pokoknya sipria kaku ini egois Lil tapi aku mencintainya dan aku percaya dia juga cinta sama aku walaupun dia jarang berkata cinta. Tapi perhatiaanya itu sudah pasti cinta Lil, begitu juga dengan Mark." jelas Rachel dengan nada riang dan membulatkan matanya menantang Satria.
"Aku nggak tahu Chel. Kenapa disaat seperti ini aku meragukan Mark." Rachel terlihat kesal dan risih karena Satria mencubit pinggang dan menarik rambutnya.
"Lilah kamu itu terlalu drama malam ini. Sekarang tidur besok hadapi dengan senyuman. Kakak nggak akan paksa kamu untuk kembali dekat dengan Mark, tetapi jika kakak disuruh memilih untuk mencarikan kamu jodoh pasangan hidup kamu. Mark akan menjadi kandidat pertama yang akan kakak promosikan untuk kamu. Bukan karena dia anak Om Rama, bukan karena dia sahabat kakak. Tetapi karena kakak percaya dia mampu menjaga kamu, karena kakak yakin dia mencintai kamu tulus." Satria mengecup kepala Dalilah yang masih berada dipelukan Rachel.
"Apa kamu mau kakak temani?" Satria mengusap rambut Dalilah.
"Tidak perlu, aku tidak mau mengganggu terus honeymoon kalian, aku masuk dulu yah.." Dalilah berjalan pelan menuju bungalow tempatnya beristirahat. Rachel dan Satria menatap kepergian adiknya dengan wajah mengiba.
"Aku nggak sangka adikku ternyata sensitif karena itu. Mark harus bisa menempatkan diri yang benar." Rachel mengangguk setuju. Dan tiba-tiba Satria dengan kesadaran penuh mengangkat Rachel ala pengantin baru.
"Satria mau ngapain? Ini tempat umum.." bisik risih Rachel didalam gendongan suaminya.
"Ayo aku mau menyatakan cinta kepadamu." Rachel mencibir menatap suaminya. Ia mencubit dada suaminya pelan dan memainkan tangannya di dada suaminya tetap dalam gendongan hangat tersebut.
"Pendek seharian ini kita dibuat ruwet dengan semuanya. Aku berharap malam ini tidak ada pengganggu lagi." Rachel mengangguk setuju, mereka berjalan menuju kamar sambil saling membalas senyuman dan cekikikan. Mereka memang pengantin baru dimabuk cinta.
Flashback End.
Masih di hari yang sama, pernikahan Leo & Marsha.
"Mark..." Marsha memanggil Mark untuk mendekatinya. Mark dengan senang hati memeluk erat saudara kembarannya dengan penuh sayang. Dalam helaan nafas bahagia ia menutupi rasa kecewanya hari ini. Kecewa karena Dalilah berusaha berjauhan dengan dirinya.
"Dalilah masih marah?" bisik Marsha pelan. Mark mengangguk. Mereka sedang menikmati alunan musik romantis, dengan gerakan pelan Mark mengajak Marsha berdansa.
"Kemana Mark ahlinya wanita. Kenapa kamu jadi diam tanpa bertindak Mark..?" Mark hanya tersenyum menatap pengantin wanita dipelukannya.
"Sia-sia dong kamu melamar dia ditengah sunrise yang indah. Kalau sekarang kamu mau melepas dia begitu saja." lagi-lagi Mark tersenyum.
"Aku tidak akan melepas Dalilah Sha. Aku bukan pria bodoh yang akan melepas wanita yang sangat aku cintai begitu saja." seketika Marsha memeluk erat saudara sejiwanya.
"Aku mencintaimu Mark..." Marsha terus memeluk erat Mark.
"Yang jadi kedua mempelai gue dan Marsha bukan lo." Leo datang tiba-tiba dan langsung menyerobot Marsha dalam pelukannya. Mark tertawa pelan. Ia lalu memeluk Leo.
"Sibiang ruwet akhirnya menikah. Dasar licik lo main serobot aja. Jaga dia baik-baik Lee. Dia wanita yang sangat gue cintai. Dia sedih gue ikut sedih, dia menderita gue akan sangat menderita. Dia bahagia gue juga akan sangat bahagia. Jadi tolong bahagiakan dia." Marsha memeluk Mark.
"Dia aman bersama gue." Leo tersenyum meyakinkan.
Di tempat lain. Satria sedang duduk bersama para orangtua. Ada Ibra sang ayah. Biyan sang ayah mertua tak lupa Rama yang juga sudah dianggap orang tuanya sendiri. "Satria papa dengar kamu membeli saham S.R Food?" Ibra meneliti wajah anaknya heran.
"Tadinya seperti itu. Tapi nanti setelah sampai di Jakarta akan ada pembeli baru. Aku berniat menjualnya dan sahabat Mas Dipta mau membeli saham 100% dengan harga bagus. Tetapi kerja sama tetap tidak diputuskan dengan pihak kita. Tenang saja." Ibra mengangguk setuju.
"Om berharap kamu dan Leo dapat berkerja sama dengan baik. Mungkin Marsha setelah menikah akan berkurang intensitasnya dan Leo yang akan menggantikannya. Ingat kalian harus saling percaya satu sama lain. Kenapa kami bertiga sampai usia sekarang bisa berhasil? Karena kami saling percaya." jelas Rama kepada Satria.
"Sebenarnya Om sangat berharap Mark yang mewakili om tetapi dia memang tidak menyukai bidang ini." ada nada kekecewaan dalam diri Rama. Karena ia menginginkan sang putra menggantikan dirinya.
"Om tenang saja. Kami akan saling berkerja sama. Aku akan membantu Leo." Rama menepuk sayang pundak Satria.
"Daddy aku mau berdansa dengan daddy!" Marsha datang dengan senyuman paling cantik yang ia punya. Rama berdiri dan menerima dengan senang hati tawaran putri cantiknya.
"Pengantin cantik mau berdansa rupanya.." Rama berlalu dengan Marsha menikmati lagu di lantai dansa yang sudah disiapkan pihak acara dadakan.
"Ah aku sudah lama tidak berdansa dengan putri kecilku. Putriku sudah diambil orang.." desah Biyan setengah menggoda. Tak lama Rachel datang dari arah belakang Biyan dan bergelung manja di pundak Biyan.
"Tapi aku masih putri papa kan? Aku tidak diambil orang papa. Aku hanya berpindah tempat saja..." Ibra tertawa mendengar celotehan menantu barunya. Pantas saja Putranya luluh dengan sifat menyenangkan Rachel. Benar kata Rahma, sifat kaku Satria mampu diluluhkan oleh Rachel batin Ibra bersyukur.
"Papa tidak mau berdansa denganku?" Rachel mengajak Biyan bergabung dengan Rama dan Marsha.
"Ayo kelinci kecilku.. Satria papa boleh pinjam kelinci kecil ini?" izin Biyan menggoda Satria.
"Silahkan papa. Oh iya dia bukan kelinci kecil, tapi bebek mini..." Rachel menjulurkan lidahnya membalas candaan suaminya.
"Kamu bahagia menikah dengan Rachel?" dimeja itu hanya tersisa Ibra dan Satria.
"Sangat pa. Aku bahagia." Ibra tersenyum menatap anaknya. Ia lalu melihat kedepan menatap menantu cantiknya sedang berdansa dengan Biyan lalu ia bertukar pasangan dengan Rama. Sedangkan Marsha berdansa dengan Biyan. Ibra menatap sekitar tempat itu dan mencari keberadaan putrinya yang sedang duduk menatap lantai dansa.
"Princess mau berdansa juga?" tanpa diduga Ibra sudah berdiri tegap di hadapan Dalilah.
"Daritadi aku menunggu papa..." Dalilah mengangguk cemberut.
"Ayo kita bergabung princess.." Dalilah mengangguk dan menerima ajakan sang papa.
"Wah malam ini kita beruntung dapat pasangan muda yah?" goda Rama melihat Ibra yang ikut turun berdansa.
"Kamu sedang ada masalah?" tanya Ibra pelan. Ia tahu sang putri terlihat berbeda hari ini.
"Nggak.. Aku hanya terpesona dengan dekorasinya. Sederhana tapi penuh makna." Ibra mengangguk.
"Kamu mau juga menikah?" goda Ibra membuat Dalilah malu.
"Wajah malu-malu kamu mengingatkan papa sama mamamu."
"Pa apa cinta itu butuh perjuangan?" Ibra tahu putrinya pasti sedang mempunyai masalah. Ibra mengangguk.
"Tetapi jika cinta itu didapatkan dengan mudah dimana letak perjuangannya?" pertanyaan aneh dari Dalilah.
"Princess berjuang demi cinta itu tidak harus selalu dengan tangisan. Memang jika kita sudah mengalami fase berjuang seperti itu kemungkinan rasa cinta keduanya akan semakin kuat. Tetapi jangan salah, mempertahankan yang sudah ada itu juga bentuk dari perjuangan. Itu lebih sulit menurut papa. Saran papa kamu nikmati saja anugerah yang sudah kamu dapat. Jangan mencari keruwetan lagi." nasihat Ibra didengarkan Dalilah. Kemudian mereka kembali berdansa.
"Aku sayang papaaa..." Dalilah memeluk erat Ibra penuh cinta.
Semua mata memandang dengan senyuman. Tiga pasang ini tampak serasi. Band acoustic yang tersedia tanpa diminta mempesembahkan lagu yang sangat pas bagi mereka.
Dance with my father..
Musik mengalun dengan indah dan semakin membuat suasana cinta memutari sekeliling resort. Bahkan tidak ada yang mau mengganggu enam orang dilantai dansa itu.
"Mark..." Satria dan Leo menghampiri Mark yang sedang tersenyum menatap lantai dansa. Entah pasangan yang mana yang dia lihat tapi wajahnya tersenyum bahagia.
"Mungkin kelak kita akan seperti mereka. Menikmati pelukan dari putri tersayang." Mark berbicara tanpa menatap kedua pria yang duduk diantara dirinya.
"Mark mengenai adik gue.." Mark tersenyum terus sambil menatap mereka yang berdansa.
"Tenang aja Sat. Gue akan berjuang untuk dapatkan kembali hati Dalilah. Gue bukan orang yang mudah menyerah." Satria menepuk pundak Mark.
"Mark mau kemana?" Leo memanggil Mark yang tiba-tiba berjalan ke arah lantai dansa dan berhenti tepat diantara Ibra dan Dalilah yang sedang saling tertawa bahagia.
"Om bisa gantian! Aku mau berdansa dengan calon istriku." Dalilah menegang mendengar Mark berkata tegas namun sopan lalu menatap dirinya.
"Tentu saja Mark kamu kan calon suaminya." Ibra menarik diri. Sementara Mark menarik tubuh Dalilah dalam pelukannya. Dalilah memalingkan wajahnya tanpa menolak pelukan Mark. Ia cukup tahu diri untuk tidak mengacaukan acara indah ini. Terlebih semua orang yang hadir sedang berbahagia.
"Dari semalam aku merindukan suaramu, tawamu, aromamu, hatimu dan semua yang ada di dalam diri kamu." bisik Mark pelan menatap lekat wajah cantik Dalilah.
"Aku punya penawaran yang bagus untuk kamu calon istriku." Dalilah tetap diam walaupun ia cukup penasaran.
"Apaa..." balas Dalilah menunduk.
"Menikah besok atau setahun lagi." Dalilah membulatkan matanya menatap terkejut Mark yang sedang tersenyum manis.
"Aku kan sudah bilang kita break dulu. Kamu nggak faham yah." desis Dalilah pelan. Mark menggeleng pelan.
"Tidak akan pernah ada kata break manisku. Karena aku calon suamimu. Bisa jadi besok atau TAHUN DEPAN..." jelas Mark tegas.
"Kenapa harus tahun depan?" cicit Dalilah penuh tanya.
"Karena kalau kamu menolak untuk menikah besok aku akan pergi." ada rasa takut kehilangan pada diri Dalilah. Apa jangan-jangan Mark memang akan pergi. Kenapa pilihannya begitu sulit? Besok? Ah terlalu cepat. Belum tentu di izinkan. Bukan ini yang aku mau.. Arrggh.
"Kenapa besok?" tanya Dalilah segugup mungkin. Mark semakin mempererat pelukannya.
"Karena tidak ada alasan lagi selain aku mencintai kamu manis. Besok atau tahun depan aku tetap saja mencintai kamu." semburat merah muncul di wajah cantik Dalilah.
Dia berkata cintaaa...
Cintaaaaaa...
Tapiiiiiii....
"Dimana letak perjuanganmu?" tanya Dalilah datar.
"Jika besok kita menikah, aku bersumpah selama satu bulan awal pernikahan kita, aku tidak akan menyentuh kamu." Dalilah menaikkan alisnya tidak percaya.
"Aku menikah dengan kamu bukan karena nafsu sesaat manis. Aku menikah denganmu karena ingin menghabiskan sisa masa hidupku dengan kamu. Wanita yang membuatku nyaman." jelas Mark serius, Dalilah mencerna kata-kata itu dengan hati berdebar.
"Bukankah sama saja kita mempermainkan pernikahan?" Mark menggeleng.
"Aku menikahimu serius. Tapi kamu meragukan itu. Sekarang aku mau membuktikan jika rasa cinta aku sama kamu tulus. Bukan hanya karena bermain dengan nafsu." Mark mengelus pipi Dalilah lembut.
"Lalu prosesnya?" cicit Dalilah malu.
"Kita tetap satu kamar. Aku jamin tidak akan ada kontak fisik. Selama sebulan ini." tegas Mark tanpa ragu.
"Apa kamu sanggup Mark?" ada nada tidak percaya pada diri Dalilah. Ia cukup tahu sepak terjang Mark selama mereka berhubungan walaupun tidak sampai di luar batas.
"Sejujurnya aku tidak sanggup tapi ini demi meyakinkan dirimu. Lilah berjuang itu tidak harus jatuh bangun terlebih dahulu. Tapi menjaga apa yang sudah ada itu juga termasuk dengan perjuangan." Dalilah terdiam dan pada akhirnya ia mengangguk.
"Besok atau tahun depan?" tanya Mark sekali lagi. Jika tahun depan Mark akan pergi. Apa ia sanggup berjauhan dengan Mark dengan segala sifat sederhananya yang mampu mengisi hati Dalilah.
"Besok..." cicit Dalilah malu-malu. Mark mengecup kening Dalilah lalu menarik tangannya untuk menghampiri para orangtua yang ternyata sudah duduk dengan pasangannya masing-masing.
"Ayo kita meminta izin sama mereka besok kita mau menikah." Dalilah berdebar kencang menatap kedua orangtuanya yang sedang tertawa dengan kedua calon mertuanya disana.
"Jangan tegang kita memang pasangan ruwet. Nikmati saja."
"Iya kamu yang membuat kita menjadi pasangan ruwet..." cibir Dalilah.
"Mudah-mudahn mereka memberikan restunya..." Dalilah mengangguk ragu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro