3 - Ibu Tiri Jadi-jadian
Di ruang keluarga rumah Satria.
Terdengar suara tawa dua orang wanita yang sedang menonton acara telivisi komedi malam di sebuah rumah mewah milik keluarga Abraham Sarha. Dua wanita itu sedang bermanja ria, memeluk satu sama lain sambil bersandar di sofa nyaman.
Dalillah terlihat manja dengan sang mama, Rahma. Mereka benar-benar membayar rasa rindu. Wajar, terpisah dibeda benua kurang lebih tiga tahun lamanya.
"Ma, aku kangen sama pelukan Mama ini.." Dalillah memeluk erat Rahma dengan bahagia. Rahma membalas pelukannya dan membelai halus rambut putri tersayang.
"Makanya, kamu tinggal di sini. Temani Mama dan Papa. Satria sudah tinggal di sini. Aneh, kamu anak perempuan yang enggak mau." Rahma mencium kening putrinya dengan sayang. Meskipun usia putrinya sudah berkepala dua, tapi perlakuan Rahma tetap menganggap Dalillah anak kecil yang belum bisa mandiri. Dia begitu sayang dengan Dalillah.
"Iya, aku memang niat menetap di sini. Sebenarnya aku sudah janji mau tinggal di apartemen sama temanku. Kami mau coba hidup mandiri, Ma." Rahma terlihat kaget mendengar niat sang putri.
"Enggak boleh! Kamu dilarang boleh tinggal di apartemen! Dalillah rumah ini apa kurang besar sampai kamu mau tinggal di tempat lain?" Rahma dan Dalillah terlonjak kaget dan mencari suara yang mengatakan kata-kata tersebut.
"Kakak." Tanpa menghiraukan kata-kata Satria yang terdengar seperti perintah, dia lebih memilih memeluk erat sang kakak. Meluapkan kerinduan. Biar menyebalkan, tapi Dalillah sungguh sayang dengan sang kakak.
"Kakak dari mana? Perasaan enggak ada acara Jakarta Fashion Week? Kenapa mirip perancang busana?" Ada raut wajah bingung dan keheranan pada Dalillah yang menatap kostum sang kakak. Aneh, memakai jas berwarna merah muda. Walaupun tetap memperlihatkan kesan maskulin pada Satria, tetap saja diluar kebiasaan.
"Oma yang kasih," jawab Satria lesu. Rahma hanya duduk memandangi putra sulungnya sambil tertawa pelan. Dia tahu putranya tidak akan pernah bisa menolak titah ibu mertua, Nadira Sarha untuk melakukan permintaanya.
"Terus Kakak nurut aja dandan ala maho?" selidik Dalilah.
Maho? Aku jadi ingat wanita gila yang tadi, yah. Kenapa aku jadi ingat si pendek itu? Rasa bibir si pendek itu benar-benar tak bisa kulupakan. Sialan kau, Pendek.
"Tadinya aku pikir dengan menuruti Oma pakai jas ini, wanita yang dikenalkan bisa mundur dengan sendirinya. Tapi ternyata jas ini hasil karya dia." Satria menjawab malas.
Dia lalu menghampiri Rahma dan langsung tidur di pangkuan Rahma. Inilah yang selalu dilakukan Satria jika lelah. Dia akan mencari sang mama untuk bergelung dalam dekapan dan belaian halus tangannya. Jalan menuju pintu surganya. Itulah yang selalu sang papa katakan.
Kebahagianmu akan tercipta di dunia jika kamu selalu memberikan senyuman kepada Mamamu. Kebahagiaan Mamamu adalah doa untukmu. Niscaya semua hal yang kamu lakukan tidak akan sia-sia, jika Beliau bahagia dan kamu tidak membuat dia menderita.
Kamu tahu kenapa sampai sekarang Papa bisa sukses? Itu karena doa Oma mu yang selalu menyertai Papa di setiap hal yang Papa lakukan. Jalan menuju surgamu ada ditelapak kaki Mama. Jangan sekali-kali kamu membuatnya menangis jika mau hidup bahagia dunia akhirat.
Rahma membelai rambut hitam lebat milik putranya yang sudah beranjak dewasa itu. Satria memejamkan mata, menikmati sentuhan damai tersebut. Naluri sebagai seorang ibu membuat Rahma faham, putranya saat ini pasti sedang gundah hatinya.
"Ma, bilang sama Oma! Aku mau fokus kerja dulu, nggak mau acara perjodohan," rajuk Satria, Rahma tersenyum geli melihat putra sulungnya bermanja seperti ini.
"Ya ampun, Kak, sudah sebesar ini masih manja sama Mama. Ingat umur! Situ sudah pantas menikah." Dalilah duduk di samping Rahma dan ikut memeluk erat tubuh Rahma.
"Kamu juga manja sama Mama. Oh, iya, tadi kamu ngomong apa? Tinggal di apartemen? No no no," tegas Satria masih mengingat hasil menguping sekilas. Dalillah paham jika terus berdebat, tetap akan kalah.
"Dasar I-T-J.." cibir Dalilah. Rahma menggeleng menatap putrinya, sedangkan Satria melirik Dalillah meminta jawaban, maksud dari singkata itu
"Apaan ITJ?"
"Ibu tiri jadi-jadian.." Penjelasan yang sangat jelas.
"Kamu?" Satria mendelik.
"Kalian mau lihat Mama jantungan dini kalau kalian pulang hanya membuat adegan berantem?" geram Rahma, Dalillah langsung memeluk Rahma dari samping, sedangkan Satria yang memang posisinya sedang tidur di pangkuan Rahma, langsung memeluk Rahma dan menelusupkan kepalanya di perut Rahma. Bisa gawat kalau Beliau murka.
"Masih mau bertengkar?"
"Enggak Mama. Aku sayang Mama."
"Iya, Dalillah juga sayang Mama."
"Wah, ada acara apa ini peluk-pelukan. Hei wanita itu milik Papa! Kalian cari sana pasangan masing-masing!" Sang papa datang dengan raut wajah menyelidik bingung, ada apa gerangan mereka berpelukan seperti itu?
"Pantas kamu tidak ke kamar nonton bareng aku, ternyata sibuk beradengan peluk-pelukan di sini," ucap Ibra dengan manja. Lelaki baya ini memang masih terlihat gagah dan sangat mencintai istrinya yang masih terlihat cantik walaupun usia semakin bertambah.
"Ayo, duduk di sana!" Satria dan Dalilah pindah di sofa samping. Keduanya berpelukan memberikan bukti kepada sang mama jika mereka akur. Sementara Ibra duduk memeluk pasangannya. Rahma hanya tertawa bahagia, dia begitu bersyukur diberikan kebahagiaan yang sempurna.
"Satria kamu habis datang ke acara apa? Sekarang Valentine?" Ibra tampak heran menatap putranya memakai jas warna merah muda. Dalilah dan Rahma tertawa melihat Satria kesal dengan semua orang yang mempertanyakan kostumnya malam ini.
"Aku niat salah kostum, tapi salah prediksi." Satria benar-benar malas menjawab secara keseluruhan.
"Oma niat mencarikan kamu pasangan?" Satria mengangguk lesu.
"Papa sendiri tahu aku mau fokus ke resort dan yang lainnya." Ibra paham yang dirasakan putranya.
"Dengar Nak, Papa tidak melarang kamu sekarang mau menikah atau tidak. Menikahlah jika kamu telah siap." Satria mengangguk mendengarkan nasihat sang papa yang selalu mengerti isi hatinya.
"Saat kamu telah menemukan wanita yang pas di hati kamu, menghadaplah ke Papa dan segera melamar. Oma, biar Papa yang menangani." Satria langsung memasang wajah bahagia dan mencubiti pipi Dalilah.
"Aduh, Kakak." Satria membalas dengan tawa memperhatian adiknya menggerutu. Setiap bertemu mereka selalu bertengkar, tetapi rasa sayang tak akan pudar. Satria sangat menyayangi adik satu-satunya.
"Sakit," gerutu Dalillah lagi, rupanya Satria masih belum puas mengganggu. Satria bahkan mencubit lengan dan pinggang Dalillah.
"Hmm. Mama tadi bicara apa? Akur?" Rahma menyipitkan matanya.
"Aku rindu Bocah Nakal ini.." Satria memeluk erat Dalillah dengan sayang.
"Aku sudah besar," keluh Daillah.
"Kebetulan kalian berdua kumpul, minggu depan Mama dan Papa mengundang keluarga Om Biyan dan Om Rama untuk makan malam di sini. Papa harap kalian batalkan janji-janji yang tidak perlu. Kalian harus menyambut tamu dengan baik."
"Iya, Pa, tenang saja Dalillah siap membantu Mama."
"Satria kamu harus hadir, Papa juga mengundang Leo dan Mark, serta adik-adik mereka."
"Mark?" Wajah Satria berubah cemberut dan menatap Dalillah murung. Dalillah terlihat bingung dengan tatapan kakaknya. Dia salah apa lagi?
"No no no, nanti kalau Mark menciumi Dalillah lagi bagaimana, Pa?" tanya Satria dengan gelisah, Ibra dan Rahma mendadak tertawa, sementara Dalillah tampak bingung.
"Sayang, kamu itu ada-ada saja, kamu kira Mark bebek main sosor? Kejadian itu sudah lama, Sayang, kalian masih kecil saat itu."
"Tapi Mark play boy, Ma aku tahu."
"Urusan play boy, Mama tidak mau tahu, kita hanya mengundang mereka makan malam, Sayang, Mama rindu karena sudah lama tidak bertemu."
"Aku enggak mau Dalillah termakan rayuannya," tegas Satria. Ibra hanya menggelengkan ketawa, dia senang putranya sangat menjaga ketat adiknya, tapi harus tepat sasaran.
"Play boy juga manusia, Sayang. Lagi pula, Mama kemarin sempat bertemu dia di bengkel, kebetulan mobil Mama di jalan mogok dekat bengkelnya. Kamu, kan, tahu, sopir kita sedikit tidak paham urusan mesin. Mark yang mengurusi mobil Mama dengan tangan dia sendiri. Dia bahkan meminta sopir untuk mengantarkan Mama, sementara mobil diantar malam itu juga. Mark sendiri yang mengantarkan." Rahma terlihat tersenyum saat menceritakan itu.
"Dia anak yang sopan, kamu juga berteman dengan dia, kan?"
"Iya, Pa, aku berteman baik dengan dia. Aku cuma khawatir dia bertemu Dalillah."
"Kakak tenang saja, kalau dia main sosor ke aku, pasti aku lawan. Kakak hilangkan, dong, pikiran aneh-aneh!" Dalilah merayu Satria agar luluh dengan sifat kolotnya. Terkadang merugikan ruang geraknya.
"Iya-iya.." Dalilah tersenyum.
"Pa, Ma, besok aku mau ke acara temanku, ulang tahun. Kebetulan teman-temanku dari LA liburan ke sini juga," izin Dalillah pelan.
"Apa? No no no." Satria langsung menjawab tegas. Dalillah langsung cemberut menatap Rahma meminta bantuan. Selalu saja seperti ini.
"Satria, kamu jangan terlalu melarang adik kamu. Dia, kan, baru balik. Kamu itu benar-benar mirip ibu tiri kalau seperti ini," sindir Rahma. Kasihan juga melihat putrinya yang terlalu dikekang.
"Oke, besok jam berapa? Kakak yang antar." Satria menatap tajam Dalillah.
"Aku dijemput temanku," rajuk Dalillah karena tak mau sang kakak ikut.
"No no no!" Mendengar itu Dalilah menurut, jika dibantah, dia akan dilarang datang. Sementara sang papa pasti akan menerima segala keputusan dari kakaknya.
"Jam sembilan malam, " jawab Dalillah lesu.
***
Di sebuah tempat hiburan malam.
Dentuman suara memekik telinga menyebar di penjuru ruangan sebuah klub malam yang disewa khusus oleh pemilik acara malam ini. Dalillah berjalan dengan kikuk dengan sang kakak yang terus memegangi tangannya.
Beruntung acara tersebut bertema Sweater Couple, di mana tamu undangan yang datang memakai baju hangat berpasangan.
"Alai banget yang bikin acara, di tempat seperti ini pakai baju tebal, sekalian bawa senter terus teriak vila-vila?" dengus Satria sebal karena memakai sweater biru berwarna senada dengan Dalillah.
"Kakak menggerutu terus. Pulang aja, sana! Aku diantar teman pulangnya," ketus Dalillah.
"No no no." Satria memutar sekeliling ternyata mereka semua memakai baju hangat. Ada rasa lega, walaupun ada sebagian yang sudah melepas dan berjoget ria di lantai dansa, tapi masih dalam batas wajar. Walaupun kebanyakan dari mereka memakai hotpants yang memperlihatkan seksi sebagian tubuhnya.
"Oups, sori, aku enggak sengaja." Satria terdorong karena bertubrukan dengan seorang wanita.
"Satria?" Wanita itu tersenyum manis.
"Marsha?" Satria membalas senyuman dan memeluk ringan Marsha.
"Kamu ngapain di sini? Diundang? Bisa alai juga kamu, " goda Marsha membuat Satria ikut tertawa.
"Temani adik aku, Dalillah."
"Hai, kamu Dalillah? Wah, udah lama kita enggak bertemu? Marsha, teman kecil kamu." Dalillah tampak bingung, dia benar-benar tidak ingat siapa Marsha.
Satria membisikkn sesuatu ke Dalillah. "Dia kembarannya Mark, situkang sosor itu." Dalilah hanya mengangguk sebal karena Satria mengingatkan ciuman pertamanya.
Kenapa diingatkan lagi? Aku tahu ciuman pertamaku udah dicuri orang.
"Hai Marsha, senang bertemu denganmu. Mungkin dulu aku masih kecil banget, ya? Wajag bisa lupa sama kamu."
"Kita beda dua tahunan." Marsha memeluk Dalillah sebagai salam perjumpaan. Keduanya saling membalas senyum. Harus Dalillah akui, wanita di hadapannya terbilang cantik. Menurut informasi, dia memiliki kembaran. Ya, si tukang sosor. Mirip, kah?
"Oke Kak, aku ketempat temanku dulu. Marsha senang bisa ketemu kamu lagi, kamu ngobrol sama Kakak, ya! Kasihan bujang lapuk." Marsha tertawa mendengarnya, sementara Satria cemberut menatap sang adik yang pergi begitu saja. Dasar cari kesempatan! Dalillah lihai menghitung situasi. Tidak mungkin Satria marah-marah di tempat umum, terlebih di samping wanita manis.
"Jangan dengarkan dia." Satria mencoba bersikap santai menatap Marsha. Untuk kali ini, Dalillah akan dia beri kebebasan.
"Bujang lapuk? Tapi yang aku dengar kamu kencan kemarin?" Marsha mengajak Satria duduk ke tempat yang lebih tenang.
"Kamu tau dari mana?"
"Orang kantor kamu yang bilang, Tuan Satria memakai jas merah muda." Marsha meniru gaya karyawan Satria berbicara. Satria menahan malu, andai dia tidak memakai jas itu, tidak akan digosipkan yang aneh-aneh dan membuat semua orang salah paham.
Menyesal aku memakai jas itu, tapi karena jas itu aku mengalami ciuman pertamaku dengan wanita pendek gila. Wanita manis dan cantik. Kenapa malah memikirkan dia? Rasa bibirnya masih membekas dalam ingatanku. Sialan kau, Pendek.
"Hei, bos kenapa melamun?"
"Aku engga suka tempat berisik, tidak tenang. Kamu sama siapa ke sini?" Marsha terdiam, jika dia bilang kesini dengan kembarannya, Satria pasti akan menarik pulang Dalillah, karena Marsha tahu sampai mereka dewasa seperti sekarang, Satria masih jengkel dengan aksi Mark kecil yang menciumi Dalillah saat masih berumur tujuh hari.
"Aku sama teman-temanku." Satria tersenyum manis menatap Marsha.
Wanita ini punya mata yang indah, tapi bibir sipendek gila itu lebih menggiurkan. Ada apa dengan diriku? Kenapa sipendek gila itu selalu ada di dalam ingatan. No no no.
"Leo tidak ikut? Biasanya kamu nempel terus sama Leo," goda Satria membuat Marsha merona merah wajahnya. Mereka pun terlibat obrolan ringan yang cocok satu sama lain. Apalagi mereka sedang ditugaskan urusan pekerjaan. Lebih mudah membuka pembicaraan.
Sementara Dalillah melirik lega karena kakaknya tidak fokus menjaga dirinya. Dia jadi lebih leluasa bercengkerama dengan teman-temannnya.
"Princess Dalilah, kemana saja dirimu? Aku merindukanmu, Sayang." Dalillah menatap malas lelaki yang selalu mengejarnya sejak dulu, Rezky.
"Hai, Rezky apa kabar?" Dalillah malas berbasa-basi.
"Kamu sendiri ke sini?"
"Aku sama pacar aku," jawab Dalilah cepat. Rezky menaikkan alisnya, mengejek.
"Oh, ya? Sudah dapat izin kamu dari kakak kamu itu?"
"Tidak ada urusannya sama kakakku!" ketus Dalillah.
"Kamu, kan, wanita kolot yang selalu dikekang oleh kakakmu ." Dalilah memang kesal dia dijaga ketat oleh kakaknya, tapi dia akan sangat berterima kasih, jika harus dijauhkan dengan play boy sekelas Rezky.
"Sok tahu kamu. Aku pergi dulu, nanti kekasihku panik mencari." Dalillah tampak kesal, karena play boy tipe seperti Rezky adalah penghancur masa depan setiap wanita dan dia tidak cukup bodoh untuk mau bertekuk lutut, lalu luluh dengannya.
Rezky berusaha mengikuti Dalillah. Dia ingin memastikan seorang Dalillah memiliki kekasih, atau hanya alasan menghindar.
Sial, dia pasti tidak percaya aku punya pacar. Ayo, berfikir Dalillah! Buat dia menyerah dan yakin kalau kamu punya kekasih. Tapi cari di mana kekasih dadakan di tempat seperti ini? Apa aku tarik asal aja pria di sini. Ah, kau gila Dalillah. Rezky sialan. Merusak mood saja.
Dalillah terus berjalan hingga ke lorong arah toilet.
Sejenak Rezky terdiam karena menatap adegan romantis yang dilakukan Dalillah, gadis itu bermesraan dengan seorang pria yang ia pikir kekasih Dalillah. Rezky menatap adegan itu dengan perasaan tak percaya. Dia lalu tersenyum mengejek dan hendak pergi meninggalkan tempat itu. Lawan yang berat.
"Hmmm, hhh haahh.." Dalillah menggigit bibirnya setelah aksi dia yang tak terduga. Menarik asal seorang pria, dan mengundangnya berciuman? Yang benar saja.
Oh, no siapa pria ini? Kenapa aku begitu bodoh menarik seorang pria untuk kucium dan sekarang pria ini menatapku dengan senyuman indah. Aku harus jawab apa? Sangat aneh jika kukatakan salah orang. Karena aku yang menarik wajahnya. Mama tolong aku!
"Hei, Nona, kenapa kamu diam setelah aksimu menciumiku? Aku suka wanita agresif sepertimu, tapi dari caramu menciumku, jelas kamu sangat amatir, Sayang." Pria itu menarik pinggang Dalilah dalam pelukannya, jarak mereka kembali dekat. Perlahan bibir mereka menyatu lagi, dari kecupan ringan hingga lumatan lembut terjadi, sang pria mengunci tubuh Dalillah dalam rengkuhannya.
Dalillah terhimpit di dinding. Bodoh, lumatan lembut dari sang pria yang sangat dinikmati Dalillah. "Balas ciumanku, Nona! Aku ajarkan caranya senam bibir indah." Dalillah seperti murid bodoh yang tersihir oleh guru olahraga saat dia sekolah dulu. Aneh, dia merasa bertenaga dengan aktivitas terlarangnya ini.
"NO NO NO." Sejenak terbayang wajah sang kakak, ibu tiri jadi-jadian miliknya seorang. Dalillah mendorong tubuh pria itu, lalu menatap tegang wajah yang penuh dengan senyuman. Sialan, dia salah memilih orang.
Perlahan, Dalillah mengatur napas. Sulit sekali mengumpulkan energi untuk kembali fokus. Terlebih sang pria dengan berani merapikan rambut Dalillah, memang sedikit berantakan karena ulah tangannya.
"Wow, kamu murid yang cepat belajar juga ternyata." Dalillah menepis tangan pria tersebut dan hendak pergi, tapi sang pria menahannya kembali.
"Maaf, tadi aku memanfaatkanmu, agar aku terhindar dari bahaya. Ternyata aku salah, kamu lebih berbahaya dari dia." Dalillah sebisa mungkin berusaha tenang mengatakan itu,. Sejujurnya, dia gugup jika mengingat yang baru saja terjadi. Jelas peristiwa itu adalah ciuman pertamanya, yang dapat dia nikmati dan rasakan.
Lagi-lagi impian urusan ciuman pertamnya kacau tidak sesuai angan.
"Kamu yang menerjangku tiba-tiba, Nona. Aku tidak masalah jika kamu menjadikanku figuran dalam dramamu. Seumur hidup aku rela jika bibir seksi ini hanya untukku." Dalillah merasa semakin gugup dan tak bisa membalas, pria ini berbicara tepat di telinganya dengan nada sensual.
Bodoh kau Dalillah! Dia lebih pemain daripada Rezky si play boy kacangan. Selamat terjerumus.
Dalillah mendorong tubuh pria itu, lalu melarikan diri dengan cepat. Berharap tidak dikejar. Beruntung keramaian sedikit menghambat jalan. Dia sudah bisa menghindar dari kejaran.
Dalillah segera mengambil ponsel, menghubungi Satria.
"Nona.." Samar Dalillah bisa mendengar panggilan dari arah belakangnya. Semoga tidak berhasil.
"Kakak? Aku pergi. Ketemu di depan saja." Dalillah berjalan dengan tergesa-gesa tanpa melirik kembali wajah sang pria yang terus memanggil namanya dengan panggilan "Nona.. Nona." Lebih baik pergi daripada berhadapan dengan sang kakak dengan sejuta kemarahannya.
"Kak.." Akhirnya Dalillah bertemu Satria di tempat awal mereka berpisah. Marsha masih ada di samping Satria.
"Ayo, Lil kita pulang. Aku bosan di tempat seperti ini. Kostumnya pun sudah mulai berubah menjadi tidak memakai kostum," ketus Satria yang hanya dibalas cekikikan Marsha. Dalillah hanya mengangguk dan memeluk Marsha sebagai tanda perpisahan.
"Senang bertemu denganmu lagi, Marsha. Minggu depan orangtuaku mengundang orangtuamu dinner di rumah. Kuharap kamu juga bisa datang, yah." Marsha mengangguk dan tersenyum.
"Pasti aku datang, masakan Tante Rahma sangat kurindukan."
"Kamu pulang sama siapa, Sha? Mau bareng kita?" Satria berniat mengantarkan Marsha pulang.
"Aku bersama adiknya Leo, tapi entah di mana dia." Marsha terlihat memutar wajahnya mencari keberadaan Rachel, tapi tidak terlihat.
"Oke kita balik dulu, ya." Satria memeluk Marsha lalu pergi sambil menggandeng Dalillah.
"Dia cantik, ya, Kak? Kenapa Kakak tidak mendekati Marsha? Aku rasa Mama dan Papa pasti setuju." Satria hanya tersenyum dengan pertanyaan Dalillah. Mereka pergi dari ingar bingar klub yang semakin ramai.
"Hei, Sha, kenapa kamu berdiri di sini?" Mark datang sambil memeluk Rachel yang terlihat muram. Marsha mengerutkan wajahnya menatap Rachel yang terlihat aneh.
"Kamu kenapa, sih, Chel, dari sebelum berangkat sampai sekarang di tempat ramai masih melamun terus?" cecar Marsha yang menaruh curiga tingkah Rachel yang lebih banyak diam sejak kemarin.
"Ini aku temuin dia lagi termenung di depan toilet." Mark mengacak rambut Rachel yang dibalas cemberut oleh Rachel.
"Nyebelin," gerutu Rachel melepas pelukan Mark. Berdiri di samping Marsha. Tiba-tiba Rachel mengendus Marsha, lalu memeluk Marsha sambil menghirup aroma tubuh Marsha.
"Ngapain peluk-peluk aku gini?" Marsha risih dengan tingkah aneh Rachel.
Aroma ini? Ah, kenapa wajah Satria selalu terngiang di kepalaku? Sekarang aku berpikir aroma Satria ada di dalam tubuh Marsha.
"Ayo, kita pulang! Kamu nginap di rumah aja, Chel." Mark menarik Rachel dan berjalan sambil memeluknya kembali. Mark semakin penasaran melihat gelagat aneh Rachel, karena bertingkah mencurigakan dari hari sebelumnya. Sementara Marsha disebelahnya juga merangkul Rachel. Mereka memang menganggap Rachel adik kecil mereka.
"Chel, kamu lagi ada masalah, ya?" Marsha masih penasaran.
"Aku engak apa-apa, Sha. Lagi enggak nyaman sama suasana ramai di sini." Mark tertawa, dia tahu pasti Rachel sedang menyembunyikan sesuatu.
"Jangan bohong, Sweety Rabbit. Kamu pasti lagi menyembunyikan sesuatu sama kita? Aku aduin Abang Leo, ya?" goda Mark lalu mengecup dahi Rachel.
"Emangnya aku itu kamu?! Menyembunyikan wanita di dekat toilet. Hei, Mister Play boy, aku tadi lihat kamu bermesraan sama wanita cantik sampai kamu tempel di dinding." Cerocosan Rachel membuat Mark tertawa. Marsha menggeleng kepala akan tingkah saudaranya itu. "Siapa lagi dia Mark?"
"Dia murid spesialku yang kuajarkan cara berciuman indah dan menyenangkan." Marsha hanya mendengus sebal.
"Kamu yang bawa mobil, Sha! Aku ngantuk mau tidur. Kamu juga di depan aja, Chel." Kedua wanita itu menatap sebal pria yang langsung duduk di kursi belakang mobil miliknya sendiri.
"Perasaan tadi Bang Leo minta kamu jagain kita, Mark? Kenapa kita yang jadi jagain kamu?" Mark tidak menghiraukan gerutuan sepanjang jalan kedua wanita tersebut. Dia lebih memilih memejamkan mata, memikirkan wanita yang tadi menarik dirinya untuk segera dicium.
"He, Tuan tolong aku sebentar saja! Cium aku, agar lelaki di belakangku pergi."
"Apa? Kamu siapammpp"
"Hmmm hhh haahh"
"Hei, Nona, kenapa kamu diam setelah aksimu menciumiku? Aku suka wanita agresif sepertimu, tapi dari caramu menciumku, jelas kamu sangat amatir, Sayang."
"Balas ciumanku, Nona! Aku ajarkan caranya senam bibir indah."
"Wow, kamu murid yang cepat belajar."
"Maaf, tadi aku memanfaatkanmu agar aku terhindar dari bahaya. Tapi kamu lebih berbahaya dari dia."
"Kamu yang menerjangku tiba-tiba, Nona. Aku tidak masalah jika kamu menjadikanku figuran dalam dramamu. Seumur hidup aku rela, jika bibir seksi ini hanya untukku."
"Aku rasa kembaranmu sedang bahagia, Sha. Lihat saja! Dia tersenyum dalam tidurnya. Mungkin ciuman tadi membuat dia hidup kembali."
"Biarkan dia bertobat dengan sendirinya. Menjadi play boy pasti ada masanya. Saat sudah menemukan yang cocok, pasti akan luluh juga."
"Kamu benar, Sha. Mungkin ciuman wanita tadi membuat hati Mark berubah. Kamu enggak lihat, sih, gaya ciumannya. Aku sampai iri. Mau, ah, nanti diajarin sama Mark. Mark bangun! Janji, ajari aku ciuman hot seperti itu! Aku mau orang yang mencintaiku, menyukai ciumanku." Marsha hanya tertawa melihat tingkah Rachel yang sangat polos dan lugu.
"Mark, bangun! Jangan senyum terus. Aku iri."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro