29 - Pangeran Ruwet
Masih di Lombok.
Hening.
Keadaan senyap sedang melanda dijamuan makan siang para manusia-manusia yang sedang mengatakan jika dirinya sedang berlibur itu dengan tenang dan damai.
Tetapi penampakan aura ketegangan jelas mewabah diantara keenam manusia itu. Hanya Zahara dan sang suami Dipta yang terlihat tidak nyaman berada diantara ke enam manusia didekat mereka dengan segala kesunyian dan aksi membisu diantara semua.
"Mereka lagi kenapa sih nemo? Apa salah minum obat. Kenapa semua diam. Apa kita sedang mengheningkan cipta?" bisikan Dipta membuat Zahara mengangguk gerah dengan keadaan yang menimpa adik-adiknya. Ini liburan tapi kenapa mereka malah membuat kubu adam dan hawa.
"Kalian semua kenapa?" Zahara berbicara kepada semuanya. Posisi duduk mereka memang unik. Dipta disamping Zahara. Sementara para wanita disamping Zahara dan para pria dibarisan Dipta. Mereka seperti ketua kedua kubu yang akan melakukan debat kusir.
"Ini liburan kenapa aku merasa seperti diacara renungan?" semua hanya diam menaikkan bahu mereka tanpa melirik satu sama lain. Hanya Satria yang menatap Zahara datar dan menggelengkan kepala.
"Satria?" Zahara bertanya lebih dahulu karena hanya dirinyalah yang merespon pertanyaan.
"Haduh Mba tanya sendiri sama sepupunya. Kenapa suaminya didiamkan dari semalam." Zahara menatap Rachel yang sedang mengerucutkan bibirnya.
"Achel?" tanya Zahara lembut meminta penjelasan.
"Satria hadir rapat bertemu wanita lain." rajuk Rachel kepada Zahara.
"Itu pertemuan profesional Nyonya Sarha. Kimberly bahkan sudah pergi dua jam yang lalu. Itupun aku belum mengusirnya saja dia sudah pamit pulang. Sekarang kamu puas?" jelas Satria sedikit emosi. Leo menahan tangan Satria.
"Achel sensitif brader..." bisik Leo di telinga adik iparnya membuat Satria kembali berusaha meredam emosinya.
"Kimberly? Kenapa dia ada di sini?" Marsha bertanya kepada Satria penasaran.
"Tanya sama Pangeran Ruwet kita yang satu ini." Satria menepuk pundak Leo. Marsha melotot menatap Leo. Kekesalannya semakin bertambah setelah masalah makanan yang ia buat. Oh apalagi ini Kimberly?
"Dia perwakilan S.R Food Sha. Aku nggak bisa melarang jika dia yang menjadi perwakilan. Itu bukan kapasitas aku." jelas Leo tenang.
"Wah itu perempuan sepertinya emang sengaja ngikutin kita ke sini..." Dalilah menggeleng kepalanya dan melirik Mark yang sedang mencuri pandang dengan dirinya. Tetapi Dalilah membalas membuang mukanya.
"Memangnya siapa Kimberly sih kenapa kehadirannya sangat tidak diharapkan?" tanya Zahara penasaran.
"Kata siapa tidak diharapkan. Pangeran Ruwet yang satu ini sepertinya berbeda pemikiran sama kita." Mark melirik Leo. Marsha tahu sindiran itu buat siapa. Nafasnya mulai tidak teratur, Marsha mulai cemburu.
Dipta membisikkan sesuatu ketelinga istrinya dengan menutup telinga Zahara dengan tangannya. Seketika wajah Zahara berubah terkejut dan saling berpandangan dengan Dipta.
"Apa? Kimberly yang itu? Aku harus bertemu dia. Kasihan dia." perkataan spontan Zahara membuat semua mata tertuju pada Zahara. Alvin hanya mengangguk.
"Kasihan kenapa Mbak? Kim memangnya kenapa? Aduh." Leo yang sangat penasaran tanpa sadar bertanya khawatir. Secepat kilat Satria menginjak kaki Leo yang bebas di bawah kakinya.
"Marsha lo tuh." kata-kata Satria membuat Leo sadar jika Marsha menatap cemburu.
"Mbak kenal sama Kimberly?" tanya Dalilah penasaran.
"Mbak cuma tahu sedikit tentang hidupnya." Zahara mengangguk menatap suaminya saat Dipta memberikan jawaban dengan gelengan kepala. Zahara tahu Dipta tidak mau kisah Kimberly diceritakan oleh dirinya dikeadaan sekarang.
"Ayolah semua kita tutup membicarakan Kimberly. Sebaiknya kita bersenang-senang. Untuk apa datang kesini kalau kalian main kubu-kubuan seperti ini." semua hanya diam dan menghela nafas.
"Iyaaa.." para pria menjawab bersamaan.
"Oke jadi hari ini kita ke villa keluarga Sarha yah...?" semua mengangguk kecuali Dalilah yang masih merasa kesal dengan Mark tunangan tersayang.
"Tapi Mark bilang makanan ku mengandung racun Mbaa.." Dalilah mengadu dengan wajah kecewa. Zahara terkejut mendengar aduan Dalilah. Mark hanya menggelengkan kepala pasrah.
"Siapapun yang memakan makanan kamu dan Marsha itu juga pasti akan merasa diracuni." Rachel menjawab, seketika wajah Mark tersenyum menatap Rachel. Bahkan Mark memberikan kecup jauh kepada Rachel.
"Sekutu abadiku." Satria yang berada di sebelahnya menatap super sebal dengan tingkah calon adik iparnya.
"Begitu aja cemburu. Ih gemes." Satria menepis tangan Mark yang berani mencubit pipinya. Rachel tertawa menatap kelakuan dua pria yang tidak pernah akur itu.
"Lilah maafin aku yah. Sha aku minta maaf, tapi jika boleh jujur sebaiknya kalian belajar masak sampai saat masakan itu layak diperkenalkan ke publik baru aku akan memakannya bahkan tanpa kalian suruh aku akan menghabiskannya." Marsha dan Dalilah terkikik geli mendengarnya sejujurnya ini memang bukan kesalahan Mark ataupun Leo semata. Mereka berdua memang bersalah.
"Iya Mark aku minta maaf telah membuat perutmu dimasuki racun-racun itu." Dalilah tersenyum tulus menatap Mark.
"Terus Marsha gimana? Apa tidak mau mengatakan sesuatu kepada Leo?" Zahara melirik Marsha yang sedikit bimbang untuk berbicara
"Maafkan aku Lee jika ususmu terluka gara-gara masakanku." Leo mengangguk dan tersenyum.
Zahara dan Dipta menghembuskan nafas lega. "Kita jadi mirip guru TK." Zahara mengangguk dengan perkataan suaminya. Enam orang di depan mereka ini memang paling suka meruwetkan masalah yang tidak penting.
"Oke jadi tidak hari ini kita berkeliling Lombok? Aku mau ke villa mu Dalilah. Aku penasaran akan tempat itu. Katanya di sana Mark mencuri ciuman pertama kamu yah?" Dalilah mengangguk dan menjulurkan lidahnya menatap Mark yang sedang tertawa.
"Mbak bukan hanya aku loh yang mencuri ciuman di sana." Mark melirik Satria yang terlihat jengkel dengan ocehan Mark.
"Oh ya siapa lagi?" tanya Zahara penasaran.
"King of Sosor.." Mark berdiri di belakang Satria dan menepuk pundak Satria dengan kedua tangannya. Rachel teringat sesuatu yang sempat dibicarakan Satria. Saat itu ia lupa meminta penjelasan tentang masalah ciuman pertama mereka.
"Jadi kamu benar mencuri ciuman pertamaku di villa itu?" tanya Rachel polos dihadapan semua orang. Satria hanya mendengus sebal atas ulah Mark dengan segala mulut menyebalkannya.
"Sayang. Nanti saja yah penjelasannya." jawab Satria dengan senyum paksaan. Rachel mengerucutkan bibirnya tetapi tetap mengangguk.
"Markona bawa pergi yang lain ke villa nanti gue nyusul." Satria memberikan perintah kepada Mark.
"Iya kakak ipar. Ayo Mbak kita pergi. Lilah ayo kita bernostalgila." Mark mengedipkan matanya. Satria menahan tangan Mark.
"Lo mau gila-gilaan ama Lilah?" oh ibu tiri jadi-jadian kembali beraksi.
"Kamu tenang aja Satriaa.. Dalilah biar kita yang menjaganya." Satria menghembuskan nafas lega mendengar Zahara berkata janji.
"Aku nanti nyusul aja." Leo menyela Marsha yang hendak berjalan. Marsha menatap Leo penuh tanya. Terlebih Leo memberikan isyarat agar Marsha tetap duduk tidak mengikuti Mark dan yang lain.
"Kenapa? Ada urusan lain?" Leo mengangguk datar. Marshapun menuruti perintah Leo. Ia kembali duduk bersama Rachel yang juga mengikuti perintah Satria untuk tetap duduk.
"Oke kita berempat duluan yah. Achel jangan marah yah sama suami kamu. Dosa lo mendiamkan suami apalagi masih pengantin baru. Sayang waktumu terbuang sia-sia." goda Zahara. Satria tersenyum penuh arti menatap Zahara.
"Iya jangan pernah membuang waktu berharga kalian dengan hal yang sia-sia. Waktu itu penuh arti disetiap detik jalannya." Dipta mengedipkan matanya ke arah Rachel.
"Sampai jumpa..." mereka berempat pun menghilang semakin jauh. Sementara ke empat yang tersisa masih diam satu sama lain. Tidak ada yang memulai bicara.
"Sat gue berangkat sekarang. Wish me luck brader..." Leo berdiri dan diangguki oleh Satria dengan senyuman penuh arti. Leo menghampiri Marsha dan menarik Marsha tanpa suara.
"Mau kemana Lee. Haduh pelan-pelan jalannya! Kita mau kemana? Apa perlu ganti baju? Aku memakai baju seperti ini?" cecar Marsha.
"Leonardo jawab!?" Leo tetap menarik Marsha tanpa perduli penolakan dan gerutuan sepanjang jalan. Satria dan Rachel terkikik geli melihat keanehan pasangan ruwet tersebut.
Tak lama Satria terlihat sibuk dengan ponselnya. Sementara Rachel masih duduk berjauhan dengan suaminya. Sesekali ia melihat pergerakan suaminya yanh sepertinya sibuk dengan ponselnya sendiri. Satria terlihat tidak perduli dengan Rachel.
"Hallo..Ardan apa kamu yang mengemudikan mobil hotel? Oke baik usahakan mereka menginap di villa carilah alasan logis!!!" Rachel melirik suaminya yang sedang berbicara diponselnya.
"Baiklah, bilang saja jalan menuju resort ditutup sementara, siapkan apapun yang mereka butuhkan.." Satria terlihat menutup panggilannya dan kembali menelphone seseorang. Rachel mengamati lagi sang suami. Ia kemudian berjalan ke arah Satria.
"Hallo Pak Wira. Sebentar lagi Bapak Leonardo akan sampai kepulau itu. Usahakan mereka menginap. Berikan service terbaik untuk mereka. Dan yang terpenting tahan mereka disana sampai besok, berilah alasan seperti ombak pasang atau bahan bakar habis. Pokoknya jangan sampai mereka kembali ke resort malam ini." tegas Satria, Rachel yang sudah berdiri di hadapannya menatap curiga dengan instruksi-instruksi aneh dari sang suami. Satria menutup panggilannya dan tetap tidak menoleh kepada Rachel.
"Satriaa..." cicit Rachel pelan. Ia tahu dari pagi ia merasa bersalah karena mendiamkan suaminya. Bahkan tidak mengurusi sarapan pagi sang suami.
"Hmm.." jawab Satria tenang tanpa melirik sang istri. Satria lebih memilih sibuk dengan ponselnya.
"Tadi kamu telephone siapa?" tanya Rachel hati-hati.
"Orang..." jawab Satria ketus. Rachel merengut sebal karena merasa didiamkan. Dengan berani ia duduk menyamping dipangkuan Satria dan memeluk leher Satria.
"Kenapa cuek sama aku?" Rachel merengut menatap wajah Satria yang berada tepat dihadapannya.
"Kamu lupa perjanjian kita?" tanya Satria tajam, Rachel menggeleng tidak tahu.
"Aku kan sudah bilang kalau kita punya masalah, orang lain tidak perlu tahu dan aku mau masalah kita tidak berlarut-larut, ini kamu malah mau diperpanjang. Tadi kamu seperti memancing agar semua orang tahu. Aku kan sudah bilang sama kamu Kimberly tidak berarti apapun dihatiku." jelas Satria tegas. Rachel menciut menundukkan wajahnya. Ia takut menatap wajah Satria.
"Iya maaf.." seketika wajah Rachel menunduk takut, Satria pada akhirnya tidak tega sendiri melihat kegugupan sang istri.
"Maafkan aku juga yah. Seharusnya aku tidak mengikuti rapat ditengah acara bulan madu kita." dengan lembut Satria mengangkat dagu Rachel dan mengecup sekilas.
"Ingat apapun yang terjadi sama rumah tangga kita sebisa mungkin kita selesaikan berdua. Oke?" Rachel mengangguk dengan senyuman dan membalas mencium suaminya dengan berani.
"Oh iya tadi kamu menelphone siapa? Kenapa sepertinya kamu mengatur sesuatu." Satria tersenyum penuh makna lalu melingkarkan kedua tangannya dipinggang Rachel.
"Aku hanya ingin berduaan dengan kamu pendek dan kehadiran manusia-manusia ruwet itu dirasa cukup mengganggu. Khusus malam ini aku mau membayar acara semalam yang gagal karena ulah kedatangan para tamu tak diundang." Rachel terkikik geli. Ia lalu dengan berani membisikkan sesuatu ke telinga suaminya.
"Ke kamar yuk. Semalam kita tidak melakukan rutinitas olahraga." Satria tertawa dengan ajakan mesum istri tercintanya.
"Dengan satu syarat pendek. Mulut kamu ini jangan berisik tidak pada tempatnya." Satria meraba bibir mungil istrinya dan melumat lembut bibir bawel yang selalu mengeluarkan kata-kata ajaib diwaktu yang tidak tepat.
"Beres my hero..." Rachel berdiri antusias dan menerima rangkulan hangat dari suaminya.
"Ayo..." Satria menarik cepat pinggang Rachel. Sepertinya rencana bulan madu tanpa gangguan sedikit terlaksana hari ini. Rencana Satria berhasil.
***
"Mantuuuu...."
Degh... Mantu? Cuma dua orang yang biasa memanggil gue Mantu?
"Mantuuuu..." Jangan-jangan.....
"Cucukku..." Satria dan Rachel menoleh kearah samping kanannya tepat suara itu terdengar. Betapa terkejutnya Satria saat melihat segerombolan para lansia di sana.
"Omaaaaaa opaaa....." Rachel berlari ke arah enam orang lansia yang sedang tersenyum menatap kedua cucunya.
"Achel sayang kamu semakin keluar yah aura pengantinnya..." Rachel memeluk Tiara dan Hani erat.
"Opa nggak dipeluk?" Rachel melepas pelukan para omanya dan memeluk bergantian Rahadi dan Pratama. Sementara Satria berjalan penuh frustasi menghampiri sang kakek dan neneknya. Fatah Sarha dan Nadira. Semangat hidupku hilang.
"Kenapa tidak bilang kalau ikut menyusul?" Satria memeluk Nadira dengan sayang.
"Kamu ini tidak ada bahagianya disusul sama kita. Lihat Rachel begitu senang dengan kehadiran oma opanya." Fatah menyindir cucuknya. Mana ada pengantin girang disusul oleh para lansia di tengah honeymoon. Pengacau yang lain sudah dibereskan sekarang datang lagi kelas berat. Ah menyebalkan... Aku harus menjauhkan mereka dari kamar kami.
Satria dan Rachel menyalami ke enam lansia yang sangat mereka sayangi dan hormati.
"Apa oma dan opa sudah makan siang?" tanya Satria sopan.
"Achel antarkan mereka ke restoran. Aku mau menyiapkan kamar dan merapikan barang yang opa dan oma bawa." Rachel mengangguk.
"Haduh mantu sangat perhatian. Achel terlihat bahagia yah bersama kamu mantu." Satria hanya tersenyum kikuk dengan pujian Tiara.
"Sudah nanti saja merapikan kamarnya mantu, ikut makan siang juga yah dengan kami." Hani merangkul Satria untuk berjalan bersama.
"Ayo para opa dan oma.. Kenapa tidak bilang datang kesini?" tanya Rachel bingung, mereka pun berjalan menuju restoran bersama.
"Kami diundang Leo kemari. Nanti juga para orang tua semua akan datang." jelas Tiara. Seketika wajah Satria berubah jengkel.
Sialan pangeran ruwet itu. Apa maksudnya mengundang semua orang saat honeymoonku berlangsung. Kehadiran mereka saja sudah cukup mengganggu. Apa tidak sekalian mengundang orang satu RT. Tau begini benar-benar gue honeymoon ke amazon deh.
"Memangnya ada apa Abang mengundang semua keluarga?"
"Kami tidak tahu juga, cuma Leo bilang sudah lama kita tidak berlibur bersama."
Omongkosong kau Leo. Achel suamimu butuh pelepasan..
Satria dan Rachel menemani para lansia itu makan siang bersama. Jangan ditanya perasaan Satria saat ini. Hasratnya begitu menggebu ingin menerkam istrinya tetapi gangguan bertubi-tubi selalu saja mudah menghampirinya. Rachel hanya terkikik geli menatap sang suami yang duduk disampingnya dengan tatapan penuh gairah. Tangannya secara diam-diam menyentuh paha bagian dalam Rachel.
"Ayo kita tinggalkan para lansia ini. Ayo pendek sepuluh menit saja aku janji. Kita bisa express tanpa menjelajah yang lain." bisik Satria memohon. Rachel tertawa dan hanya menggeleng, ia menepis tangan nakal Satria.
Satria tak hilang akal ia menghampiri sang oma untuk melobby keinginannya.
"Oma.." bisik Satria yang sudah duduk di sampingnya. Kebetulan para opa sedang memeriksa sekeliling resort.
"Oma tolongin aku dong. Aku butuh bantuan Rachel di kamar. Tapi dia tidak mau membantuku. Dia malu kalau meninggalkan kalian. Aku sulit meracik obat jika tidak diurusi dirinya." rajuk Satria berusaha meyakinkan Nadira.
"Oke..oke..kamu tenang saja." Nadira menepuk pundak Satria.
"Achel sayang kamu temani Satria dulu gih. Dia butuh bantuan kamu. Ayo temani suamimu sayang. Oma dan semuanya tidak apa-apa disini." Rachel melirik heran dengan permintaan Nadira.
"Aku di sini saja oma. Satria bisa sendiri.." jawab Rachel menaruh curiga kepada Satria.
"Haduh Achel kamu tidak boleh meninggalkan mantuku. Ayo cepat urusi suamimu. Segala kebutuhan mantu itu menjadi tanggung jawabmu." Hani mendorong Rachel agar mengikuti Satria yang sudah berdiri mendekatinya.
"Mantu maafkan Achel yah jika ia suka membantah. Kamu hukum saja jika ia bandel. Tetapi hukuman yang menyenangkan." Tiara menggoda Satria. Seketika wajah Rachel merah padam.
"Omaa..." rajuk Rachel malu.
"Siap oma. Tapi Achel nggak bandel hanya nakal sedikit. Kami pergi dulu yah..." Satria buru-buru menarik tangan Rachel dan merangkulnya dengan cepat.
"Apa yang kamu katakan sama oma?" tanya Rachel penasaran.
"Jangan banyak tanya pendek. Ayo kita tuntaskan yang tertunda tadi malam..." Satria setengah menyeret sang istri menuju bungalow
***
"New sweety rabbit.."
Degh..
Suara ini sepertinya aku kenal. NO NO NO..
Jangan bilang...
"Papaaaa.. Mamaaaa..." Rachel berlari menuju ke enam manusia yang sangat dia sayangi.
Satria mematung menatap penampakan kedua orangtuanya dan mertuanya. Ibra, Biyan, Rahma dan Sarah tersenyum menatap kedua anaknya. Dan jangan lupakan kehadiran Rama dan Livi diantara mereka. No No No.. Apa-apaan ini. Kacau jadwal yang sudah aku atur. Para pengganggu pergi dengan enaknya sedangkan aku menemani mereka.. Leo sialan!!!
"Kamu tidak ingat pulang yah putri kecilnya papa." Biyan memeluk erat sang putri. Sementara Satria menyapa orang tua yang lain.
"Satria kamu semakin segar yah. Wah Achel pasti memberikan vitamin yang pas yah buat kamu." Livi menggoda Satria. Rachel yang mendengarnya justru bersembunyi didada Biyan.
"Haduh udah nikah masih saja manja sama Papa. Sama daddy nggak niih.." Rachel memeluk Rama bergantian.
"Dimana yang lain?" Ibra bertanya kepada Satria.
"Mereka ke villa pa. Nanti aku hubungi mereka untuk segera balik ke sini semua." Ibra mengangguk. Satria memeluk Rahma.
"Ma ada apa semua ke sini. Apa kita berniat mengadakan acara Unduh Mantu?" Rahma tertawa.
"Tidak sayang. Kami hanya mau menyusul dan...." Rahma seperti menyembunyikan sesuatu. Satria menunggu penjelasan Rahma.
"Satria ayo antarkan papa ke resort Rachel biar bersama para wanita. Papa mau tahu hasil rapat kemarin dengan S.R biar bagaimanapun perusahaan mereka sedang butuh dana dan papa sedikit khawatir." Biyan berkata kepada sang menantu.
"Ayo pa kita ke kantor.." Satria berjalan dengan Ibra, Biyan dan Rama. Sementara Rachel yang tahu betapa kecewanya Satria hanya bisa tersenyum kasihan melihat suaminya berjalan semakin menjauhinya.
"Ayo sayang kami punya tugas buat kamu.." Sarah menarik Rachel dalam rangkulannya. Livi dan Rahma berdampingan. "Mama Achel kangeen.."
***
Di Villa Keluarga Sarha.
"Waaahhh ini indah banget pemadangannya." Zahara melebarkan kedua tangannya. Ia berada di pinggir pantai pribadi didalam villa tersebut. Dipta berdiri dibelakang tubuh istrinya.
"Apa kamu masih takut sama lautan?" Zahara menggeleng.
"Aku sudah mengikhlaskan kepergian papa dan mamaku disana." Zahara menunjuk lautan luas.
"Mereka sudah menyatu dengan lautan." Zahara menyandarkan kepalanya dilekukan leher sang suami.
"Dalilah dan Mark kemana?" Dipta menghirup wangi harum rambut istrinya.
"Mereka jangan diganggu nemo. Mungkin mereka sedang bernostalgila.." bisik Dipta.
"Ah ini tidak boleh dibiarkan aku sudah berjanji sama Satria." Dipta menahan istrinya.
"Biarkan mereka menikmati masa-masa berdua. Kamu nggak kasihan sama pasangan itu. Mereka yang paling sering terganggu diantara yang lain." Zahara mengangguk lalu kembali bersandar didekapan sang suami.
Drt... Drt.. Drt...
"Halloo.. Ti Sarah.."
Zahara pun menerima panggilan dari Sarah. Dipta hanya duduk di pasir menikmati indahnya laut diwaktu menjelang sore itu dengan perasaan bahagia. Meskipun hatinya sekilas memikirkan sang sahabat. Tetapi sejenak saja ia ingin beristirahat dari rutinitas kesibukan sehari-hari. Ini waktu berharga yang sayang untuk ditinggalkan begitu saja.
Sementara tidak jauh dari tempat mereka berpijak Mark dan Dalilah tersenyum meratapi sebuah tempat tidur di dalam sebuah kamar. Kamar itu bukan kamar tamu. Tetapi kamar itu milik Dalilah kecil. Kamar yang masih tampak seperti dulu batin Dalilah mendesah bahagia.
"Ini kamarku kecil dulu sebelum kami pindah ke luar negeri." Dalilah sangat antusias melihat kembali kamar miliknya. Masih banyak boneka-boneka dan bingkai foto masa kecil dirinya dan Satria dan juga keluarga Sarha. Dalilah semakin tertawa saat melihat foto masa kecil dirinya dengan Mark, Marsha, Leo, dan si kecil Rachel.
"Aku baru tahu kita pernah foto bersama. Ini yang pakai kostum kelinci pasti Rachel..." Dalilah terkikik geli melihatnya masa kecil mereka masih jelas berada difoto itu.
"Iya waktu begitu cepat. Tanpa terasa kita sudah sebesar ini. Ditempat itu aku mengambil ciuman pertama kamu sayang. Aku juga setia menunggu kelahiranmu. Mungkin kita memang sudah ditakdirkan berjodoh yah?" Dalilah mengangguk tersipu malu. Ia mengingat perkataan sang mama.
"Mama bilang saat mama memangku kamu. Tak lama kemudian mama merasa perutnya mulas dan nyeri. Kata mama kamu menyapa aku saat itu. Makanya aku lahir tak lama kemudian." Mark memeluk Dalilah erat.
"Kamu masih di dalam kandungan saja sudah kelihatan genitnya." Dalilah menjulurkan lidahnya. "Dasar genit..." Mark langsung mengecup bibir Dalilah.
"Aku merindukanmu manis. Rasanya kita sudah lama tidak bermesraan." jeda mengambil nafas mereka tak berlangsung lama, mereka berciuman
"Mark.." Dalilah menahan dada Mark dan menggeleng. Ia takut mereka sampai di luar batas. Sejenak Mark menarik nafasnya. Ia tersenyum dan memejamkan matanya.
"Ayo kita main di pantai..." Mark tersenyum dan mengecup Dalilah.
"Terimakasih montirku sayang." Dalilah merangkul Mark dan berjalan dengan senyuman tak lepas dari wajahnya.
"Mba Zara dimana?" Mark menunjuk Zahara yang sedang bermain air dengan suaminya.
Drt.. Drt.. Drt.. Satria
"Ada apa kakak ipar.." tanya Mark menggoda.
"CEPAT BALIK KE RESORT!!!!"
"Mengganggu liburan orang nih kakak.."
"LO SEMUA YANG GANGGU HONEYMOON GUE..."
"Tanggung kakak mau liat sunset.." Dalilah terkikik geli karena Mark menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia tahu betapa menggelegarnya teriakan Satria.
"CEPAT BALIK!!! BANTU GUE MARK URUS PARA OMA DAN OPA..."
"Hah? Mereka di sana? Oke gue akan bantuin lo.." jelas Mark yang akhirnya merasa kasihan dengan sahabat dan calon kakak iparnya.
"Gue tunggu. Please temenin gue. Leo kayanya punya rencana deh. Mereka diundang Leo."
"Maunya apa siruwet itu?" Mark menggeleng kepalanya menatap Dalilah.
"Gue tunggu." Mark mendengus sebal menutup telephonenya.
"Ada apa?" tanya Dalilah khawatir.
"Kita balik ke resort. Para opa dan oma ada di sana." Dalilah melebarkan matanya. Mark mengangguk. Ia juga tahu apa yang dirasakan tunangannya. Akan semakin sulit mereka berduaan.
"Ayo kita balik.." Zahara dan Dipta menghampiri mereka berdua.
"Iya kami tahu para opa dan oma ada di sini." Zahara dan Dipta mengerutkan dahinya.
"Opa dan Oma? Ti Sarah menghubungi ku kalau mereka dan para orang tua sudah di Lombok. Alvina juga diajak. Leo yang mengundang." mereka berempat tampak menerka-nerka apa yang direncanakan Leo.
"Ayo supir sudah menunggu kita." Dipta mengajak yang lain bergegas.
"Apa yang sedang direncanakan siruwet yah.." Mark memikirkan rencana yang akan Leo lakukan.
***
Di suatu pulau pribadi milik SAR.
"Ini pulau yang akan di investasikan sama SAR Resort?" tanya Marsha saat mereka sudah sampai di pulau cantik tersebut. Hari sudah menjelang sore. Mereka sebelumnya telah menikmati indahnya pulau kecil tersebut yang menghubungkan resort dengan pulau itu.
"Ini bagian dari paket paling spesial yang resort kita punya. Rencananya pulau ini akan diperkenalkan publik beberapa waktu lagi. Aku dan Satria hanya meneruskan penyempurnaannya. Papa dan Om Satria yang lebih tahu akan pulau ini." Leo menarik tangan Marsha pelan.
"Ayo.." Marsha seolah lupa dengan kemarahan dan kecemburuannya. Ia benar-benar terhipnotis dengan indahnya pulau mini tersebut. Air laut biru mint jelas membuat matanya terbius untuk selalu tersenyum. Desiran ombak dan semilir angin membuat ia merasa menyatu dengan alam.
"Ini apa?" Marsha takjub melihat sebuah pintu rumah mungil berhiaskan bunga. Bunga mawar merah yang dihias seperti tali kunci dipintu masuk rumah tersebut. Rumah kayu yang sangat indah batin Marsha.
"Ayo putuskan tali mawar itu." perintah Leo dengan senyuman ia memberikan sebuah gunting yang sudah tersedia disana. Sepertinya ini memang sudah dipersiapkan, batin Marsha mengira-ngira. Marsha memotong rentetan bunga mawar itu. Tanpa disuruh ia mendorong pintu masuk itu dengan penasaran. Dan benar saja penampakan di dalam rumah itu begitu sangat indah.
Interior rumah itu terbuat dari kayu berwarna cokelat tetapi semua tertutupi dengan balutan mawar putih yang sangat menyejukan setiap mata memandang. Marsha mengelilingi bangunan kecil itu dengan sangat takjub. Hanya ada satu buah kamar utama dengan tampilan yang sangat mewah disana. Itu mirip kamar pengantin, jerit batin Marsha bahagia.
"Kamu tahu ini contoh miniatur rumah kita nanti." Marsha menegang karena Leo sudah berada dibelakangnya dan memeluk erat dirinya sambil menatap bersama tempat tidur yang langsung menghadap laut didepannya.
"Rumah kita?" Leo mengangguk dipundak bebas Marsha. Feromon putri bulannya membuat Leo sedikit lupa diri.
"Sepulangnya kita dari Lombok kita akan menempati rumah baru kita." Marsha menaikkan alisnya bingung.
Kita?
"Karena dipastikan kita sudah menikah saat menginjakkan kaki ke ibukota." bisikan Leo yang penuh tanda tanya.
"Maksud kamu?" jarak Leo sangat dekat diwajah Marsha. Bibir mereka saling bersentuhan tanpa ada satupun dari mereka yang ingin memagut.
"Besok kita akan menikah." Leo mengecup bibir merah Marsha.
"Besok?" Leo mengangguk.
"Kamu belum melamar aku!" Leo memeluk erat pinggang Marsha. Wajahnya terkikik geli melihat Marsha gugup dihadapannya.
"Belum melamar saja kamu sudah setuju. Jadi apa bedanya?" goda Leo membuat Marsha memerah, betapa memalukannya saat ia menyadari Leo memang tidak pernah melamarnya langsung.
"Iya yah aku belum pernah dilamar kamu. Ah ini curang..." Leo melumat bibir manis itu dengan lembut dan pelan. Menikmati setiap sentuhan kenyal dari tubuh Marsha. Pagutan itu berlangsung lama karena keduanya menikmati setiap balasan sentuhan indah yang memang tidak akan pernah bosan untuk dicicipi.
"Menikahlah denganku putri bulan!? Jadilah teman hidupku selamanya. Jadilah ibu untuk anak-anakku dan kita hadapi masadepan bersama-sama dibumi ini..." Leo menempelkan dahinya di dahi Marsha.
"Jika aku tidak mau?" tanya Marsha menggodanya ditengan kegugupan melanda dirinya. Mereka sudah berbagi deru nafas bersama.
"Kalau kamu tidak mau aku akan melakukan sesuatu di ranjang itu. Mungkin menghamilimu menjadi solusi terbaik." Leo tertawa dengan ide gilanya.
"Jangan gila..." Marsha tidak merubah posisinya. Dahi mereka masih saling menempel.
"Aku hanya mengikuti aksi kamu dikamar pengantin sialan itu. Kamu yang merayuku. Tidakkah kamu ingat?" wajah Marsha menjauh dan berusaha menahan malu jika mengingatnya.
"Bisa tidak kamu tidak membicarakan malam itu." Leo mengangguk dan kembali menarik bibir itu dalam ciuman sedikit bergairah.
"So?" Marsha mengangguk.
"Apa benar besok?" Leo tersenyum karena Marsha masih belum percaya jika besok ia mungkin akan menikah.
"Aku sudah bilang dengan semua orangtua. Mereka mungkin telah tiba di resort. Kamu tenang saja mommy sudah mempersiapkan semuanya." Marsha memekik kaget.
"Lalu Mark?"
"Persetan dengan dirinya. Aku mau menikah besok. Dan kamar ini besok akan menjadi kamar pengantin milik kita. Aku sudah dapat persetujuan dari para orang tua." Marsha tak bisa menahan rasa bahagianya.
"Tapi aku tidak bisa memasak Lee.." seketika wajah Marsha bersedih. Leo mengecup pipi Marsha.
"Semua butuh proses. Aku akan memakan apapun yang kamu masak sekalipun ususku harus dioperasi..." Marsha memeluk Leo dengan erat.
"Apa kita perlu mengulang kejadian di kamar pengantin Satria?" bisik Leo. Marsha tertawa dan menggeleng.
"Besok malam saja di sini. Dikamar pengantin kita dan kamar ini harus dipastikan tidak ada yang mencurinya." bisik Marsha malu-malu. Leo mengangguk dan berfikir akan hari esok.
"Iya aku curiga Satria akan merebut kamar ini." Marsha kembali memeluk Leo.
"Ayo kita pulang aku yakin semua keluarga sudah berkumpul. Kamu tahu tadinya kita mau diungsikan disini oleh Satria. Dasar sinting adik iparku itu." Marsha tertawa geli mendengar gerutuan Leo.
"Iya jelas saja Satria ingin kita pergi dari dekat dirinya dan Achel. Kamu sadar nggak sih kalau kita mengganggu honeymoon mereka." Leo terus merangkul Marsha menuju pantai.
"Ah sekalian biar seru putri bulanku..." dengan berani Leo melumat bibir merah Marsha.
"Iya Pangeran Ruwetku..."
Drt.. Drt.. Drt... Satria
"Hallo....."
"HEH SIBIANG RUWET APA-APAAN LO BESOK KATANYA MAU NIKAH!!!"
"LE YANG BENER AJA KITA BELUM KASIH KEPUTUSAN MENGALAH!!!"
"Satria dan Mark..." Leo terkikik geli memberikan info sipenelphone yang menghubungi dirinya.
"Oke brader-brader gue menuju resort signal di sini jelek. Gue akan jelaskan semuanya."
"Lee keputusan belum pasti kan? Pokoknya gue duluan yang nikah!!!"
"Nggak bisa Mark. Marsha harus nikah sama gue. Kalaupun lo mau gagalin nggak akan bisa. Perbuatan gue sama Marsha dirasa harus segera diselesaikan dengan pernikahan. Gue takut Marsha hamil karena kami tidak memakai pengaman." Leo menahan tawanya sementara Marsha memukul lengan Leo.
"Apa? Yang jelas bicaranya biang ruwet..."
"Udah Mark signal jelek. Bye..." Leo mematikan ponselnya. Ia menatap geli Marsha yang masih geleng-geleng kepala.
"Dasar Pangeran Ruwet..." Leo menarik tangan Marsha untuk mendekat lalu kembali menyatukan bibir mereka.
"Besok kamu akan menikahi sipangeran ruwet ini..."
***
y
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro