Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2 - Pasangan Bodoh

Maap klo tulisannya amburadul.. maklum msh belajarr.. serius aku baca ulang sambil malu sendiri.. heheheh aku bisa alay ternyata.

Bantu aku rapikan typo.. sekali lagi dari segi kepenulisan memang masih naskah kasar ya. Hehehe

***

Di rumah orang tua Dalilah.

"MAMA." Teriakan riang dari wanita cantik terdengar di sekitar taman belakang rumah keluarga Abraham Sarha di bilangan Jakarta Selatan.

Putri bungsu Ibra dan Rahma ini memang terlihat manja walaupun usianya sudah menginjak dua puluh empat tahun. "PAPA." Dalilah menerjang kedua orang tuanya yang sedang menikmati camilan di sore hari yang tidak pernah dilupakan pasangan ini dari dulu, brownies.

"Anak Papa sudah mulai lupa, yah, pulang ke rumah, dari LA kenapa langsung ke Lombok?" Dalillah langsung menerjang Ibra dan memeluk erat disusul dengan sang Mama, Rahma.

"Iya, kamu Lil, enggak kangen Mama?"

"Iya, maafkan Lilah. Oma yang meminta aku. Minggu nanti mereka ke sini, katanya mau bicara serius sama Papa dan Mama." Dalilah langsung menikmati kue buatan Rahma yang memang selalu membuat dia rindu dengan rumah dan kasih sayang mamanya.

Sudah hampir dua puluh tahun mereka hijrah ke LA untuk mengikuti jejak sang ayah meneruskan perusahaan Sarha Grup di sana, dan sudah dari tiga tahun ini Ibra pensiun menjabat terlalu dalam. Dia serahkan semuanya kepada anak sulungnya, Satria. Walaupun Ibra tetap memantau dan sekali-kali hadir dalam rapat.

Rahma dan Ibra saling menatap, ada apa gerangan sang Mama ingin bicara dengan mereka? Mereka berbicara dengan tatapan.

"Ngapain, sih, pandang-pandangan di depan aku? Masih kurang puas eaja mesranya," cibir Dalillah yang sedang menikmati kue..

"Mesra itu selamanya, Sayang. Nanti kamu juga begitu, jika punya suami," goda Ibra. Walaupun usia mereka sudah menginjak kepala lima, tetapi kemesraan mereka tidak pernah pudar.

"Kamu sudah kabarkan Satria, kalau sudah di rumah?"

"Sudah, Ma. Turun dari pesawat saja, saat aku aktifkan ponsel, Kakak yang telepone aku.." Dalilah terlihat kesal bercerita.

"Aku, kan sudah besar, kenapa kakak selalu over-protektif, sih, sama aku?" keluh Dalillah. "Aku jadi enggak bisa bergerak bebas..." Ibra langsung menatap wajah putri bungsunya heran.

"Memangnya kamu mau ngapain?"

"Bukan mau yang aneh-aneh, Papa. Hanya saja, gara-gara sifat kakak yang kaku itu aku enggak bisa punya teman."

"Hei, kakak bisa begitu karena dia sayang sama kamu."

"Sayang apanya? Aku malah enggak bisa punya teman spesial." Dalilah mengerucutkan bibirnya.

"Kamu mau tahu kenapa kakak kamu kaya gitu?" Ibra menaikkan alisnya menggoda Dalillah.

"Iya-iya mau, Pa.." reaksi Dalilah terlihat penasaran.

"Dulu kamu pernah dicium sama anaknya teman Papa, di depan Satria. Semenjak itu sampai sekarang Satria selalu jagain kamu, dia tidak mau kecolongan lagi." Dalilah melotot di hadapan Ibra.

"Hah? Tapi kenapa aku enggak tahu kalau dicium?" Rahma tertawa mendengar Dalilah kaget sambil memegangi bibirnya.

"Ya, kamu enggak akan ingat, umur kamu baru satu minggu.." Dalilah melebarkan mata mendengar penjelasan terlambat ini. Satu minggu? Kurang cepat, kah, kejadian itu terlaksana?

"Aku masih bayi sudah dapat pelecehan seksual? Kenapa Papa dan Mama diam saja, sih?" Ibra dan Rahma spontan tertawa.

"Sayang, Mark itu gemas sama kamu. Lagi pula, dia juga masih kecil. Memang Satria yang ada di situ sangat kesal, karena Mark menciumi kamu terus tanpa henti." Santai sekali menjelaskannya.

"TANPA HENTI...?" Dalillah tampak emosi mendengar jika ciuman pertamanya sudah hilang dan dia tidak tahu-menahu.

"Iya, Sayang, mungkin sepuluh kali ciuman pertama kamu sudah dimiliki Mark. Aku jadi kangen Livi dan Sarah." Rahma menatap Ibra

"Iya, saat di kantor kemarin, Biyan mengatakan hal yang sama. Kita sudah lama tidak berkumpul, setiap bertemu kita juga tidak pernah mengajak anak-anak. Kebetulan Dalilah dan Satria di sini, bagaimana kalau kita undang mereka makan malam?" Rahma mengangguk setuju. Sementara Dalillah masih merenung memegangi bibirnya yang telah ternoda. Sialan dia lalai menjaga. Semua terasa sia-sia. Dia pernah berada di lingkungan bebas, dan berpikir mampu bertahan.

"Sudahlah, Sayang. Mama bercanda mungkin itu ciuman pertama kamu tapi, kan, hitungannya masih kecil. Kamu juga tidak bisa merasakan saat itu. Jangan terlalu dipermasalahkan."

"Iya, Ma,  tapi gara-gara itu, aku malah punya ibu tiri jadi-jadian yang selalu memantau aku bergaul sama siapa," ketus Dalillah kembali sebal mengingat terlalu berlebihannya sang kakak menjaga dirinya.

"Kakak kamu itu niatnya baik, Sayang. Papa setuju jika Satria jagain kamu.."

"Kalau Mama ciuman pertamanya kapan dan sama siapa?" tanya Dalillah penasaran, wajah Rahma merona malu jika ingat masa lalu yang sangat penuh liku-liku, Rahma menatap suaminya sambil tersenyum.

"Papa yang curi firts kiss-nya, karena saat itu mulut rusuh mamamu sangat mengganggu ketenangan hidup Papa." Ibra mengedipkan matanya ke arah Rahma.

"Bilang saja kamu dari awal sudah jatuh cinta sama aku.." cibir Rahma.

"Ah, enggak adil. Aku, kan, juga mau calon suamiku yang terima." Rahma hanya geleng-geleng kepala mendengar keluhan putrinya.

"Ngomong-ngomong, Satria ke mana? Kenapa belum pulang?" Tiba-tiba Dalillah tersenyum misterius.

"Memang Papa enggak tahu, kalau Kakak lagi kencan buta?"

"Kencan buta? Satria enggak bilang." Rahma ikutan bingung, karena selama ini putranya selalu bicara jujur dengannya.

"Mendadak. Oma yang mengusulkan. Kakak disuruh kenalan sama cucu teman Oma. Karena itu, minggu depan Oma dan Opa mau ke sini. Mereka mau mendesak Papa dan Mama untuk segera menikahkan Kakak Satria." Ibra hanya mengerutkan dahi. Apalagi ini kelakuan para orangtua? Satria punya pilihan hidup sendiri. Kenapa diganggu?

***

Di suatu Cafe.

Sementara di sebuah Cafe yang sudah dijanjikan, Satria tampak kikuk dan sebal menuruti oma tersayang mengikuti kencan buta. Sejujurnya,  dia belum mau menikah dan ingin fokus menggantikan posisi orangtuanya untuk memajukan perusahaaan.

"Jadi Satria, kesibukan kamu selain kerja apa?" Dalam hatinya, Satria malas sekali menjawab pertanyaan wanita yang sekarang sedang mencoba tersenyum seolah akrab.

Aku pembunuh bayaran.

Apa dia akan kabur, yah, jika aku jawab seperti itu? Membosankan sekali kamu, Amber. Cantik sih, tapi aku tahu wajahmu full make-up, tidak alami. Biasanya, tipe seperti ini wanita penggila arisan setelah menikah. Oma kenapa kau datangkan wanita seperti ini, yang jelas-jelas bukan tipeku?

"Aku terlalu sibuk bekerja sampai tidak ada waktu untuk hal lain, Amber." Wanita yang bernama Amber itu hanya tersenyum, dia memang terpesona dengan wajah Satria yang tampan, dengan mata sedikit sipit tapi tetap memperlihatkan aura pria sejati, sejujurnya dia sangat senang dengan perjodohan yang sedang diusahakan keluarga. Walaupun lelaki di depannya ini lebih banyak diam.

"Permisi, aku ganggu." Keduanya menatap seorang wanita muda yang cantik tanpa make-up berdiri di hadapan mereka secara tiba-tiba dengan wajah memelas. Sepertinya sedang dirudung masalah.

CANTIK, tanpa makeup. Ini baru alami seperti Mama dan Dalillah.

Sayang, lamunan Satria memuji penampilan wanita yang berdiri di depannya hanya sementara, karena setelah itu tindakan sang wanita sudah melewati batas.

Plak...

Wanita itu menampar keras pipi Satria dan menatap wajah Satria dengan berlinang air mata. Satria yang hendak memarahi wanita itu, memilih diam karena melihat buliran air mata keluar dari sudut matanya.

"Tega kamu, Mas. Meninggalkan aku dan calon bayi kita, buah cinta kita, hiks. Seharusnya dari awal aku tahu, kamu memang hanya menginginkan kita bermain saja. Baiklah aku akan pergi. Jangan harap kamu bisa menemui aku dan bayiku." Wanita muda itu pun pergi berlari kencang. Hampir semua pengunjung menatap kejadian itu sambil berbisik-bisik. Sementara wanita di hadapan Satria, hanya menatap heran dengan kebenaran yang baru saja dia dengar. Satria sendiri hanya berusaha tenang menahan malu yang baru saja ia alami.

SIAPA WANITA GILA ITU?

"Apa benar Satria yang dikatakan wanita tadi?" ucap Amber pelan. Dia juga tak siap mendapati situasi tak nyaman seperti sekarang. Kejadian yang terlampau singkat, tetapi jelas akar permasalahannya. Amber berharap ini tidak benar.

"Satria." Amber memanggil namanya. Satria yang memang sedang berpikir, akhirnya menemukan cara terbaik untuk menyelesaikan urusannya dengan Amber. Nanti, kalau memang ada kesempatan, akan dia tuntaskan kesalahpahaman dengan wanita aneh tadi. Harus diakui, diia memang kesal ditampar di tempat umum, apalagi tidak kenal sama sekali dengan wanita itu, tetapi kejadian itu bisa jadi alasan untuk menolak Amber.

Sambil berakting sedikit menyesal, Satria memejamkan matanya sambil mengangguk. "Maafkan aku Amber.."

Mereka diam dengan pemikiran masing-masing.

"Enggak apa-apa, lebih baik dari awal kita sama-sama tahu. Permisi." Tanpa meminta penjelasan yang berarti, Amber pergi meninggalkan Satria dengan raut wajah kecewa. Berbeda dengan Satria, perasaan lega menyelimuti hatinya. Sambil memegangi sudut bibirnya yang perih, dia terus berfikir. Siapa wanita gila cantik itu? Apa mungkin dia salah orang? Ah, baiklah, dia sudah sedikit membantu, bukan sedikit tapi sangat membantu.

"Done." Satria mengangguk lega sebelum meninggalkan kafe tersebut. Tak lupa, menyelesaikan pembayaran. Urusan dengan oma, bisa diatur. Biar saja pihak Amber yang menjelaskan. Satria sudah terbiasa dimarahi sang oma.

Saat dia hendak keluar kafe, di depan lobi terlihat wanita muda tadi sedang berbicara riang dengan kedua temannya. Satria berhenti dan hendak menguping pembicaraan wanita aneh tersebut.

"Gila lo, Chel, pasangan lagi pendekatan lo ganggu."

"Rachel lo lo ajak taruhan, nyesal sendiri, kan?"

Jadi, namanya Rachel?

"Yang penting, kan, gue menang taruhan. Dapat juga sepatu itu. Terima kasih banyak sebanyak-banyaknya, Dian.."

"Berisik! Kali ini, lo boleh menang, tapi nanti, lo akan kalah taruhan sama gue.."

"Coba aja, apa ada yang bisa ngalahin seorang Rachel?"

Gadis sombong, ditambah nakal. Sialan.

"Chel, lo mau pulang bareng kita, enggak?"

"No, gue dijemput Abang gue tersayang."

"Aduh Abang Leo, mau gue dijemput juga, jemput hatiku.. "

"Ngomong-ngomong, Leo udah punya pacar belum, sih?"

"Mau ngapain lo tanya-tanya? Gue enggak akan izinkan abang gue dekat sama chipmunk.."

"Sialan lo.. Oke, bye, kita jalan dulu.."

Satria menatap wajah wanita itu dengan perasaan jengkel, dia dijadikan bahan taruhan. Sepatu, karena sepatu dia berani menampar wajah orang tidak dikenal?

No no no. Dasar wanita sinting.

Satria mendekati wanita itu dengan tiba-tiba, menarik tangan wanita itu dan membawanya ke arah parkiran yang terlihat sepi di bawah pohon rindang. Penerangan lampu cukup membuat pandangan aman. Setidaknya Satria bisa melihat wajah terkejut wanita itu. Beruntung tukang parkir berada di sisi yang berlawanan. Tidak memancing kecurigaan.

"Eh, siapa lo main tarik-tarik tangan orang? Sakit! Lepasin enggak, atau gue teriak!? Eh, tunggu, lo!" Satria menatap garang ke arah wanita aneh, ditambah berisik dan kurang sopan. Tak heran, tadi saja sudah dibuktikan bentuk ketidaksopannya. Kalau dia bisa tak sopan, mungkin Satria bisa juga membalas dengan hal serupa. Balas dendam sedikit, tidak ada salahnya.

"Lo yang tadi gue.. Mati gue.." Rachel menepuk keningnya dengan wajah sedikit takut. Tenang Rachel, kamu wanita kuat, semangat!

"Iya, mati lo. Seenaknya tampar muka orang di depan umum, hanya karena taruhan sepatu. Sampai tega fitnah orang tidak dikenal dengan tema kehamilan. Mau gue hamilin sekarang?" tantang Satria sambil menatap lekat wajah wanita gila itu. Mereka berhadapan tanpa rasa takut sedikitpun dari keduanya.

"Emang lo bisa hamilin gue?" Rupanya tidak merasa bersalah.

"Kenapa tidak bisa? Mau bukti?"

"Tapi muka lo enggak lurus."

"Apa?" Satria tidak salah dengar?

"Gue kira lo maho."

"Sok tahu banget lo."

"Udah deh, jangan bohong buktinya lo enghak kejar pacar lo."

"Urusan apa sama lo?" Satria jadi sedikit bingung di dalam hati, baru pertama kali dia bertingkah sedikit kasar, bahkan ketus dengan wanita tidak dikenal. Terlebih gaya bahasa yang mereka gunakan sudah menaiki level dekat. 'Lo dan gue', panggilan cukup akrab pada proses pertemanan ala Satria.

Wanita itu terdiam, tapi tidak melepas pandangan. Berani.

"Salah gue menjadikan lo objek taruhan. Iya, gue minta maaf.." Satria menaikkan alisnya menunggu penjelasan yang terasa masih ganjil. Cara penyampaian orang meminta maaf seperti tidak tulus.

"Ta-tapi, dari semua orang di kafe, gue liat lo sepertinya risih duduk berdua dengan pacar sendiri. Ayo, ngaku aja! Tadi, tindakan hebat gue cukup membantu, kan?" Tuduhan Satria benar, wanita ini tidak tulus. Sok tahu, tapi memang tahu.

Satria terdiam, wanita sinting ini memang benar. Tapi, tetap saja dia tak terima. Bayangkan, dituduh lepas dari tanggung jawab. Dia bukan pria sembarangan menodai komitmen.

"Maaf, kalau tadi gue keterlaluan."

"Sangat keterlaluan," tambah Satria ketus.

"Iya, anggap aja pengalaman lucu," timpal wanita itu dengan cepat.

"Lucu?" Wanita itu tersenyum serba salah.

"Iya, udah, sih. Lupakan kejadian tadi! Jangan datang lagi ke sini. Selesai, kan? Ruwet amat, hidup." Satria tak habis pikir dengan sikap tak bersalah wanita asing ini.

Dia tidak sakit hati. Esok juga akan mudah terlupakan. Asal tidak datang ke kafe ini, kemungkinan masalah pasti selesai. Khusus Amber, dia tak terlalu memusingkan. Apa yang akan Amber pikirkan tentang dirinya juga tak akan berpengaruh. Jadi, rasanya, masalah ini cukup sampai di sini.

Tapi, rasanya, Satria kurang puas. Jangan lupakan dengan seenaknya wanita gila ini memberikan tamparan. Lumayan bertenaga.

"Terus, bagaimana dengan bibir gue yang sedikit luka? Dasar pendek." Rasanya Satria sedikit kesusahan mencari alasan. Wanita yang bernama Rachel itu tertawa sinis dengan pertanyaan Satria. Tapi dia memang pendek, buktinya Satria cukup menundukkan kepala saat ini, dan si wanita aneh itu sebaliknya. Berusaha mengangkat kepalanya agar sejajar. Usaha yang sia-sia.

"Haduh, kamu cemen banget, sih. Baru ditampar sama cewek unyu-unyu kayak gue udah tepar. Oh, gue lupa, kan, lo Maho.."

"Apa lo bilang? Heh, anak kecil, bogel, aneh. Lo enggak kenal gue. Jangan seenaknya bilang gue maho, itu fitnah paling kejam." Rachel malah tertawa menatap Satria yang memang hari itu memakai pakaian sangat rapi dengan jas warna merah muda nyaris tanpa kotor sedikitpun. Pria sejati, akan berpikir beribu kali memakai kostum seperti itu, kecuali dia seorang.. Menyimpang, atau buta warna. Atau jangan-jangan dia anggota grup band Korea?

Satria diam mencari kata yang pas untuk menyerang. Dia harus membela diri. Ini memang bukan gaya Satria, kalau bukan karena permintaan sang oma untuk bergaya sangat rapi seperti ini, dia sudah sangat malas mengenakan jas warna feminin. Awalnya, dengan memakai kostum ini, pasangan kencannya akan berpikir ulang untuk melanjutkan, tapi ternyata Amber memilih menerima.

"Gue bisa tau gaya pria kelainan seperti apa, contohnya yah, inimmph.. " Dengan cepat, tak terduga, Satria melumat bibir Rachel tanpa pemberitahuan. Rachel yang kaget, hanya mematung dan tidak bereaksi dengan lumatan bibir pria yang tidak dia kenal ini. Satria menarik wajah Rachel karena perbedaan tinggi badan mereka. Rachel kalah tinggi dengan Satria.

Perlahan lumatannnya menjadi lembut dan Satria menikmatinya. Dengan sadar dia merengkuh Rachel kepelukannya. Bahkan dengan sentuhan tangan di telinga Rachel, dia berhasil membuat mulut wanita itu terbuka dan membuat lidah Satria menerobos masuk ke dalam bibir mungil Rachel. Satria melahap habis bibir mungil Rachel. Menggigit bibir bawahnya, membuat Rachel melenguh nikmat. Aneh.

Ingat,  Satria, kamu tidak kenal dengan wanita ini, kenapa kamu menikmati ciumannya? Sadar, Satria! Tidak lucu kalau kamu sampai turn on, karena sebuah ciuman nikmat asal. Wake up, Satria. Aku harus melepas ciuman indah ini. No no no.. Rasa bibir ini begitu manis untuk kulepaskan.

Kesadaran Satria kembali, dia lalu melepas pertautan bibirnya dengan wanita yang tidak dia kenal. Satria hanya samar mendengar wanita dalam rengkuhannya bernama Rachel. Satria berhasil membuat bibir Rachel tebal. Dia menatap wajah kaget wanita yang baru dikenalnya ini dengan senyuman penuh kemenangan. Deru nafas mereka beradu.

Satria mengelap bibir manis alami Rachel dengan tangannya, bahkan tangannya sempat merapikan rambut Rachel yang menutupi wajah cantiknya. Sipemilik bibir tersebut masih memilih mematung dengan kejadian yang baru menimpanya. Tanpa sadar Rachel pun memeluk pinggang Satria sebagai pegangan tubuh dia yang hampir lemas.

Sudah pendek, lalu menyerah di jalan? Ini memalukan bagi hidup Rachel.

"Saya bisa saja menciumi sekujur tubuh kamu, tapi sayang kamu terlalu berisik jadi wanita.." Dikecup sekilas lagi bibir indah Rachel.

"Sampai jumpa, terima kasih tamparannya dan ciuman panas kita. Aku rasa kita impas." Rachel tetap mematung menatap pergi pria yang baru saja mencuri ciuman pertamanya dengan wajah memerah.

Aku baru saja melakukan ciuman pertama!

Rachel masih memilih diam di tempat, sampai suara ponsel terdengar memecah lamunan. Leo calling..

Rachel menatap ponselnya dengan bingung, dia masih tidak percaya telah mengalami ciuman pertama. Dengan pria yang tidak kenal, pula. Tidak munafik,  dia cukup menikmati cumbuan dari bibir pria tersebut. Wajahnya sekarang sudah tersimpan di dalam memori dan akan selalu diingat.

Karena dia telah mengambil ciuman pertamaku, dia harus bertanggung jawab juga untuk mengambil hati ku. Sudah kuputuskan aku mencintainya.

"Halo, Chel, kamu di mana?" suara Leo terdengar kesal menunggu panggilannya diangkat sang adik.

"Iya, Bang. Aku tunggu di lobi kafe depan.." Rachel pergi dari parkiran sambil tersenyum dan memegangi bibirnya. Dia bergegas masuk ke dalam kafe itu sebentar ke bagian pemesanan tempat. Dia harus sedikit mengorek informasi. Siapa tahu beruntung terlacak.

"Permisi Mbak, saya mau tanya, tadi meja nomor dua puluh lima dipesan atas nama siapa, ya?" Pelayan yang ditanya tampak mencari nama pemesan meja tersebut.

"Atas nama Bapak Satria Abraham Sarha." Rachel hanya mengangguk berterima kasih dan segera pergi menunggu sang kakak menjemput.

Satria Abraham Sarha.

Setidaknya, dia mengetahui siapa gerangan pria yang sudah mengusik hatinya singkat. Ya, memang salahnya juga, tapi mungkin ini jalan yang memang sudah terencana. Ini takdir untuk dirinya. Tapi, nama itu sudah tidak asing didengar? Rachel terus berpikir.

"Hoi, melamun." Rachel masih tetap melamun saat mobil sang kakak sudah berada di depannya.

"Ayo, masuk .." Leo terlihat duduk di bangku depan di sampiing sopir. Rupanya Leo tidak sendiri. Ada Mark dan Marsha di dalam mobil itu. Rachel langsung membuka pintu belakang.

"Hai, Chel kenapa bibir kamu bengkak?" Marsha heran menatap Rachel di sebelahnya yang terlihat linglung sambil memegangi bibir. Leo dan Mark juga berbalik badan menatap wajah aneh Rachel.

"Kamu kenapa?" Leo bertanya lembut dengan adiknya.

"Aku nggak apa-apa, Bang..."

"Tapi muka kamu pucat, Chel.." Marsha di sebelahnya semakin mencari tahu. Apalagi lampu mobil belum redup otomatis. Keadaan bibirnya yang pasti sedikit tak biasanya semakin jelas.

"Aku nggak apa-apa, Sha. Tadi aku makan ramen level pedas.." Mark tampak curiga tapi dia hanya diam saja.

"Ya, sudah hari ini kita diundang Mbak Zara sama suami makan di rumahnya sekarang kita ke sana, ya." Rachel mengangguk mendengarkan penjelasan sang kakak. Padahal dia hanya ingin sampai ke rumah, lalu mengurung diri di dalam kamar. Tapi, sepertinya harus dia tahan. Ekspresi hatinya tidak boleh terlihat. Dicium mendadak oleh orang tak dikenal, perkara rahasia.

"Leo aku mau beli kue dulu buat Mbak Zara, di depan ada toko kue." Leo tersenyum mengangguk menatap Marsha dan memberikan arahan kepada Mark yang sedang mengemudikan mobil.

"Mark nanti berhenti di toko kue, di depan lampu merah!"

"Siap, Bos Leonardo." Mark fokus menatap jalanan. Sesekali melirik arah kaca spion tengah mobil. Dia mau memperhatikan Rachel yang terlihat aneh.

"Oh, iya lo jadi teruskan proyek sama Sarha Grup?" Mendengar Mark berkata Sarha Grup, antena penasaran Rachel langsung memberikan sinyal.

"Jadi. Lo, kan, enggak mau urus perusahaan Daddy dan merelakan Marsha sendiri urus perusahaan," ketus Leo tapi tak membuat Mark marah.

"Tau kamu Mark, jadi aku yang kena getahnya." Marsha memang menggantikan Mark di perusahaan keluarganya. Mark tidak menyukai kehidupan formal dalam bekerja. Dia lebih menyukai mengurus bengkel ternama milik pribadi sendiri. Dia merintis dari nol tanpa bantuan keluarga.

"Gue memudahkan lo berdua bertemu terus, daripada cuma curi-curi pandang.." Mark memang tahu diantara Leo dan Marsha ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Pasangan yang disindir, hanya diam tanpa membalas godaan Mark.

"Sha, bagaimana pertemuan kemarin dengan Satria?" Rachel langsung melotot mendengar Leo memanggil nama Satria. Sejak tadi dia memang sengaja mendengarkan percakapan, biasanya memang selalu malas dia dengar.

"Sempurna, tapi aku enggak lama ikut pertemuan, Daddy yang ngobrol banyak sama Satria." Rachel menatap Marsha dengan wajah penasaran.

"Satria apa kabar? Terakhir kami bertemu di LA, saat pameran automotiv. Kangen gue sama sifat galaknya. Tinggal di luar negeri, tapi budaya, masih aja ketinggalan zaman."

Jadi dia galak? Pantas seperti itu kelakuannya.

Rachel tersenyum sendiri sambil meraba bibirnya yang masih membekas rasa Satria di sana.

"Om Ibra sepertinya akan melepaskan tangung jawab ke Satria. Dia orang yang teliti urusan pekerjaan. Karena itu, lo gabung sama kita. Jangan Marsha yang lo bebanin terus." Mark tertawa.

"Ah, bilang aja lo takut kembaran gue jatuh hati sama pesona Satria Abraham Sarha"

"JANGAN! GA BOLEH!" Tanpa sadar Rachel teriak kencang yang membuat ketiga orang di dekatnya menatap heran ke Rachel.

"Enggak boleh apa, Chel?"

"Hhhhnnngg, itu Sha, aku enggak boleh makan permen sama Mama takut sakit gigi..."

"Iya, kamu, kan, new sweety rabbit, turunan kelinci." Marsha menggoda Rachel. Walaupun mereka bukan saudara sedarah, tapi mereka berempat sudah sangat dekat sejak kecil. Bahkan mereka tak masalah memanggil kedua orang tuanya dengan panggilan yang sama. Papa, mama, daddy, mommy.

"Mark berhenti di kiri, aku mau beli kue."

"Aku temani, Sha." Leo ikut turun menemani Marsha. Mark hanya tertawa melihat tingkah pasangan itu. Pasangan bodoh akut.

Sekali lagi, Mark menatap kaca spion di belakang dan melihat wanita yang sudah dia anggap adik kecilnya, Rachel termenung sambil memegangi bibirnya.

"So, Rachel my sweety rabbit, sekarang sudah enggak ada Abang Leo. Bisa kamu jujur siapa yang sudah ambil ciuman pertama kamu? Apa perlu aku cari dia dan menyidangnya di depan kamu?" tanya Mark tanpa basa-basi sambil menatap kaca spion dan menaikkan alisnya. Rachel sudah tidak terkejut, karena Mark memang paling tahu isi hati Rachel dibandingkan Leo sang kakak.

"Enggak, aku hanya lagi nahan pedes aja," jawab Rachel bingung.

"Oke, kalau kamu tidak mau jujur, tapi yang perlu kamu tahu, kapanpun kamu butuh bantuan menghadapi dia, aku akan ada di barisan terdepan." Mark menatap wajah Rachel dari kaca spion yang diangguki dengan senyuman manis Rachel.

Pasti aku akan minta bantuan kamu, untuk segera melamar Satria Abraham Sarha, menjadi calon suamiku. Untuk sekarang, biarkan aku saja yang berjuang dengan caraku.

Semangat!!! Keinginan harus tercapai, jika ditolak, bukan Rachel namanya kalau tidak bisa mendapatkan yang dia mau. Berjuang dengan kekuatan cinta dan bulan.

***

Salam Ruwet

Maklumi kalau gaya bahasanya aneh. Aku emang enggak merubah gaya bahasanya. Biarkan saja seperti ini. Khas ruwet ya seperti ini. Amatir hahaha

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro