Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15 - The Golden Girls

Di rumah Mark dan Marsha.

"Pagi Mom, Dad," sapa Leo kepada Rama dan Livi di ruang makan keluarga Rama Andhika.

"Pagi, Sayang. Ayo sarapan bersama." Leo langsung duduk di sebelah Livi tanpa sungkan. Dia sudah terbiasa.

"Mau jemput Marsha?" tanya Rama menggoda.

"Iya, Dad. Kami mau kelapangan bersama." Rama mengangguk.

"Dia sudah berangkat buru-buru tadi pagi." Leo garuk kepala sendiri. Salahnya juga menghiraukan panggilan teleponnya yang sudah diabaikan Marsha.

Rama dan Livi tampak bingung.

"Kamu lagi berantem sama dia, ya? Dari semalam dia tidak keluar kamar, Mommy khawatir dia sakit. Nanti kamu rayu dia, biar dia mau makan tadi dia belum sarapan." Leo mengangguk.

Sejenak Leo berpikir, ini kesempatan dia untuk memastikan keseriusannya dengan Marsha. Terlebih hanya ada mereka bertiga di ruangan tersebut.

"Mom, Dad. Aku mau melamar Marsha..." tegas Leo yakin, dua orang tua itu saling berpandangan dan tersenyum.

"Kamu sudah melamar Marsha dari dulu, kan?" goda Livi.

"Iya, tapi saat ini aku serius, Mom. Aku enggak mau kehilangan dia." Pernyataan Leo yang tegas membuat kedua orang tua ini tersenyum lega.

"Daddy mendukung kamu. Asal kamu janji, tidak akan membuat dia sedih." Leo mengangguk yakin.

"Mommy tolongin aku juga, dong, merayu Marsha," mohon Leo pelan. Livi tertawa melihat calon menantu yang sudah dia anggap anak kandung sendiri, selalu bersikap manja dengan dirinya.

"Marsha itu gengsinya terlalu tinggi, kamu harus sabar menghadapi dia. Apalagi dia mudah menyerah. Mommy rasa kamu lebih tahu sifat Marsha."

"Mau saran paling oke?" seringai licik terulas di wajah tua Rama.

"Apa?"

"Jauhi dia, buat dia yang mendekati kamu. Wanita itu senang ditarik ulur. Dia akan jual mahal saat kita kejar, tetapi saat kita menjauh, dengan sendirinya dia akan menempel dengan kita." Livi melirik sang suami dengan sebal. "Sok tahu kamu.."

"Itu benar, Mom, Marsha itu selalu berpikir Leo akan selalu ada untuk dirinya dan selalu bertahan. Tapi dia tidak mau berjuang. Jelas pincang kekuatan cinta mereka. Marsha harus diberi sedikit pelajaran untuk berjuang." Mark datang tiba-tiba, langsung menyetujui ide aneh sang ayah, Rama Andhika.

"Kalian berdua sama saja. Jangan Leo, kamu tidak boleh pakai trik itu. Lakukan sesuai jalan pikiran kamu. Kalau kamu mencintai, kamu harus tulus dan ikhlas dengan semua sifatnya. Kami pun wanita dituntut seperti itu," jelas Livi sambil memegang buku tangan Leo lembut.

"Ah, gak asik, Mommy. Marsha itu harus diberi ujian. Dia terlalu pesimis. Ayo, Le, kali ini saja dengarkan gue," pinta Mark.

"Iya, Mark benar. Hei, Kulkas dua pintu, jangan samakan sifat Marsha dengan kamu waktu masih muda, jelas berbeda." Rama menimpali ocehan sang istri.

"Apanya yang berbeda? Aku sama dengan anakku. Kami menunggu pria merayu.." Mendengar ocehan istrinya, Rama berpura-pura terkejut. "Uhuk-uhuk.."

"Sayang jelas-jelas kamu agresif denganku, kalau Sarah baru pendiam dan menerima apa adanya." Livi mendengus sebal dengan perkataan suaminya.

"Sekarang aku tahu sifat agresif Rachel itu mirip siapa, dan sifat Marsha yang menerima itu, seperti Mama Sarah, Le." Mark berbisik dengan Leo yang diangguki setuju oleh Leo. Putri yang tertukar.

"Percaya, kamu harus jual mahal dulu untuk sementara, Son. Taruhan? Marsha akan datang dengan sendirinya." Rama menatap tegas wajah Leo.

"Aku juga setuju, Dad." Giliran Mark menepuk pundak Leo.

"Mommy enggak setuju. Leo harus tetap merayu Marsha, wanita itu butuh dimanja." Livi lebih semangat lagi.

Sedangkan Leo hanya mendesah pusing, memijit pelipis karena merasa penat mendengar ide calon mertuanya dan saudara iparnya yang sedikit aneh.

"Tambah ruwet gue meminta bantuan dengan mereka, " gerutu Leo pelan.

"Le, serius gue dukung lo sama Marsha, tapi ada saatnya biar Marsha yang berjuang dapetin lo. Gue yakin cara ini berhasil." Mark menghampiri Leo yang hendak masuk mobil.

"Iya, akan gue coba." Leo sepertinya harus mencoba cara baru. Lepas dari jalur aman.

"Oh, iya, Rachel bilang Kimberly selingkuhan lo?" Leo tampak kaget mendengar Mark mengetahui sedikit masa lalunya yang sampai detik ini tak pernah dia ceritakan dengan siapapun. "Tidak sepenuhnya benar. Tapi, Marsha melihatnya dari sudut pandang dia saja," jawab Leo lesu.

"Maksudnya?" Leo diam sejenak, lalu berdiri yakin menatap Mark.

"Marsha pernah salah paham lihat gue sama Kim." Mark meneliti. Sepertinya benar, Leo pernah dekat wanita itu. Panggilannya saja berbeda. Lebih akrab.

"Yang jelas, Le!" pinta Mark.

"Marsha pernah lihat gue ciuman sama Kim." Leo tertawa ringan. Lalu merutuki kebodohannya di masa lalu.

"Marsha lihat lo cium Kimberly? Terus dari mana salah pahamnya? Itu bukti paling masuk akal, kan?" Leo mengangguk. Memang dia salah.

"Tapi bukan masuk ketegori selingkuh, Mark. Kim hanya teman gue." Mark tertawa remeh. Dasar orang ruwet, mencium gadis lain disaat memiliki hubungan asmara, bukan termasuk selingkuh?

"Terus namanya apa? Bantu-bantu?" sindir Mark.

"Lo harus percaya, gue enggak pernah berselingkuh," yakin Leo menatap tegas Mark.

"Tapi melihat sepak terjang wanita itu, sepertinya dia memang perusak hubungan orang."

"Semua hanya salah paham. Kim bukan wanita seperti itu. Percaya sama gue. Tapi, gue enggak tahu juga dia yang sekarang." Leo mengacak rambutnya sambil bersandar di pintu mobil. "Saat ini fokus gue bukan Kim, tapi Marsha."

Kimberly adalah temannya saat dulu, tapi sekarang mereka sudah punya hidup masing-masing. Dan bukan kapasitas Leo ikut campur.

"Mau, kan, Marsha jadi agresif?" tawar Mark pasti.

"Caranya?" tanya Leo, Mark lalu merangkul Leo dan membisikkan trik untuk segera Leo lakukan.

"Ah, kasihan, Mark."

"Ini yang buat lo lemah. Ikuti saran gue kali ini."

***

Di rumah keluarga Satria dan Dalillah.

"Pagi semua." Satria tampak bersemangat di pagi hari ini. Seluruh keluarga yang sedang menikmati sarapan di tepi kolam renang, tampak heran menatap raut wajah Satria yang energik. Terlihat senyum yang tak bisa ditutupi dari wajahnya.

Kecuali Dalillah, semua berkumpul menikmati pagi.

"Pagi Mama, Papa, Oma, Opa." Sekali lagi Satria memberikan salam dan langsung duduk menikmati roti panggang yang sudah disiapkan. Wajahnya tampak berbahagia. Meskipun terlihat luka sedikit di bibir dan hidung Satria, tetap tak bisa dibendung raut penuh semangat itu.

"Anak Mama lagi kenapa? Semangat sekali pagi ini?" goda Rahma. Hatinya sangat lega melihat putranya semangat kembali, setelah hampir dua minggu ini banyak diam dan tidak bisa disapa. Bahkan selalu emosi dengan sang adik.

Sudah bukan rahasia lagi jika Dalilah selalu menjadi pelampiasan kemarahan Satria, terlebih sang adik yang mempunyai sifat jahil kepadanya.

"Bibir dan hidung kamu kenapa?"

"Enggak apa-apa, kemarin aku sempat terjatuh," jawab Satria santai. Sarapan pagi pun dimulai.

Satria menatap empat orang yang sangat dia hormati dengan yakin. Hari ini dia sudah memantapkan hati untuk berani melangkah.

Situasi aman, saat membuka suara.

"Semuanya, aku mau memberitahukan bahwa aku akan melamar putri Om Biyan, Rachel." Pertama, Satria menatap Ibra dengan senyum bangga.

"Kamu sudah siap dan yakin? Apa dia pantas untuk kamu?" tanya Fatah Sarha pelan.

"Papa." Secara bersamaan Nadira Sarha dan Ibra menegur Fatah Sarha. Khawatir membuat hati mantap Satria buyar kembali.

"Kenapa? Aku, kan, hanya bertanya?" bela Fatah Sarha tanpa dosa. Nadira melirik sebal dengan kakek tua yang berstatus suaminya dengan tatapan membunuh.

"Sudah cukup Ibra dan Rahma hampir tidak rujuk gara-gara tas-tes yang kamu terapkan. Aku enggak mau cucuku meneruskannya." Ibra mengangguki pernyataan sang mama. "Iya, Pa."

"Hanya mengetes, dia seorang Sarha, atau bukan." Fatah tertawa menggoda lalu melanjutkan sarapannya.

"Aku yakin, putraku kali ini sudah yakin dengan keputusannya." Ibra menatap Satria dengan bangga.

"Mama setuju dengan pilihan kamu. Tapi, apa Rachel mau menerimanya?" Rahma berkata lembut agar Satria tidak salah pilih.

"Kalau Rachel tidak mau, Oma akan memaksa Tiara untuk membujuk cucunya menerima lamaran ini." Nadira menjawab dengan semangat.

"Kali ini aku mohon, semua jangan maju lebih dulu. Aku yang akan membujuk sendiri Rachel, Oma. Aku mau berjuang sendiri mendapatkan balasan cinta dari Rachel," pinta Satria dengan yakin. Fatah Sarha berdiri dan memeluk Satria erat.

"Darah Sarha memang mengalir di dalam dirimu, cucuku. Berjuanglah, kamu akan mendapatkan cinta yang tulus dari dia." Satria tersenyum bahagia.

"Oma enggak boleh ikut campur, nih?" rajuk Nadira kepada Satria.

"Oma, kali ini aku mau berjuang dengan tanganku sendiri. Calon istriku itu sangat antik, Oma. Dalillah saja tidak mau omanya ikut campur, Rachel pun juga seperti itu." Satria memeluk sang oma dari belakang karena posisi Nadira sedang duduk.

"Ya sudah, segera kamu beritahukan! Jika Rachel sudah siap, kita akan melamar secara resmi ke rumah mereka." Ibra berkata tegas.

"Aku tidak setuju." Dalillah datang dan langsung berujar penolakan, membuat semua mata terkejut.

"Kenapa kamu tidak setuju?" Satria tampak heran.

"Jelas aku tidak setuju. Rachel berselingkuh dengan Mark." Satria melotot kaget mendengarnya.

"Satria apa kamu mau merebut kekasih sahabatmu sendiri?" Rahma membuka suara.

"Iya, Ma, asal Mama tahu yahppp.. Lepasin, Kak." Dalillah meronta karena Satria membekap mulutnya, lalu menyeret masuk ke dalam rumah.

"Oke, semua kami pergi dulu. Dalillah salah paham dan ngawur berbicara. Aku harap kalian tetap mendukung niat melamar Rachel. Permisi." Satria menyeret cepat Dalillah.

"Anak zaman sekarang, sungguh aneh." Ibra menggelengkan kepala. Masih tidak terlalu mencerna ucapan putrinya. Sudah terbiasa melihat dua bersaudara itu bertengkar, membuat Ibra tak terlalu mengambil hati.

"Biarkanlah mereka menyelesaikan urusan dengan caranya sendiri." Rahma menimpali sang suami.

"Tapi aku harus tetap ikut campur. Ini masalah kebahagiaan cucuku. Hani dan Tiara harus tahu ini. Akhirnya kami bisa punya hubungan besan kembali." Nadira pergi dengan wajah bahagia. Fatah hanya bisa geleng-geleng kepala.

"Apa Satria benar mau melamar Rachel?" tanya Ibra kepada Rahma.

"Sejak kemarin aku melihat interaksi Satria dan Rachel memang terlihat aura berbeda. Kali ini Satria tidak akan main-main. Aku tahu sifat putraku," jawab Rahma membuat hati Ibra lega.

"Dia seperti aku, pejantan tangguh." Fatah Sarha tertawa dengan pernyataan yang dia ucapkan sendiri. Ibra hanya melirik heran. Sementara Rahma hanya bisa tersenyum kikuk di hadapan sang mertua.

Sementara di kamar Dalillah, Satria menatap sang adik dengan wajah emosi yang tak bisa ditenangkan, Dalillah pun tak kalah emosi.

"Apa maksud kamu bicara seperti itu? Jelas-jelas kamu yang berpacaran dengan Mark! Jangan membuat sesuatu menjadi ruwet, Lil," kecam Satria kesal. Dalillah memberikan ponselnya.

"Lihat ini, Kak!"

"Oh, ini." Satria melihat adegan Rachel berciuman dengan Mark. Sejujurnya dia tidak kuat melihat adegan itu. Dengan mudahnya Satria melempar ponsel itu ke tempat tidur Dalillah.

"Kakak enggak kaget? Mereka berbohong di belakang kita, Kak," ujar Dalillah frustasi. Satria menahan napas kesal. Andai Dalillah tahu kejadian sebenarnya. Tapi, untuk saat ini dia sedang malas menjelaskan. Pagi ini, Satria harus pergi ke suatu tempat untuk menjelaskan yang lebih utama. Menjelaskan isi hatinya kepada seseorang.

"Dengar, Lil, Kakak hanya bisa bilang Mark tidak berselingkuh dengan Rachel. Jangan percaya dengan foto itu, oke?" Satria mengacak rambut Dalillah dan segera pergi meninggalkan Dalillah yang masih tersulut emosi.

"Aku harus bertanya langsung dengan pelaku foto ini." Dalillah segera mengambil ponsel dan tas miliknya, lalu pergi mencari kebenaran. Dia tak suka berlama-lama gelisah tanpa kejelasan yang benar.

***

Di rumah Zahara.

Ting Tong..

"Permisi bisa saya bertemu dengan Rachel.." pintu terbuka Zahara terkejut dengan kedatangan pria asing yang tidak ia kenal mencari sepupunya tersayang. Ia menduga ini pasti pria yang membuat Rachel berubah drastis akhir-akhir ini.

"Kalau boleh tahu dari siapa?" Zahara tersenyum ramah dengan tamu barunya. "Satria." Zahara mengangguk dan tersenyum.

"Jadi kamu pria yang mampu merubah adik kecil kesayanganku menjadi pendiam? Aku Zahara, mari masuk..." Satria mengikuti Zahara memasuki rumahnya.

"Silahkan duduk.. Rachel lagi bersiap-siap mau ke kafe, taxi juga belum datang." Satria duduk sopan.

"Rachel cerita, Mbak kakak perempuan yang sangat ia sayangi." Satria sangat sopan berbicara dengan Zahara.

"Ia kebetulan aku anak tunggal hanya Rachel dan Leo saudaraku. Jadi kedatangan kamu ke sini mau meminta maaf atau mau membuat Rachel menangis lagi?" tanya Zahara langsung tanpa basa-basi.

"Aku mau mendapatkan cinta Rachel Mbak.." jawaban Satria membuat Zahara tertawa dan menggelengkan kepala.

"Kalian memang cocok..Saran Mbak, Rachel itu sebenarnya sangat rapuh dan manja. Tapi dia selalu menutupi dengan sifat riangnya. Jadi Mbak mohon jangan sakiti Rachel lagi yah.." Satria mengangguk.

"Kali ini tidak akan. Nyawa aku taruhannya." jawab Satria tegas.

"Mbaaaa taxinya udah datang belumm?" Rachel berhenti berjalan karena pria yang duduk berhadapan dengan sepupunya adalah pria yang membuat semalaman dirinya menangis.

"Pagi Acheell..." Satria menyapa Rachel lembut seolah tidak pernah terjadi apa-apa pada mereka. Terlebih semalam Satria baru saja membuat luka dihati Rachel. Tapi Rachel bukan wanita lemah yang meratapi kesedihannya di kamar berhari-hari.

Rachel selalu merasa dirinya mampu mengatasi semua itu dengan melampiaskan di dapur kesayangannya. Di dapur pribadi Cafe Amor tempat ia menumpahkan segala emosi kesedihan dan kebahagiaan menjadi satu.

"Ada perlu apa kamu ke sini Tuan Satria?" tanya Rachel berusaha santai berhadapan dengan Satria. Ada apa dengan wajah Satria? Apa dia habis berkelahi? Ah bukan urusanku.

"Mau bertemu dengan kamu pastinya Rachel ku tersayang.." jawab Satria tak kalah santainya. Perjuangan Satria akan segera ia mulai.

Zahara terkekeh geli melihat sepasang sejoli yang berlagak kuat menahan hasrat. Tetapi sama-sama merindukan satu sama lain.

"Oh ya?" Rachel berakting tidak percaya dengan kata-kata yang baru saja Satria utarakan, dengan sekuat tenaga ia menahan hasratnya memeluk Satria.

"Acheel bareng Satria aja ke kafe taxi nanti di-cancel..!" tiba-tiba Zahara memberikan ide jahil untuk mereka berdua.

"Iya Mbak, Achel biar sama aku, hari ini full time buat dia." Satria berdiri dan hendak menarik tangan Rachel.

"Kamu mau, kan, Chel?" Senyum Satria begitu menggoda. Jangan senyum semanis itu my hero. Aku bisa luluh. Kamu masih jadi pria brengsek di hatiku sekarang.

"Iya dia mau Satria, ayo sana jalan. Hati-hati yah.." Zahara mendorong Rachel mendekati Satria.

"Jangan pegang-pegang!" Rachel membentak Satria yang hendak memegang tangannya.

"Oke..." Satria mengangkat tangannya dan tersenyum manis.

"Kamu udah makan?" Mereka sudah duduk dimobil dan Satria tetap tersenyum manis.

"Udah," jawab Rachel singkat.

"Makan apa?" tanya Satria lembut.

"Makan orang." Satria tertawa melihat Rachel cemberut. Ingin rasanya Satria mencubit gemas pipi halus Rachel yang begitu menggoda di mata Satria.

"Cheeel, tatap muka aku, dong. Ini malah lihat kaca terus," suara Satria memohon manja.

"Nggak mau, aku lebih suka liat jalanan daripada liat kamu," ketus Rachel menahan godaan.

"Hmmm, aku tahu kamu menahan diri karena melihat senyumanku, kan? Kamu takut luluh, kan?" tanya Satria menggoda.

"Sok tahu," cibir Rachel tetap menatap kaca di sampingnya.

"Jelas aku tahu, karena aku sering melakukannya saat aku berusaha menahan hasratku sama kamu. Asal kamu tahu, aku selalu gagal karena senyummu tak bisa kuhilangkan. Sampai dalam mimpi senyum kamu selalu hadir, Achel Sayang." Satria berkata lembut.

Rachel berusaha tak terpancing. Baru mau mulai aksi menjauh, kenapa sekarang berubah total? Ucapan Mark langsung terjawab. Rachel segera menggeleng. Dia tak mau termakan rayuan.

"Cepat jalan! Aku banyak keperluan di kafe!" ketus Rachel berusaha tidak terpengaruh.

"Baik Tuan Putri..." Satria menjawab riang.

Gemuruh di hati Rachel kembali gelisah. Sialan Satria.

"Cheel, aku minta maaf. Maaf,aku menjadi pria brengsek di matamu. Aku khilaf, maafkan aku. Itu akan jadi yang pertama dan terakhir kalinya," nada penyesalan jelas terdengar dari Satria.

Rachel berusaha mengumpulkan rangkaian kata yang tepat.

"Nggak masalah, aku nggak pikirkan lagi. Mungkin kamu benar, kita hanya cocok menjadi teman. Aku akan berusaha melupakan rasa spesial aku ke kamu. Jujur, munafik kalau aku bilang aku sudah tidak menyukai kamu. Tapi kamu tenang saja, aku akan berusaha tidak mengganggu kamu, kita bisa berteman tanpa mengurusi jalinan asmara masing-masing." Mendengar Rachel menyerah seperti itu Satria menggelengkan kepalanya.

"NO NO NO, jangan bicara seperti,Chel! Aku mau kamu yang menjadi kekasihku." Wajah Rachel seketika memerah,antara terkejut dan bahagia. Tetapi hatinya masih tidak mau percaya. Satria sudah sering membuatnya berada di atas angin dan dihempaskan begitu saja tanpa tahu perasaan dirinya kecewa atau tidak. Pria suka sesumbar seenaknya. Ciuman antara Satria dan wanita itumasih teringat jelas di kepala Rachel. Sakit hati.

"Aku menyesal." Lagi-lagi Satria membuat Rachel luluh. Karena pada dasarnya, Rachel tak suka mencari permusuhan.

"Seperti ini lebih baik. Kita berteman seperti yang selalu kamu bilang Satria," jawab Rachel sekuat tenaga. Ingin rasanya dia memeluk Satria tapi ia mau tampil kuat di mata Satria.

"Kamu masih marah?" Satria menghentikan mobilnya ditepi jalan yang sepi. "Tatap aku, Rachel Arga Rahadi!" tegas Satria.

"Marah? Apa hak aku marah Satria Abraham Sarha? Aku bukan siapa-siapa kamu." Rachel menatap berani wajah Satria.

"Aku mencintaimu, Rachel." Jantung Rachel serasa berhenti berdetak mendengar kata-kata sakral tersebut tepat saat mata mereka bertemu.

Apalagi ini. Rachel harus tahan godaan.

"Kamu nggak boleh berkata seperti itu dengan mudahnya. Bukankah kamu pernah bilang seperti itu?" Satria tertawa hambar. Dia pernah ada di posisi Rachel seperti sekarang. Meremehkan seseorang yang sedang jujur.

"Baiklah kalau kamu masih belum percaya, aku memakluminya. Tapi aku tidak akan pernah diam lagi sekarang aku akan tetap berkata 'i love you' kepadamu setiap harinya dan kamu tidak boleh protes," tegas Satria kembali mengemudikan mobilnya. Rachel berusaha tidak menatap wajah Satria.

Satria memakluminya dan memberikan waktu agar kemarahan Rachel tidak semakin panjang. Mereka diam tidak bersuara hingga perjalanan sampai ke Cafe Amor.

"Aku turun, terimakasih atas tumpangannya." Rachel hendak keluar tanpa menatap Satria.

"Tunggu." Satria menahan tangan Rachel.

"Apa?" Rachel dengan malas menatap Satria.

"Kamu nggak mau memelukku?" Rachel menggeleng pelan. Orang masih pasang aksi, malah diminta hal yang rumit.

Tanpa meminta izin, Satria menarik tubuh mungil Rachel ke dalam pelukannya. Memeluk erat, menghirup aroma yang mulai disukai Satria akhir-akhir ini dan ia berjanji aroma ini akan selamanya milik dia.

"Sekali lagi, maafkan aku." Satria mencium helai demi helai rambut gadis pendeknya dengan lembut. "Kamu gadis pendekku tersayang." Satria mengecup pipi Rachel lembut. Tuh, kan, seenaknya.

"Minggir.." Rachel tersadar dari lamunannya dan hampir hilang kendali dari sentuhan Satria.

"Nanti mau dijemput jam berapa?" Rachel mengerutkan dahinya bingung. "Tidak perlu. Bye." Rachel langsung keluar dari mobil dan berlari masuk ke dalam kafe miliknya. Satria menatap dengan wajah tersenyum.

"Baiklah jika kamu masih marah, Sayang. Aku terima itu. Aku akan berjuang tanpa syarat untukmu." Satria pergi dengan senyuman yang tak lepas dari wajahnya. Hari ini dia akan memberikan banyak kejutan untuk Rachel.

***

Di Cafe Amor.

"Permisii Noona Rachel, di depan ada tamu." Rachel tengah sibuk dengan adonan tepung di dapur pribadi miliknya di lantai dua Cafe Amor. Tidak ada yang berani masuk ke dapur khusus tersebut karena hanya Rachel yang boleh memakainya.

"Aku tidak mau diganggu, bilang aku tidak ada," jawab Rachel yang masih sibuk dengan campuran adonan di tangannya.

"Nona Dalillah menunggu di kantor sebelah. Katanya ada urusan penting yang ingin dia bicarakan." Mendengar Dalillah yang datang, Rachel segera membersihkan dirinya dan hendak pergi ke ruang samping dapur pribadi miliknya. Kesal dengan sang kakak, tidak menular bagi adiknya, pikir Rachel tenang.

"Hai, Lil, ada apa datang ke sini nggak bilang-bilang?" Rachel tersenyum menatap Dalillah yang sedang duduk di sofa kantor Rachel.

"Aku mau bicara denganmu, Chel." Dalilah berkata datar.

"Bicara apa?"

"Tentang adegan ciuman kamu dengan Mark," sinis Dalilah tanpa basa-basi. Rachel sedikit merasa bersalah dengan Dalilah. Kejadian iyu di luar pikirannya. Mark saja yang terlalu kreatif membantunya.

"Maaf, Lil, semalam kejadiannya begitu tiba-tiba dan aku khilaf menerima ciuman dari Mark." Dalilah meneteskan airmata, ternyata Rachel tidak berbohong. Ia berharap Rachel berbohong agar hatinya bisa lega, berharap ini hanya mimpi.

"Kamu tega, Chel." Rachel duduk di samping Dalilah dan memegang tangan Dalilah. "Maaf Lil, semalam aku begitu terkejut melihat kakakmu Satria, berciuman dengam wanita lain dan Mark datang bermaksud membuat cemburu. Kami tidak bermaksud aneh-aneh, Lil. Percaya padaku, Mark sayang sama kamu. Mark menganggapku adik, Lil," mohon Rachel merasa bersalah.

"Kalau adik tidak mungkin beradegan seperti ini!!!" Dalilah membentak Rachel dan memberikan ponsel miliknya, memperlihatkan foto yang bisa dibilang mesra antara Mark dan dirinya.

"Siapa yang mengirimkan kamu foto ini?" tanya Rachel bingung.

"Kenapa, kamu takut ketahuan?" sinis Dalilah.

"Lilaah, kamu sendiri tahu hanya kakakmu yang aku cintai. Tetapi semalam, kakakmu mencium gadis lain di depan mataku. Aku kecewa dan Mark tanpa diduga membantu. Itu dil uar kendali aku dan Mark. Spontan, Lilaah.." Dalilah berdiri dan menepis tangan Rachel.

"Tetap saja aku kecewa dengan kalian berdua. Aku menganggapmu teman, Chel, bahkan aku mau menganggapmu saudara perempuanku, tapi kamu mengecewakanku." Dalilah pergi meninggalkan Rachel yang merasa sangat bersalah akan ke khilafannya menerima ciuman Mark tanpa berpikir panjang. Dasar biang rusuh, Rachel menggerutu dalam hati. Mengumpat karena aksi sok pahlawan Mark yang tidak berpikir panjang.

Rachel segera menghubungi Mark.

"Hal, My Sweety Rabbit, apa kamu sudah membaik?"

"Mark gawat!" teriak Rachel panik.

"Ada apa? Kamu jangan bikin aku tegang? Kamu baik-baik saja?"

"Dalilah marah sama aku, Mark. Dia baru saja datang dan memperlihatkan foto kita semalam. Sepertinya ada yang mengabadikan foto kita. Entah orang gila siapa yang mengirimkan foto itu ke Dalilah. Dia marah Mark sama aku.." Rachel sangat panik dan sangat merasa bersalah.

"Oke, kamu tenang, Dalilah biar aku yang urus. Justru aku lebih tertarik mencari tahu siapa yang berani mengirimkan foto itu ke Dalilah."

"Ini semua salah mu, seenaknya menciumku.." teriak Rachel kesal.

"Hei, salahkan pria bodohmu, Satria. Oh iya, apa kabar Satria apa dia menghubungimu?"

Rachel diam sejenak.

"Di- dia tadi datang Mark, dan diaaaa.." Rachel ingin berkata jujur tapi ia masih ragu mengatakannya.

"Dia pasti mengatakan i love you?"

"Dari mana kamu tahu, Mark?" selidik Rachel tak percaya.

"Hahaha, jangan meremehkan Markona, Sayang..."

"Sebaiknya kamu segera menjelaskan kepada Dalilah. Aku serius merasa bersalah dengannya," jelas Rachel sedih.

"Baiklah, kamu ke sini sekarang, aku yakin Dalilah sedang menuju ke sini..."

"Oke, aku segera ke sana." Rachel segera mengganti bajunya dan bergegas pergi mencari taksi.

"Saya pergi, jika Mama atau Abang datang, bilang saya ke bengkel." Rachel menitipkan pesan kepada pelayan kafe. Saat menunggu taksi Rachel dikejutkan dengan suara klakson mobil di dekatnya.

"Acheel..." Marsha membuka kaca mobilnya. "Shaaa..." jawab Rachel riang.

"Ayo, masuk kamu mau kemana?"

"Aku mau ke bengkel, Sha." Rachel segera masuk. Kebetulan yang menyenangkanz

"Tadinya aku mau makan siang di kafe sama kamu. Aku kangen kamu, Chel.."

"Iya, Sha, aku juga kangen sama kamu. Kamu kemarin langsung pergi dari bengkel karena bertemu Si Sinting." Rachel enggan menyebutkan namanya.

"Si Sinting?" Marsha tidak paham siapa yang dimaksud Rachel.

"Kimberly." Wajah Marsha berubah sedih. "Oh, dia." Marsha sebenarnya juga enggan mendengar nama itu.

"Sha, apa benar dia mantan pacar Abang?" Marsha mengangguk lemah. "Dari mana kamu tahu, Sha?" Kecurigaan Rachel dari dulu mungkin benar, sang kakak dan Marsha pernah menjalin hubungan.

"Mereka sempat berpacaran selama dua bulan dan sangat menikmatinya, aku tahu itu." Marsha enggan membayangkan saat-saat ia memergoki Leo dan Kimberly berciuman mesra.

"Sha, jangan diingat lagi, aku tidak akan bertanya rinci. Mulai saat ini kita lupakan pria-pria menyebalkan itu. Semua pria sama saja, brengsek!" Marsha melirik Rachel dengan wajah penasaran. Terlebih tatapan jengkel Rachel yang membuat penasaran.

"Kamu menyerah Chel dengan Satria? Ada apa?" tanya Marsha makin penasaran.

"Semalam Satria dan Kimberly berciuman mesra." Rachel menundukan kepala, ia tidak sanggup mengingat adegan yang tanpa sengaja ia lihat.

"Wanita itu benar-benar..." Marsha sangat gemas dan menggelengkan kepala.

"Tapi ada yang lebih gawat lagi, Sha. Semalam aku dan Mark berciuman." Marsha berhenti mendadak. "Apa?"

"Haduh, Sha, kamu mau kita tabrakan?" Marsha menatap Rachel tanpa kedip, meminta penjelasan dan Rachel menjelaskan kronologisnya hingga Satria mengatakan pernyataan cintanya pagi tadi.

" Rachel kamu berhasil mendapatkan hati seorang Satria.." goda Marsha bahagia.

"Apa benar dia berkata jujur, Sha?" Ada rasa tidak percaya sejujurnya dalam diri Rachel, ia takut Satria hanya memberi angin sesaat. Ia tidak mau terlalu berharap banyak kali ini.

"Aku kenal Satria sebagai pribadi misterius dalam urusan asmara. Baru kali ini dia terang-terangan menyatakan cinta dengan seorang gadis. Aku rasa dia serius, Chel." Rachel memikirkan perkataan Marsha.

"Tapi aku masih marah, Sha. Entahlah, melihat mereka berciuman membuat aku jijik Sha." Marsha mengangguk, ia pun masih belum bisa melupakan saat memergoki Leo dan Kimberly bermesraan dulu.

"Sekarang ini aku lebih memikirkan kata maaf dari Dalilah."

Marsha memegang tangan Rachel. "Aku akan membantumu." Rachel tersenyum lega karena Marsha selalu ada untuknya disaat ia terkena masalah.

"Makasih, Sha..."

***

Di bengkel Mark.

"Marrkkkkkk...." Dalilah datang dengan segala emosi yang terkumpul menjadi satu, langsung menerobos masuk ruang kantor kekasihnya, Mark Andhika.

"Ada apa, Manisss..." Mark berdiri menghampiri Dalilah. Gadis itu berdiri garang menatap Mark. Tapi tenang, Mark sudah mempersiapkan diri mengatasi kemarahan sang kekasih.

"AKU MAU BICARA!" teriak Dalilah dengan penuh emosi.

"Tunggu!!! Sebelumnya kamu boleh tampar aku karena bibir ini kemarin berbuat lancang mencium wanita selain dirimu, Sayangku.." Cepat, jelas dan jujur Mark langsung memotong teriakan Dalilah.

Hening sejenak. Dalilah tetap diam menatap kesal dengan pria di hadapannya ini. Terlebih wajah Mark yang merasa bersalah membuat Dalilah mengerutkan dahinya.

Gimana mau menyudutkan Mark, kalau dia sendiri langsung jujur.

"Oh aku, sampai melukai bibirku ini karena merasa bersalah dengan kekasihku yang paling berarti dalam hidupku," jelas Mark bernada kecewa penuh penyesalan. Perlahan Mark mendekati Dalilah yang terdiam mematung menatap tingkah Mark. Rencana mengalihkan emosi Dalilah sepertinya tidak sulit.

"Kamu boleh gigit bibir ini sampai berdarah, Maniss..." Mark merengkuh kekasihnya menghadap dirinya. Dalilah tetap diam. "Bibir ini sungguh nakal berani membaginya dengan wanita lain.."

Sebentar lagi kekasihnya akan luluh, harap Mark dalam hati.

"Kenapa Rachel yang menerima aksi nakal bibir sialan mu ini?" Akhirnya Dalilah bersuara, ia tidak menolak atau membalas pelukan Mark.

Berhasil.

"Karena kakakmu sengaja berciuman dengan wanita lain di hadapan Rachel. Saat itu aku melihat Rachel hancur dari tatapannya. Ia terjatuh dan semua mata menatap iba Rachel. Naluriku tergerak sendiri untuk membantu adik kecilku itu." Mark mengendus telinga Dalilah seduktif.

Kekasihnya cukup polos untuk urusan sentuhan. Dan Mark yakin, sentuhan lembut mampu meredakan emosi setiap kekasih yang sedang merajuk.

"Bibirku ini memang kurang ajar. Kamu boleh mengigitnya sesuka hati kamu sebagai balasan kelalaianku menjaga bibir ini yang seharusnya hanya untukmu, Kekasihku Tersayang." Hidung Mark menyentuh bibir Dalilah.

"Apakah hanya Rachel?" tanya Dalilah dengan nada manja. Mark tersenyum karena emosi Dalilah perlahan mulai mereda bahkan sebelum emosi itu meledak. Jinak dengan sendirinya.

"Semenjak kamu menciumku di klub saat itu, bibir kamu ini yang hanya kuizinkan menyentuhku dan semalam jika bukan ulah kakakmu yang bodoh, aku tidak akan membagi rasa bibir ini dengan wanita lain, Sayang." Mark semakin memeluk erat Dalilah.

"Janji?" rengek Dalilah manja. Mark mengangguk dengan wajah menyesal. "Pasti.." Mark mengecup sekilas bibir Dalilah.

"Oh jelas, rasa bibirmu lebih spesial daripada Si Pendek kesayangan kakakmu." Dalilah langsung mengigit bibir bawah Mark. Tetapi bukan Mark namanya jika tidak bisa mengendalikan ciuman wanita. Bahkan Mark sekarang menguasai penyatuan bibir mereka.

Saatnya mengalihkan dunia Dalillah dengan keindahan menjalin hubungan. Bermesraan sejenak tak ada salahnya.

Mereka terbuai satu sama lain. Bahkan ketukan pintu tak perlu mereka risaukan.

Ciuman panas mereka terhenti karena ketukan pintu yang tidak tahu waktu itu terus terdengar.Mark bersumpah dalam hatinya akan memecat siapa saja yang mengganggu saat dirinya sedang berdua dengan Dalilah. Terlebih saat ini hasratnya sangat menggebu menikmati cumbuan panas Dalilah yang sedang terbakar api cemburu. Ciuman kekasihnya kali ini begitu bergairah dan mendamba.

"Sudah kubilang jangan mengganggu saat kami sedang berdua..." Mark berhenti bersuara saat melihat siapa yang bertamu ke bengkelnya, di siang hari yang terik, dimana sang pemilik bengkel sedang berciuman panas dengan sang kekasih.

"Dalilah sedang apa kamu di sini?"

"Oma?..Oma dan Oma Tiara ada keperluan apa ke sini?" tanya Dalilah kikuk.

"Kamu sendiri sedang apa di bengkelnya Mark...?" selidik Nadira Sarha penuh kecurigaan.

Good, the golden girls datang tepat pada waktunya, Mark. Kamu tertangkap basah bahkan Dalilah belum merapikan dirinya dari sentuhanmu. Selamat Mark, nikmati siang indahmu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro