Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13 - Sweety Rabbit

Masih di mobil Satria.

"Aku rasa, aku jatuh cinta sama kamu." Rachel menundukan kepala dengan tangan bergetar dan wajah yang memanas. Dia belum pernah mengutarakan cinta pertama kali dengan seorang pria. Ini lebih tegang daripada menunggu keputusan lulus tidaknya dia dalam sidang skripsi, batin Rachel gelisah.

Satria terdiam, mencerna kata-kata sakral bagi dirinya. Kata-kata yang selalu diberikan pencerahan oleh sang Papa, untuk tidak mudah mengumbar dan memutuskan berkata cinta dan menerima cinta.

"Racheel." Satria tahu wanita di sampingnya ini gugup, terlihat dari getaran tangannya yang gelisah. Diraih tangan dingin Rachel, kemudian dia genggam agar gadis pendeknya lebih nyaman dan tidak gugup dengan dirinya. Satria membagi kehangatan sementara. Satria sendiri masih bingung akan prinsipnya selama ini. Menjawab seenaknya akan menjadi masalah selanjutnya. Dia butuh berpikir.

"Racheel." Sekali lagi Satria memanggil dengan lembut agar gadis pendeknya ini menatap dirinya. Satria menunggu Rachel menatap dirinya.

"Iya.." Rachel berkata pelan menoleh dan menatap mata Satria yang ternyata tersenyum manis di hadapannya. Satria menangkup wajah Rachel dan mengecup lembut kening Rachel.

"Kamu tidak boleh berkata seperti itu dengan mudahnya, Achel." Satria menempelkan keningnya di kening Rachel sambil memejamkan matanya.

"Aku takut kamu pergi, Sat," jawab Rachel gugup.

"Aku takut ini hanya perasaan kita sesaat. Kalau belum, siap jangan pernah berkata seperti itu." Rachel menjauhkan wajahnya untuk lebih jelas menatap Satria.

"Kamu tidak percaya denganku?" selidik Rachel bingung.

"Lebih tepatnya dengan diriku sendiri. Maaf," ucap Satria kembali duduk seperti semula.

Wajahnya menerawang ke depan. Dia tidak berani menatap Rachel.

"Kamu boleh menampar pria berengsek di samping kamu ini,Chel, jika kamu mau? Aku terima." Rachel diam tak tahu harus berkata apa. Dia bingung dengan sikap Satria.

"Karena ada sisi dalam diriku yang selama ini tidak satu pun orang tahu. Aku orang yang berhati-hati dalam memutuskan komitmen. Maaf, aku selalu egois ingin munguasai dirimu. Tampar aku, karena aku pantas mendapatkannya," pinta Satria lirih. Rachel menggeleng dan mendekat mengecup pipi Satria sekilas.

"Aku akan tetap berusaha agar kamu percaya denganku. Mungkin kamu meragukan aku, tapi aku tidak akan mencabut kata-kataku, Satria. Aku mencintai kamu. Aku masuk dulu. Hati-hati, My Hero." Rachel keluar dari mobil tanpa melihat lagi ke belakang. Dia menahan napas cepat, tidak percaya bisa seberani ini dengan pria. Rachel akan memberikan waktu untuk Satria. Dia yakin perjuangan dirinya baru dimulai.

Sementara Satria terdiam mematung dengan reaksi Rachel yang masih pantang menyerah. "Apa yang harus aku lakukan?" Satria memejamkan mata dan tersenyum meraba pipi dan bibirnya. Aroma Rachel masih jelas menempel. Rasa Rachel masih jelas terasa.

"Apakah ini rasanya jatuh cinta? Atau hanya sebuah fatamorgana yang selalu Papa bilang?" helaan napas menjawab dirinya sendiri di tengah keheningan di sore hari itu. "Maafkan aku, Achel."

Satria sangat hati-hati jika berurusan dengan komitmen, apalagi berujung niat pernikahan. Sekadar terpesona bukan alasan kuatnya niat menikah.

Satria, kamu harus teliti dan hati-hati jika kamu sudah mulai bermain dengan perasaan saat berhubungan dengan wanita. Papa tidak mau kamu seperti Papa, cinta buta dan pada akhirnya itu hanya sebuah fatamorgana. Cinta semu.

Jangan terburu-buru dalam memberikan keputusan. Jika kamu sudah sangat yakin, nyatakan dengan siap dan bertindaklah layaknya pria bertanggung jawab atas perasaanmu. Segera berjuang dan dapatkan hatinya. Karena kamu seorang Sarha.

Satria memejamkan mata dan mengingat kata-kata yang pernah didengarnya dan selalu dijadikan benteng dalam menjalin hubungan. Bahkan dia hampir tidak mau berhubungan karena selalu menuruti kata-kata itu dihatinya.

"Rachel, gadis pendekku tersayang," bisik Satria sendiri.

***

Di bengkel Mark.

Jika Satria dan Rachel terjebak dalam ketidakpastian untuk menjalin hubungan, berbeda dengan Mark dan Dalillah yang sudah membuka diri untuk sama-sama belajar menjalin kasih. Berpacaran yang menggemaskan.

Dua insan ini sedang tersenyum menatap satu sama lain. Tertawa entah apa yang sedang mereka tertawakan. Mungkin karena hati mereka yang sudah saling menerima, membuat mereka bahagia dan mengobral senyum kepada setiap insan yang melihat.

Akhirnya, setelah kejujuran dan perjodohan itu dibatalkan, hubungan mereka resmi diproklamirkan dengan status berpacaran. Walaupun belum menjelaskan dengan semua keluarga.

Sore itu, Dalillah setia menunggu Mark menyelesaikan pekerjaannya di bengkel. Bengkel milik sang kekasih, batin Dalillah bahagia dengan status barunya. Dia belum pernah berpacaran dan ini menjadi pengalaman yang tidak akan pernah terlupakan.

"Kita mau kemana, Mark?" Dalillah tersenyum bahagia saat ini. Mark akan mengajaknya kencan.

"Kamu mau kemana, Manis?" Mark menggenggam erat jemari Dalillah. "Aku bingung."

"Kamu mau nonton? Makan malam romantis? Atau belanja di mall? Aku temani." Dalillah menggeleng. "Enggak mau."

"Aneh, biasanya wanita pasti mau setiap aku ajak berbelanja dan membeli apapun yang kalian mau." Dalillah mendekatkan wajahnya ke telinga Mark.

"Aku bukan mereka." Mark melirik heran dengan pernyataan Dalillah. "Aku bukan mereka, dan tidak mau seperti mereka. Jadi, jangan pernah menyamakan aku dengan wanita-wanita yang pernah kamu layani dengan kencan ala Mark si play boy atau Mark  Si tukang sosor." Mark menarik Dallilah mendekat dengan dirinya. Mark memeluk gadis unik yang dia miliki sekarang.

"Menarik juga pemikiran gadis manis di depanku ini. Kamu maunya seperti apa?" Dalillah membalas pelukan Mark dan melingkarkan kedua tangannya di pinggang kekasihnya.

"Aku hanya mau kesederhanaan dalam hubungan kita."

"Bisa diperjelas maksud dari kata-kata itu?" Mark semakin mendekatkan wajahnya, bibir mereka hanya berjarak beberapa inci, hampir bersetuhan, tapi tidak satu pun dari mereka yang ingin memulai berciuman.

"Kesederhanaan itu lambang tertinggi kepuasan batin seseorang dan juga keihklasan dalam menerima sesuatu." Mark semakin terpesona karena Dalillah memberikan jeda berbicara dengan menggigit bibirnya sendiri. Rasanya Mark ingin mengeklaim Dalillah miliknya selamanya..

"Kita bisa duduk di taman atau berbincang di dalam mobil sambil menikmati jajanan jalanan murah meriah," usul Dalilah yang membuat Mark menyentuh ujung hidung mereka.

"Aku masih cukup mampu untuk membelikanmu makanan mahal, Manis. Atau begini saja?  mau aku belikan sebuah restoran untuk kita berkencan?" Dalillah menggeleng dan memainkan hidungnya membuat hidung keduanya semakin dekat.

"Sombong," cibir Dalillah kesal. "Papaku bisa membeli hotel," tambah Dalillah sengaja. Lalu mereka tertawa.

"Jadi kamu maunya apa?"

"Kamu belum mengenal diriku berarti, Tuan Montir. Aku tidak butuh materi dengan segala kuantitasnya yang berlimpah. Bagiku, kualitas hubungan berpusat dari komunikasi."

"Di restoran juga kita bisa berkomunikasi." Mark menyentuh sekilas bibir manis Dalillah. Pandai sekali bibir ini membuat hati Mark penasaran.

"Dan hal itu yang sering kamu lakukan dengan mantan-mantanmu sebelumnya. Sudah aku bilang, aku bukan mereka dan tidak akan pernah mau menjadi bagian sama seperti mereka. Aku berbeda." Pertahanan Mark runtuh akhirnya, Mark melumat mesra bibir Dalillah. "Iya, kamu berbeda manis. Karena kamu mempunyai sejarah denganku. Kamu ciuman pertamaku."

"Pastinya," jawab Dalillah bangga. Betapa cantik wanita ini dengan sifat keluguan yang justru memperlihatkan kematangan dan pribadi menarik. Mark menatap lekat kekasih barunya dengan senyuman.

"Ayo, kita cari makanan di jalanan." Mark menaik turunkan kedua jari telunjuknya saat mengucapkan kata jalanan.

"Oh, iya, apa kita akan berterus terang dengan keluarga kita?" Sejenak Dalillah diam memikirkan keluarganya. Terlebih Oma dan sang kakak. Apa yang akan terjadi jika mereka tidak setuju. Dalillah masih enggan berpikir jauh. Toh, ini baru dimulai, dia masih tidak mau berpikir yang memberatkan hatinya.

"Nanti saja kita bicarakan itu, Mark, aku mau senang-senang dulu." Dalillah menarik tangan Mark untuk segera pergi. "Terserah maumu, Manis." Mereka berpelukan berjalan menuju tempat Mark memarkir mobilnya.

"Mark." Dalilah dan Mark dikejutkan dengan kehadiran wanita cantik yang sedang bersandar di depan mobil milik Mark.

"Kimberly?" Mark tersenyum santai menghampiri Kimberly sambil menggenggam tangan Dalillah.

"Kim, kenalkan ini kekasihku, Dalillah.." Kimberly melirik sinis menatap gadis yang digandeng Mark, begitu pun dengan Dalillah, dia memang sudah tidak menyukai Kimberly diawal mereka bertemu.

"Hai, aku Kimberly, kamu bisa panggil aku Kim.." Wanita seksi itu tersenyum palsu, Dalillah sangat tahu itu.

"Dalillah,"jawab Dalilah datar.

"Kamu mau kemana,Mark? Baru saja ingin meminta pendapat tentang mobilku," manja Kim yang dengan sengaja membelai dada Mark dengan tangannya.

Puk... Dalillah menepuk tangan Kimberly dan menepisnya dengan santai tanpa rasa bersalah.

"Oups, tadi ada nyamuk." Wajah santai Dalillah sangat menggoda Mark. "Kalau mau membahas urusan mobil, tuh, di dalam banyak montir. Sekarang kami mau kencan. Permisi. Ayo, Sayang, kita pergi." Dalillah mendorong tubuh Kimberly dan segera masuk ke mobil disusul Mark yang tak kuasa menahan tawa. Melihat tingkah Dalillah yang cuek tapi terkesan cemburu.

"Wow, aku punya ternyata galak juga, ya," goda Mark ketika sudah mengemudikan mobilnya, meninggalkan Kimberly yang hanya mematung menatap mobil itu pergi menjauh.

"Kenapa kamu, enggak suka? Balik aja sana, ketemu si seksi itu!" ketus Dalilah tanpa sadar.

"Kim itu cuma pelanggan setia bengkel kami. Aku bersikap sopan, karena kami selalu bertemu di bengkel, masa aku cemberutin."

"Tapi enggak perlu cengar-cengir kelebihan." Dalillah tetap cemberut. Mark mencubit pipi Dalillah. "Unyu-unyu lagi marah.." Perlahan senyum Dalillah kembali seperti sebelumnya, untuk apa marah jika nanti Kimberly yang beruntung, pemikiran Dalilah mampu mengalahkan rasa cemburu sesaat.

"Aku lapar, Mark." Mark hanya geleng-geleng kepala dengan kekasih barunya yang sungguh sangat berbeda dengan wanita-wanita yang sebelumnya dekat dengan dirinya. Tidak perlu menutupi kebiasaan. Wanita biasanya paling bisa bermuka dua jika sedang berkencan. Tidak alami seperti Dalillah.

"Kamu mau makan apa?"

"Berenti di taman situ aja. Aku mau makan bubur ayam, terus makan somai, kalau ada.." Mark terkekeh geli, lagi-lagi wanita ini berbeda. Dia mengangguk setuju dan berhenti di sebuah taman.

"Mana enggak ada yang jual bubur di sini, Manis?" Dalillah melihat ke kanan kiri dan menatap arah jarum jam. "Biasanya jam segini sudah lewat dan buka di sebelah situ. Kalau aku pulang ke Indonesia, kami suka reuni di sana. Tunggu, please, Mark, aku lagi rindu mau makan bubur ayam bapak itu," rengek Dalillah manja. Mark mengangguk dan mengelus rambut Dalilah.

Keserhanaan Dalillah yang mampu menyentuh hati Mark. Berbeda dengan yang lain.

***

Di rumah saudara Rachel.

"Chel, kamu makan banyak banget lagi kenapa, sih?" Zahara sepupu dari Rachel sedikit heran melihat gerak-gerik Rachel yang sedang makan malam bak pengungsi yang tidak makan sebulan lamanya.

"Enggak apa-apa, Mbak, aku mau tambah energi."

"Kenapa lagi, kamu belum bisa dapetin My Hero?" Rachel menggelengkan kepala sambil mengunyah makanan yang penuh di mulutnya.

"Jangan terlalu berharap juga, Chel. Pria semakin ditekan, egonya semakin bermain. Nanti malah dia yang menjauh dan kamu sendiri yang akan sakit hati, Sayang," nasihat Zahara begitu didengarkan oleh Rachel.

"Mbak cuma takut kamu bertepuk sebelah tangan, walaupun dari cerita kamu, Satria itu sepertinya pria yang sangat hati-hati, tapi tetap saja dia tidak tegas."

"Aku harus mampu menghilangkan rasa belum siap dalam dirinya." Lagi-lagi Rachel mengunyah makanan dengan buru-buru.

"Pelan-pelan.."

Ting Tong..

"Bi, tolong lihat ada tamu sepertinya."

Zahara masih tetap menatap geli kelakuan saudara tersayangnya. Semangat Rachel berkobar api, berjuang demi cinta. Dia jadi ingat, pernah seperti Rachel saat berjuang mempertahankan cinta sejatinya.

"Malam, Mbak Zaraaa.." Leo dan Marsha tiba-tiba hadir di ruang makan dengan wajah berbunga-bunga. Berbeda saat Rachel datang beberapa waktu sebelum mereka. Rachel datang dengan wajah muram dan kecewa.

"Hei, kalian sudah lama enggak main ke rumah." Zahara memeluk satu persatu tamu yang selalu datang setiap bulannya untuk sekadar berbincang dan bercerita.

"Achel, lagi di sini juga?" Marsha duduk di samping Rachel dan menyenggol lengan Rachel.

"Iya, aku mau menginap di sini. Suami Mbak Zara lagi di luar kota." Rachel tetap sibuk mengunyah makanan.

"Kami juga mau numpang makan, boleh Mbak?" Leo langsung duduk dan mengambil piring dan langsung menyantap makanan tanpa ditawarkan. Melihat Rachel, sepertinya memancing nafsu makan Leo meningkat. Cara Rachel terlihat seru.

Rumah Zahara memang selalu terbuka untuk kedua sepupunya dan juga si kembar. Mereka besar bersama, walaupun Zahara lebih tua di antara mereka.

"Kirain kalian lebih milih makan di restoran, daripada ke sini?"

"Bosen makan di luar. Alvina udah tidur?" Zahara mengangguk. Alvina putri Mbak Zahara.

"Hmm, sepertinya aku ketinggalan berita, ya? Wajah kalian kenapa berseri, cerah. Berbeda sama itu, tuh, pengungsi yang enggak makan sebulan." Zahara menunjuk Rachel yang sedang menikmati dunianya sendiri, menambah energi. Marsha melirik Rachel bingung. "Kamu kenapa, Chel?"

"Enggak apa-apa, Sha. Oh iya, udah baikkan ini ceritanya sama Abang?" kilah Rachel agar tidak menyelidiki dirinya.

Marsha merona merah ditanya hal itu. "Sudah Abang borgol, enggak bisa kabur lagi, Dek," jawab Leo tegas.

Rachel menatap dua manusia yang sejak sampai di kediaman Zahara mengumbar senyum bahagia tanpa henti. "Maksudnya, Bang?"

"Abang sudah sepakat sama Dalillah untuk memberi tahu Oma, kami menolak dijodohkan. Lagipula, Dalilah maunya sama Mark." Rachel menggebrak meja makan dan membuat kaget ketiga orang di sampingnya. "SERIUS?"

"Aduh, Chel, mirip preman pasar. Untung tidak terbelah mejanya." Marsha menggoda Rachel.

"So-ri, sori, aku cuma kaget aja.." Rachel lalu menyeringai bahagia.

Berarti dirinya dan Satria masih ada harapan?

"Ah, Marsha, seharunya sejak kemarin baikannya sama Abang. Kan, aku jadi enggak kena imbas. Selamat, ya." Rachel memeluk erat Marsha bahagia.

"Kena imbas apa, Dek?" selidik Leo curiga.

"Enggak ada apa-apa. Sudah, ya, aku mau tidur. Setelah kenyang, ngantuk pun tiba..Bye." Rachel segera meneguk air mineral, lalu meninggalkan ruang makan dengan riang. Energinya telah terisi, ditambah ada berita yang membuat hatinya lega. Semangat lagi berjuang mendapatkan ibu tiri menggemaskan. Oups, salah. Mendapatkan My Hero.

"Dasar gila tuh anak, Rachel lagi ada masalah, ya?" Leo masih tetap curiga.

"Masih bisa diatasi, kamu tenang saja. Lebih baik, kamu pikirkan kata-kata kamu, untuk Om Rama. Jelaskan niat untuk segera melamar Marsha," candaan Zahara membuat Marsha memikirkan jika itu benar terjadi, apa yang akan dia lakukan.

"Mbak aku belum mau buru-buru, kami masih pendekatan," jawab Marsha malu.

"Ampun, pendekatan saja sampai seperempat abad. Wah, nikahnya keburu diselak Alvina, deh." Leo mencebik. Setuju dengan sindirian Mbak Zahara. Marsha terlalu lambat merespon niat seriusnya.

"Pelan-pelan, Mbak." Marsha memberikan alasan.

"No, tenang saja secepatnya, aku akan melamar dia,sama Daddy. Kalau masih enggak mau, aku seret ke KUA." Marsha melirik sebal wajah Leo yang menggoda dirinya.

"Dasar tukang paksa," cibir Marsha.

"Tukang paksa, tapi suka, kan, kamu, Sha? Adik Mbak yang satu ini paling baik. Dia mencintai kamu. Jangan sia-siakan, sebelum kamu menyesal nantinya."

Kisah cinta Leo dan Marsha memang menjadi misteri tersendiri di antara mereka yang mengenal dua insan tersebut. Hubungan mereka ditutup rapat dengan sangat rapi, hingga mereka pernah berpisah punc tidak ada yang menduga. Tetapi kali ini, mereka berjanji untuk membuka lembaran baru lagi, untuk meraih masa depan bersama-sama.

"Abang, besok pagi jemput aku ke sini, ya! Aku mau lihat mobil di bengkel Mark," teriakan Rachel terdengar jelas dari lantai atas rumah Zahara.

"Mbak serius, nih. Aku curiga Achel sedang kasmaran. Apa dia cerita tentang Satria?" Zahara mengangguk. Sudah Leo duga.

"Iya, dia cerita. Untuk sementara, Mbak rasa dia mampu mengatasi masalah mereka berdua. Kita jangan ikut campur dulu."

"Apa aku perlu bicara dengan Satria? Karena dia tidak tahu aku dan Dalillah membatalkan perjodohan ini. Selain itu, sifat Satria yang anti berhubungan yang membuat aku khawatir Rachel patah hati."

"Anti berhubungan?" Zahara tampak terkejut dengan info baru yang dia dapatkan.

"Satria itu punya prinsip yang kuat jika berhubungan dengan jalinan asmara. Berbeda dengan Rachel yang mudah terpesona."

"Tapi menurutku mereka sama-sama suka, Le. Kamu tenang saja. Aku mulai curiga, karena Satria menatap Rachel itu berbeda. Aku harap Satria segera sadar. Walaupun aku yakin, Achel akan sekuat tenaga menyadarkan si pria kaku itu.." Ada rasa lega dalam diri Zahara. Kali ini Rachel benar-benar terhanyut terlalu jauh dengan Satria.

"Baguslah, tapi kalian pantau, Achel, ya! Karena emosi Achel sangat berpengaruh." Leo dan Marsha menganguk.

"Besok kami ke sini lagi, jemput Rachel." Leo memang akan selalu menjaga sang adik. Sebisa mungkin dia akan membuat Rachel bahagia, menemukan kebahagiaan.

Walau dia tahu sosok yang sedang disukai adiknya adalah pria kaku seperti Satria.

Perasaan, siapa yang bisa memaksa.

***

Di rumah Satria.

Sementara sipria kaku tersebut sedang meratapi kebodohan yang baru diperbuatnya, beberapa jam yang lalu. Satria berjalan lurus menuju rumah dengan perasaan kacau, serba salah dan bingung.

Entah apa yang baru dia putuskan dengan Rachel sungguh membuat bingung. Salahkah prinsipnya yang harus berhati-hati dalam mengambil keputusan, terlebih urusan asmara?

Karena jika dia telah memutuskan rasa itu, dengan sekuat tenaga dia akan berusaha, tetapi bukankah ini terlalu cepat?

Disaat seperti ini, hanya satu yang selalu Satria cari. Sandaran hatinya dan jalan menuju pintu surganya, sang Mama tercinta.

"Ma.." Satria langsung menghampiri Rahma yang sedang duduk sendiri menonton televisi di ruang keluarga Sarha.

"Kamu sudah pulang, sudah makan?" Satria menggeleng, langsung duduk dan merebahkan kepalanya di pangkuan Rahma. Tempat yang mampu membuat hatinya tenang. Dia tidak memedulikan usianya saat ini, bertingkah manja dengan orangtuanya. Hal penting baginya sekarang hanya satu, mendapatkan ketenangan dari sentuhan surga yang dia miliki.

"Aku enggak lapar, Ma," jawab Satria lesu, Rahma membelai rambut hitam tebal putranya dengan sayang. Dia tahu putranya sedang mempunyai masalah.

"Ma, apa rasa suka itu bisa datang secepat kilat? Bukankah rasa itu harus kita pastikan dulu, agar kita tidak menyesal?" Rahma tertawa mendengar perkataan Satria.

"Kamu memang anak seorang Abraham Sarha.." Satria melirik kesal karena pertanyaannya tidak dijawab dengan benar oleh sang mama.

"Sayang, kepastian itu tidak harus selalu memakan waktu yang lama. Jika kamu sudah yakin, untuk apa kamu terus mencari kepastian yang kadang membuat pikiran kamu semakin bercabang." Satria mendengarkan. Tapi Rachel terlalu mendominasi, gadis itu terlampau agresif. Dan Satria sedikit canggung. Mampu mengacaukan semedi ala Satria dalam mengambil keputusan. Isi hati Satria mencari pembenaran akan keputusannya.

"Mama yakin Rachel cocok sama kamu. Karena Mama sudah suka sama dia dari awal," bisik Rahma menggoda.

"Mama tahu hubungan aku sama Rachel?" Rahma mengangguk dan terus membelai rambut putranya dengan sayang. Bahkan sempat menarik pelan telinga Satria.

"Hei, mata kalian itu menjelaskan. Terlihat kalian tertarik satu sama lain. Mama melihat kamu lepas berinteraksi dengan dia. Apalagi, kamu dengan mudahnya memanggil dia Si pendek." Rahman menjewer kembali telinga Satria yang sedang tertawa.

"Dia memang pendek, Ma."

Rahma geleng-geleng kepala.

"Tapi aku masih belum yakin, Ma. Apa rasa ini, hanya sesaat, atau memang aku sedang jatuh cinta." Wajah Satria seperti bingung mencari jawaban. Rahma tertawa dia memang seperti Ibra, suaminya.

"Kamu mau dengar rahasia yang selama ini tidak pernah terbongkar?" Satria menatap heran wajah sang Mama. "Apa?"

"Mudah-mudahan kamu semakin yakin, jika Mama kasih tahu ini."

"Apa, Ma? Jangan membuat aku penasaran." Satria semakin bingung.

"Mama ingat saat itu kita sedang menyusul keluarga Om Biyan dan Om Rama berlibur di vila kita di Lombok. Waktu itu kita mau pamitan sama mereka, mau segera pindah keluar negeri." Satria mendengarkan sambil mengerutkan dahinya.

"Terus, Ma?"

"Beneran kamu enggak ingat, Sayang?" goda Rahma membuat Satria salah tingkah.

"Kamu sudah tertarik dengan Rachel itu dari kecil," goda Rahma membuat Satria tambah berpikir.

"Maksud, Mama?"

Rahma menepuk bibir Satria dengan jari telunjuk, sebagai petunjuk jika dia tahu sebuah rahasia. "Jangan pura-pura!"

"Aku enggak tahu, Ma?"

"Memangnya Mama tidak tahu, saat itu kamu menghabiskan waktu dengan duduk terus di kasur menatap balita berumur satu tahun yang tertidur mengenakan kostum kelinci." Satria berusaha mengingat kejadian masa kecilnya.

"Kamu sampai tidak mau bermain di pantai dan tidak menjaga Dalillah yang bermain dengan Mark dan yang lainnya." Satria berusaha mengingat terus kejadian masa kecilnya. Lalu mata itu melebar kaget.

"Jadi si rabbit itu Rachel, Ma?" Rahma mengangguk dengan keterkejutan putranya.

"Dari awal kamu memang sudah terpesona dengan tingkah lucu Rachel saat masih balita. Kamu bahkan lebih memilih tidur siang di samping Rachel daripada menjaga Dalillah." Satria tersenyum jika mengingat hal itu. Walaupun dia hampir lupa kejadian dulu, saat itu dia masih berumur enam tahun dan Rachel sudah setahun. Balita cantik yang menggemaskan, batin Satria. Akhirnya dia mengingat masa kecilnya.

"Mama juga tahu kamu mencuri ciuman pertama Rachel, saat dia sedang tidur di samping kamu." Wajah Satria memerah dan memeluk erat perut sang Mama.

Sekilas ingatan nakal itu melayang di isi kepala Satria.

Rasanya Satria ingin masuk kembali ke dalam perut sang Mama karena menahan malu. Malu karena rahasia yang selama ini dia pendam, diketaui oleh orang lain. Tindakan tanpa pikir itu memang selalu disembunyikan Satria. Bahkan kalau bisa, seumur hidup tak terbongkar.

"Waktu itu aku gemas dengan kostum rabbit, Ma," bela Satria akhirnya mau mengakui.

"Tetapi, sumpah, aku baru sadar ternyata balita cantik itu adalah Rachel. Ma, jangan sampai ada yang tahu, ya! Aku rasa, itu masa lalu yang tidak terlalu penting dibicarakan," mohon Satria dengan wajah malu.

"Mama bisa diam, tapi foto yang diabadikan Tante Livi, bukan Mama yang simpan." Satria semakin memeluk erat dan menelusup di perut Rahma. Kenapa ada pihak lain lagi yang tahu kenalan kecilnya dulu. No, no, no.

"Hanya Mama dan Tante Livi yang tahu. Kamu tenang saja." Rahma tertawa geli. Akhirnya dia memberitahukan rahasia putranya, yang juga mencuri ciuman anak perempuan di masa kecilnya.

"Tahu apa, Ma?" Dalillah datang dengan wajah heran menatap sang kakak manja dengan mamanya seperti itu. Satria langsung duduk dan melihat jam di dinding ruangan tersebut.

"Jam berapa ini, kamu baru pulang?" Dan ibu tiri jadi-jadian pun kembali tersadar dari rasa malunya.

"Aduh, Kakak, lagi dapat, ya? Marah-marah saja kerjaannya. Ma, Oma, mana?" Dalillah duduk di samping sang Mama, tidak menghiraukan sindiran ketus sang Kakak.

"Lagi pergi, sama Opa dan Papa. Kenapa?" Rahma membelai pipi putri cantiknya.

Dalillah siam sejenak, melirik Satria sekilas, lalu kembali menatap Rahma lekat.

"Tadi, aku udah sepakat sama Leo untuk membatalkan perjodohan kami." Rahma mendengarkan, sedangkan Satria tampak kaget.

"APA?" Dalillah menutup telinganya.

"Berisik banget, Kakak." Dalillah kembali menatap sang Mama.

"Kami sepakat, daripada Oma-oma itu tambah membuat masalah jadi ruwet, lebih baik kami jujur." Rahma mengangguk setuju dan memeluk erat putrinya. Senang karena putrinya bisa mengambil keputusan benar. Tidak memperpanjang masalah.

"Putri Mama sudah dewasa sekarang." Dalillah memeluk erat dan mengangguk lega.

"Lagipula, Leo dan Marsha memang serasi. Akan sangat jahat jika aku memisahkan mereka yang jatuh cinta satu sama lain." Satria terdiam mendengar berita itu. Apakah ini pertanda dia bisa bersatu dengan Rachel? Satria menggeleng. Masih belum bisa dia pastikan.

"Sama, ada satu pasangan lagi, sih, yang menurut aku kurang serasi tapi, ya, dicocok-cocokin saja. Daripada marah."

Satria menaikkan alisnya bingung dengan kata-kata Dalillah yang membingungkan. "Siapa maksud kamu?" lirik Satria.

"Ya, siapa lagi kalau bukan Kakak sama Rachel yang hobi main petak umpet sama kita." Dalillah kabur secepat kilat, sebelum kemarahan sang Kakak merusak harinya yang sedang bahagia.

"Lilah.." Satria jengkel dengan godaan sang adik dan hendak menyusul.

"Satria, ingat jangan terlalu banyak berpikir! Sweety Rabbit kamu itu sudah lulus menjadi calon menantu Mama dan Papa. Kami menunggu kamu melamar dia, secepatnya." Satria hanya mengangguk dan segera pergi ke kamar untuk beristirahat, berpikir tenang mengambil keputusan.

Jadi sweety rabbit dulu adalah Rachel? Aku yang mencuri ciuman pertama Rachel..

***

Salam Ruwet
Mounalizza

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro