12 - Bumil Manja
Di ruang keluarga rumah Satria.
"Malam semua." Satria menghampiri para orang tua yang sedang bersantai sehabis makan malam. Ada Opa dan Oma jugaZ
"Cucu Oma baru pulang?"
"Kamu semakin gagah saja, Satria. Opa jadi ingat masa muda dulu." Satria duduk di samping sang opa, Fatah Sarha.
"Kamu sudah makan, Nak?"
"Sudah Oma, aku makan di luar." Wajah Satria terlihat berbunga-bunga. Jelas hatinya sedang bahagia, hampir setengah harinya dihabiskan berdua bersama Rachel Arga Rahadi. Mereka pergi layaknya pasangan kasmaran dimabuk cinta, menonton dan makan malam bersama. Lagi-lagi lakon sepasang kekasih mereka lakukan. Satria diiringi sedikit rasa egoisnya, memang selalu menang.
"Kamu lagi kenapa, Sat? Wajahnya cerah sekali?" batin Rahma sangat tahu jika hati sang putra berbeda. Terlebih Satria adalah jenis pria yang mudah diterawang isi hatinya. Emosi Satria sangat mudah terbaca dan dilihat dari wajah dan perbuatannya.
"Seperi biasa, aku baik-baik saja, Ma" Satria tersenyum. Batin Rahma berharap putranya menemukan tambatan hati yang mampu menaklukan dirinya dari sikap kaku dengan wanita.
Rahma memang sedikit khawatir akan sifat kaku putranya, jika berhubungan dengan wanita. Satria terlalu menutup diri, entah hanya perasaanya, atau tidak dia merasa akhir-akhir ini putranya sedikit berubah. Satria jadi lebih santai dan tidak kaku.
"Dalillah belum pulang, Ma?" lagi-lagi batin Rahma tertawa, putranya tetap menjadi ibu tiri untuk Dalillah setiap waktu.
"Aku di sini. Oma, Opa." Dalillah datang dengan wajah yang lebih berbunga dari sang kakak. Dengan manjanya, dia memeluk Fatah Sarha dan berusaha mengambil alih tempat duduk sang kakak di samping Fatah Sarha.
"Datang-datang main gusur tempat orang. Dari mana saja kamu?" ketus Satria yang segera berpindah ke sofa di samping Rahma.
"Aku rindu, Opa." Dalilah memeluk erat sang kakek.
"Opa juga kangen sama cucu perempuan Opa yang semakin cantik." Fatah membalas pelukan sang cucu dengan sayang.
"Hmm, sama Oma, enggak?"
"Sayang juga, Oma." Dalillah mengedipkan matanya.
"Kebetulan semua sudah kumpul, Mama mau berbicara." Nadira tak mau berlama-lama sepertinya.
"Oma kemarin sudah berbicara dengan Tiara dan Hani. Mengenai perjodohan Dalillah dan Leo. Secepatnya akan dilanjutkan dengan pertunangan. Agar hubungan kalian lebih serius dan terikat." Seketika wajah Dalillah dan Satria berubah. Keduanya terhanyut pikiran masing-masing, Rahma menatap wajah Satria yang paling berbeda.
"Oma kenapa terburu-buru? Aku, kan, belum bilang setuju sama Leo. Kami masih pendekatan," rajuk Dalillah manja, dia sudah mulai paham jika berhadapan dengan Nadira Sarha bukan penolakan keras yang harus didahulukan, karena itu akan semakin membuat sang oma bersikeras dengan keinginannya.
"Pendekatan bisa dilakukan sambil berjalan, Sayang," rayu Nadira Sarha penuh penekanan.
"Mama, biarkan Dalillah dan Leo yang memutuskan. Ini urusan perasaan, Ma." Ibra sadar jika sang anak sepertinya tidak menyukai ide perjodohan dipercepat.
"Opa tidak masalah siapa yang lebih dulu menikah antara Satria atau Dalillah, yang lebih dulu. Opa mau melihat kalian bahagia." Fatah mencubit hidung cucu perempuannya dengan sayang.
"Pokoknya, Oma tidak mau tahu secepatnya kalian membuat keputusan. Disuruh menikah, kenapa susah sekali," tegas Nadira.
"Iya, Oma, " jawab Dalillah lirih. Sementara Satria, hanya diam dan lebih memilih tidak bersuara. Banyak pertimbangan jika dia terlalu lengah bermain perasaan dengan Rachel. Leo dan Dalillah sepertinya lebih baik maju.
"Sebaiknya kamu cepat memberikan keputusan dengan Leo! Papa enggak mau gara-gara ini, hubungan keluarga kita dengan mereka menjadi renggang," tegas Ibra menatap Dalillah. Rahma yang sedari tadi menatap Satria terlihat khawatir. Bukan hanya Dalillah ternyata yang tak suka ide perjodohan ini.
"Aku naik ke atas dulu semua." Satria pamit tanpa menatap yang lain, diikuti Dalillah. "Aku juga."
"Ingat Dalilah yang Oma bicarakan!" tanya sekali lagi Nadira Sarha. "Iya, Oma," jawab Dalillah lirih dan segera menghilang dari ruang keluarga Sarha.
Ibra menatap kedua anaknya dalam diam, dia lalu berbisik dengan istrinya. "Cari tahu ada apa dengan mereka!" Rahma mengangguk dan segera pergi menyusul kedua anaknya.
Hal yang pertama dilakukan Rahma adalah menemui putrinya. Saat dia membuka pintu kamar putrinya, terlihat Dalillah sedang duduk bersandar di tepi ranjang dengan wajah muram.
"Boleh Mama masuk, Sayang?" Dalillah mengangguk dan tersenyum, dia memang butuh sang mama disaat seperti ini. Rahma duduk di hadapan Dalillah yang terlihat menahan air mata.
"Kalau kamu tidak setuju dengan perjodohan ini, sebaiknya katakan sejujurnya. Semakin lama kamu menggantungkan hubungan ini, akan berdampak ke hubungan dua keluarga. Kamu paham, kan, Sayang?" Dalillah mengangguk dan meneteskan air mata. Rahma memeluk putrinya.
"Aku takut, jika aku menolak, akan datang lagi calon-calon yang lain. Mama tahu sendiri sifat Oma seperti apa. Itulah kenapa aku dan Leo sengaja menerima perjodohan ini." Kejujuran Dalillah membuat Rahma geleng-geleng kepala.
"Mama dan Papa berada di sampingmu, Sayang. Sekarang bukan zaman pemaksaan. Mama juga pernah muda, tahu rasanya jatuh cinta itu seperti apa," ucap Rahma dengan lembut menenangkan hati putrinya.
"Mama mau tanya sekarang. Jika kamu dan Leo batal apa kamu sakit hati?" Dalillah menggeleng.
"Apa ada pria lain di hati kamu?" Dalillah tersenyum. Haruskah dia berkata jujur, jika hari ini dirinya dan Mark baru saja sah menjasi sepadang kekasih?
"Mama boleh tahu siapa?" Dalillah menggeleng malu, dia bagai anak kecil tertangkap basah.
"Ya sudah, artinya Mama tahu kamu sedang berusaha. Kapan pun kamu mau berbagi, Mama selalu ada untuk mendengarkan kamu berbicara. Jangan kamu pendam rasa itu." Rahma mengecup sayang kedua pipi putri cantiknya.
"Iya, Ma, doakan aku."
"Apa Mama kenal dengan dia?" Semburat merah muncul di wajah cantiknya. Rahma terkikik geli. Dalillah seperti dirinya saat jatuh cinta.
"Baiklah, kalau kamu masih belum siap jujur. Sekarang Mama mau bertanya tentang kakakmu. Apa dia punya hubungan spesial dengan Rachel?" selidik Rahma. Dalillah tersenyum.
"Iya, Ma, aku memang sudah curiga dengan sikap mereka. Terlebih dengan tingkah Kakak jika aku menggoda akan mencarikan Achel pria." Rahma terkejut dengan kecurigaannya yang ternyata benar.
"Apa mereka sudah berpacaran?" Dalillah menggeleng.
"Sepertinya belum, Ma. Tapi perubahan Kakak akhir-akhir ini, pasti berhubungan dengan Rachel," jelas Dalilah sambil memasang wajah penasaran.
"Dari mana kamu tahu? Kakakmu saja sangat tertutup dalam semua urusannya. Dia kan pria kaku."
"Mama tadi tidak merasa curiga? Aroma Rachel jelas menempel di baju Kakak, Ma. Aku tahu itu parfum Rachel. Apalagi tadi pagi saat mereka berusaha menutupi hubungannya. Mereka terlalu bodoh menutupi gelagat mencurigakan." Rahma mengangguk setuju.
"Iya, kamu benar, Lil."
"Ma, kenapa tidak Kakak saja yang dijodohkan dengan Rachel? Jelas-jelas mereka terlihat suka sama suka, walaupun aku sedikit kasihan dengan Achel. Sial sekali memiliki suami kaku seperti Kakak." Rahma berpikir sejenak, dia tahu tatapan putranya dengan Rachel berbeda.
"Biar Kakakmu sendiri yang memutuskan, dia seorang pria."
"Ma, janji bantu aku berbicara dengan Oma?" Dalillah memeluk Rahma sekuat tenaga.
"Iya, sekarang jangan ganggu Mama, ya! Mama mau ke kamar Kakakmu." Dalilah terkikik geli, seolah paham dia ingin menggoda sang kakak.
"Iya, Mama." Rahma pun pergi meninggalkan kamar putrinya dan beranjak ke kamar milik putranya yang mempunyai sifat unik dengan lawan jenisnya.
"Boleh Mama masuk?" Satria sedang menelungkup di tengah ranjang dengan posisi menghadap pintu masuk kamarnya. Dia lalu duduk dan mempersilahkan masuk sang mama.
"Iya, Ma." Rahma berjalan dan duduk di tepi depan tempat tidur. Menatap tampilan putranya yang sedikit berantakan. Jasnya sudah tidak dipakai, kemejanya sudah terlihat kusut, begitu juga dengan tatanan rambutnya.
Batin Rahma sejenak tertawa melihat keadaan Satria yang seperti mengidap virus cinta. Putranya normal. Oh, Satria mirip suaminya, batin Rahma tertawa.
"Ada apa, Ma?" tanya Satria datar. Sejujurnya dia sedang malas berbicara.
"Kamu kenapa, Sayang? Mama merasa kamu sedang menutupi sesuatu? Cerita sama Mama. Tidak baik sembunyi sendiri, apalagi kalau kamu menutupi kebahagiaan," rayu Rahma lembut. Satria menggeleng.
"Enggak ada yang perlu diceritain, Ma. Sudah terlambat," jawaban lesu Satria membuat Rahma semakin yakin, Rachel yang telah masuk mengganggu hati putranya.
"Kenapa terlambat?" selidik Rahma, Satria hanya diam tidak menjawab. Rahma sangat hafal sifat putranya, selalu memikul permasalahannya sendiri, seolah dia mampu tanpa bantuan orang sekitar.
"Ya sudah, kalau masih belum bisa cerita dengan Mama. Kamu tahu kisah cinta Mama dan Papa?" Satria menggeleng lelah.
"Dulu, Mama pernah menderita karena menahan rasa cinta dengan Papamu. Sungguh, saat itu adalah masa dimana Mama sangat menderita. Harus berperang dengan batin sendiri, begitu juga dengan Papamu. Akhirnya kami berdua sama-sama tersakiti dan saling menyakiti. Tapi kami akhirnya menyerah, dengan saling jujur satu sama lain. Itu jadi bagian indah yang pernah hadir di rumah tangga kami berdua. Kamu sendiri tahu, kan, Mama ini istri kedua Papamu?" Satria diam mendengarkan. Dia juga sudah tahu, jika sang Mama adalah istri kedua, tetapi kisahnya seperti apa Satria tidak tahu.
"Karena itu, Mama tidak mau kalian mengalami hal seperti itu. Jujurlah, sebelum kamu menyesal. Lagi pula, bukankah kamu menjunjung tinggi kejujuran dan sangat anti kebohongan?" Rahma beranjak berdiri dan membuka pintu kamar, sebelum keluar dia menoleh menatap wajah kusut putranya dengan senyuman.
"Sat, Mama suka sama dia, apalagi dia sudah bisa menguasai dapur Mama dengan lihai. Dan yang paling penting, dia mampu masuk ke hati kamu yang sangat dingin dan kaku." Satria terlihat kaget dengan pernyataan abu-abu sang Mama. Sepertinya 'dia' merujuk pada gadis pendek yang tak pernah lelah berjuang masuk ke isi kepalanya. Bahkan dengan sok tahunya berani masuk ke dalam mimpi Satria. Ranah paling pribadi, dengan adegan dewasa yang belum diperbolehkan dilakukan Satria oleh Rachel. Belum sah.
Satria kembali gelisah. "Susah sekali mengubur kamu, Pendek," keluh Satria sendiri. "Tidak, ini harus segera diselesaikan." Satria mengambil ponselnya, dan akan menyelesaikan urusannya dengan Rachel.
•Satria : Besok siang kita bertemu di kafe kamu pernah menampar wajahku.
•Mini Rachel : Siap, My hero.
Satria diam menatap wajah picture id Rachel dari ponselnya. Senyuman yang mampu meluluhkan hati dingin Satria. Mampu menemani tidur Satria dengan mimpi yang indah.
***
Pagi, di rumah keluarga Leo.
"Leo, pendekatan kamu dengan Dalillah ada perkembangan? Oma rasa sudah cukup ditahap ini, sekarang saatnya lebih serius." Tiara langsung bertanya tanpa basa-basi, saat mereka sedang sarapan pagi. Hanya ada Leo, Sarah.
"Maaf, Oma, sepertinya aku merasa kami sama-sama belum cocok. Aku dan Dalillah sepakat berteman saja." Leo berbicara pelan.
"Apa? Tidak bisa, kami sudah berjanji akan menikahkan cucu-cucu kami. Kamu tidak bisa membatalkan semudah ini, Leo."
"Oma kenapa tidak menjodohkan Rachel saja? Oma memang tidak tahu, Satria putra pertama Om Ibra dekat dengan Rachel?" Tiara berpikir sejenak.
"Tidak bisa, yang harus menikah duluan itu kamu, Leo. Kamu anak pertama. Lagi pula, Rachel belum dua puluh lima tahun," bantah Tiara.
"Mama menikah dengan Papa, delapan belas tahun, Oma. Ya, kan, Ma?" Rachel datang tiba-tiba dan ikut berbicara, apalagi dia mendengar namanya disangkut paut kan. Sarah memilih mengangguk. Kasihan juga kalau dipaksa tanpa melihat situasi.
"Iya, Ma, sepertinya Leo tidak suka dengan Dalillah." Sarah berusaha membantu Leo.
"Tapi tidak bisa, Sar, Mama dan Hani sudah berjanji, Leo yang jadi perwakilan keluarga kita." Rachel mendekati Tiara.
"Oma, aku kan juga cucu Oma. Lagi pula yang dekat dengan anak Om Ibra itu aku. Kakak punya princess sendiri,"" rayu Rachel tanpa malu.
"Pokoknya untuk sekarang ini calon dari keluarga kita masih Leo. Apalagi tidak ada omongan cucu laki-lakinya Nadira yang akan menikah. Kamu perempuan Achel, aneh kalau kamu yang minta di lamar." Rachel cemberut kesal dengan sang oma.
"Oma jahat, Achel maunya ama Satria." Rachel pun pergi dari ruang makan dengan perasaan kesal.
"Oma bingung, yang satu minta dijodokan, yang satu menolak dijodohkan. Anak zaman sekarang. Mama pergi dulu, Sar. Ingat Leo, jangan gegabah kali ini!" Leo diam mengangguk, inilah kelemahan dirinya jika berhadapan dengan sang nenek, Oma Tiara. Dipastikan tidak bisa berbuat apa-apa.
Sarah mendekati putranya dan mengusap kepalanya dengan sayang. "Sabar, ya. Sekarang Mama mau tanya, antara kamu dan Rachel, siapa yang lebih dekat hubungannya dengan anak Om Ibra?" Kali ini Leo akan berbicara jujur dengan sang mama.
"Yang jelas aku bisa melihat dari cara mereka bertatapan, Satria dan Rachel saling menyukai. Tapi sayangnya mereka berusaha menutupi karena, status aku dan Dalillah," jelas Leo hati-hati.
"Kenapa kamu menerima ajakan pendekatan dengan Dalillah?" Leo tertawa menatap sang Mama.
"Kami sepakat berbohong, agar tidak dicarikan jodoh lagi sama Oma." Sarah geleng-geleng kepala.
"Kenapa kalian suka sekali dengan yang namanya keruwetan? Kalian ini sedang berurusan dengan para wanita yang umurnya di atas enam puluh tahun. Mereka tidak suka segala sesuatu yang membuat pusing kepala," jelas Sarah sedikit frustasi.
"Tapi, kan, kami bisa menolak ma, sesuai perjanjian awal kami hanya kenalan selanjutnya terserah kami," bela Leo dengan semangat.
"Mama tidak yakin dengan kedua Oma kamu setuju atau tidak," kalimat ini membuat Leo khawatir dan frustasi.
"Ma, aku enggak mau dijodohkan. Lagi pula, bukankah Rachel yang suka sama Satria. Kenapa aku masih tetap dijodohkan sama Dalillah?"
"Nanti Mama bantu bicara dengan Papa." Leo tersenyum lega.
"Tapi, Satria serius tidak dengan Rachel? Mama khawatir Rachel bertepuk sebelah tangan." Ada nada khawatir dalam suara Sarah sebagai seorang ibu.
"Mama tenang saja, biar Leo yang pastikan tentang hubungan mereka berdua seperti apa." Sarah mengangguk setuju.
"Kamu juga, pikirkan kebahagian kamu. Yakinkan diri kamu jika sudah mempunyai calon pendamping," nasihat mamanya selalu menenangkan hatiz
Message for : Serenity, Mark, Dalilah, Satria Sarha.
Leo : Diharap kedatangannya di kantor ku jam 1 siang ini. Penting!!!
Leo harus bertindak, sebelum masalah kembali hadir dan tak kunjung selesai.
***
Di kantor Leo.
Siang yang membingungkan bagi empat manusia yang sedang duduk saling berpandangan, pastinya pikiran berbeda-beda. Marsha, Mark dan Dalillah saling melirik satu sama lain, Satria tidak hadir dalam pertemuan. Entah alasan apa dia tidak bisa hadir.
"Ada apa, Le, kamu suruh kita semua datang ke sini?" Marsha heran ternyata tidak hanya dia saja yang hadir di kantor keluarga Rahadi tersebut. Dalillah duduk disatu sofa dengan Marsha, Mark duduk di sofa single di samping Dalillah, sementara Leo berada di hadapan mereka.
"Aku dan Dalillah, kami membatalkan perjodohannya." Dalillah mengangguk dan tersenyum menatap Marsha. Seolah dia merasa bersalah, karena menjadi orang ketiga antara Marsha dan Leo.
"Dalillah kamu tidak perlu tidak enak dengan aku." Marsha menatap gelisah ke wajah Dalillah.
"Ini enggak ada hubungannya dengan kita, Sha." Leo menyela pernyataan Marsha.
"Iya, Sha, dari awal aku dan Leo memang tidak merasa ada keinginan serius dengan hubungan ini, kemarin kami hanya menghindar dari para Oma yang selalu memaksa untuk berkenalan." Dalillah memegang tangan Marsha sebagai upaya meyakinkan Marsha.
"Lagi pula, gue masih memilirkan lo, Mark." Mark mengernyit bingung menatap Leo. "Maksud lo apa?"
"Jangan kira gue enggak tah, lo berdua sering jarang bareng." Leo tersenyum menggoda. Dalillah menunduk malu.
"Iya, Lil, sepertinya kembaran aku mulai berubah akhir-akhir ini. Ternyata ada kamu." Dengan kompak Marsha menimpali, sejenak Dalillah terlihat malu dengan aksi diam-diam dia dengan Mark. Dia pun akhirnya berani menatap Mark dengan senyuman, dan Si Raja Gombal membalas dengan kedipan maut. Dalillah semakin merona. Sesungguhnya Dalillah wanita lugu yang sangat awam akan jalinan asmara, dan berada dekat dengan Mark membuat dia lepas kendali. Seolah kebebasan yang sejak dulu terkekang, bisa dia luapkan. Tentu saja, Dalillah akan selalu menjaga kesuciannya sampai seseorang sangat berhak memilikinya.
"Jadi, lo merestui hubungan gue dengan Dalillah?" tanya Mark bahagia.
"Kenapa minta restu sama gue?" tanya Leo balik.
"Iya, Mark, harusnya kamu minta restunya sama Satria!" Marsha lagi-lagi menimpali pernyataan Leo, seketika wajah Dalillah pucat memikirkan reaksi ibu tiri jadi-jadian di rumahnya jika mengetahui dia berhubungan dengan Mark. "Kakak."
"Tenang, Manis, aku punya senjata ampuh agar ibu tiri kamu itu merestui hubungan kita." Mark tersenyum licik. Mark memiliki kartu terakhir untuk Satria.
"Mark jujur, apa Rachel dan Satria punya hubungan spesial?" Mark mengerutkan dahinya bingung dengan pertanyaan Leo yang langsung tanpa basa-basi.
"Kenapa memangnya?"
"Aku tidak mau melihat Rachel patah hati karena bertepuk sebelah tangan, dia kesayanganku, Mark."
"Aku juga menyayanginya sebagai adik kecilku. Aku tidak akan membiarkan Rachel Sayang menderita," jelas Mark.
"Hei, kalian ini membicarakan kakak yang juga sangat kusayang. Kalian berpikir seolah dia pria berengsek, hobi mempermainkan wanita," sungut Dalillah kesal.
"Bukan begitu, Lil, maafkan dua pria bodoh ini. Masalahnya, Rachel itu tidak pernah bertingkah seperti ini sebelumnya. Kami hanya takut, Rachel akan terpuruk jika rasa sukanya ditolak Satria. Kamu sendiri tahu, Lil, kakakmu itu kaku dengan wanita dan anti menjalin asmara." Marsha menjelaskan kepada Dalillah.
"Sha, aku juga tahu kakakku berubah lebih baik karena dekat dengan Rachel. Bahkan mamaku saja sudah mulai curiga. Aku yakin, kali ini Kakak sudah jatuh cinta dengan Rachel. Hanya saja ria tidak mau mengakuinya," jelas Dalilah.
"Itulah yang aku takutkan, Lil, kita tahu kakakmu itu anti berpacaran. Dan adikku Rachel itu wanita agresif jika dia sudah menyukai satu hal. Aku takut dia terlalu banyak berharap. Rasanya menyakitkan." Ada rasa kecewa dalam perkataan Leo, Marsha mendengarnya sebagai sindiran untuk dirinya.
"Mungkin kita bisa membantu mereka?" tawar Dalillah tersenyum.
"Sudahlah, biar Achel dan Satria yang memutuskan sendiri. Gue tahu Satria pria yang mempunyai prinsip dan keyakinan kuat akan suatu hubungan. Jika dia siap berkomitmen, dia tidak akan mempermainkan Achel," jelas Mark membuat Dalillah menatap Mark bangga. Ternyata Mark bisa berpikir masuk akal. Bukan ranah mereka juga memaksakan kehendak hati.
"Well, Manis, sebaiknya kita pergi dari sini. Aku rasa masalah sudah selesai. Kalian tidak jadi dijodohkan, kita jadi punya waktu untuk mengenal lebih spesial. Ayo, kita kembali mengenal." Mark berdiri menarik tangan Dalillah yang disambut bahagia.
"Kita pergi dulu, Leo, Marsha," pamit Dalillah malu-malu membuat Mark gemas.
"Aku ikut," pinta Marsha. Mark menggeleng.
"Kamu di sini temani Leo. Itu lebih baik." Dalillah mulai berani menggoda Marsha.
"Iya, Lil, biar mereka berdua mengurus masalah perang bulan dan bumi. Sebelum akhirnya kejatuhan meteor sebanyak-banyaknya," jelas Mark sambil menarik Dalillah keluar ruangan tersebut.
"Kamu bicara apa, sih, Mark?" Dalillah bingung.
"Enggak apa-apa, Manis."
Setelah Mark dan Dalillah pergi Marsha hendak berdiri untuk segera pamit. Leo yang sudah mulai paham, tiba-tiba menarik Marsha hingga dia terduduk di pangkuan Leo menyamping. Leo menahan Marsha, memeluk erat pinggang gadis pujaannya itu dengan senyuman sayang.
"Mau ke mana?" bisik Leo.
"Aku rasa sudah tidak ada lagi yang harus dibicarakan," jawab Marsha gugup, eia bahkan tidak berani menatap wajah Leo yang begitu dekat di sampingnya.
"Memang tidak ada yang harus dibicarakan, tapi banyak yang harus kita lakukan." Dengan berani Leo menyelipkan helaian rambut panjang Marsha ke daun telinga, Leo mau wajah Marsha semakin terlihat.
Bahkan Leo dapat menikmati perubahan wajah Marsha, pipi Marsha yang merona merah. "I love you," bisik Leo menggoda. Seketika Marsha menatap mata Leo begitu dekat dengan dirinya.
"Leo, please, kita enggak bisa seperrrmmmpp..." Leo membungkam mulut Marsha dengan sentuhan bibirnya yang lembut menguasai bibir indah Marsha, sia rindu dengan putri bulannya.
Sudah tidak diperlukan lagi kata-kata jika berhadapan dengan Marsha. Leo sudah muak dengan penolakan, dia butuh kepastian. Dan dengan Marsha membalas sentuhan bibirnya, menandakan Princes Serenity menerima dirinya kembali.
Leo tersenyum menikmati aksi nekatnya kali ini.
***
Di kafe bersejarah bagi Satria dan Rachel.
Di waktu yang sama, Satria terlihat diam duduk di kafe yang sangat berarti bagi dirinya. Di sinilah dia bertemu Rachel, kejadian akhirnya membuat Satria terpesona dengan wajah dan sifat Rachel. Masih jelas teringat saat Satria menatap wajah Rachel, saat itu dia sudah tersihir dengan wajah polos yang Rachel punya.
Satria tidak butuh wanita cantik tinggi semampai dengan body seksi yang menggairahkan. Dia butuh wanita yang mampu mengisi hatinya dengan kegembiraan dan kebahagiaan seperti Rachel yang mampu memasukinya.
Satria tertawa sekali lagi jika mengingat sigadis pendek menampar dirinya. Dan dia dibuat tak berdaya melihat tangisan palsu dari Rachel.
"Satria.." Lamunan Satria terganggu karena kehadiran Rachel di hadapannya. Tanpa malu dengan keadaan sekitar, Rachel duduk di pangkuan Satria dengan wajah manjanya.
"Pendek, ini ditempat umum, malu ngumbar kemesraan." Rachel tetap tidak bergerak, dia malah mengalungkan tangannya di leher Satria.
"Biarin." Gadis pendeknya mengerucutkan bibirnya. "Aku lagi kesal, Sat." Khusus kali ini Satria akan diam dan tidak kasar kepada Rachel. Satria dengan lembut memindahkan kedua tangan Rachel ke bawah.
"Ada apa?" suara Satria lembut dan pelan. Dia pun sudah tidak perduli dengan tatapan di sekitar yang macam-macam memberikan nilai.
"Oma tetap mau menjodohkan Abang Leo dengan Dalillah, sudah jelas-jelas mereka tidak setuju." Satria membenahi rambut Rachel dengan sayang. Dia selalu lepas kendali.
"Mungkin memang mereka yang berjodoh," jawab Satria lirih, Rachel menatap wajah Satria bingung apakah dia harus bertanya atau tidak.
"Kamu lamar aku, dong, Satria!" Sejenak wajah Satria melotot kaget, tetapi lagi-lagi dia sudah hampir mengenal sifat Rachel perlahan. Agresif dan pantang menyerah.
"Aku belum siap, Pendek," jawab Satria sambil memeluk pinggang Rachel dan mengangkat pelan tubuh Rachel duduk di kursi sebelah dirinya.
"Kenapa?" rengek Rachel bak anak kecil meminta dibelikan permen oleh kedua orangtuanya.
"Aku belum siap berumah tangga, lagi pula hubungan kita tidak jelas,Acheel." Rachel memegang tangan Satria.
"Kita bisa berusaha siap dan diperjelas, Satria. Jika kamu mau. Mama dan Papaku saja baru mengenal dimalam pertunangan mereka." Hati Satria bergetar menatap wajah serius Rachel. Satria menggeleng.
"Bagaimana kalau kita kawin lari jika Oma tidak setuju?" reflek Satria menoel kening Rachel. "Kalau berkata dipikir dulu!"
"Yah, terus gimana Satria? Aku maunya dilamar kamuu. Yah, kamu lamar aku!" pinta Rachel memohon manja. Satria berusaha tidak menatap wajah manis itu. Dia sangat tahu titik kelemahannya selama ini.
"Aku tetap tidak bisa, Rachel. Dan mulai sekarang, kita tidak perlu berhuhungan lagi. Kamu jangan mengirimkan lagi makanan untukku. Aku berjanji kita bisa berteman baik, tapi untuk sekarang lebih baik kita sama-sama menjauh dulu." Tangan Rachel bergetar dengan ucapan Satria saat ini. Terlebih tutur kata Satria terlihat serius di tengah nada sopan. Tidak ada nada galak seperti biasanya.
Tidak ada lagi nada ketus dan emosi yang selalu dipakai Satria untuk menghadapi Rachel, tetapi suara tenang penuh ketegasan yang membuat Rachel justru takut bukan kepalang.
"Enggak mau. Aku enggak mau." Rachel geleng-geleng kepala. Satria pun berdiri dan hendak berbalik. "Maafkan atas sikap aku selama ini ke kamu, Nona Rachel Arga Rahadi. Senang bisa mengenal dirimu. Selamat tinggal." Ini juga berat bagi Satria mengatakannya. Tapi lagi-lagi prinsip Satria yang menjadi tameng dirinya menyerah.
Rachel menatap Satria yang berjalan meninggalkannya. Seketika tangisnya pecah tanpa memperdulikan sekitar.
"HUA, HIKS, SATRIA JAHAT NINGGALIN AKU SEPERTI INI. KITA BISA KAWIN LARI, KALAU KELUARGA TIDAK SETUJU. HUA, JAHAT, AKU SENDIRIAN SEKARANG." Orang-orang di sekitar mulai berbisik-bisik karena teriakan Rachel yang menggema di ruangan itu. Ditambah tangisan, Rachel yang membuat situasi banyak menduga-duga.
Seorang wanita tua yang sepertinya pemilik kafe tersebut menghalangi Satria yang masih berdiri di kasir.
"Anak muda, kamu yang waktu itu ditampar gadis yang sedang menangis itu, kan? Sudah menghamilinya, sekarang malah meninggalkan dan tidak mau bertanggung jawab. Kasihan janin yang ada di perut pacar kamu itu." Dengan suara sedikit meninggi wanita tua itu menyeret Satria menghampiri Rachel yang masih menangis.
Jangan ditanya betapa malunya Satria sekarang, ini karena tingkah Rachel diluar kendalinya. Satria sungguh tidak menduga reaksi Rachel seperti ini. Ditambah dengan bisikan-bisikan pengunjung sekitar, membuat telinga Satria memerah ingin meledak karena persepsi mereka yang sok tahu, batin Satria.
"Pria itu pernah ditampar sama wanita itu karena dia karena tidak mau bertanggung jawab sudah menghamilinya."
"Dasar ganteng-ganteng banci."
"Kasihan ceweknya, mana cantik lagi buat gue deh kalo kaga hamil."
"Diajak kawin lari kaga mau, cowok gak bertanggung jawab."
"Mas ceweknya bawaan hamil kali jadi sensitif."
"Mas dirayu dong ceweknya, kasihan kan lagi hamil."
"Tanggung jawab dong, sebagai pria baik jangan cuma numpang naro benih doang.."
"HUA, HIKS HIKS, SATRIIAAAAA..." Rachel langsung berlari memeluk Satria yang berdiri dekat dengan dirinya. Satria menghela napas pasrah dengan keadaan yang terjadi sekarang. Yang penting bisa memboyong Rachel keluar dari kafe ini.
"Nah, gitu dong, Dek, wanita hamil muda itu sensitif, maunya dimanja. Jadilah pria bertanggung jawab. Diselesaikan berdua." Wanita tua itu tersenyum manis menatap Rachel yang menyembunyikan wajahnya di dada Satria.
"Ibu juga pernah muda, Dek, rasanya jatuh cinta itu tidak melihat tempat dan situasi."
Satria hanya bisa diam dan mengelus rambut Rachel tanpa membalas pelukan erat Rachel pada dirinya. "Hiks, Satriaaa pulang."
"Ayo, kita pulang permisi, Bu." Satria melepaskan pelukan erat Rachel agar bisa cepat-cepat keluar dari ruangan itu. Ruangan yang sudah disumpahi Satria untuk tidak akan pernah disinggahi lagi. Bahkan dalam mimpi pun, Satria tidak akan pernah mau kembali ke tempat itu. Tempat terkutuk!
"Hiks, Satriaa jangan tinggalin aku." Rachel masih merajuk.
"Permisi, Bu, maaf membuat kegaduhan." Satria berjalan menahan malu yang belum pernah dia rasakan seumur hidup. Begitu banyak pengunjung yang masih berbisik-bisik membicarakan mereka.
"Hati-hati, dijaga kandungannya."
"Wah, romantissnya dipeluk erat.."
"Cepet nikah, yah.."
"Mudah-mudahan berjodoh."
"Satria, lamar aku!" Satria menghela napasnya frustrasi. Dia menyeka air mata yang masih tersisa diwajah kusut Rachel. Sekarang sudah sampai di depan kafe. Lebih tepatnya di tempat parkir mobil.
"Haduh, Pendek, kamu itu mengajak pria nikah mirip ajak pria nonton bioskop tahu. Aku belum siap, Achel." Dengan lembut Satria mengecup kening Rachel. Marah pun percuma.
"Kenapa? Aku bisa menjadi istri yang kamu idamkan. Aku janji setelah menikah, aku tidak akan aneh-aneh lagi. Semua perkataan mu aku turuti." Satria tertawa menatap gadis pendek yang aneh dan antik menurutnya sekarang ini.
"Belum siapnya ada pada hatiku. Jadilah diri kamu sendiri, jangan berubah. Ayo, masuk aku antar kamu pulang." Satria mendorong Rachel masuk ke mobilnya.
Selama perjalanan Rachel tetap merengek ingin berubah, asal Satria mau kembali dengan dirinya. Tetapi kali ini Satria diam tidak memberikan tanggapan. Hingga mereka telah sampai ditujuan, Satria tetap tidak menanggapi permintaan Rachel.
"Ini bukan rumah kamu, kan, Chel?" Satria bingung dengan alamat yang diberikan Rachel.
"Bukan, ini rumah sepupuku, Mbak Zara. Aku mau menginap di sini saja." Wajah Rachel terlihat berantakan. Dengan lembut Satria merapikan tatanan rambut Rachel.
"Kamu ini perempuan. Kesal boleh, tapi penampilan diperhatikan, dong. Jangan pernah menangis lagi dan jangan pernah berakting menjadi bumil manja. Kamu tidak hamil, Achel." Satria terus memperhatikan wajah Rachel. Mungkin ini waktu terakhir dia bisa puas duduk berdampingan dengan Rachel. Keputusannya harus dia pegang teguh, menyerah.
"Satriaa, " cicit Rachel pelan.
"Hmmm..." Satria berusaha tidak menatap wajah Rachel kembali. Dia harus cukup puas sampai di sini.
"Aku rasa, aku jatuh cinta sama kamu," cicit Rachel menundukan kepala.
***
Salam Ruwet
Mounalizza
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro