Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10 - Mini Rachel

Cerita ini konfliknya ringan sampai akhir.. cuma emang muter2 😅😂

Masih di tempat makan di mall.

"Dia alergi CPR di dalam mobil."

"Apa, Mark? CPR di dalam mobil?"

Rachel tahu mata Satria menatapnya meminta penjelasan. Dia tahu harus jujur dan sebisa mungkin menghindari kebohongan walaupun sedikit. Tetapi, bukan waktu dan tempat yang tepat jika Rachel harus bicara jujur sekarang.

"Bisa dijelaskan Nona Rachel?" Satria menatap tepat di mata Rachel membuat wanita mungil itu sedikit menciut takut. Rachel ingin memakin Mark yang memilih terkikik seolah puas menjebak dirinya. Apanya yang sekutu abadi, kalau seperti ini? Lihat saja, bengkelnya mungkin akan dia bumi-hanguskan. Setelah ini.

"CPR apa, Chel? Kamu kenapa, sih?" Marsha bertanya polos. Marsha memang tidak tahu menahu ada kedekatan antara mereka berdua.

"Kamu kenapa, Dek? Kenapa panik? Ada apa?" Leo sudah mulai curiga dengan hubungan Rachel dan Satria, tatapan mereka berdua berbeda, batin Leo.

"Kakak kenapa? Memang kamu alergi CPR? Mark yang jelas,dong, kalau bicara?" Giliran Dalillah yang menimpali. Dalillah sama herannya, menatap sang kakak karena perubahan wajahnya yang sangat mudah ditebak. Kakaknya pasti sedang marah.

"Hahaha..." Si Biang Kerok Mark hanya tertawa tanpa dosa. Rachel terdiam bingung ingin berkata apa.

"Orang gila didengerin," cibir Rachel dan mencubit pinggang Mark disambut tertawa Mark.

"Haduh, enggak ada apa-apa, Manis. Achel dulu pernah mau masuk akademi keperawatan, tapi dia enggak bisa tes CPR, karena enggak mau ciuman pertamanya tidak berkesan," jelas Mark menatap geli Dalillah.

"Sayangnya adik gue juga punya pengalaman tidak berkesan dengan ciuman pertamanya." Satria kembali menyindir yang dibalas tertawaan Mark.

"Well, kita sama-sama berpredikat tukang sosor. Benar, enggak, Lil?" Kini giliran Dalillah yang panik mendengar perkataan Mark. Dalillah menginjak kaki Mark sekuat tenaga. Dengan wajah tersenyum Dalillah menjawab santai.

"Haduh, Kakak masih ingat-ingat masa kecil kita dulu? Aku saja  sudah ikhlas, ciuman pertamaku diambil Abang Montir ini. Lumayan, dicium pria ganteng macam Mark." Senyum palsu Dalillah terlihat meyakinkan, di tengah injakan kakinya dan jangan lupakan cubitan kuat di tangan Mark oleh Rachel secara diam-diam. "Aw..." Mark meringis sakit.

"Kenapa lagi, Mark?" Leo sedikit bingung dengan Rachel dan Dalillah yang menatap sebal Mark.

"Kaki, tangan gue digigit Chip and Dale, sakit banget." Mark masih meringis karena kedua wanita di samping kanan kirinya bertindak kompak menyakitinya.

"Ngaco aja. Sudah, ah, lapar. Bertingkah aneh terus, enggak makan-makan. Oh, iya, Mas, saya pesen minuman air mineral dua botol lagi yah! Lemon Squash satu. Ada yang mau pesan lagi? Achel dan Satria sudah pesan sepertinya. Kamu Lil, Mark?" Marsha menatap Leo dengan senyuman bahagia.

Dia masih ingat kesukaanku Lemon Squash.

"Aku Orange Juice." Dalillah menimpali pertanyaan Leo.

"Sama seperti si Manis. Biar bertambah vitamin c di hati aku." Dalillah mencibir gombalan Mark.

Bip. Satria membuka pesan masuk di ponselnya.

•Mini Rachel : Satria jangan marah sama aku, bukan maksud aku bohong sama kamu. Tapi berkata jujur di depan semuanya, bukan solusi yang bagus. Oke, aku kasih tahu kamu yah, waktu itu Mark melihat kita berciuman di mobil. Ciuman di basemen dan dia punya rekamannya.

•Me : Dasar bodoh kamu, Pendek!

•Mini Rachel : Kamu jangan marah, mana aku tahu Markona ada di situ..

•Me : Urus Markona-mu, Pendek!

•MiniRachel : Siap, My Hero. Muach, jangan marah, yah! Kan aku sudah berusaha jujur sama kamu.

Satria menatap wajah memelas Rachel dan mengangguk. Rachel tersenyum lega. Makan malam bersama pun berlangsung santai di antara mereka. Meskipun terlihat jelas kecanggungan antara Marsha dan Leo, tetapi kecerian Rachel dan Dalillah membuat suasana jadi hidup. Belum lagi, gombalan Mark yang selalu membuat Satria jengah, tapi dia diam karena masih tidak percaya dengan video rekaman dirinya bisa dimiliki Mark.

"Aku pernah lihat, Lil, foto ciuman kecil kalian." Dalillah terlihat kaget mendengarnya. "Yang benar, kamu, Chel?"

"Iya, waktu itu aku lagi membantu Mommy Livi, terus aku lihat album lama. Ada foto Mark lagi cium baby gitu. Kata Mommy, itu anaknya Om Ibra," jelas Rachel yang terlihat mudah akrab dengan Dalillah.

"Kamu mau, Lil, aku carikan foto itu?" Marsha menggoda Dalillah.

"Enggak perlu, Sha, buat apa? Sudah tidak penting."

"Iya, Sha, nanti kembaranmu bisa bangkit lagi sifat nyosornya?" Satria akhirnya menimpali.

"Oh, ya? Kalau gue, sih, maunya direkam video daripada foto. Sepertinya lebih kuat jika dijadikan bukti otentik." Mark mengedipkan matanya ke Satria. Sialan memang Mark. Pandai mencari cara membuat Satria tak berdaya.

"Mark, besok mobil gue dirapikan, yah! Biar Rachel yang pilih mau dirombak seperti apa. Mobil itu buat dia." Rachel tersenyum bahagia menatap Leo sang kakak. "Ah, terima kasih Abang Sayang, semoga cepat dapat jodoh.."

"Jodohnya Leo belum terlihat? Coba lihat arah bulan? Masih tertutup awan apa tidak?" Mark menatap Leo dengan cengiran super menyebalkan.

Malam ini, Mark memang ingin membuat semua yang berada di sana kesal. Entah apa yang ada dipikiran play boy, yang berniat akan taubat tersebut.

"Lo mau gue kasih tau, Mark?" Di luar dugaan, Leo menimpali. "Gue rasa lo tahu jawabannya, bulan itu akan selalu tertutup awan gelap." Marsha merasa dirinya dipojokan, terlebih dia menatap kasihan kepada Dalillah yang seolah kehadirannya tidak diperhitungkan. Dia juga punya perasaan seperti dirinya, batin Marsha. Dasar para pria tidak punya perasaan.

"Well, aku sudah selesai, Lil, Chel, jalan,yuk! Kita  ke dep-store, daripada di sini sama mereka, sebal." Marsha berdiri yang diangguki Dalillah dan Rachel.

"Iya, aku juga ikut. Kak aku pulang sama Marsha aja, yah." Dalillah izin dengan Satria dan sang ibu tiripun mengangguk setuju. Baru saja dia akan memerintah Dalillah pulang, tapi karena tangan Rachel menggandeng tangan adiknya, rasa ingin menguasai Dalillah hilang. Mungkin ide menarik, Dalillah dan Rachel saling mengenal.

Sementara Rachel izin dengan Leo. "Abang, pinjam mobilnya. Tadi aku enggak bawa mobil, Abang bareng Mark, yah." Leo memberikan kunci mobilnya. "Ini pakai credit card, Kakak, mobil diparkir di P2.15" Rachel mengecup pipi Leo dengan sayang.

"Bye, Satriaa." Marsha hanya pamit dengan Satria. Malas menoleh ke arah Leo.

"Oke, biar gue yang traktir kali ini." Satria berdiri hendak membayar ke kasir, tersisa Mark dan Leo.

"Leo, gue mohon kalau lo nggak suka Dalillah, jangan jadikan dia alat buat Marsha cemburu. Jangan main-main dengan Satria. Dia sangat sayang sama adiknya." Mark berkata serius dengan Leo.

"Bukannya lo yang sayang sama Dalillah?" cibir Leo.

"Please, Leo. Kenapa, lo lelah sama Marsha? Mana Leo yang gue kenal, untuk selalu menjaga Marsha? Jangan sakiti diri lo sendiri." Leo diam dan mencerna perkataan Mark.

"Pinjam kunci mobil lo!" Mark memberikan no kartu parkir mobilnya kepada sahabat yang sudah dia anggap saudara sendiri. "Parkir vallet di lobi pintu timur." Leo pun pergi dari hadapan Mark.

"Leo mana, Mark?" Satria menatap heran Mark yang hendak pergi sendiri.

"Sudah pulang duluan." Satria menahan tangan Mark. "Tunggu,Mark." Mark tertawa seolah paham dengan apa yang akan ditanya Satria.

"Apa,Kakak?" Mark tetap jalan meninggalkan restoran, diikuti Satria yang berjalan sejajar dengan dirinya.

"Rachel bilang tentang rekaman," ucap Satria tidak yakin ingin melanjutkan.

"Adegan lo berdua aman gue pegang, Brader.." Mark merangkul Satria, dan tentu saja ditepis oleh pria galak tersebut.

"Mark, gue serius jangan sampai tersebar!" jelas Satria datar.

"Kalau tersebar, kenapa? Lo takut disidang sama keluarga, terus diseret kawin?" sindir Mark.

"Bukan gitu, Mark. Lo, kan, tahu sendiri kalau Oma gue dan Rachel lagi menjodohkan Leo sama Dalillah."

"Dan lo juga tahu,kan, Leo sukanya sama siapa?" Satria mengangguk.

"Terus, kenapa lo biarin gitu saja, adek lo digantung sama Leo?"

"Gue percaya Leo. Untuk sementara ini, dia janji enggak akan sakitin Dalillah. Setidaknya, mereka belum terbawa perasaan, daripada Dalillah dikenalkan dengan pria-pria lain, yang daftarnya sudah ada di tangan Oma gue. Lebih baik Leo yang dipilih." Satria jujur dengan isi hatinya. Ada sedikit rasa setuju di hati Mark dengan ide tersebut.

"Terus, gimana dengan perasaan lo?" Satria tidak menjawab, dia hanya mengerutkan dahinya.

"Tuan Muda Satria, gaya ciuman lo ke Rachel itu pakai perasaan, enggak, sih?" sindir Mark, mereka berhenti di tangga lobi, karena Satria hendak memberikan kartu parkir vallet.

"Gue enggak tahu, yang jelas gue berusaha enggak terbawa perasaan sama Rachel. Ngomong-ngomong, ngapain lo ikutin gue?" lirik Satria bingung.

"Mau nebeng, Kakak. Sombong sekali, tidak bersedia antar gue pulang? Ayolah, Kakak! Mobil gue dibawa Leo." Satria hanya melirik sebal, mau tak mau mengangguk. "Iya, Sialan. Gue antar."

Setelah menunggu mobil, Satria langsung duduk di bangku samping sopir. "Enggak ada yang gratis, Bos." Mark pun menurut mengemudikan mobil si ibu tiri jadi-jadian. Dasar tidak mau rugi.

"Sat, tadi lo bilang apa? Berusaha tidak terbawa perasaan? Hei, Brader, sikap lo tadi di restoran, apa enggak pakai perasaan? Suap-suapan, merapikan rambut?" Mark geleng kepala sambil tertawa mengejek. Satria terlalu bodoh untuk berbohong.

"Dia pernah bohong sama gue, Mark. Lo tahu, kan, artinya apa?" jawab Satria jujur. Mereka berdua ini memang sering bertengkar, tetapi mereka bukan musuh. Sejatinya mereka saling mengenal satu sama lain. Walau jarak memisahkan.

"Rachel itu beda sama wanita yang pernah bohong sama lo. Gue berani sumpah, Rachel itu wanita lugu, polos yang pernah gue kenal. Ini pertama kali gue lihat dia berjuang untuk pria dengan semangat. Sayangnya dia enggak sengaja berbohong." Satria mendengarkan Mark yang berbicara sambil mengemudikan mobil miliknya.

"Untuk sekarang, gue belum tahu mau bertindak seperti apa sama Rachel, dia pantang menyerah." Mark mengambil ponsel miliknya dan memberikan ke Satria untuk melihat sesuatu.

"Nih, pegang dan lihat! Gaya lo nyosor ke Rachel. Perhatikan! Coba diingat, pakai perasaan, enggak? Nafsu atau terpesona?" Satria menuruti permintaan Mark.

"Enggak perlu gue jelaskan, hati lo bisa nilai sendiri, kan?" Satria menatap adegan dia bersama Rachel, bermesraan dengan sangat menggebu di mobil beberapa waktu yang lalu.

Satria sekilas tersenyum mengingat kala itu. Saat itu dia lepas kontrol, terus terpesona dan mendamba bibir manis Rachel. Satria kemudian mengirimkan video tersebut ke ponselnya, lalu tanpa izin menghapus video tersebut. Mark memperhatikan tindakan seenaknya Satria.

"Sudah daku duga. Gue punya salinan di pc. Jangan panggil gue Markona, kalau tidak selalu waspada, Brader." Satria menepuk ringan lengan Mark. "Sialan!"

"Gue harap lo jangan sakitin adik kecil gue dan jangan lepas kontrol, kalau memang lo belum siap," nasihat Mark, Satria hanya diam dan bersandar di kursi sambil memejamkan matanya.

"Jangan bawel, Pak Sopir, sekarang ini biarkan seperti ini dulu." Mark mendengus sebal.

"Ah, sumpah, ya, lo berdua jalan pikirannya ruwet. Sadar enggak, kalau yang lain jadi ikutan ruwet."

"Berdua sama siapa?" tanya Satria tetap memejamkan mata.

"Siapa lagi, kalau bukan lo, sama Leo." Mark semakin mempercepat laju kendaraan dengan perasaan jengkel.

"Terserah lo, Markona." Satria tetap memejamkan matanya. Istirahat sejenak.

"Tapi, ngomong-ngomong lo ahli juga, ya, trik nyosornya. Kasihan Achel, gue rasa dia ketiban sial bisa suka sama lo." Satria tetap diam tidak menghiraukan godaan Mark.

"Awas kalau sampai disebar!" tegas Satria tajam.

"Enggak ada yang GRATIS, Kakak." Mark tetaplah Mark, menyebalkan batin Satria.

***

Di rumah keluarga Mark.

Seorang pria sedan asyik memperhatikan sebuah pintu. Dahulu, pintu itu bisa dia buka san masuki sesuka hati. Waktu bergulir hingga  sekarang, dan batasan usia membuat dia sadar untuk tidak seenaknya masuk. Seolah umur menjadi sebuah penghalang, tapi dia menerimanya dengan hati ikhlas. Hidup pasti berubah setiap detiknya. Tapi tidak dengan hatinya.

Leo terus menatap kamar Marsha dengan perasaan rindu, tetapi dia harus bertahan dan mencari jawaban sendiri. Marsha masih sulit dia tebak. Dan Leo sudah cukup sabar. Apalagi usianya yang sudah matang, dituntut untuk lebih memikirkan berumah tangga oleh keluarga. Leo masih berharap dengan Marsha.

Perlahan, dia membuka kamar di sebelah kamar Marsha dengan pelan. Kamar ini boleh dia singgahi. Wajah lelah mengiringi masuknya Leo ke kamar itu. Leo bahkan sering tidur di ranjang besar itu, di samping pemilik kamar tersebut yang sudah tertidur menelungkup, Mark.

"Mark bangun geser sedikit!" Leo merebahkan tubuhnya di samping Mark. Dia sudah sering ke kamar ini, karena rumah ini memang rumah kedua baginya dan semua pemilik rumah ini selalu menerima dia dengan kasih sayang yang berlimpah.

"Hmmm, ganggu aja, jam berapa ini?" Mark menyipitkan matanya dan menatap jam di samping nakas tempat tidurnya, 22.34 malam.

"Sana ganti baju! Jangan ganggu tidur gue, ngantuk berat," ketus Mark setengah sadar dan tetap tidur dengan posisi menelungkup memunggungi Leo. Lelah juga rasanya habis jadi sopir si pria galak. Mark memang langsung pulang, setelah diturunkan Satria. Tak berbasa-basi mengundang Satria masuk. Memangnya dia sedang berkencan? Kalau Dalillah, Mark mau-mau saja. Ajak inap kalau perlu.

Di kamar tamu, pastinya.

"Sana jangan dekat-dekat!" usir Mark, karena kaki Leo mengganggu posisinya. Leo sendiri memilih telentang menatap langit kamar tanpa tahu apa yang sebenarnya dia tatap. Sekilas terdengar helaan nafas Mark. Helaan nafas lelah bercampur bimbang akhirnya keluar begitu saja. Kadang dia iri dengan Mark. Kenapa selalu tenang dalam menjalani hidup.

"Gue harus gimana? Kembaran lo enggak bisa ditebak Mark." Pertahanan Leo akhirnya runtuh, dia butuh teman bicara dan selama ini, hanya kepada Mark dia bisa lepas bercerita.

"Mark apa gue menyakiti kalian? Lo, Dalilah, Achel, bahkan gue berpikir Satria juga.." Suara Leo terdengar lemah. Mark mulai terjaga tapi tetap tidak merubah posisinya.

"Mark! Bangun!"

"Hmm.."

"'Mark, lo enggak kasihan sama Marsha?"

"Aaah," gerutu Mark yang mulai tak bisa memejamkan mata. Ada saja gangguan.

"Gue bantuin, asal ada satu syarat." Leo tersenyum sekilas menatap ke langit kamar. Isi kepala mudah dia nilai.

"Enggak akan gue biarkan juga lo main-main sama Dalillah! Mark, gue kenal lo.." Mark tertawa pelan dan segera berbalik badan, posisi sama dengan pria di sebelahnya, menatap langit kamar.

"Gue penasaran sama dia." Mark jujur dengan Leo.

"Dia adiknya Satria, Mark. Satu lagi, dia putri kesayangan Om Ibra." Leo memang tidak terlalu kenal dengan Dalillah, tapi dia juga memiliki adik perempuan. Bodoh kalau senang mempermainkan gadis atas dasar penasaran.

"Apa bedanya gue sama lo?"

"Minimal gue jujur sama Dalillah tentang perjodohan ini."

"Oke, gue tunggu, tapi jangan sampai gara-gara ini semua orang tersakiti. Seperti yang lo bilang tadi." Leo mengangguk walaupun Mark tidak melihatnya.

"Jangan bilang lo termasuk? Enggak percaya gue, seorang Mark main hati?"

"Bisa jadi, Lele. Bisa jadi, kan, cinta sama Dalillah?" Mark terkikik geli mengatakan hal itu.

"Lo percaya cinta? Mark, gue kenal lo dari bayi, lo bukan pria yang mengagungkan cinta." Mark kembali menutup mata sejenak, dia merenung. Benarkah dia tipe pria yang tak suka bermain cinta?

"Mark, ternyata Dalillah asik juga diajak bicara. Dia mudah bergaul dan apa adanya. Enggak judes kaya ibu tirinya." Leo tertawa pelan. Mark mengangguk, dan perlukah Mark menambahi, jika Dalillah gadis yang menggairahkan? Tipe wanita yang menyukai tantangan. Mark tersenyum sendiri. Dia harus tersadar, Dalillah juga berbahaya jika dia terus saja bermimpi ingin merajut kasih. Bermain hati, apalagi bermain cinta.

"Marsha masih marah sama gue," bisik Leo berbicara lagi, sambil memejamkan matanya.

Lama-lama Mark jengkel juga mendengar keluhan kisah cinta pasangan bodoh ini. Belum lagi pasangan yang satunya. Nekat bermesraan, tetapi malas bertanggung jawab. Dunia edan.

"Ck. Mimpi apa gue hari ini, dapat curhatan dari pria-pria bodoh, dengan pemikiran mereka yang ruwet. Dan semakin menyebalkan, gue jadi ikutan ruwet." Mark berbalikkan badan, mulai memejamkan mata.

"Mark." Leo bertanya kembali dan Mark lebih memilih tidak menjawab panjang. "Tau, ah, gue mau tidur."

"Gue izin ke kamar Marsha, boleh?"

"Selangkah lo keluar kamar, gue lumpuhin kaki lo!"

"Belagu, lo. Kayak kuat aja lawan gue. Main catur aja kalah." Leo terus saja menatap lagi tanpa bisa memejamkan mata.

"Marsha," bisik Leo sambil mengganti posisi rebah.

"Jangan peluk gue, Bego! Geli." Leo sengaja menggoda Mark.

***

Di rumah keluarga Satria.

Tok.. tok.. tok..

"Dalillaaahhh. Sudah pulang, belum?" Satria tampak sebal dengan panggilannya yang tidak dibalas oleh sang adik. Rutinitas malam, dia wajib memeriksa penampakan sang adik. Bisa saja, kan, Dalillah pergi tak ingat rumah. Yang dia ingat pria-pria perayu ulung. Apalagi, penampakan Dalillah sungguh menarik.

Tok.. tok .. tok

"Dalillah,  ck.." panggil Satria di depan kamar sang adik. Merasa tidak mendapat jawab, Satria membuka pintu kamar sang adik dengan tidak sabar. Ini sudah pukul 23.00 malam dan panggilan telepon dari dirinya tidak dibalas oleh Dalillah. Satria tetaplah Satria, dengan segala sifat kekolotan untuk sang adik.

"Pendek?" Betapa terkejutnya Satria saat menatap Rachel yang sedang tertidur menyamping di kasur milik Dalillah. Rachel tampak nyenyak tidur dengan kepangan rambut cukup rapi, semakin membuat dia terlihat seperti anak kecil.

Apa dia sedang bermimpi menemukan Rachel di kamar Dalillah? Kenapa dia tidak tahu Rachel bertandang ke rumahnya? Apa yang sedang dia lakukan? Seenaknya tidur di kasur milih orang asing. Tidur di sembarang tempat. Rasanya Satria mau mengangkat Rachel ke kamarnya saja. Satria tersenyum geli memikirkan ide gila tersebut.

"Kakak, kenapa di sini? Tidak sopan orang lagi tidur ditatap gitu!" Dalillah yang baru keluar dari kamar mandi, terlihat kaget menatap sang kakak duduk di tepi ranjangnya sambil menatap Rachel tertidur.

"Ssstt, jangan sampai Rachel bangun!" Dengan suara berbisik, Satria mendekati Dalillah. "Kamu kenapa enggak angkat telepon dari Kakak?" Aura kemarahan Satria tetap terasa,  walaupun dengan nada berbisik.

"Sori, batere tadi sekarat, Kak. Terus aku keasyikan jalan bareng Marsha dan Rachel," bisik Dalilah riang. Akhirnya dia punya teman sejalan. Sejauh ini mereka bisa cocok.

"Kenapa dia menginap di sini?" Satria menunjuk ke arah Rachel. Satria sadar, ada perasaan berdebar saat menatap gadis pendeknya terlelap dengan nyenyak.

"Papa dan Mama yang memaksa, karena sudah terlalu malam untuk Rachel mengemudi mobil. Dia antar aku pulang, dan Papa khawatir dia pulang sendiri." Satria mengangguk.

"Dia juga tak menolak." Dalillah terkikik, Rachel memang mudah berteman. "Sepertinya Rachel itu mudah mengantuk. Aku senang, Kak, akhirnya punya teman yang cocok dengan aku." Dalillah tersenyum tulus menatap Rachel.

"Aku mau mengenalkan dia dengan temanku, ah, siapa tahu cocok." Satria melotot menatap adiknya.

"APA?" Dalillah membekap mulut Satria, teriakannya bisa mengganggu tidur Rachel. Bisa saja Rachel tak nyaman, lalu memilih pulang.

"Sssstt, berisik banget, sih! Sudah sana keluar!" Dalillah mendorong tubuh sang kakak untuk keluar dari kamarnya.

"Awas, kalau kamu berani mencomblangi dia dengan teman-temanmu! Kakak pastikan akan semakin menjadi ibu tiri untukmu!" ancam Satria yang hanya dibalas dengan tutupan pintu kesal oleh Dalillah.

"Sialan, Dalillah, beraninya dia mencarikan pria untuk Mini Rachel? Enak saja," ujar Satria pelan sambil memasuki kamarnya. Posisinya bersebelahan dengan kamar Dalillah.

"Ah, Dalillah pengacau," ujar Satria masih khawatir, bisa saja niat Dalillah terlaksana. Satria mulai merebahkan dirinya dan menghidupkan layar televisi. Siapa tahu bisa melupakan keberadaan Rachel yang berjarak dekat dirinya.

"Apa culik saja dia dari kamar Lillah?" ide konyol Satria semakin melebar. "Aku sudah gila."

Satria memilih menatap layar televisi. Kebetulan menyajikan drama romantis dengan adegan ciuman mesra yang sangat panas, tetapi Satria tidak merasakan adegan itu sempurna. Dia mengambil ponselnya di nakas sebelah ranjang, lalu mulai mencari video rekaman hasil rekaman tanpa izin milik Mark. Dalam diam, Satria tersenyum menatap layar tersebut.

Dia dan Rachel sedang berciuman. Apa benar dia menyukai Rachel dengan tulus? Lalu bagaimana dengan kebohongan yang pernah Rachel lakukan?

***

Salam Ruwet
Mounalizza

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro