1 : Perempuan Selalu Rumit
Mati lampu.
Hal yang sangat menyebalkan pagi ini. Bukan hanya karena daya HP tersisa 20%, tetapi juga jaringan yang mendadak lambat. Abyan mendesah kesal, karena sudah setengah jam e-mail yang ingin ia kirimkan pada manajernya tidak terkirim.
"Abyan, ayo masuk!"
Abyan memandang mamanya beberapa saat yang kala itu berdiri di ambang pintu. Entah kenapa Abyan dapat merasakan atmosfer aneh di sekitarnya. Membawa Abyan menemui teman orang tuanya adalah hal yang langka.
"Bentaran, Ma. Nyari jaringan dulu ini." Kalimat Abyan diikuti sebuah decakan kesal. Ia mengusap dagu, lalu mengubah gaya kakinya yang mulai lelah berdiri.
"Tante Marwah udah ada di dalam, loh. Nyariin kamu."
"Biarin lah, Ma." Abyan membalas cuek.
"Abyan, gak boleh gitu!"
Pada akhirnya, kesal merajai lelaki berusia 32 tahun yang masih melajang itu. Tangannya mengusap kasar rambut hitam pendeknya.
"Sepuluh menit lagi!" balas Abyan penuh keyakinan.
"Beneran, ya, sepuluh menit lagi?" Mama meyakinkan.
"Iya, Mama ...."
Setelah kepergian mama, Abyan berjalan tidak menentu demi mendapatkan jaringan. 3G pun tidak masalah, yang penting e-mail penting itu terkirim.
"Bang! Mau maling jemuran, ya?!"
Abyan tersentak, hampir menjatuhkan ponsel di tangannya akibat mendengar suara cempreng yang mungkin bisa merusak gendang telinga.
"A --apaan?! Kaga!"
Ditanya secara dadakan, plus dikagetkan dengan suara melengking, sudah cukup untuk membuat Abyan dikuasai panik.
"Kalau enggak, ngapain berdiri di dekat jemuran?!" tanya gadis dengan tinggi kira-kira mencapai 154 senti itu sembari menunjuk jemuran yang ia maksud. "Astaga ... jauh-jauh lo! Ish! Gak tau malu!"
Abyan membatu di tempat, saat gadis yang mengenakan kaus biru dan celana jeans ketat itu berlari-lari kecil, menarik beberapa lembar kain segitiga berbagai warna dari jemuran.
Kepala menunduk malu, adalah satu-satunya tanggapan Abyan. Ia juga mengusap tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. "M --maaf, Dek. Saya nyari jaringan."
"Udah tau mati lampu! Mana ada jaringan di sekitar sini, Bang!" pekik gadis itu setengah kesal.
"Ya ... maaf." Hanya itu yang bisa dikatakan Abyan.
"Au ah gelap!" Gadis itu melangkah pergi. Belum jauh, Abyan masih dapat mendengar ocehan gadis itu. "Mana belum kering lagi. Huhuhu ... bau deh aset gue!"
Di tempatnya berdiri, Abyan masih tercengang beberapa saat, sampai suara mamanya kembali terdengar.
"Abyan, ke sini!"
Berlari-lari kecil Abyan menghampiri mamanya. Ia tersenyum bersalah dan menggaruk ujung alisnya.
"Ma, Biyan ke kantor dulu ya. Ini ada e-mail yang Biyan mau kirim ke temen kerja. Tapi nggak ada jaringan," jelas Abyan.
"Nggak bisa lain kali? Ini kita udah jauh-jauh loh ke rumah Tante Marwah," kata Mama. Tidak disembunyikan lagi raut kecewa di wajah senjanya.
"Ya ... gimana, Ma? Kerjaan aku juga penting." Abyan sedikit merasa bersalah. "Atau gini aja, nanti, kalau urusan Mama udah selesai, bilang aja sama Biyan. Langsung Biyan datang jemput. Gimana?" tawarnya.
Bibir mama manyun beberapa senti. "Au ah gelap."
Seketika, Abyan teringat pada gadis kecil tadi.
Sepertinya semua perempuan suka mengatakan hal itu jika sedang kesal. Tapi, apa maksudnya?
***
Entah mungkin kesurupan setan pohon pepaya di samping rumah Marwah kemarin, mama Abyan menunjukkan keanehan pagi ini.
Jika biasanya, pagi hari ia habiskan di tukang sayur sambil gibah --entah tentang film atau tetangga, kali ini ia menghabiskan waktunya di toko buku.
Eja baik-baik.
To-ko Bu-ku.
Abyan sampai melongo mendengar permintaan mamanya. Beruntung, karena sekarang adalah hari minggu, jadi Abyan bisa memenuhi permintaan wanita pemilik surganya itu.
"Ma, kapan selesainya? Biyan udah bosen," keluh Abyan setelah hampir satu jam belum ada tanda-tanda wanita berusia setengah abad itu berniat pergi.
"Bentar lagi," jawab mama tanpa mempedulikan wajah penat putra tunggalnya itu.
Dengan langkah malas, Abyan berjalan asal menyusuri rak buku. Sesekali berhenti, dan membaca judul yang menurutnya menarik.
"Astaga, ganteng banget. Mukanya mirip bule-bule gitu. Emang dia bule?"
Suasana yang agak ramai ini mengharuskan Abyan mau tidak mau harus mendengarkan ucapan beberapa orang di dekatnya. Termasuk kalimat genit tadi dari seorang gadis yang entah siapa.
"Iya. Dia bule. Gue kan udah bosen sama yang lokal."
Sejenak, Abyan terdiam sesaat setelah mendengar suara cempreng barusan. Abyan mengenalnya. Ia segera berbalik, dan benar saja, di dekatnya ternyata gadis kemarin yang sedang mengobrol dengan sahabatnya.
Dalam hati, Abyan merasa kasihan. 'Masih SMP udah pacaran. Kasihan Tante Marwah punya anak kayak dia,' bisik batinnya.
Entah motivasi dari mana, Abyan menarik beberapa buku, lalu menghampiri dua gadis yang memiliki tinggi hampir sama itu. Hanya saja, gadis kemarin sedikit lebih pendek.
"Ini ...," kata Abyan sambil menyodorkan buku itu ke depan dua gadis itu.
Anak Marwah tampak kaget. Terbukti dari matanya yang semakin melebar, dan kedua alisnya terangkat ke atas. Sementara gadis sebaya di sampingnya terlihat bahagia dan antusias. Sesekali, ia menyenggol anak teman mama Abyan itu. Sampai, ponsel di tangan gadis yang tengah tercengang itu jatuh ke lantai.
Kepala Abyan menunduk, memperhatikan layar dengan beberapa retakan itu. Bukan. Bukan itu fokus utama Abyan, melainkan pada foto gadis itu dengan ... dirinya yang menunduk di belakangnya.
Abyan menduga, kemarin, sebelum gadis itu menegurnya, ia mengambil foto terlebih dahulu. Kemudian hari ini .... Abyan tersenyum menyeringai. Ia diakui sebagai pacar gadis itu ternyata.
"Ini HP-nya!" ucap Abyan, karena gadis pemilik ponsel itu tampak kikuk.
"Aww ... co cweet." Gadis yang satunya berucap manja. "Eh, aku ada barang ketinggalan. Kalian ngobrol berdua aja. Aku tunggu di parkiran ya, Ra."
Selepas kepergian gadis tadi, Abyan memfokuskan diri pada manusia di depannya. Semua pemberian --buku dan ponsel-- belum gadis ini terima.
"Dek, kamu nggak kasihan sama Tante Marwah? Udah capek-capek nyekolahin Adek, tapi Adek malah mikirin pacaran." Abyan menarik tangan gadis itu, dan menghadapkan telapak tangannya ke atas, lalu meletakkan buku dan ponsel di sana.
"Belajar yang bener. Bentar lagi UN. Siapa tau bisa lanjut ke SMA favorit kamu," kata Abyan, sambil memberikan tepukan lembut di kepala gadis itu.
Gadis tadi menunduk, membaca judul buku di tangannya.
Detik-Detik Ujian Nasional Untuk SMP/MTs
Abyan tersenyum. Ia merasa, ini sebagai ucapan maaf karena kemarin tidak sengaja berdiri di dekat jemuran pakaian dalam gadis itu. Namun, ekspresi berbanding terbalik ditunjukkan lawan bicara Abyan.
"Lo kira gue anak SMP?! Gue udah lulus empat tahun lalu, ogeb!"
Setelah mengeluarkan kalimat pekikan itu, gadis tadi melempar buku pemberian Abyan kembali padanya. Lalu bergegas pergi.
Sementara Abyan kembali tercengang.
Salah lagi?
Ah ... sepertinya laki-laki tidak akan pernah benar melawan manusia yang tidak akan pernah salah bernama wanita.
Hai, ini Es_Pucil!
Aku boleh baca pendapatmu mengenai bab ini?
Jangan lupa berikan komentar/ulasan ya❤️
Itu sangat mendukung aku untuk semakin semangat update bab baru.
Ada kesalahan, typo, dan lainnya? Aku akan sangat berterima kasih jika kamu mau membantu melaporkannya.
***
Mari kenalan :
Instagram : es.pucil
Facebook : Es Pucil III
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro