6
"Rumi. Duduk sini, Nak. Abi mau ngobrol sama Rumi. " Abi melihat Rumi keluar dari kamar memanggil sang puteri sambil menepuk bangku kosong di sebelahnya.
"Iya, Bi. Ada apa sih Bi, tumben Abi serius begitu?" tanya Rumi seraya duduk dengan menampilkan raut heran atas permintaan abinya.
"Memangnya Abi nggak boleh ngobrol sama kamu? Sudah lama sepertinya kita nggak ngobrol, Rum. Mumpung Ummi masih sibuk dengan pekerjaanya," ucap abi disertai kekehan di akhir untuk menghilangkan ketegangan.
Saat ini mereka sedang berada di teras rumah. Berhubung sudah masuk liburan semester, Rumi lebih banyak beraktifitas di rumah, meski sesekali keluar rumah.
"Gimana kuliah kamu, Nduk?" Abi mulai bertanya pada Rumi.
"Alhamdulillah lancar, Bi. Tinggal nungguin nilainya keluar. Semoga hasilnya baik. Rumi sudah berusaha semampu yang Rumi bisa."
"Tetap semangat ya Nduk, kuliahnya." Sementara yang disemangati hanya menganggukkan kepala tanpa berucap apa pun.
"Kalau sahabat-sahabatmu, apa kabar mereka? Masih sering jalan bareng, kalian?"
"Alhamdulillah mereka baik, Bi. Kalau jalan bareng sih masih, tapi gak sesering dulu. Udah pada sibuk sendiri-sendiri mereka sekarang, Bi." Rumi menjawab sambil tersenyum.
Abi pun hanya terlihat menganggukkan kepala mendengar jawaban sang puteri.
"Rumi tau kan, kalau Rumi anak gadis Abi ini sudah beranjak dewasa? Artinya tanggung jawab Abi untuk menjaga Rumi semakin besar." Suara Abi kembali memecah sunyi sekejap antar keduanya.
Rumi memilih diam, menunggu kelanjutan perkataan abinya.
"Abi lihat, sahabat-sahabat Rumi sudah berpacaran semua. Benar seperti itu, Nak?"
Rumi hanya mengangguk dan berusaha menebak kemana arah pembicaraan ayahnya.
"Abi tidak melarang kamu bergaul dengan mereka. Kalian sudah bersahabat dari awal masuk kuliah. Abi percaya mereka anak-anak baik. Dan Abi juga percaya kamu bisa jaga diri kamu, Nak." Ucap abi sambil mengelus kepala Rumi dengan lembut.
"Iya, Bi. Rumi akan selalu berusaha jaga diri, " cicit Rumi sambil menunduk.
"Abi dan Ummi nggak akan batasin pergaulan kamu, Nak. Kamu boleh berteman dengan siapa saja asal kamu bisa bertanggung jawab dengan diri kamu, ini semua juga karena kami juga pernah muda sepertimu."
Rumi mulai menatap ayahnya dan tersenyum lembut. Ayah ibunya memegang erat adat timur. Tapi, mereka tidak pernah mengekang Rumi dalam pergaulan. Hanya saja Rumi yang membatasi diri dalam pergaulan dan cuek dengan sekitar.
Bukan tidak ada laki-laki yang mendekatinya, bahkan ada beberapa yang memberi sinyal suka pada Rumi. Tetapi Rumi hanya menganggap mereka sebatas teman tanpa interaksi yang lebih.
"Makasih ya Bi, Abi sama Ummi udah percaya sama Rumi. InsyaAllah Rumi akan selalu ingat nasihat Abi. Rumi mau fokus kuliah aja sampai selesai. Abi doain Rumi ya biar semua lancar." Mendengar jawaban Rumi membuat Abi seketika mengusap kepala anak sulungnya ini.
Rumi memang sudah mulai beranjak dewasa, namun tak sedikitpun dia membantah apa yang dikatakan orang tuanya. Salah satu hal yang membuat Abinya begitu percaya padanya.
"Ada apa ini kok tumben ngumpul di sini?" tanya Ummi yang datang membawa sebuah nampan berisi secangkit teh hangat untuk abi.
"Enggak terasa anak kita udah besar aja ya Mi. Bentar lagi jangan-jangan diambil orang," celetuk Abi sembari menerima cangkir yang istrinya berikan.
"Ih, Abi ngomongnya gitu. Baru juga Rumi masuk kuliah. Eh, iya juga ya Bi. Emang Abi udah siap kalo Rumi ada yang minta nantinya?" goda Ummi yang kini duduk di sisi abi yang lain, membuat abi berada di antara dua wanita spesialnya.
"Yaa, siap enggak siap Mi." Jawaban Abi mengarah pada pertanyaan istrinya, namun ekor matanya terfokus pada reaksi sang puteri.
Rumi yang merasa jadi bahan pembicaraan mulai menatap kedua orang tuanya dengan tatapan horor. Apakah orang tuanya juga mendengar apa yang ia munajatkan dalam hati sebelum pulang dari kampus tadi?
...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro